Category Archives: Artikel Motivasi

Antara Do’a dan Perjuangan

Berakit-rakit ke hulu, berenang ke tepian. Sakit-sakit dahulu, susah-susah dahulu, baru kemudian bersenang-senang. Pahit rasanya empedu, manis rasanya gula. Sakit-sakit dahulu, susah-susah dahulu, baru kemudian berbahagia. Berjuang (berjuang), berjuang sekuat tenaga. Tetapi jangan lupa perjuangan harus pula disertai doa. Rintangan (rintangan), rintangan sudah pasti ada. Hadapilah semua dengan tabah juga dengan kebesaran jiwa” (‘Perjuangan dan Do’a’, Rhoma Irama)

Do’a tanpa berjuang adalah kosong, berjuang tanpa do’a adalah sombong’, demikianlah hubungan erat antara do’a dan perjuangan. Sejak zaman dahulu, do’a memang senantiasa mengiringi perjuangan. Dalam Al Qur’an banyak sekali lantunan do’a yang mengiringi perjuangan para Nabi. “Dan betapa banyak nabi yang berperang didampingi sejumlah besar dari pengikut(nya) yang bertakwa. Mereka tidak (menjadi) lemah karena bencana yang menimpanya di jalan Allah, tidak patah semangat dan tidak (pula) menyerah (kepada musuh). Dan Allah mencintai orang-orang yang sabar. Dan tidak lain ucapan mereka hanyalah doa, “Ya Tuhan kami, ampunilah dosa-dosa kami dan tindakan-tindakan kami yang berlebihan (dalam) urusan kami dan tetapkanlah pendirian kami, dan tolonglah kami terhadap orang-orang kafir.” (QS. Ali ‘Imran: 146-147). Salah satu do’a yang mengiringi perjuangan adalah do’a pasukan Thalut ketika menghadapi pasukan Jalut yang jauh lebih banyak, mereka berdo’a, “Ya Tuhan kami, limpahkanlah kesabaran kepada kami, kokohkanlah langkah kami dan tolonglah kami menghadapi orang-orang kafir.” (QS. Al-Baqarah: 250).

Dalam hadits juga banyak ditemukan riwayat mengenai do’a-do’a yang mengiringi perjuangan Rasulullah SAW dan kaum muslimin. Salah satu do’a Rasulullah SAW yang dikenal adalah ketika perang Badar, beliau menghadap kiblat, menengadahkan kedua belah tangannya dan berdoa, “Ya Allah, wujudkanlah apa yang telah Engkau janjikan kepadaku… Ya Allah, berikanlah apa yang telah Engkau janjikan kepadaku… Ya Allah, jika Engkau binasakan tentara Islam ini, Engkau tidak akan diibadahi di muka bumi ini…” Hadits yang cukup panjang ini dimuat dalam Shahih Muslim dari Umar bin Khattab r.a, dan ditutup dengan turunnya ayat Al Qur’an sebagai pertanda diijabahnya do’a Rasulullah SAW. “(Ingatlah), ketika kamu memohon pertolongan kepada Rabbmu, lalu diperkenankan-Nya bagimu. Sesungguhnya Aku akan mendatangkan bala bantuan kepada kamu dengan seribu malaikat yang datang berturut-turut.” (QS. Al Anfal: 9).

Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya’, demikian kalimat pembuka alinea ketiga Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Hasil akhir suatu perjuangan memang menjadi ketentuan yang Allah SWT tetapkan. Manusia hanya bisa berjuang dengan segenap kemampuan, namun Allah SWT jua yang menentukan. Do’a adalah senjata penguat perjuangan yang dapat memengaruhi hasil akhir. Karena do’a sebegitu dahsyatnya sampai bisa mengubah takdir yang masih bisa diubah. Do’a merupakan komponen penting yang menentukan keberhasilan.

Dengan mengesampingkan para materialis yang tidak meyakini do’a dan hal-hal yang sifatnya spiritual, terkait hubungan do’a dengan perjuangan ini masih ada beberapa kekeliruan dalam implementasinya. Pertama, mereka yang tidak banyak berjuang atau belum optimal dalam berjuang, namun meyakini do’a akan menutupinya sehingga kemenangan pun sudah tinggal menunggu waktunya. Mereka lupa bahwa diijabahnya suatu do’a ada serangkaian prasyaratnya, salah satunya adalah sudah maksimalnya ikhtiar. Kedua, mereka yang memandang do’a sebatas pelengkap perjuangan, hanya ada di akhir setelah lelah berjuang. Ini juga tidak tepat, sebab do’a sejatinya mengiringi perjuangan sejak awal hingga akhir. Bahkan do’a akan memperkuat langkah seseorang untuk mulai menapaki medan juang.

Ada juga mereka yang beranggapan tujuan akhir perjuangan adalah kemudahan, sehingga do’anya adalah keberhasilan yang menjanjikan kenyamanan tanpa proses yang menyulitkan. Sejatinya kehidupan adalah sekumpulan ujian, sekumpulan perjuangan. Kehidupan tidak pernah menjanjikan kemudahan, apalagi perjuangan. Alih-alih berdo’a untuk diringankan beban perjuangan, akan lebih baik untuk memohon bahu yang lebih kokoh untuk memikul beban perjuangan. Sebab besarnya ujian dan tingginya pengorbanan dalam berjuang, akan seiring dengan meningkatnya kualitas seseorang. Semoga kita diberikan kemampuan untuk terus ada di medan juang, terus berjuang, meningkat kualitasnya dengan gemblengan perjuangan, dan akhirnya dapat menikmati akhir dari kenikmatan berjuang. Di dunia. Dan di akhirat kelak. Aamiiin…

Tuhanku, bentuklah puteraku menjadi manusia yang cukup kuat untuk menyadari manakala ia lemah. Dan cukup berani untuk menghadapi dirinya sendiri manakala ia takut. Manusia yang memiliki rasa bangga dan keteguhan dalam kekalahan, rendah hati dan jujur dalam kemenangan. Bentuklah puteraku menjadi seorang yang kuat dan mengerti, bahwa mengetahui serta mengenal diri sendiri adalah dasar dari segala ilmu yang benar. Tuhanku, janganlah puteraku Kau bimbing pada jalan yang mudah dan lunak. Biarlah Kau bawa dia ke dalam gelombang dan desak kesulitan tantangan hidup. Bimbinglah puteraku supaya dia mampu tegak berdiri di tengah badai serta berwelas asih kepada mereka yang jatuh. Bentuklah puteraku menjadi manusia berhati bening dengan cita-cita setinggi langit. Seorang manusia yang sanggup memimpin dirinya sendiri sebelum memimpin orang lain. Seorang manusia yang mampu meraih hari depan tapi tak melupakan masa lampau. Dan setelah segala menjadi miliknya semoga puteraku dilengkapi hati yang ringan untuk bergembira serta selalu bersungguh-sungguh namun jangan sekali-kali berlebihan. Berikan kepadanya kerendahan hati, kesederhanaan dan keagungan yang hakiki, pikiran cerah dan terbuka bagi sumber kearifan dan kelembutan dari kekuatan yang sebenarnya sehingga aku, orang tuanya, akan berani berkata: ’hidupku tidaklah sia-sia’.” (Do’a Douglas Mac Arthur* kepada puteranya, ditulis pada masa-masa paling sulit di awal Perang Pasifik)

*Douglas Mac Arthur merupakan salah satu perwira perang dunia II dari Amerika Serikat yang akhirnya dianugerahi Jenderal Bintang Lima, dan turut berjasa merebut Papua dari cengkraman Jepang

Menulis Itu Mudah, Yang Susah Adalah Istiqomah

Orang-orang yang istiqomah lebih bersemangat ada masa-masa akhir mereka, dibandingkan ada masa-masa awalnya” (Ibnul Qayyim)

‘Pojok Pagi Ekselensia Indonesia’, begitu tagline tulisan salah seorang rekan menandai perpindahan amanah yang diembannya. Tak terasa, sudah 18 tulisan yang dibuatnya dalam kurun waktu 5 pekan ini. Terbilang sangat produktif jika melihat dalam 10 tahun sebelumnya bisa dihitung tulisan yang dibuatnya. Walaupun tantangan konsistensi mulai terlihat, dimana di awal tulisan rutin setiap harinya, namun belakangan sudah mulai per tiga hari. Keistimewaan tulisannya barangkali relatif, saya menyukai beberapa tulisannya yang sederhana dan mengalir misalnya ketika mengambil hikmah dari ‘upo’, butiran nasi yang tertinggal dan menempel. Namun barangkali yang lebih istimewa adalah tekadnya untuk lebih produktif menulis yang tentunya tidak mudah. Ada juga seorang rekan lain yang telah menerbitkan lebih dari 50 buku. Setiap harinya ada target untuk menulis minimal satu halaman, dan hal ini bisa istiqomah dilakukannya. Beratkah?

Istiqomah itu berat, yang ringan namanya istirahat”, demikian ungkap sebuah kutipan. Ya, banyak sekali godaan dan alasan untuk memilih ‘istirahat’ dibandingkan istiqomah. Tak perlu berbicara tentang orang lain, saya sendiri mengalaminya dan website ini menjadi contohnya. Sudah cukup lama website ini kembali vakum tanpa tulisan terbaru. Bukan karena kekurangan ide dalam membuat tulisan, setiap harinya ada banyak hal yang bisa diceritakan ataupun gagasan yang bisa dituliskan. Bukan juga karena terlalu sibuk, setiap harinya selalu waktu yang bisa lebih produktif jika dialokasikan untuk memproduksi tulisan. Sebenarnya tidak ada alasan yang dapat dipertanggungjawabkan untuk tidak produktif dalam menulis, namun realitanya selalu ada saja excuse ataupun pembenaran untuk tidak melakukan. Itulah ujian konsistensi dalam produktifitas.

Berapologi dan membuat alasan itu mudah, apalagi banyak hal produktif yang sebenarnya tidak butuh alasan, lillahi ta’ala. Repotnya, sebagaimana kebohongan, satu alasan akan membawa alasan yang lain, dan ada akhirnya menjadi kebiasaan banyak alasan. Ketika sudah jadi kebiasaan maka alasan berubah menjadi sesuatu yang lumrah. Butuh tekad yang kuat dan titik tolak yang kokoh untuk kembali ke jalan penuh produktivitas. Kadang butuh motivasi eksternal. Bahkan kadang butuh mekanisme reward and punishment dan pengorbanan besar untuk kembali meniti jalan istiqomah.

The first step is always the hardest”, begitu pepatah mengatakan. Ibarat mengayuh sepeda, yang paling berat adalah kayuhan di awal, selanjutnya akan lebih ringan. Bahkan bisa jadi kayuhan awal tidaklah seberat yang dikhawatirkan. Tulisan ini misalnya, ternyata bisa diselesaikan dalam waktu sekitar satu jam. Waktu yang terbilang sangat singkat jika dibandingkan dengan waktu yang saya habiskan buat menghapus lebih dari 8000 pesan spam yang masuk ke inbox website karena sudah berbulan-bulan tidak diupdate. Namun berpikir bahwa kayuhan selanjutnya akan selalu lebih mudah tidaklah tepat juga, karena jalurnya naik turun, disitulah ujian istiqomah. Akan ada masanya dimana kayuhan akan kembali berat, dan ada waktunya juga betapa kayuhan terasa dimudahkan.

Dan istiqomah menulis ini hanyalah satu dari banyak ujian keistiqomahan lain. Begitu banyak amal kebaikan yang mudah dilakukan, namun begitu mudah pula untuk ditinggalkan. Padahal amalan yang paling disukai Allah SWT adalah yang kontinyu walaupun sedikit. Semuanya diawali dengan niat dan memulainya secara bertahap, tidak perlu terlalu dipikirkan, cukup dilakukan. Bisa dikuatkan dengan keteladanan dari berbagai tokoh inspiratif dan lingkungan yang turut mendukung. Dan semakin sempurna dengan berdo’a kepada Allah SWT yang membolak-balikan hati. Dan sebagaimana kemalasan, keistiqomahan akan membawa pada konsistensi dalam hal yang lain sehingga pada akhirnya bisa membentuk pribadi yang istiqomah. Semoga Allah SWT menganugerahkan kita sikap istiqomah dalam ketaatan dan kebaikan. Fastaqim kama umirta! Bismillah…

Ya Rabb kami, janganlah Engkau condongkan hati kami kepada kesesatan setelah Engkau berikan petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi-Mu, sesungguhnya Engkau Maha Pemberi.” (QS. Ali Imran: 8 )

Menulis yang Disampaikan, Menyampaikan yang Ditulis

Tell your story. Shout it. Write it. Whisper it if you have to. But tell it. Some won’t understand it. Some will outright reject it. But many will thank you for it. And then the most magical thing will happen. One by one, voices will start whispering, ‘Me, too.’ And your tribe will gather. And you will never feel alone again.
(L.R. Knost)

Write what you do and do what you write” barangkali merupakan jargon yang banyak dikenal terutama mereka yang terlibat dalam urusan Quality Management. Harus ada bukti tertulis dari apa yang telah kita kerjakan, dan pekerjaan yang dilakukan harus didukung oleh dokumen tertulis sebagai dasar pedoman pelaksanaan. Jika kita tidak bisa membuktikan bahwa kita telah bekerja, berarti kita tidak bekerja. Dan jika kita bekerja tidak sesuai dengan dokumen tertulis, berarti ada kesalahan dalam pekerjaan kita. Penyampaian tanpa bukti tertulis juga belum bisa dianggap kebenaran. Di sisi lain, melakukan apa yang disampaikan dapat menunjukkan integritas seseorang, namun menyampaikan apa yang dilakukan tidak selamanya dinilai positif. Bisa saja justru dianggap sombong, ujub, ataupun riya’. Tulisan ini tidak hendak menyoroti relevansi dari jargon tersebut, namun coba menghubungkan menulis dengan berbicara sebagai sesama aktivitas penyampaian pesan.

Menulis dan berbicara merupakan keterampilan berbahasa yang bersifat aktif-produktif. Penulis dan pembicara berperan sebagai penyampai atau pengirim pesan kepada pihak lain. Keduanya harus mengambil sejumlah keputusan berkaitan dengan topik, tujuan, jenis informasi yang akan disampaikan, serta cara penyampaiannya sesuai dengan kondisi sasaran (pembaca atau pendengar) dan corak teksnya (eksposisi, deskripsi, narasi, argumentasi, dan persuasi). Perbedaan antara keduanya hanya dalam hal kecaraan dan medianya. Komunikasi dalam berbicara terjadi secara langsung dan respon pendengar juga dapat langsung ditangkap. Pembicara menyampaikan pesan secara lisan, sementara penulis menyampaikan pesan secara tertulis, termasuk gambar dan ilustrasi.

Menulis dan berbicara punya teknik dan tantangannya sendiri. Tidak semua orang yang hebat dalam menulis, mampu berbicara dengan fasih. Dan tidak semua orang yang hebat dalam berbicara, cakap menuangkan gagasannya dalam bentuk tulisan. Dalam berbicara, ada unsur nonverbal seperti suara, mimik, pandangan, dan gerak dapat secara langsung digunakan untuk memperjelas, mempertegas, dan menarik perhatian pendengar. Respon pendengar yang bisa langsung ditangkap juga memungkinkan pembicara untuk menyesuaikan, mengubah, atau memperbaiki apa yang disampaikannya. Namun implementasinya tak sesederhana itu, butuh banyak latihan dan ‘jam terbang’. Pembicara bukan hanya butuh persiapan materi atau konten pembicaraan, namun juga kesiapan mental. Asal berbicara memang mudah, namun berbicara yang baik, mencerahkan, dan menginspirasi tentu butuh pembiasaan.

Menulis tidak lebih mudah. Karena tidak langsung berhadapan dengan pembaca, dan tidak langsung mendapatkan responnya, persiapan penulis bisa lebih matang. Penulis bisa melakukan review tulisannya sebanyak yang dibutuhkan agar benar-benar siap, sebelum dipublikasikan. Namun jika pembicaraan dapat cepat diralat atas respon yang diberikan, klarifikasi tertulis butuh waktu. Ada berbagai teknik penulisan, termasuk penggunaan gaya bahasa, penambahan ilustrasi dan gambar untuk memperkuat tulisan. Namun implementasinya tak sesederhana itu, butuh banyak latihan dan ‘jam terbang’. Dan menjadi penulis butuh keberanian. Asal menulis memang mudah, namun perlu diingat bahwa ‘masa hidup’ sebuah tulisan jauh lebih lama dibandingkan pembicaraan. Apalagi di era digital seperti sekarang ini. Jejak digital tulisan mudah diakses siapa saja, dan penulislah yang harus mempertanggungjawabkan tulisannya. Belum lagi dengan UU ITE, tantangan menjadi penulis lebih besar. Pastikan menulis yang baik atau lebih baik diam.

Dengan berbagai tantangan dan keunggulan masing-masing, idealnya setiap diri kita mampu menjadi pembicara dan penulis yang baik. Seorang da’i atau motivator yang sering berbicara di ruang publik tentu akan mengalami batasan ruang dan waktu dalam menginspirasi. Akan berbeda jika apa yang disampaikan juga dituliskan. Inspirasinya dapat terus terjaga menembus zaman. Di sisi lain, seorang penulis produktif akan mengalami batasan dalam kolaborasi gagasan. Penulis butuh menyampaikan langsung apa yang dituliskan sehingga ada respon langsung yang dapat memperkaya gagasan. Bukankah dua kepala lebih baik daripada satu kepala? Apalagi banyak kepala. Dalam dunia akademik, keseimbangan antara menulis dengan berbicara ini sudah lama dikenal. Misalnya tugas akhir tertulis yang dibuat harus dipresentasikan dalam sidang tugas akhir. Menulis dan berbicara, tanpa kecuali. Sayangnya, momentum seperti ini kurang dibiasakan. Akhirnya, aktivitas menulis dan berbicara dilakukan ala kadarnya. Itupun masih lebih baik dibandingkan mereka yang asal menulis dan asal berbicara, tanpa manfaat, tanpa berani mempertanggungjawabkan apa yang ditulis dan diucapkannya.

Keberadaan kita di dunia ini harus memberi manfaat. Namun setiap diri kita punya keterbatasan dalam melakukan beragam kebermanfaatan tanpa melibatkan orang lain. Batas sempit itu dapat diperluas dengan aktivitas menyampaikan inspiratif, baik lisan maupun tulisan. Dan batas itu akan semakin luas jika kita optimal melakukan keduanya, berbicara dan menulis. Dengan tetap memperhatikan keteladanan perilaku atas apa yang dibicarakan ataupun ditulis, tentunya. Tidak ada dikotomi antara keduanya, semuanya bisa dilatih dan dibiasakan. Dan karena keduanya bersifat aktif-produktif, satu-satunya cara paling efektif untuk menguasai keterampilan berbicara dan menulis adalah dengan langsung mengimplementasikannya. Khazanah ilmu dapat terus berkembang dengan penyampaian secara lisan dan tulisan, dan seharusnya kita berupaya menjadi bagian darinya. Memiliki keterampilan berbicara dan menulis, dan mencerminkannya dalam keteladanan perilaku. Bismillah… Komisaris… eh bukan… Bismillah, saya siap. Bagaimana dengan Anda?

I love writing for kids. I love talking to children about what I’d written. I don’t want to leave that behind.” (J.K. Rowling)

2021, Tahun Masih Harus Bersabar

Aku mencari segala bentuk rezeki tetapi aku tidak menemukan rezeki yang lebih baik daripada sabar
(Umar bin Khattab r.a.)

Akhirnya, tahun 2020 berlalu. Ada banyak harapan di tahun 2021 ini. Pandemi virus corona sepanjang tahun 2020 benar-benar membuat dunia berselimut duka dan kekhawatiran. Banyak event nasional dan internasional di tahun 2020 yang ditunda atau dibatalkan, mulai dari konser musik, festival film, hingga Olimpiade di Tokyo. Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak di Indonesia yang tetap berjalan barangkali termasuk anomali. Dalam kaleidoskop 2020 di bidang apapun, tidak terlepas dari dampak yang dirasakan akibat pandemi Covid-19 ini. Bukan hanya bidang kesehatan dan ekonomi, bidang pendidikan, sosial budaya, politik, hukum, hubungan internasional, agama, hingga teknologi informasi dan olahraga tahun 2020 pasti terkait dengan persoalan pandemi ini.

Memasuki tahun 2021, pandemi belum juga berakhir. Bahkan angka statistiknya terus bertambah. Kasus Covid-19 tercatat sudah menembus 80 juta dengan korban jiwa lebih dari 1,8 juta di seluruh dunia. Di luar kasus Covid-19, awal tahun 2021 ini sebenarnya relatif lebih baik daripada awal tahun 2020. Awal tahun lalu sudah diwarnai dengan isu World War III karena memburuknya hubungan AS dengan Iran. Beberapa negara di Timur Tengah juga ikut bergejolak. Indonesia juga bersitegang dengan China yang mengklaim Laut Natuna. Awal tahun 2020 juga ditandai dengan banjir bandang di Jakarta, kebakaran hutan Australia, dan erupsi Gunung Taal di Filipina. Belum lagi kasus Reynhard Sinaga yang mencoreng nama Indonesia di mata dunia. Semoga tidak terulang di tahun ini.

Di tahun 2021 ini sepertinya kesabaran masih akan terus diuji. Ada lebih dari 110 ribu kasus aktif Covid-19 di Indonesia dari sekitar 750 ribu kasus yang terdata, dengan korban jiwa lebih dari 22 ribu orang. Banyak ruang Intensive Care Unit (ICU) rumah sakit rujukan Covid-19 di Indonesia penuh. Itu belum termasuk klaster liburan akhir tahun. Petugas medis perlu lebih bersabar menghadapi pasien Covid-19 yang tak jua surut. Sudah 10 bulan sejak kasus pertama corona di Indonesia diumumkan, kebutuhan ekonomi harus terus terpenuhi, masyarakat tak bisa lagi ‘ditertibkan’ untuk diam saja di rumah. Butuh kesabaran untuk tetap mematuhi protokol kesehatan dimana masyarakat semakin abai. Di dunia pendidikan, banyak orang tua yang sepertinya juga masih harus bersabar untuk mendidik anaknya belajar di rumah karena pembelajaran tatap muka urung dilakukan.

Masyarakat Indonesia juga masih harus bersabar menghadapi pemerintah negeri ini. Ketidaktahuan pemerintah akan masuknya mutasi virus corona di Indonesia beberapa hari lalu seakan dejavu dengan kondisi awal tahun lalu saat pemerintah menyatakan belum ada kasus Covid-19 di tanah air pun ada beberapa warga asing yang terinfeksi setelah berkunjung ke Indonesia. Keputusan menutup kedatangan Warga Negara Asing (WNA) di awal tahun ini juga terasa terlambat hampir setahun. Dan memang butuh kesabaran ekstra dalam menyikapi kebijakan pemerintah Indonesia. Sepanjang tahun 2020, sudah ada puluhan pernyataan kontroversial dari pejabat pemerintah. Belum lagi ditambah berbagai pelanggaran hukum dan kesewenang-wenangan yang dilakukan. Jika pada 2020 masih ada Donald Trump, Presiden AS yang eksentrik dan kerap jadi olok-olok. Dengan tak terpilihnya lagi Trump, bukan tak mungkin Indonesia akan banyak mendapat sorotan dunia, bukan dalam artian yang positif.

Umat Islam masih harus bersabar. Front Pembela Islam (FPI) dibubarkan dan dinyatakan sebagai organisasi terlarang. Habib Rizieq Shihab (HRS) dipenjara tak lama setelah 6 orang pengawalnya tewas ditembak polisi. Ironis, HRS dipenjara di Rutan Narkoba karena melanggar protokol kesehatan di masa pandemi Covid-19, sementara beberapa bulan lalu puluhan ribu narapidana dibebaskan kerena Covid-19. HRS ditetapkan sebagai tersangka tanpa menghilangkan satupun nyawa, sementara para penembak laskar FPI tidak diusut, apalagi dihukum. Penangkapan HRS diproses begitu cepat pun tidak merugikan negara seperti kasus BLBI, Jiwasraya, e-KTP, ataupun Pelindo. Bahkan HRS sudah membayar denda 50 juta. Sementara Harun Masiku dan Sjamsul Nursalim yang jelas merugikan negara tak jua tertangkap. Menteri KKP dan Menteri Sosial yang diciduk KPK karena kasus korupsi memang di-reshuffle, namun jatah menteri dari partai lumbung koruptor tidaklah berkurang. Boro-boro ditindak atau dibubarkan, yang ada malah kasus korupsi yang melibatkan beberapa kader partai penguasa menguap begitu saja. Apalagi kasus yang menyeret ‘anak Pak Lurah’. Barangkali harus menunggu Pak Lurah lengser dulu untuk menuntut keadilan, itupun jika Pak Lurah barunya berani menuntut.

Dan masyarakat dunia masih harus bersabar. Vaksin bukan obat. Alih-alih mengobati, vaksin lebih bersifat preventif. Butuh waktu untuk membuatnya, tambahan waktu untuk memproduksi vaksin yang efektif, tambahan waktu lagi untuk mendistribusikannya, serta lebih banyak waktu lagi untuk mengatasi dan mencegah penyebaran penyakit menular. Belum lagi adanya kelompok anti vaksin dan penganut teori konspirasi. Umat manusia perlu lebih bersabar agar tidak menimbulkan bencana lain yang lebih besar. Bagaimanapun, banyak bencana yang ditimbulkan oleh ulah manusia. Ditambah lagi potensi bencana alam. Selain pandemi Covid-19, tahun 2020 lalu ada berbagai bencana dengan korban jiwa dan materi yang tidak sedikit, mulai dari kebakaran, banjir bandang, badai besar, letusan gunung berapi, gempa bumi, serangan belalang, angin topan, ledakan, hingga kerusuhan sipil dan krisis kemanusiaan. Dan tidak ada jaminan bencana serupa tak terulang di tahun ini.

Lalu sampai kapan harus bersabar? Sampai kapanpun, sebab kesabaran sejatinya tiada batas. Sabar secara bahasa artinya menahan diri. Sedangkan secara syari’at, sabar adalah menahan diri dalam tiga hal: sabar dalam ketaatan, sabar dalam menjauhi maksiat, dan sabar dalam menghadapi ujian atau musibah. Jadi batas kesabaran adalah ketika tak ada lagi ketaatan yang harus dilakukan, kemaksiatan yang harus dihindari, dan musibah yang harus dihadapi. Ya, kesabaran harus ada sepanjang hayat. Kesabaran inilah yang akan memberikan ketenangan dan kedamaian, tetap optimis, menikmati proses kehidupan, menjauhkan dari penyakit, keberuntungan yang baik, dan derajat tinggi di surga. Semoga kita semua bisa menjadi pribadi yang sabar, semakin sabar di tahun ini, dan terus bersabar di tahun-tahun selanjutnya.

Aku akan terus bersabar, bahkan sampai kesabaran itu sendiri merasa lelah dengan kesabaranku
(Ali bin Abi Thalib r.a.)

Mencari Kebahagiaan

Untuk apa kau mengejar kemewahan? Apakah kau mencari kebahagian? Mengapa kau berduka ketika kegagalan? Apa kau tak terima takdir dari Tuhan? Mencari kekayaan, temui kegagalan. Ingin bahagia, terima kedukaan. Kekayaan tak menjanjikan kebahagian, adakala ia membawa kedukaan. Bersyukurlah dengan apa yang ada, itulah kunci kebahagian sebenarnya. Perlukan keimanan jua ketaqwaan, agar bahagia dunia akhirat. Berusahalah untuk berjaya, bersyukur dengan apa yang ada. Jika kau gagal tak perlu kecewa, itukan takdir dari Tuhan…” (‘Mencari Kebahagiaan”, Brothers)

Dimana kebahagiaan harus dicari? Bagaimana cara mendapatkannya? Ada dua kisah tentang pemuda yang mencoba mencari jawaban atas dua pertanyaan pertanyaan tersebut dan bertemu dengan orang bijak yang memberi mereka jawaban. Pada kisah pertama, orang bijak menyuruh pemuda tersebut pergi ke taman dan menangkap seekor kupu-kupu. Pemuda itu bergegas ke taman dan mulai mengejar kupu-kupu. Berlari kesana kemari, menerjang rerumputan, tanaman bunga, dan semak belukar, namun tak berhasil jua menangkap kupu-kupu. Orang bijak itupun menghentikan pemuda tersebut seraya berujar, ”Begitukah caramu mengejar kebahagiaan? Sibuk berlari dan menerjang tak tentu arah, bahkan menerobos tanpa peduli apa yang kamu rusak? Mencari kebahagiaan layaknya menangkap kupu-kupu. Tidak perlu kau tangkap fisiknya, biarkan ia memenuhi alam semesta ini sesuai fungsinya. Tangkaplah keindahan warna dan geraknya di pikiranmu dan simpan baik-baik dalam hatimu. Kebahagiaan bukanlah benda yang dapat digenggam dan disimpan di suatu tempat. Ia tidak ke mana-mana, tapi ada dimana-mana. Peliharalah sebaik-baiknya, munculkan setiap saat dengan rasa syukur maka tanpa kau sadari kebahagiaan itu akan sering datang sendiri.

Pada kisah kedua, orang bijak memberikan sebuah sendok kemudian menuangkan tinta di atasnya. Orang bijak tersebut meminta sang pemuda untuk mengelilingi rumahnya yang besar sambil menjaga tinta di atas sendok tersebut agar tidak tumpah. Setelah sekian waktu, pemuda tersebut berhasil mengelilingi rumah besar itu tanpa menumpahkan tinta. Namun ia gelagapan ketika ditanya tuan rumah mengenai koleksi lukisan di lorong yang menurutnya paling indah, atau kucing peliharaan yang menurutnya paling cantik, atau bahkan jumlah kamar yang dilewatinya. Orang bijak tersebut akhirnya berkata, “Nak, sadarilah bahwa banyak orang yang tidak bisa menemukan bahagia karena terlalu fokus pada masalah yang dihadapinya. Mereka seperti kesulitan mencari-cari kebahagiaan, padahal bahagia itu sederhana, ada di mana-mana, di sekitarnya, dekat dengan dirinya. Sama seperti apa yang terjadi pada dirimu selama berkeliling rumah ini. Padahal ada banyak hal yang bisa engkau nikmati di sekitar, tapi kenyataannya engkau bahkan tak menyadari ada apa saja di sekitarmu.

Pesan dari dua kisah berbeda itu sama. Bahwa kebahagian itu sejatinya ada melingkupi setiap manusia, tak perlu dicari dan dikejar sedemikian rupa, cukup dimunculkan dengan rasa syukur dan kelapangan dada. Itulah mengapa banyak orang bahagia yang hidup sederhana, sementara tidak sedikit mereka yang berlimpah harta dan tahta namun tak merasa bahagia. Sebuah penelitian dari Kim dan Maglio (2018) mendapati bahwa menjadikan kebahagiaan sebagai tujuan akhir justru akan membuat seseorang tidak bahagia. Semakin dikejar semakin terasa jauh, dan waktupun semakin terasa tidak cukup. Agar lebih berbahagia, Kim dan Maglio menyarankan untuk lebih memfokuskan pada apa yang dimiliki saat ini dan mengurangi memikirkan ketercapaian tujuan akhir. Sederhananya, perbanyak bersyukur.

Tidak sedikit pula orang yang tertipu dengan kebahagiaan semu. Kebahagiaan sesaat. Ada sebuah studi yang membagi beberapa mahasiswa dalam dua grup. Grup pertama harus melakukan aktifitas yang terasosiasi dengan kebahagiaan, sementara grup kedua membuat kegiatan yang memberikan arti hidup. Para mahasiswa di grup pertama menghabiskan waktunya untuk aktivitas semacam bermain game, makan enak, atau hahahihi dengan teman-teman. Sementara mahasiswa grup kedua melakukan aktifitas seperti belajar, menolong orang, ataupun memaafkan teman. Hasilnya? Awalnya, grup pertama terlihat bahagia di saat grup kedua terlihat berjuang untuk melakukan aktifitasnya. Namun beberapa bulan kemudian, grup pertama terdeteksi mengalami penurunan mood ketika grup kedua berkata mereka jauh lebih merasa puas, tercerahkan dan emosi positif lainnya.

* * *

Seekor kelinci kecil ingin menyelidiki apa sebenarnya yang disebut dengan kebahagiaan. Pada suatu hari, ia keluar sendirian dari sarangnya untuk pergi mencari jawaban. Ketika bertemu singa, ia bertanya, “Apa arti kebahagiaan bagimu?”. Singa berkata, “Kebahagiaan ialah semua anggota keluarga selalu berada di samping kita”. Ketika bertemu harimau, ia juga bertanya, “Apa arti kebahagiaan bagimu?”. Harimau menjawab, “Kebahagiaan ialah orang yang kamu cintai juga mencintai dirimu”. Setelah mendengar itu, kelinci melompat pulang ke rumahnya kemudian bergegas memberitahukan semua jawaban yang didengarnya kepada ibunya. Saat ia selesai bercerita, sang ibu justru berkata, “Padahal hari ini kamu sudah sangat bahagia”. Kelinci itu bertanya, “Mengapa?”. Ibunya berkata, “Karena kamu tidak diterkam oleh mereka dan bisa kembali dengan selamat”.

Bahagia itu sederhana. Tak perlu banyak definisi, cukup dirasakan. Tak perlu diburu dan dicari, cukup ditumbuhkan. Mari kita berbahagia!

The foolish man seeks happiness in the distance; the wise grows it under his feet” (James Oppenheim)

Ini Tentang Kita, Bukan Tentang Saya

“The only way we’re going to get through this is if we think as WE, not ME…”

Kutipan di atas saya ambil dari sebuah video pendek berjudul “Covid-19 Hoarder Rips People Off, A Stranger Teaches Him A Lesson”. Video tersebut berkisah tentang seorang anak muda yang memborong berbagai macam barang yang dibutuhkan di masa pandemi Covid-19 ini (emergency supplies) seperti tisu, toilet paper, hand sanitizer, dan sebagainya untuk dijual lebih mahal. Kemudian ada ‘a stranger’, wanita penderita diabetes yang membutuhkan insulin syringes (alat suntik insulin) dan tidak menemukannya di toko manapun. Singkat cerita, wanita ini akhirnya membeli alat suntik insulin dari anak muda dengan seluruh uang yang dimilikinya karena harganya yang dinaikkan lima kali lipat. Tak lama kemudian, anak muda tersebut dihubungi ibunya yang jatuh sakit dan segera pulang. Ternyata ibunya yang menderita diabetes kehabisan alat suntik insulin dan memaksakan dirinya mencari kemana-mana namun tidak menemukannya di toko manapun sehingga jatuh sakit. Di saat anak muda tersebut menyesali keputusannya menjual alat suntik insulin, ‘a stranger’ tadi datang dan membantu ibunya tanpa pamrih. Video ditutup dengan anak muda tadi yang memberikan emergency supplies yang dimilikinya secara gratis kepada yang membutuhkan. Terdengar klise memang, namun saya tertarik dengan kutipan di atas yang berulang kali disampaikan dalam video tersebut.

Kenyataannya, pandemi Covid-19 ini memang mengajarkan kita untuk berpikir dan bertindak sebagai ‘kita’, bukan sebagai pribadi masing-masing. Tidak sedikit orang yang positif terpapar virus corona atau mereka yang harus dikarantina yang lebih cepat pulih dengan masyarakat sekelilingnya yang membantu kebutuhan hariannya sementara mereka tak boleh kemana-mana. Di sisi lain juga tidak sedikit orang yang berpotensi terpapar virus corona, termasuk tenaga medis, yang diusir dari lingkungan yang tidak mendukungnya. Padahal pandemi Covid-19 ini hanya bisa kita lalui dengan saling menolong dan tidak egois, sebab tidak banyak yang punya sumber daya untuk melaluinya seorang diri.

Barangkali ada benarnya mereka yang beranggapan bahwa negara-negara sosialis lebih mampu menghadapi pandemi Covid-19 dibandingkan negara-negara liberalis yang cenderung mengakomodir ego individu. Di Asia Tenggara misalnya, Vietnam dan Laos yang berpaham sosialis berhasil mencatatkan nol kematian akibat virus corona dengan recovery rate mencapai 81.25% (Vietnam) dan 73.68% (Laos). Di Asia Tenggara hanya Kamboja yang lebih baik. Tidak perlu dibandingkan dengan Indonesia atau Filipina yang tergolong tinggi case fatality rate (CFR)nya (sekitar 6.6%), bahkan Singapura yang teknologinya lebih maju pun kesulitan menghadapi virus Corona. Singapura yang merepresentasikan kekuatan liberalis di Asia Tenggara mencatatkan kasus positif corona tertinggi di Asia Tenggara dengan 22 korban jiwa (CFR hanya 0.08%) dengan recovery rate hanya 33.3%. Kuba, negara sosialis di Amerika Utara juga kurva Covid-19nya sudah menurun. Dengan CFR 4.2% dan recovery rate hampir 80%, Kuba jauh lebih baik dibandingkan negara liberalis di Amerika Utara seperti USA dan Kanada. Bahkan China sebagai negara sosialis dengan jumlah penduduk terbesar di dunia dan menjadi negara dimana virus corona bermula, hanya menempati posisi ke-13 dalam urutan jumlah kasus positif corona dan jumlah korban meninggal akibat corona, dengan recovery rate mencapai 94.3%. Lebih baik dibandingkan USA dan beberapa negara liberalis di Eropa.

Memang faktor utama dalam menghadapi pandemi Covid-19 bukan perkara negara sosialis atau liberalis, lebih kepada penyikapan pemerintah dan rakyatnya. Namun kepatuhan akan larangan berkumpul dan keluar rumah tanpa keperluan, atau kebiasaan untuk saling berbagi sama rata sama rasa tentu akan mendukung terhentinya penyebaran virus corona. Disinilah pentingnya ego pribadi bisa ditekan untuk kepentingan bersama. Mereka yang hanya mementingkan dirinya tanpa peduli orang lain akan berpotensi membahayakan orang lain. Ketika merasa sehat, mereka tak mengindahkan peraturan untuk tetap di rumah walaupun berpotensi menjadi carrier bagi virus corona bahkan menjadi orang tanpa gejala. Ketika positif corona, mereka baru merasa perlu berbagi penyakit dengan orang lain, mulai dari menjilat dan meludah di sembarang tempat hingga memeluk orang lain. Ego pribadi yang justru mencelakakan orang lain.

Parahnya lagi jika penyakit mementingkan diri sendiri ini menjangkiti pejabat dan pemerintah. Kebijakan yang diambil bukan untuk kemaslahatan bersama. Menguntungkan diri dan kelompoknya tanpa peduli masyarakat semakin bingung dan kesusahan. Hukum dibuat dan diimplementasikan tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Di satu sisi menuntut rakyat untuk menghadapi berbagai masalah dengan gotong-royong, di sisi lain tidak mau berkorban untuk memberikan sumbangsih apapun. Kalaupun ada kontribusi, selalu ada hitung-hitungannya: tidak merugikan diri sendiri atau harus ada return yang besarnya senilai atau lebih besar. Jauh dari nilai-nilai Pancasila. Jauh dari nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan sosial. Pemerintah yang berpikir ‘saya’ ini jauh lebih berbahaya ketimbang pribadi yang berpikir ‘saya’, sebab dampak dari kebijakan akan jauh lebih besar dibandingkan dampak dari personal yang masih bisa dihadapi dengan personal lain yang berpikir ‘kita’.

Bukan hanya pemerintah, pengusaha atau pemilik perusahaan atau pemimpin dalam berbagai lingkup kepemimpinan juga bisa memberikan dampak yang besar dalam memilih untuk berpikir ‘saya’ atau ‘kita’. ‘Saya’ akan berpotensi bersikap sewenang-wenang untuk menyelamatkan diri sendiri, sementara ‘kita’ akan berupaya mencari solusi terbaik bagi semua orang. Sayangnya, sebagian besar masyarakat hanyalah ‘butiran pasir’ yang tidak memiliki kewenangan untuk memilih. Masyarakat hanya menjadi pihak yang terdampak dan bukan memberikan dampak. Karenanya ‘butiran pasir’ ini perlu bersatu dan bergotong-royong menjadi ‘kita’ yang memiliki kekuatan. Jika kekuatannya tidak cukup memberikan dampak besar, setidaknya cukup untuk saling membantu di antara ‘kita’. Sudah banyak inisiatif masyarakat yang membuat anggota masyarakatnya tetap survive menghadapi pandemi Covid-19 dan dampaknya terhadap krisis ekonomi masyarakat. Kepedulian masyarakat ‘kita’ sangatlah tinggi, pun dampaknya mungkin terbatas.

‘Indonesia Terserah’ adalah gambaran betapa sebagian masyarakat lelah menjadi ‘kita’ sementara sebagian masyarakat lainnya bahkan pemerintah malah memilih menjadi ‘saya’. Ketika semua masyarakat sudah lelah, ‘Indonesia Terserah’ akan menjadi ‘Indonesia Menyerah’. Memang butuh kepedulian dan keteladanan dari pemerintah untuk mengubah ‘Indonesia Terserah’ menjadi ‘Indonesia Peduli’. Namun pada akhirnya, setiap diri kita hanya bisa mengubah apa yang ada pada lingkar kendali kita. Cukup menjadi pribadi yang berpikir dan bersikap ‘kita’ untuk menyelamatkan lingkungan kita. Sehingga tidak ada keluarga, tetangga, teman, ataupun kerabat kita yang gagal melalui pandemi Covid-19 hanya karena ketidakpedulian kita. Kontribusi minimum ‘kita’ adalah dengan tidak membahayakan atau mencelakakan orang lain. Bahkan jika sebagian besar masyarakat memilih menjadi ‘saya’, mungkin akan ada satu titik dimana ‘kita’ perlu berpikir ‘saya’ untuk menyelamatkan ‘kita’. Agar setidaknya ada sekelompok masyarakat yang tetap sehat dan selamat untuk mempertahankan eksistensi ‘Kita Indonesia’. Dan agar setidaknya ada sekelompok masyarakat yang tetap optimis berusaha dan berdoa agar Indonesia mampu melalui pandemi Covid-19 ini.

Semoga ‘saya’ dan ‘kamu’ menjadi ‘kita’, tanpa adanya si ‘dia’…

Menjadi Manusia Kuat

Manusia-manusia kuat itu kita… Jiwa-jiwa yang kuat itu kita…

Lagu berjudul ‘Manusia Kuat’ dari Tulus itu kembali terdengar di tengah pandemi Covid-19. Lagu yang merupakan salah satu official song Asian Para Games 2018 ini memang kental nuansa motivasi untuk mengatasi segala rintangan menjadi manusia kuat. Asian Para Games adalah suatu perhelatan olahraga penyandang disabilitas terbesar di Asia. Selain ‘Manusia Kuat’, official songs Asian Para Games 2018 lainnya adalah ‘Dream High’, ‘Sang Juara’, ‘Kita Semua Sama’, dan ‘Song of Victory’. Lagu ‘Dream High’ yang dinyanyikan Sheryl Sheinafia berkolaborasi dengan penyanyi tunantra, Claudya Fritska, juga memiliki konten motivasi pantang menyerah untuk menggapai impian. Selain Claudya, penyanyi tunanetra lainnya yang turut menyanyikan official songs adalah Allafta Hidzi Sodiq (Zizi) yang mendampingi Adyla Rafa Naura Ayu (Naura) menyanyikan ‘Sang Juara’ dan Putri Ariani yang bersama artis lainnya membawakan ‘Song of Victory’. Mereka dan para atlet Asian Para Games sudah membuktikan jalan menjadi manusia kuat yang berani berjuang dalam kondisi bagaimanapun untuk meraih cita dan impian.

Kau bisa patahkan kakiku, tapi tidak mimpi-mimpiku…
Kau bisa lumpuhkan tanganku, tapi tidak mimpi-mimpiku…

Ketika lagu ‘Manusia Kuat’ ini kembali menggema di tengah wabah virus corona, pesan yang disampaikan juga sama. Selalu ada harapan di tengah segala ujian. Yang terpenting adalah menguatkan jiwa kita, dan melengkapinya dengan usaha terbaik untuk keluar sebagai pemenang. Mentalitas dan sugesti positif memiliki makna penting untuk melawan penyakit. Jangan sampai kalah sebelum berperang. Pikiran dan sikap mental negatif akan melemahkan sistem imunitas sehingga fisik lebih rentan terhadap penyakit. Relaksasi pikiran dan berdamai dengan jiwa menjadi langkah penting untuk menangkal virus corona. Tentu harus disertai dengan upaya terbaik lainnya. Sehingga yang muncul bukan sikap menyepelekan, namun tetap tenang dalam kehati-hatian.

Manusia-manusia kuat itu kita… Jiwa-jiwa yang kuat itu kita…

Dari Abu Hurairah r.a. bahwasannya Rasulullah saw. bersabda, “Orang yang kuat bukanlah yang pandai bergulat, sungguh orang yang kuat adalah yang mampu menguasai dirinya ketika marah.” (HR. Bukhari dan Muslim). Ukuran utama manusia yang kuat bukanlah ukuran fisik, namun ukuran kebesaran jiwanya. Kemampuan mengendalikan jiwanya dalam kondisi emosi, dan keberanian untuk memaafkan. Menurut Imam Ibnu Battal, sebagaimana dikutip Imam Ibnu Hajar dalam kitab Fathul Bari’, hadits tersebut menunjukkan bahwa berjuang mengendalikan nafsu itu lebih berat dari pada berjuang melawan musuh. Imam Ibnu Hajar menambahkan bahwa musuh terbesar bagi seseorang adalah syaithan yang ada pada dirinya dan nafsunya. Sementara marah itu timbul dari keduanya. Oleh karana itu, barangsiapa yang bisa berjuang melawan amarahnya sampai bisa mengalahkannya disertai juga dengan melawan nafsunya maka ialah orang yang paling kuat.

Kau bisa merebut senyumku, tapi sungguh tak akan lama…
Kau bisa merobek hatiku, tapi aku tahu obatnya…

Ramadhan adalah momentum yang sangat tepat untuk mengendalikan hawa nafsu dan syahwat. Bukan hanya menahan diri dari makan dan minum, namun juga mengendalikan diri dari segala hal yang dapat mengurangi pahala puasa, termasuk mengendalikan amarah. “Puasa adalah membentengi diri, maka bila salah seorang kamu di hari ia berpuasa janganlah berkata kotor dan jangan teriak-teriak, dan jika seseorang memakinya atau mengajaknya bertengkar hendaklah ia mengatakan, ‘Sesungguhnya aku sedang berpuasa’” (HR. Bukhari dan Muslim). Ramadhan adalah momentum tepat untuk upgrading diri menjadi manusia kuat. Bukan hanya sehat fisik karena berpuasa, namun juga kuat jiwa karena terbiasa mengendalikan hawa nafsu.

Manusia-manusia kuat itu kita… Jiwa-jiwa yang kuat itu kita…

…Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya, untuk Indonesia Raya…”, demikian salah satu petikan lirik lagu kebangsaan kita, Indonesia Raya, karya W.R. Supratman. Untuk membangun Indonesia, dibutuhkan jiwa-jiwa yang terbangun, dan badan-badan yang terbangun. Tentu bukan tanpa alasan kata ‘jiwa’ dituliskan lebih dulu dari kata ‘badan’. Karena bagaimanapun, bangsa yang kuat dibangun dari jiwa yang kuat, baru kemudian badan yang kuat. Semangat pantang menyerah dan berjuang hingga titik darah penghabisan adalah salah satu perwujudan dari jiwa yang kuat tersebut. Bahkan di stanza lain lagu ‘Indonesia Raya’, lirik tersebut diganti dengan “…Sadarlah hatinya, sadarlah budinya, untuk Indonesia Raya…”. Semakin meneguhkan untuk membangun Indonesia butuh kejernihan hati dan keluhuran budi, tidak cukup hanya pembangunan fisik belaka.

Kau bisa hitamkan putihku, kau takkan gelapkan apa pun…
Kau bisa runtuhkan jalanku, ‘kan kutemukan jalan yang lain…

Berbagai macam ujian dan cobaan sejatinya adalah pupuk untuk menumbuhkan jiwa yang kuat. Bagaimanapun, pelaut yang tangguh tidak lahir dari laut yang tenang. Masalah dan kendala selalu ada dalam kehidupan, tinggal bagaimana kita menyikapinya. Putus asa bukanlah pilihan sebab jalan keluar selalu tersedia. Jiwa yang kuat inilah yang akan membentuk pribadi yang kuat. Yang kemudian akan menjadi fondasi dalam membangun masyarakat, bangsa, dan negara yang kuat. Perkara jiwa adalah perkara kemauan, bukan kemampuan. Karenanya, akhirnya berpulang ke pribadi masing-masing, maukah menjadi manusia kuat yang memiliki jiwa yang kuat? Sisanya, biarlah Sang Pemilik Jiwa yang akan menguatkan siapa yang dikehendaki-Nya.

“…Allah menguatkan dengan bantuan-Nya siapa yang dikehendaki-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai mata hati.” (QS. Ali Imran: 13)

Rumah Sempit yang Meluas

“Empat perkara termasuk dari kebahagiaan, yaitu wanita (istri) yang shalihah, tempat tinggal yang luas/ lapang, tetangga yang shalih, dan tunggangan (kendaraan) yang nyaman. Dan 4 perkara yang merupakan kesengsaraan yaitu tetangga yang jelek, istri yang jelek (tidak shalihah), kendaraan yang tidak nyaman, dan tempat tinggal yang sempit.” (HR. Ibnu Hibban)

Awalnya mungkin menyenangkan beraktivitas di rumah, namun lama-kelamaan rasa bosan datang menyertai. Kebosanan adalah hal yang lumrah, apalagi jika kita menjalankan aktivitas monoton. Namun kebosanan ini perlu dikelola sehingga tidak berpengaruh buruk terhadap kondisi kejiwaan. Selain gejala penyakit Covid-19, ada gejala lain yang perlu diwaspadai di masa pandemik seperti ini, yaitu gejala cabin fever. Cabin fever merupakan istilah lama yang kembali mengemuka, menggambarkan emosi atau perasaan sedih yang muncul akibat terlalu lama terisolasi di dalam rumah ataupun tempat tertentu. Jika sebatas bosan atau sedih tentu masih wajar, namun cabin fever ini dapat menimbulkan kegelisahan, turunnya motivasi, mudah tersinggung, mudah putus asa, sulit berkonsentrasi, pola tidur tidak teratur, lemah lesu, sulit mempercayai orang lain, tidak sabaran, bahkan depresi untuk waktu yang lama.

Cara sederhana untuk mengatasi cabin fever adalah pergi ke luar rumah, namun di tengah kondisi wabah seperti ini aktivitas ke luar rumah tentu dibatasi. Bahkan dapat dikatakan, semua aktivitas saat ini dibawa ke rumah. Kerja dari rumah, belajar di rumah, hingga beribadah di rumah. Ketika kantor dipindah ke rumah, sekolah dipindah ke rumah, sampai masjid pun pindah ke rumah, bisa dibayangkan betapa penuh sesaknya rumah kita. Ruang untuk urusan pribadi, keluarga, pendidikan, kantor, hingga urusan ibadah semua bertumpuk di rumah. Jika sebelumnya barangkali ada orang-orang yang sulit memisahkan urusan pribadi atau keluarga dengan urusan kantornya, sekarang banyak orang akan mengalaminya sebab sekat antar ruang itu sudah tak lagi ada. Jika sebelumnya ada orang-orang yang cakap dalam menempatkan segala urusannya, kini mereka harus bekerja keras menatanya sebab segala urusan hanya punya satu tempat bernama rumah.

Kebosanan di rumah tampak tak terelakkan, apalagi alternatif solusi mengatasi kebosanan tampak tidak variatif. Ke luar rumah untuk berolahraga atau berkebun misalnya, punya batasan waktu dan kondisi. Atau menata ulang perabotan misalnya, selain melelahkan, jika terlalu sering dilakukan juga justru akan menimbulkan kebosanan baru. Atau bahkan tetap menjaga interaksi dengan banyak orang melalui media digital juga hanya menjadi solusi semu, sebab tentu kita bisa merasakan tidaklah sama interaksi by phone atau by video dengan interaksi langsung.

Lantas apakah kita cukup pasrah terpenjara dalam kebosanan? Tunggu dulu, kebosanan itu sejatinya hanya masalah perspektif. Dalam KBBI, bosan didefinisikan sebagai ‘sudah tidak suka lagi karena sudah terlalu sering atau banyak’. Jadi yang menentukan kadar kebosanan adalah ‘tidak suka’, ‘terlalu sering’, dan ‘terlalu banyak’, yang kesemuanya adalah sesuatu yang relatif. Tidak mengherankan cabin fever tidak termasuk dalam gangguan psikologis, sebab gejala tersebut takkan ditemukan pada mereka yang memandangnya secara positif. Dan artinya, solusi atas kebosanan ini sebenarnya sederhana, mengelola ‘kesukaan’ kita dan mengatur kadar intensitasnya.

Dari sudut pandang yang positif, ketika kantor dipindah ke rumah, sekolah dipindah ke rumah, sampai masjid pun pindah ke rumah, bisa dibayangkan betapa luasnya rumah kita sebenarnya. Banyak aktivitas yang bisa dilakukan, dan banyak spot yang bisa dieksplorasi dari bangunan luas bernama rumah, apalagi jika ditambah pekarangan dan lingkungan sekitarnya. Luar biasanya lagi, kita mempunyai kemampuan teleportasi ala pahlawan fiksi, berpindah dari rumah, sekolah, kantor, masjid, dan tempat-tempat lain dalam sekejap. Karena kebosanan adalah perkara ‘kesukaan’, semakin kita menikmati prosesnya, kebosanan akan kian menjauh.

Aku rela dipenjara asalkan bersama buku, karena dengan buku aku bebas”, demikian ungkap Bung Hatta. Bagaimana mungkin ada kebebasan dalam penjara hanya bermodalkan buku? Lagi-lagi ini hanya masalah perspektif. Penjara bagi jiwa adalah ketika kita dipaksa melalukan sesuatu yang tidak kita sukai. Karenanya ketika kita dapat melakukan apa yang kita sukai, dan menyukai apa yang kita lakukan, jiwa kita akan bebas, tidak dipenjara ataupun dikarantina. Dan ternyata sekadar ‘suka’ saja tidak cukup, aktivitas yang dilakukan perlu merangsang kreativitas agar tidak monoton. Melakukan hal yang berbeda, atau melakukan hal yang sama dengan cara berbeda dapat mengatur kadar intensitas. Karena itulah, membuat rencana aktivitas dan menata ruang yang terkesan teknis administratif bisa jadi lebih efektif dalam mengusir kebosanan dibandingkan melakukan gerakan olahraga yang itu-itu saja. Sebagaimana mengisi TTS akan lebih produktif dibandingkan menonton televisi. Dan membuat tulisan akan lebih membebaskan dibandingkan bermain game.

A house is made of bricks and beams. A home is made of hopes and dreams”, begitulah kata pepatah. Penjara kebosanan bernama rumah hanya akan muncul ketika kita gagal menjadikan harapan sebagai bata-batanya dan impian sebagai tiang-tiangnya. Rumahpun terasa sempit karena terbatasi dinding dan pagar. Lain halnya dengan rumah yang diisi dengan cinta dan kebahagiaan, energi positifnya mampu menempuh jarak yang teramat luas, sehingga rumahpun terasa lapang. Hal ini sejalan dengan yang dikatakan Ar Rafi’i dalam Wahyul Qalam, “Jika engkau menghadapi dunia dengan jiwa lapang, engkau akan memperoleh banyak kegembiraan yang semakin lama semakin bertambah, semakin luas, duka yang semakin kecil dan menyempit. Engkau harus tahu bahwa bila duniamu terasa sempit, sebenarnya jiwamulah yang sempit, bukan dunianya”. Kebosanan muncul dalam kesempitan dan hilang dalam kelapangan. Karenanya, rumah di surga kelak tidak menghadirkan kebosanan, sebab isinya penuh cinta dan kebahagiaan. Semoga kita mampu melapangkan rumah-rumah kita, dan membuka jalan untuk memiliki rumah yang lapang kelak di Jannah-Nya. Aamiiin…

“Ya Rabbku, lapangkanlah untukku dadaku, dan mudahkanlah untukku urusanku, dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku, supaya mereka mengerti perkataanku” (QS. Thoha: 25-28)

Jangan Jumawa Menang Sementara

Juara adalah pecundang yang bangkit dan mencoba sekali lagi” (Dennis de Young)

Gelaran babak 16 besar kompetisi sepakbola Benua Biru sudah selesai. Di Liga Eropa, Arsenal berhasil comeback dengan kemenangan tiga gol tanpa balas di Emirates Stadium setelah sebelumnya kalah 2-0 di kandang Rennes (14/3). Dua hari sebelumnya kisah serupa dicatatkan Juventus di Liga Champions yang mengandaskan perlawanan Atletico Madrid dengan skor serupa (12/3). Kemenangan besar Chelsea atas Dinamo Kyiv (14/3) dan Manchester City atas Schalke 04 (12/3) di kandang sehingga menyisakan selisih agregat 8 gol pun kalah ramai dibandingkan berbagai kemenangan dramatis yang terjadi. Pekan lalu, comeback luar biasa dicatatkan Manchester United (MU) yang menyingkirkan Paris Saint-Germain (PSG) dengan skor 1-3 di kandang lawan setelah kalah 0-2 di Old Trafford (6/3). Sebelumnya, Ajax juga sukses membalikkan ketertinggalan 1-2 di kandang dengan kemenangan telak 1-4 atas juara bertahan Liga Champions tiga tahun terakhir di kandang Real Madrid, Santiago Bernabeu (5/3).

Beberapa pertandingan bahkan harus ditentukan di babak tambahan waktu (extra time). Comeback FC Porto mengunci kemenangan atas AS Roma baru diperoleh di menit ke-117 setelah agregat sama kuat 3-3 di waktu normal (6/3). Di Liga Eropa, Benfica baru memastikan tiket perempat final atas Dinamo Zagreb di menit ke-94 dan 105 setelah aggregat sama kuat 1-1 di waktu normal (14/3). Tim tersukses di Liga Eropa, Sevilla, harus tersingkir di menit-menit akhir setelah aggregat sama kuat 4-4 di waktu normal (14/3). Bahkan ketika extra time, Sevilla sempat unggul melalui Vazquez di menit ke-98 sebelum disamakan Van Buren di menit ke-102. Kemenangan Sevilla dengan aturan gol tandang pun buyar setelah Traore mencetak gol kemenangan Slavia Prague di menit ke-119.

Metafora ‘Bola itu Bundar’ yang menunjukkan ketidakpastian hitung-hitungan hasil akhir sudah lama dikenal di dunia sepakbola. Bahkan mungkin sebelum ‘Das Wunder von Bern’, Keajaiban Bern kala Jerman Barat berhasil mengalahkan tim unggulan Hongaria di Final Piala Dunia 1954 yang dianggap menjadi cikal bakal adanya metafora tersebut. Sayangnya, tidak sedikit orang yang melihatnya dari sudut pandang keberuntungan yang menjadi pangkal kemenangan, bukan mengantisipasi berbagai kelalaian yang mengakibatkan kekalahan yang tak terduga sebelumnya. Bagaimanapun, hasil akhir biasanya tidak akan mengingkari ikhtiar, termasuk usaha sebelum memulai pertandingan.

Faktor penentu utama adalah mentalitas pemenang. Hal ini yang menyebabkan klub dengan sejarah kuat selalu ada peluang mengejar ketertinggalan sebelum peluit akhir ditiup. Selain Keajaiban Bern, dikenal juga ‘The Istanbul Miracle’ dimana Liverpool berhasil menjadi juara Liga Champions 2005 lewat drama adu pinalti setelah sebelumnya tertinggal 3-0 dari AC Milan hingga menit ke-53. Atau final Liga Champions 1999, dimana dua gol kemenangan MU yang dicetak di menit 90+1 dan 90+3 oleh dua orang pemain pengganti membuyarkan kemenangan Bayern Munchen yang sudah di depan mata. Keberhasilan melakukan comeback hampir selalu dikaitkan dengan mentalitas kuat penuh keyakinan dan pantang menyerah, bukan sekadar kecermelangan strategi.

Di sisi sebaliknya, kekalahan setelah kemenangan sementara kerap dihubungkan dengan sikap sombong dan meremehkan. Lihat saja bagaimana Kapten Real Madrid, Sergio Ramos, sengaja mencari akumulasi kartu kuning kala menang 1-2 di kandang Ajax. Merasa di atas angin, Real Madrid malah tersingkir setelah kebobolan 4 gol di leg 2. Atau perhatikan bagaimana PSG merasa sudah pasti lolos ke babak 8 besar setelah menumbangkan MU di Old Trafford dua gol tanpa balas. Bagaimana mungkin MU bisa memberikan perlawanan di Parc des Princes dengan sebagian besar pemain utama tidak bisa bermain. PSG seakan lupa bahwa dua tahun sebelumnya Barcelona dapat membalikkan defisit 4 gol dari PSG dengan gol penentu kemenangan di menit 90+5. Sekali lagi, bola itu bundar, jangan lekas berpuas diri hingga merasa aman, apalagi sampai meremehkan lawan.

Hal penting berikutnya yang juga menentukan adalah kecermatan dalam memanfaatkan momen. Gol penentu kemenangan dari Porto, Juventus, dan MU lahir dari sepakan 12 pas di menit-menit krusial. Telles sukses mengeksekusi penalti buat Porto di menit 117, Ronaldo berhasil mencetak hattrick bagi Juventus dari titik putih di menit 86, sementara Rashford dari MU mencetak gol penalti di menit 90+3. Tidak perlu menyalahkan wasit atau siapapun, bagaimanapun hukuman penalti diberikan karena ada kelalaian dalam menjaga momentum dengan pelanggaran. Memanfaatkan momen juga bisa didapat dari ganjaran kartu, pergantian pemain, ataupun situasi set piece.

Meraih kemenangan memang tidak mudah, namun mempertahankan kemenangan juga tidak lebih mudah. Kemenangan sementara yang berujung pada sikap jumawa tentu mudah dikalahkan dengan kekalahan sementara yang melahirkan usaha ekstra. Keberhasilan semu disertai sikap belagu akan menemui karmanya ditundukkan oleh kegagalan semu yang dibarengi mentalitas kuat untuk terus maju. Betapa banyak petahana yang gagal melanjutkan kemenangan karena kelalaian menjaga momentum dan malah bersikap merendahkan. Tidak sedikit pula mereka yang mampu membalikkan keadaan, meraih kesuksesan setelah menempuh keterpurukan. Hanya Allah SWT yang mengetahui ketentuan masa depan, tugas kita hanya terus berjuang sampai akhir. Karena bagaimanapun, bola itu bundar.

Tanpa impian kita tidak akan meraih apapun, tanpa cinta kita tidak akan merasakan apapun, tanpa Allah kita bukan siapa siapa” (Mesut Ozil)

Tulisan 8 Bulan Kemudian

Tulisan ini dibuat di Hotel Grasia – Semarang, di malam pertama kegiatan Future Leaders Camp (FLC) Beasiswa Aktivis Nusantara, tanggal 28 Maret 2019. Ya, 8 bulan berselang dari waktu posting tulisan ini. Semacam tulisan dari masa depan.

Tentu bukan tanpa sebab, tulisan ini dimunculkan. Website ini sempat hiatus selama 8 bulan terhitung sejak akhir Juli 2018 hingga akhir Maret 2019. Hingga tidak sedikit pihak yang bertanya-tanya mengapa tidak ada update tulisan lagi. Kesibukan merupakan alasan klasik. Nyatanya banyak orang yang lebih sibuk masih bisa rutin menyampaikan gagasannya lewat tulisan. Dan faktanya, gagasan itu banyak berseliweran, sehingga dalih tidak ada ide untuk ditulis jelas tidak relevan.

Lantas mengapa bisa berbulan-bulan vakum membuat tulisan? Pertama adalah faktor kesungguhan yang kurang. Kedua adalah cara berpikir yang terlalu rumit, tidak sederhana. Faktor pertama sudah melanggar kiat produktif menulis: teruslah menulis. Sementara faktor kedua menabrak kaidah menulis, bahwa menulis itu mudah, dan menulis bukanlah beban.

Karenanya dengan adanya tulisan 8 bulan kemudian ini, semoga muncul motivasi baru dalam menulis, setidaknya agar tulisan ini tidak terbaca karena tertutup oleh tulisan-tulisan yang lebih anyar. Dalam rentang 8 bulan hiatus ataupun setelahnya. Ya, tulisan 8 bulan setelah ini kemungkinan besar tidak ditulis pada waktu yang benar, melainkan (lagi-lagi) merupakan ‘tulisan dari masa depan’.

Jika dalam sepekan bisa diselesaikan sebuah tulisan, maka dalam 8 bulan setidaknya sudah ada 32 tulisan yang akan menutup tulisan ini. Jika dalam sepekan bisa ada lebih dari 1 tulisan, tentu lebih banyak lagi tulisan yang akan menutup tulisan ini. Barangkali secara kualitas tulisan tidak sepanjang dan semendalam sebelumnya, namun tulisan ini semoga menjadi salah satu ikhtiar untuk kembali menggiatkan menulis, pun hanya beberapa paragraf atau kalimat.

Jika semuanya berjalan sesuai dengan perencanaan, barangkali butuh beberapa waktu sebelum tulisan ini ‘tenggelam’ oleh tulisan lain yang lebih baru. Dan semoga saja semua berjalan sesuai rencana. Atau harus ada cara lain untuk revitalisasi aktivitas menulis yang berbulan-bulan lamanya kurang diprioritaskan. Semoga hanya mereka yang ‘setia’ dengan website ini yang sempat membaca tulisan ini. Artinya, tidak butuh waktu lama untuk ‘menenggelamkan’ tulisan ini dengan tulisan-tulisan yang lebih baru.

Bismillah… Memulai lembaran baru untuk kembali produktif menulis… Semoga bisa terus menebar kebermanfaatan…