Carut Marut Pendidikan, Kemana Saja Pemerintah?

Dalam pidato kenegaraan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di Gedung DPR/ MPR sehari sebelum peringatan HUT RI ke-66 lalu, Presiden SBY memastikan bahwa saat ini sudah tidak ada lagi warga berpenghasilan rendah yang kesulitan mendapat pelayanan kesehatan dan pendidikan. “Di masa lalu, masyarakat berpendapatan rendah sering mengalami kesulitan untuk mengakses pelayanan dasar. Alhamdullilah, keadaan ini telah berubah. Saat ini, saya dapat memastikan bahwa semua warga negara berpenghasilan rendah, memiliki hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan dan pendidikan dari pemerintah,” kata SBY (detiknews.com, 16/8). Menanggapi hal tersebut, Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas), Mohammad Nuh langsung menyampaikan rencana pembangunan pendidikan tahun 2012. Berdasarkan arahan Presiden SBY, prioritas pembangunan pendidikan akan diarahkan untuk meningkatkan akses dan pemerataan pelayanan pendidikan yang bermutu dan terjangkau. Hal itu dilakukan baik melalui jalur formal maupun non-formal di semua jenjang pendidikan (Kompas, 17/8).

Pernyataan Presiden SBY tersebut segera saja menuai banyak cibiran, mengingat realitanya masih banyak masyarakat miskin yang belum dapat mengakses layanan pendidikan dan kesehatan. Lihat saja dari data anak usia sekolah yang putus sekolah. Berdasarkan data BKKBN tahun 2010, jumlah anak Indonesia usia sekolah (7 – 13 tahun) yang terancam putus sekolah mencapai 13 juta anak, dan 80%nya karena alasan ekonomi. Artinya masih ada lebih dari 10 juta masyarakat berpenghasilan rendah yang sulit mengakses layanan pendidikan. Pernyataan Presiden SBY tersebut seakan hanya menegaskan ketidaktahuan pemerintah terhadap kondisi lapangan, mulai dari potret masyarakat miskin di Indonesia, keterbatasan tenaga pendidik hingga keterbatasan fasilitas pendidikan.

Dalam kunjungannya ke SD Babakan Madang 01, Sentul, Kabupaten Bogor, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) nampak terkejut melihat potret nyata sekolah di Indonesia dan meminta supaya anggaran pendidikan diprioritaskan untuk memperbaiki bangunan sekolah yang rusak. “Kantor guru kecil sempit dan desak-desakan. Atapnya tidak karuan kalau hujan bocor bangunannya juga sudah tidak layak. Saya lihat perpustakaanya juga tidak layak,” ujarnya di hadapan pejabat dan para guru (Republika, 22/8). Miris sekali mendengarnya, karena SD Babakan Madang 01 yang relatif dekat dengan ibukota saja dianggap tidak layak, bagaimana dengan SD lain di pelosok Indonesia? Sementara saat ini masih ada ratusan ribu sekolah yang tidak layak di Indonesia.

Carut marut pendidikan ini sebenarnya dapat diurai jika saja ada keseriusan semua pihak, terutama pemerintah dalam mengelola pendidikan di negara ini. Kebijakan anggaran pendidikan 20% dari APBN jelas bukan angka kecil, bahkan India saja hanya menganggarkan anggaran pendidikan 10% dari APBN untuk meningkatkan kualitas SDM dan pendidikan di negaranya. Yang perlu dicemati adalah efektifitasnya. Selama ini pemerintah seolah merasa sudah berbuat banyak dengan mengucurkan banyak dana pendidikan, padahal tidak sedikit yang tidak tepat sasaran dan tidak tepat jumlah. Akhirnya, 6 dari 10 dana BOS diselewengkan, dana beasiswa keluarga miskin pun dikorupsi. Fakta ini seharusnya segera disikapi dengan sistem pengawasan dan sanksi yang ketat, bukan malah ditutupi seolah semuanya baik – baik saja. Kepemimpinan adalah keteladanan dan seorang pemimpin tidak selayaknya jauh dari masyarakatnya. Karenanya, ketika potret pendidikan Indonesia dipandang melalui kacamata kuda pemerintah, perbaikan hanya akan sebatas angan. Yang ada hanya apologi dan pembenaran atas berbagai ketidakoptimalan dalam pelayanan.

Di samping penanganan taktis masalah – masalah pendidikan yang sudah mencuat, seperti banyaknya anak putus sekolah, sekolah tidak layak, guru kurang berkualitas, penyelewengan anggaran pendidikan, dan sebagainya, perlu juga ditinjau hal yang lebih filosofis untuk perbaikan pendidikan Indonesia. Harus ditegaskan kembali tujuan pendidikan di Indonesia. Berbagai kasus seperti kecurangan UN dan joki SNMPTN muncul karena tujuan pendidikan seolah sebatas mengejar nilai untuk bisa melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Berbagai kasus komersialisasi pendidikan muncul karena pendidikan diarahkan sebagai komoditi bisnis. Masalah sentralisasi – desentralisasi guru dan berbagai kasus politisasi pendidikan muncul karena pendidikan dijadikan alat memuluskan jalan penguasa. Semakin tidak terdefinisikannya tujuan pendidikan di Indonesia, semakin liar penyimpangan arah yang akan terjadi dan semakin banyak perbaikan yang harus dilakukan. Sebelum melangkah lebih jauh, setiap pihak yang hendak menguraikan permasalahan pendidikan di Indonesia, seyogyanya menelaah kembali tujuan pendidikan nasional. Jika potret ironis pendidikan saja tidak diketahui pemerintah, jangan – jangan tujuan pendidikan nasional pun pemerintah tidak tahu??

Leave a Comment


NOTE - You can use these HTML tags and attributes:
<a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <strike> <strong>