Kamp Candradimuka Kepemimpinan di Solo

Candradimuka itu adalah romantika kepemimpinan muda penuh keberanian di Solo. Saat itu keduanya masih berusia 22 tahun. Yang satu adalah Komandan Wehrkreise I Brigade V/ Penembahan Senopati, yang satunya Pimpinan Detasemen TP Brigade XVII/ Sub-Wehrkreise 106 Arjuna. Letkol Slamet Riyadi dan Mayor Achmadi, adalah dua tokoh utama dalam Serangan Umum empat hari di Solo, 7 – 10 Agustus 1949. Keduanya memimpin ribuan tentara pelajar yang dengan gagah berani melancarkan serangan ‘perpisahan’ sebelum gencatan senjata 11 Agustus 1949. Pun mungkin kurang dikenang dalam sejarah, serangan ini berhasil memperkuat posisi tawar politik perjuangan delegasi RI di Konferensi Meja Bundar (KMB) sehingga tercapai kembali kedaulatan RI pada 27 Desember 1949.

Candradimuka itu adalah manifestasi kepemimpinan yang mengayomi dan dicintai. Ikatan Ahli Perencanaan (IAP) telah melakukan survey di 19 provinsi dan 26 kota di Indonesia sepanjang 2017. Hasilnya, Solo dinobatkan sebagai kota paling nyaman dan layak huni di Indonesia. Beberapa aspek yang dinilai di antaranya keamanan, keselamatan, kebersihan dan transportasi kota. Walikota Solo, FX Hadi Rudyatmo menduga selain karena faktor penataan kota, Solo terpilih karena warganya mau dan mampu mengelola kemajemukan. Mungkin tidak sulit menghadirkan kepatuhan kepada pimpinan atas nama otoritas jabatan. Namun menghadirkan cinta dan rasa nyaman bukan hal yang serta merta tumbuh. Butuh interaksi, inspirasi, dan keteladanan. “Sebaik-baik pemimpin kamu ialah pemimpin yang kamu cintai dan mereka mencintaimu, kamu doakan mereka dan mereka pun mendoakan kamu, dan seburuk-buruk pemimpin ialah pemimpin yang kamu benci dan mereka membenci kamu, kamu mengutuk mereka dan mereka mengutuk kamu.” (HR Muslim).

Candradimuka itu adalah kesederhanaan pemimpin yang dekat dan melayani. Bukan tanpa alasan tulisan ini menggunakan kata ‘Solo’ bukannya ‘Surakarta’. Ketika Surakarta lebih bernuansa administratif dan birokratif, Solo lebih bernuansa kultural dan kekinian. Terlepas dari latar belakang sejarah, nama Solo memang lebih sederhana, namun jauh lebih populer dibandingkan Surakarta. Bukan cuma karena lagu ‘Bengawan Solo’ dan ‘Stasiun (Solo) Balapan’ yang sudah familiar di telinga, branding Solo sudah sangat lekat dengan seni budaya Indonesia. Pemimpin yang populer memang belum tentu baik, namun pemimpin yang baik akan dekat dan melayani yang dipimpinnya. Ada kebanggaan terhadap pemimpin yang tidak tersekat formalitas. Solo bukanlah Oslo yang merupakan salah satu kota paling mahal di dunia. Ada harga tak ternilai di balik kesederhanaannya.

Candradimuka itu telah dijalani oleh Presiden RI saat ini yang besar namanya di Solo. Beliau yang meneladani jejak pendahulunya yang telah dimakamkan di Astana Giribangun dekat Kota Solo. Ya, candradimuka itu sebelumnya telah dijalani sosok presiden ‘legendaris’ yang beristrikan bangsawan Solo. Terlepas dari berbagai kekurangan, mereka adalah sosok pemimpin yang berani dan mengayomi. Figur yang melayani dan banyak dicintai. Semoga kamp candradimuka kepemimpinan di Solo mampu menginspirasi lahirnya pemimpin yang memiliki integritas, cendekia, transformatif dan melayani. Pemimpin yang keberadaannya membawa kemaslahatan dan kebermanfaatan. Selamat berjuang, para pemimpin kemanusiaan! Hidup mahasiswa! Hidup Rakyat Indonesia!

…Kami hadir untuk melayani kehidupan sesama insani. Asas maslahat membuat kami giat, asas manfaat membuat semangat. Bakti Nusa berjuang!!!” (Mars Juang Bakti Nusa)

Catatan: tulisan ini adalah pengantar dalam guide book Future Leader Camp 2018

Leave a Comment


NOTE - You can use these HTML tags and attributes:
<a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <strike> <strong>