Category Archives: Artikel Pemuda

Socio-Technopreneur Leaders untuk Indonesia Emas 2045

We cannot solve our problems with the same thinking we used when we created them.”
(Albert Einstein)

Revolusi industri 4.0 menghasilkan perubahan yang sangat cepat, disruptif sekaligus eksponensial. Perkembangan teknologi digital akan menggeser dan menggusur industri tradisional. Tidak hanya industri tradisional, berbagai pekerjaan yang repetitif seperti kasir, admin, ataupun pekerja industri manufaktur kecil dan mikro akan tergantikan dengan mesin atau robot otomasi. Bahkan profesi dan pekerjaan analitis seperti konsultan pajak, akuntan atau penerjemah akan dikerjakan oleh sistem digital yang akan mengolah data input secara lebih cepat, akurat tanpa human error, dan presisi sesuai standar. Perusahaan konsultan McKinsey menyebut akan ada sekitar lima persen pekerjaan yang akan hilang pada era ekonomi digital. Di Indonesia sendiri akan hilang sekitar 20 juta pekerjaan. Namun akan ada sekitar 46 juta pekerjaan yang akan datang pada era tersebut. Sementara itu, Lembaga Think Tank Swiss memprediksi robot akan menghilangkan 75 juta pekerjaan secara global pada tahun 2022.

Beberapa pekerjaan seperti penulis, atlet, pemuka agama, koki, guru, psikolog, pengusaha, atau seniman barangkali sulit tergantikan oleh robot. Namun yang jelas berbagai pekerjaan terkait dunia digital semakin banyak dibutuhkan. Survei LinkedIn tahun 2018 menyebutkan bahwa pekerjaan yang paling banyak dicari adalah Data Scientist, Cyber Security Specialist, UX Designer, Head of Digital, dan Content Specialist. Hal ini barangkali yang disadari Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) sehingga bulan lalu Balitbang SDM Kemenkominfo menggelar program beasiswa pendidikan non-gelar bertajuk “Digital Talent Scholarship”. Program beasiswa berupa pelatihan intensif selama 8 pekan ini bekerja sama dengan lima PTN di Indonesia untuk lokasi dan tenaga pengajar. Program ini juga didukung Microsoft Indonesia selaku penerbit sertifikat keahlian untuk lima tema pelatihan yang disediakan, yaitu Artificial Intelligence (AI), Big Data, Cyber Security, Cloud Computing, dan Digital Business.

Salah satu profesi yang diyakini terus berkembang dan akan terus eksis adalah entrepreneur. Walaupun masih di bawah rasio negara maju, wirausahawan di Indonesia meningkat cukup signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Akhir tahun lalu, rasio wirausahawan Indonesia sebesar 3,1%, atau meningkat dua kali lipat dari rasio 3 tahun sebelumnya yang hanya 1,55%. Bahkan Menteri Koperasi dan UKM, AAN Puspayoga mengatakanbahwa rasio wirausaha di Indonesia terbaru sudah meningkat menjadi 7% lebih dari total penduduk Indonesia. Peningkatan ini sebagian besar didukung oleh semakin banyaknya bentuk wirausaha berbasis teknologi. Karenanya, di sektor manapun, kemampuan teknologi informasi dan jaringan ini penting dimiliki untuk terus tumbuh dan berkembang di era Revolusi Industri 4.0.

Banyaknya permasalahan di Indonesia menghadirkan bukan hanya para entrepreneur melainkan para social entrepreneur, yaitu mereka yang mengerti permasalahan sosial dan menggunakan kemampuan entrepreneurship untuk melakukan perubahan sosial (social change). Tidak sedikit wirausahawan baru yang bergerak dengan pola ini dimana keberhasilan bisnisnya juga diukur dari seberapa besar manfaat yang bisa dirasakan oleh masyarakat. Perkembangan social entrepreneur ini berkolaborasi dengan kemajuan teknologi menghasilkan beberapa platform, diantaranya platform crowdfunding (misalnya KitaBisa), crowdlending (misalnya GandengTangan), atau platform lain semisal iGrow yang merupakan platform agrikultur yang bisa dimanfaatkan untuk menghubungkan sponsor/investor, petani, pemilik lahan, dan pembeli hasil pertanian secara bersamaan. Wirausaha sosial berbasis teknologi ini sukses bukan hanya mengelola anggaran dalam jumlah besar, namun juga melibatkan partisipasi masyarakat di lingkup yang luas.

Para wirausahawan sosial berbasis teknologi –atau lebih mudahnya kita istilahkan dengan Socio-Technopreneur—ini berpotensi untuk terus berkembang di masa depan sekaligus terus menebar kebermanfaatan. Tantangan terbesarnya justru terletak pada stakeholder pengelola dan values yang hendak diusung. Socio-technopreneur ini gagasannya didominasi oleh anak muda yang barangkali memiliki generation gap dengan para pengambil kebijakan eksisting, baik di sektor publik, sektor privat, ataupun sektor ketiga. Bentuk dukungan, arahan, ataupun penyikapan tidak bisa dilihat dari perspektif masa lalu di tengah zaman yang telah berubah. Kecuali untuk hal-hal fundamental yang tidak boleh berubah. Disinilah tantangan values bermain. Berbagai kasus kenakalan remaja dan efek negatif perubahan zaman lainnya sejatinya tidak bisa mengkambinghitamkan perubahan yang terjadi ataupun pihak lain yang menggagas perubahan. Zaman boleh berubah namun jati diri dan karakter bangsa harus tetap kokoh. Disinilah urgensi dari kepemimpinan sehingga peran yang muncul adalah pelopor perubahan dan penentu arah perubahan, bukan mereka yang ikut-ikutan terseret arus dan terombang-ambing dalam badai perubahan.

Untuk Indonesia Emas 2045, bangsa ini membutuhkan sekumpulan pemimpin yang cakap teknologi dan memiliki jiwa entrepreneurship untuk membantu menyelesaikan permasalahan bangsa. Untuk membentuk generasi socio-technopreneur leaders ini harus ada sinergi antar stakeholder untuk bersama mengambil peran yang saling menguatkan. Kurikulum boleh adaptif dengan perubahan, namun values yang diusung tidak boleh terlalu labil. Jati diri dan harkat diri harus terjaga. Hasilnya adalah generasi emas yang bukan hanya cendekia dan berkompeten, namun memiliki integritas dan mampu memberi transformasi positif di tengah masyarakat. Dan elemen kunci dari itu semua ada pada diri pendidiknya. Pendidik emas yang memang layak mengemban tugas mulia menghasilkan generasi emas. Dan pendidik ini bukan orang lain. Kita semualah para pendidik itu. Lantas, sudah pantaskah kita?

Technology is just a tool. In terms of getting the kids working together and motivating them, the teacher is the most important.” (Bill Gates)

*ditulis sebagai pengantar Ngobrol Pendidikan Indonesia (NGOPI) bertajuk “Revolusi Industri 4.0, Sarjana: Lahirnya Kaum Intelektual atau Hanya Menambah Pasar Manusia Terdidik?”

Hukum Newton dan Gerakan Mahasiswa Jaman Now

Jika ada resultan gaya yang bekerja pada sebuah benda, maka akan dihasilkan suatu percepatan dalam arah yang sama dengan resultan gaya. Besarnya percepatan tersebut berbanding lurus terhadap resultan gaya dan berbanding terbalik terhadap massa bendanya” (Hukum Newton II)

Menyoal gerakan atau pergerakan, tentu ada korelasinya dengan hukum gerak. Dalam fisika klasik, hukum gerak Newton menjadi acuan. Dalam kehidupan sehari-hari, hukum kelembaman (Newton I) atau pun hukum aksi reaksi (Newton III) masih terbilang relevan. Bagaimana dengan gerakan mahasiswa? Jika mengacu kepada Hukum Newton II di atas sepertinya dapat dipahami bahwa akselerasi gerakan mahasiswa akan sangat ditentukan oleh berbagai aksi yang selaras dengan arah gerakan yang diharapkan. Tapi apakah berbanding terbalik dengan kuantitas massa mahasiswa? Atau barangkali gerbong gerakan mahasiswa saat ini terbebani dengan penuh sesaknya mahasiswa yang tak lagi menjadi ‘golongan elit cendekia pejuang masyarakat’?

Jika resultan gaya yang bekerja pada benda yang sama dengan nol, maka benda yang mula-mula diam akan tetap diam. Benda yang mula-mula bergerak lurus beraturan akan tetap lurus beraturan dengan kecepatan tetap“, demikian bunyi Hukum Newton I yang dikenal juga sebagai hukum inersia atau hukum kelembaman. Kelembaman adalah kelambanan dan kemalasan. Tak lagi tangkas. Apatisme mahasiswa bisa digerakkan, tapi gerakannya akan menuju pada apatisme yang lain. Sementara mahasiswa yang terus bergerak semakin langka. Barangkali demikian potret gerakan mahasiswa jaman now, bukan mati, hanya ‘lembam’. Kelembaman yang bukan tanpa alasan, sebab unsur ‘kaum terpelajar’ belumlah hilang disandang oleh para mahasiswa.

Generasi milenial adalah generasi kreatif yang pragmatis. Amanah yang diemban mahasiswa adalah Tri Dharma, bukan Tritura ataupun enam visi reformasi. Dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi yang ada adalah Pendidikan dan Penelitian, bukan Organisasi dan Demonstrasi. Dan yang termasuk amanah adalah lulus tepat waktu. Amanah orang tua di tengah biaya kuliah yang semakin tinggi dan kurikulum yang semakin padat. Pun batas kuliah S1 maksimal ‘masih’ 6 atau 7 tahun, saat ini lulus kuliah 5 tahun dianggap sudah terlalu lama. Rata-rata lama kuliah di UGM yang katanya kampus kerakyatan saja sudah 4 tahun 8 bulan. UNY tetangganya malah hanya 4,5 tahun, bahkan rata-rata lama mahasiswa S1 kuliah di ITB hanya 4,2 tahun. Pendidikan dan penelitian dianggap lebih tepat untuk mengisi waktu kuliah yang relatif singkat. Toh syarat kelulusan adalah tugas akhir, bukan LPJ organisasi. Dan yang menjadi salah satu ukuran kualitas lulusan adalah nilai IPK, bukan banyaknya ikut aksi massa.

Lantas bagaimana dengan pengabdian masyarakat yang menjadi salah satu Tri Dharma? Sosial politik berbeda dengan sosial kemasyarakatan. Mahasiswa milenial pun masih tertarik mengikuti gerakan horizontal ke masyarakat. Kuliah Kerja Nyata, Bakti Sosial, ataupun program Community Development masih ramai peminat. Donasi kemanusiaan offline atau online juga tidak sepi. Aksi nyata membantu masyarakat dinilai sebagai bentuk kepedulian yang nyata. Apalagi jika dibandingkan gerakan vertikal dalam bentuk aksi massa yang jauh dari gaya kekinian. Gerakan mahasiswa pun mulai mengalami digitalisasi, di antaranya melalui media sosial, aplikasi Start Up, crowdfunding, ataupun petisi online. Peduli dan kontribusi tidak harus berupa demonstrasi turun ke jalan.

Setiap aksi akan menimbulkan reaksi, jika suatu benda memberikan gaya pada benda yang lain maka benda yang terkena gaya akan memberikan gaya yang besarnya sama dengan gaya yang diterima dari benda pertama, tetapi arahnya berlawanan”, demikian bunyi Hukum Newton III. Konon kesuksesan gerakan mahasiswa dapat dilihat dari apresiasi (respon positif) dari stake holder, penyebaran luas isu melalui berbagai media, dan besarnya keterlibatan massa. Sayangnya, hukum aksi reaksi menunjukkan bahwa respon positif akan ‘diseimbangkan’ dengan respon negatif. Lihat saja kasus ‘kartu kuning untuk Jokowi’ oleh Zaadit Taqwa, Ketua BEM UI. Banyak pihak yang mengapresiasi bahwa ‘mahasiswa masih ada’, namun banyak juga yang mencibir Zaadit dengan dalih etika dan sebagainya. Atau kasus ditangkapnya belasan mahasiswa paska aksi evaluasi 3 tahun pemerintahan Jokowi – JK akhir Oktober 2017 lalu. Sementara berbagai pihak mendukung dan bantu mengadvokasi para aktivis mahasiswa tersebut, tidak sedikit pihak yang justru menyayangkan, mempermasalahkan dan menyalahkan mereka.

Ketika hukum kelembaman dan aksi – reaksi tampaknya membawa gerakan mahasiswa kembali ke titik nol, masih ada Hukum Newton II. Perbesar upaya konstruktif sambil meningkatkan kualitas mahasiswa penggerak (yang tidak harus banyak) untuk mengakselerasi gerakan mahasiswa. Lebih jauh lagi, gerakan mahasiswa mungkin perlu melupakan hukum klasik Newton yang tidak memperhitungkan perubahan bentuk dalam analisisnya. Hukum Newton juga tidak dapat menjelaskan berbagai fenomena dalam fisika modern, termasuk yang berkaitan dengan teori relativitas ataupun fisika kuantum. Dalam hal ini, hukum kekekalan momentum dan energi yang baru muncul dua abad kemudian bisa jadi lebih relevan. Potensi dan signifikansi gerakan pemuda dan mahasiswa tidaklah lekang oleh zaman, yang berubah barangkali bentuk dan platform gerakannya.

Saatnya gerakan mahasiswa bertransformasi di era kuantum yang menembus ruang dan waktu. Gerakan mahasiswa Newtonian masih sangat memperhatikan jumlah massa yang terlibat dalam aksi nyata, sementara gerakan mahasiswa kuantum sudah mengoptimalkan sumber daya dan massa yang ‘tidak nyata’ di dunia maya. Perjuangan gerakan mahasiswa di era digital tidaklah lagi sama dengan jaman old. Realita ini harus ditangkap sebagai peluang, bukan sebagai ancaman atas gerakan mahasiswa mainstream. Riset dan kajian dikuatkan. Kemampuan menulis dan berkomunikasi ditingkatkan. Sociopreneur dan pemberdayaan masyarakat disebarluaskan. Teknologi informasi dikuasai, isu dimainkan. Pendidikan karakter, value dan sense of crisis ditanamkan. Selanjutnya tinggal menciptakan dan menjaga momentum gerakan mahasiswa yang lebih kekinian. Sisanya biarkan energi vibrasi ala fisika kuantum yang akan terus memperbaiki dan menggerakkan.

Peran mahasiswa sebagai creator of change tidaklah berubah, karenanya gerakan mahasiswa seharusnya adaptif dengan perubahan. Peran sebagai social control pun tetap harus berjalan dengan tidak disempitkan maknanya sebatas demonstran. Peran sebagai moral force hanya akan efektif selama mahasiswa tidak abai terhadap moral dan integritasnya. Adapun peran sebagai iron stock adalah keniscayaan, karenanya dunia paska kampus menjadi penting untuk dipersiapkan. Karena aktivis adalah value bukan sekadar jabatan, peran mahasiswa ini akan terus melekat paska kampus, hanya berubah bentuk dan lingkup perjuangannya. Transformasi gerakan mahasiswa kuantum ini tidaklah mengubah peran, hanya mengoptimalisasinya di era globalisasi dan revolusi industri 4.0. Revolusi industri saja sudah masuk versi keempat, masak gerakan mahasiswa masih gitu-gitu aja? Hidup Mahasiswa! Hidup Rakyat Indonesia!

Hanya ada dua pilihan, menjadi apatis atau mengikuti arus. Tetapi aku memilih untuk jadi manusia merdeka” (Soe Hok Gie)

Membina Pejuang Ekonomi Syariah

Supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya.”
(
QS. Al Hasyr: 7)

Dalam satu dasawarsa terakhir, angka indikator kesenjangan (koefisien gini) Indonesia meningkat tajam dari sekitar 0,3 menjadi 0,4. Bahkan berdasarkan survei lembaga keuangan Swiss, Credit Suisse, Indonesia menempati posisi ke-4 negara dengan disparitas kekayaan tertinggi. Dengan kondisi 1% orang terkaya menguasai 49,3% kekayaan nasional, Indonesia hanya lebih baik dari Rusia, India dan Thailand. Total dana bank di Indonesia didominasi oleh pemilik rekening di atas Rp 2 miliar yang tersebar dalam 0.12% jumlah rekening. Sementara hampir 98% jumlah rekening di bank dimiliki oleh nasabah dengan jumlah tabungan di bawah Rp 100 juta. Ketimpangan ini sulit diurai karena banyak ditentukan oleh hal-hal yang di luar kendali pihak yang lemah secara ekonomi. Jadi bukan sekadar butuh kerja keras untuk mengatasi kesenjangan pendapatan, namun juga perlu upaya untuk mengatasi ketimpangan peluang. Berdasarkan penelitian Bank Dunia, sepertiga dari ketimpangan di Indonesia disebabkan oleh empat faktor pada saat seseorang lahir, yaitu provinsi tempat lahir, tempat lahir di desa atau di kota, peranan kepala keluarga, dan tingkat pendidikan orang tua.

Data BPS menunjukkan bahwa Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia meningkat lebih dari kali lipat dalam rentang tahun 2004 – 2013 dan jumlahnya lebih dari sepertiga total PDB Negara-negara ASEAN. Ekonomi Indonesia terus tumbuh tidak merata. Sekitar 10% masyarakat terkaya di Indonesia menambah konsumsi mereka sebesar 6% per tahun, setelah disesuaikan dengan inflasi. Sementara 40% masyarakat termiskin, tingkat konsumsi mereka tumbuh kurang dari 2% per tahun. Di tengah peliknya permasalahan kesenjangan inilah, ekonomi Islam –yang di Indonesia lebih populer dengan istilah ekonomi syariah– mulai bangkit menjadi solusi pengganti atas kebobrokan sistem kapitalisme yang mendukung monopoli termasuk dalam pemilikan umum (public property) seperti sumber daya alam dan komoditas strategis sehingga akumulasi kekayaan hanya bertumpuk di segelintir orang.

Dalam pandangan Ekonomi Islam, negara harus menjamin pemenuhan kebutuhan pokok (pangan, papan, sandang, kesehatan, pendidikan, dan keamanan). Jika seseorang tidak mampu memenuhi kebutuhan pokoknya dan keluarganya, kewajiban itu beralih kepada kerabatnya mulai yang terdekat. Jika tidak mencukupi, diambilkan dari harta zakat. Jika belum mencukupi, kewajiban itu beralih ke negara, yakni wajib atas Baitul Maal memenuhinya. Negara bisa memberikannya dalam bentuk harta secara langsung maupun dengan memberi pekerjaan. Sederhananya lagi, ekonomi Islam membolehkan transaksi dalam muamalah selama tidak dilarang. Pelarangan ini sebenarnya merupakan upaya menjaga keadilan. Perkara yang dilarang di antaranya transaksi barang haram, penipuan, ketidakpastian (pada hal yang seharusnya bisa dipastikan), manipulasi, riba, suap, judi, tidak terpenuhinya rukun dan syarat sahnya akad, zalim, dan maksiat. Lebih manusiawi dan beradab.

Sejak geliat kebangkitannya di penghujung abad ke-20, Ekonomi Syariah di Indonesia menghadapi banyak tantangan, baik dari dalam maupun dari luar, dan belum jua berhasil mengalahkan sistem konvensional yang beraroma kapitalis, menyamainya pun bahkan belum. Lembaga keuangan syariah terus berkembang, namun belum sepenuhnya bisa terlepas dari cengkeraman sistem perekonomian ‘campuran’ yang ada di Indonesia. Ada sebagian yang idealis namun tidak realistis, ada pula yang skeptis namun tidak memberikan solusi. Sebagian lainnya masih meyakini potensi besar kejayaan ekonomi Islam di Indonesia berdasarkan pertimbangan dalil agama ataupun sudut pandang manajemen. Sosialisasi, promosi, permodalan dan pengelolaan aset, perluasan wilayah, hingga variasi dan inovasi produk menjadi evaluasi atas lambatnya laju pertumbuhan ekonomi syariah di Indonesia.

Sayangnya, tidak banyak yang mencermati bahwa faktor penentu maju mundurnya suatu peradaban adalah manusianya. Mungkin ada yang menyadari bahwa SDM pengusung kebangkitan ekonomi syariah perlu dipersiapkan lebih baik lagi, namun tak banyak yang serius mempersiapkannya. Pendidikan dan pembinaan adalah instrumen utama untuk membentuk para pejuang ekonomi syariah di masa depan. Ya, visinya harus jauh ke depan sebab peradaban tidaklah dibangun dalam hitungan tahun. Pemerataan kesejahteraan juga menjadi masalah jangka panjang. Dan artinya, yang perlu dipersiapkan adalah sekelompok pemuda yang kelak akan menjadi pemimpin umat dan dunia di masa mendatang.

Pembinaan para pejuang ekonomi syariah harus dilakukan dengan serius sebab upaya untuk menghancurkan bangunan ekonomi Islam juga telah lama dilakukan dengan serius. Apalagi target pembinaannya bukan sekadar kepakaran, tetapi kepemimpinan yang akan mengusung penerapan ekonomi Islam sebagai jalan kesejahteraan dan keberkahan bagi seluruh manusia. Hanya pembinaan yang berkualitas lah yang dapat menghasilkan sosok-sosok seperti Utsman bin Affan r.a., Abdurrahman bin Auf r.a. atau Umar bin Abdul Aziz yang terus menginspirasi. Butuh pembinaan yang komprehensif untuk menghasilkan tokoh-tokoh seperti Abu Ubaid, Abu Yusuf, Ibnu Taimiyah atau Ibnu Khaldun beserta pemikirannya. Para pelopor ekonomi syariah seperti Umer Chapra, Adiwarman Azwar Karim, Ma’ruf Amin atau M. Syafi’i Antonio juga tidak muncul tiba-tiba, ada proses panjang yang menyertainya.

Materi pokok dalam pembinaan pejuang ekonomi syariah justru terletak pada aspek non keuangan. Penanaman nilai tentang kejujuran dan kedermawanan misalnya, jauh lebih penting dibanding sebatas pengetahuan akan strategi dan inovasi produk perbankan syariah. Adab dan akhlak menjadi fondasi yang akan mengokohkan pengetahuan dan keterampilan mereka. Syarat lain yang diperlukan untuk menyongsong kebangkitan ekonomi Islam adalah dengan satu strategi kunci: sinergi. Potensi umat Islam di Indonesia sangatlah berlimpah namun belum bisa menjadi kekuatan dan keunggulan ketika masih terserak. Merajut sinergi menjadi sangat fundamental, dimana setiap komponen dapat memberikan sumbangsih terbaiknya untuk mewujudkan cita bersama. Dalam sinergi saling melengkapi, ada optimalisasi potensi kebaikan yang dapat dilipatgandakan.

Pernah ada suatu masa, kas di baitul maal berlimpah, tidak ada masyarakat yang mau dan layak menerima zakat hingga harus didistribusikan ke negeri tetangga. Utang pribadi dan biaya pernikahan pun ditanggung kas Negara. Bahkan dikisahkan serigala dan domba dapat hidup berdampingan kala itu. Ya, sebuah potret kesejahteraan yang merata pernah hadir di masa kekhalifahan Umar bin Abdul Aziz. Jika sejarah memang berulang, bukan sebuah utopis masa itu akan kembali hadir, dengan sosok pahlawan yang berbeda tentunya. Asa kebangkitan (Ekonomi) Islam itu selalu ada. Sekarang tinggal bagaimana kita mengambil sikap dan peran. Ketidakpedulian dan ikut-ikutan tentu bukan pilihan bijak. Pilihannya tinggal: akankah kita ada di barisan pejuang, atau ada di barisan pembina para pejuang, atau keduanya? Apapun pilihannya, semoga Allah SWT senantiasa membimbing langkah kita tetap pada jalan perjuangan yang diridhai-Nya.

…Dan masa (kejadian dan kehancuran) itu, Kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran); dan supaya Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir) dan supaya sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada. Dan Allah tidak menyukai orang-orang yang zalim.” (QS. Ali Imran: 140)

Perjalanan Panjang Para Pemimpin

Jurus jalan panjang itu perjuangan dengan nafas panjang, berfikir panjang, berhitung lengkap, energi simultan, stamina tangguh, tidak sumbu pendek, berstrategi komprehensif, presisi skala prioritas, cinta dan setia kepada firman Allah” (Emha Ainun Nadjib)

Pada suatu malam, Amirul Mukminin Umar bin Khattab r.a. dalam kegiatan rondanya mendengar dialog seorang anak perempuan dan ibunya, seorang penjual susu yang miskin. Sang Ibu berkata, “Wahai anakku, segeralah kita tambah air dalam susu ini supaya terlihat banyak sebelum terbit matahari”. Anaknya menjawab, “Kita tak boleh berbuat seperti itu, Bu. Amirul Mukminin melarangnya”. Sang Ibu masih mendesak, “Tidak mengapa, toh Amirul Mukminin takkan tahu”. Anaknya pun menjawab, “Jika Amirul Mukminin tidak tahu, Tuhan Umar pasti tahu”. Umar r.a. yang mendengarnya lantas menangis, tersentuh dengan kemuliaan hati anak gadis tersebut. Sekembalinya ke rumah, Umar r.a. menyuruh ‘Ashim, anak lelakinya, untuk menikahi gadis tersebut.

Puluhan tahun kemudian, kas di baitul maal berlimpah, tidak ada masyarakat yang mau dan layak menerima zakat hingga harus didistribusikan ke negeri tetangga. Utang pribadi dan biaya pernikahan pun ditanggung kas Negara. Bahkan dikisahkan serigala dan domba dapat hidup berdampingan di masa itu. Adalah Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang telah melakukan perubahan revolusioner hanya dalam kurun waktu 2 tahun 5 bulan pemerintahannya. Kepemimpinannya mungkin singkat, namun karyanya luar biasa. Dan sejatinya kepemimpinan Umar bin Abdul Aziz adalah proses panjang. Sejak kecil ia telah dibina di Madinah oleh generasi sahabat dan tabi’in. Menjadikan beliau seorang hafizh Al Qur’an, perawi hadits, ahli fiqih sekaligus mujtahid dan pemimpin yang zuhud. Reputasinya kian cemerlang selama 7 tahun menjadi Gubernur Madinah. Kerendahan hati dan kesederhanaannya selama menjadi khalifah semakin menguatkan keteladanannya hingga dijuluki Khulafaur Rasyidin Kelima. Dan sejatinya, proses kepemimpinannya sudah dimulai sejak Umar bin Khattab r.a. bermimpi mempunyai generasi penerus pemimpin ummat yang adil berkharisma dengan luka di dahinya. Bahkan proses tersebut telah dimulai sejak neneknya menolak permintaan Sang Ibu untuk diam-diam menambahkan air ke dalam susu. Ya, Umar bin Abdul Aziz adalah putra dari Ummu ‘Ashim, Laila binti ‘Ashim bin Umar bin Khattab.

Kepemimpinan adalah proses panjang, sejak zaman para Nabi dan Rasul hingga saat ini keniscayaan tersebut tidaklah berubah. Hampir semua pemimpin besar yang kita kenal dibentuk lewat proses panjang. Hari ini mungkin tidak sedikit kita jumpai pemimpin instan. Namun yang sebenarnya dilalui adalah cara instan meraih jabatan kekuasaan, bukan menyoal kualitas kepemimpinan yang butuh proses dalam membangunnya. Karenanya jangan ditanya tentang kualitas para pemimpin karbitan ini. Akselerasi kepemimpinan memang mungkin dilakukan, namun tetap tidak mengesampingkan proses yang harus dijalani. Usamah bin Zayd r.a. yang menjadi panglima perang di usia 18 tahun misalnya, telah melalui berbagai proses pembuktian kepiawaiannya dalam kancah peperangan di usia belasan tahun. Atau sebutlah Muhammad Al Fatih yang menaklukkan Konstantinopel di usia 21 tahun. Kualitas kepemimpinannya sudah dipersiapkan sejak kecil. Hafidz Al Qur’an, menguasai beragam bahasa dan kepakaran, juga tak pernah meninggalkan shalat fardhu, shalat rawatib dan qiyamullail semenjak aqil baligh, tentu membutuhkan kesungguhan ekstra. Proses yang tidak mudah harus dilalui untuk mencapai kuaitas kepemimpinan jempolan.

Bagaimanapun, buah yang matang di pohon akan lebih manis dan segar rasanya dibandingkan buah karbitan. Memang bisa jadi dari luar tampilan buah karbitan lebih menarik, namun isinya tetap saja lebih hambar. Tampilan luar bisa direkayasa menjadi menarik dan simpatik, namun software-nya tetap butuh banyak diupgrade. Pengarbitan memang bisa mengakselerasi tingkat kematangan, namun ketika ada proses alami yang terlewat untuk dilakukan, tentu akan ada bagian kualitas yang hilang. Dan bagaimanapun, masakan rumah akan lebih sehat dibandingkan makanan instan. Mungkin makanan instan bisa lebih cepat mengobati lapar, apalagi dengan bantuan iklan disana-sini. Soal rasa mungkin bisa subjektif, namun efek jangka panjang makanan instan jelas lebih buruk. Kenikmatan semunya hanya sesaat, waktu lah yang akan menunjukkan bahaya penyakit yang menyertainya. Iklan bisa menipu karena memang hanya pesanan untuk membuat publik tertarik. Padahal ada masakan rumah yang barangkali butuh proses ekstra namun lebih sehat dan murah. Dan jangan harap potensi penyakit juga ikut diiklankan.

Een leidersweg is een lijdensweg. Leiden is lijden (Jalan pemimpin bukan jalan yang mudah. Memimpin adalah jalan yang menderita)”, demikian kata Kasman Singodimedjo, seorang anggota parlemen RI dari Masyumi. Proses menjadi pemimpin melalui jalan yang sangat jauh dan membutuhkan nafas panjang. Ada berbagai ujian, hambatan serta medan pembuktian yang menyertai jalan tersebut. Jelas lebih sulit dibandingkan jalan instan yang sebenarnya juga tak mudah. Karenanya lebih banyak yang memilih jalan pengikut yang lebih ramah dan risikonya rendah. Namun kesulitan itu akan sebanding dengan capaian kualitas yang terbentuk. Butuh persiapan matang, strategi tepat dan keyakinan kuat untuk melaluinya. Jalan inilah yang telah dipilih dan dilalui para pemimpin besar, pemimpin teladan, dan pemimpin para pejuang. Berbagai tantangan bahkan penderitaan yang menghadang hanyalah suplemen yang kian menyehatkan kualitas kepemimpinan mereka. Lantas, beranikah kita mengikuti jejak langkah mereka?

“Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan. Tetapi dia tiada menempuh jalan yang mendaki lagi sukar…” (QS. Al Balad: 10 – 11)

Membina Pahlawan Masa Depan

Beri aku seribu orang tua, niscaya akan kucabut Semeru dari akarnya. Beri aku sepuluh pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia” (Soekarno)

Pemuda seperti apakah yang bisa mengguncang dunia? Mengapa harus pemuda sementara orang tua lah yang memiliki kematangan emosional dan finansial? Apa hebatnya pemuda yang cuma bisa tawuran, ngebut-ngebutan, bahkan terjebak dalam jerat narkoba dan pergaulan bebas? Ya, tentunya bukan sembarang pemuda yang dimaksud olah Bung Karno. Melainkan pemuda yang terbina. Dan bukan hanya seorang pemuda, tetapi sekumpulan pemuda. Ya, para pemuda yang mampu mengoptimalkan potensi kebaikannya lah yang disinyalir Soekarno mampu untuk membuat perubahan dan mengguncang dunia.

Para pemuda yang terbina itu seperti ashabul kahfi. Teguh dalam memperjuangkan keyakinan dan idealismenya di tengah fitnah dan ancaman nyata. “…Sesungguhnya mereka itu orang-orang muda yang beriman kepada Tuhan mereka, dan Kami tambahi mereka dengan hidayah dan petunjuk. Dan Kami kuatkan hati mereka (dengan kesabaran dan keberanian)…” (QS. Al Kahfi: 13 – 14). Pemuda yang terbina itu ibarat Usamah bin Zayd r.a. Keberaniannya diarahkan untuk membela tegaknya kebenaran. Sudah mulai terjun ke medan jihad Ahzab (Perang Khandaq) di usia lima belas tahun, Usamah diangkat Rasulullah SAW sebagai penglima perang di usia 18 tahun dan berhasil mengalahkan pasukan Romawi.

Pemuda yang terbina itu layaknya Muhammad Al Fatih. Ambisinya mewujudkan visi Rasulullah SAW membuatnya memenuhi semua syarat untuk menaklukkan Konstantinopel, di usia 21 tahun. Hafizh Al Qur’an, menguasai berbagai bahasa dan kepakaran di usia muda, hingga tak pernah meninggalkan shalat fardhu, shalat rawatib dan tahajud menunjukkan kegigihannya untuk membebaskan Romawi Timur ke dalam pelukan Islam. Merealisasikan bisyarah Rasulullah SAW. “Kota Konstantinopel akan jatuh di tangan umat Islam. Pemimpin yang menaklukannya adalah sebaik-baik pemimpin dan pasukan berada di bawah komandonya adalah sebaik-baik pasukan.” (H.R. Ahmad).

Tentu banyak lagi potret pemuda terbina yang telah menorehkan tinta emas dalam sejarah hidup mereka. Lihat saja kumpulan pemuda di berbagai belahan bumi mulai dari China, Mesir hingga Yunani yang bergerak bersama di garda terdepan dalam membebaskan negeri mereka dari cengkeraman tirani. Tak terkecuali di Indonesia, para pemuda sejak masa Sarekat Dagang Islam, Sumpah Pemuda, Proklamasi Kemerdekaan, hingga runtuhnya orde baru memegang peran vital sebagai pembaharu zaman. Tak berlebihan Hasan Al Banna, salah seorang mujahid dakwah pernah berujar, “Sesungguhnya sebuah pemikiran itu akan berhasil diwujudkan manakala kuat rasa keyakinan kepadanya, ikhlas dalam berjuang di jalannya, semangat dalam merealisasikannya, dan kesiapan untuk beramal serta berkorban dalam mewujudkannya. Keempat rukun ini, yakni iman, ikhlas, semangat, dan amal (serta pengorbanan) merupakan karakter yang melekat pada pemuda. Karena sesungguhnya dasar keimanan itu adalah nurani yang menyala, dasar keikhlasan adalah hati yang bertakwa, dasar semangat adalah perasaan yang menggelora, dan dasar amal (dan pengorbanan) adalah kemauan yang kuat. Hal itu semua tidak terdapat kecuali pada diri pemuda. Oleh karena itu sejak dulu hingga sekarang pemuda merupakan pilar sebuah kebangkitan, pemuda merupakan aktor terbaik penggerak skenario peradaban bangsa, pemuda merupakan rahasia kekuatannya, dalam setiap fikrahnya pemuda adalah pengibar panji-panjinya”.

Idealisme adalah kemewahan terakhir yang hanya dimiliki oleh pemuda”, begitu ungkap Tan Malaka. Arti penting pemuda memang bukan sebatas perannya sebagai generasi penerus di masa yang akan datang. Idealisme, kecerdasan, kekuatan fisik hingga semangat yang berapi-api merupakan modal utama kemenangan yang jika bisa dioptimalkan hari ini, kebaikannya akan dapat dirasakan hingga ke masa depan. Sebaliknya, jika potensi ini disia-siakan sama artinya dengan menghancurkan masa depan, apalagi jika diarahkan kepada hal-hal negatif. Karenanya, memastikan kualitas pemuda hari ini merupakan langkah strategis dalam memastikan kualitas umat dan bangsa di masa yang akan datang.

Rasulullah SAW telah berpesan untuk mengingat “syababaka qabla haramika” (masa mudamu sebelum masa tuamu). Beliau juga mengungkapkan bahwa “syabbun nasya’a fi ‘ibadatillah” (pemuda yang tumbuh dalam ibadah dan taat kepada Allah) merupakan satu dari tujuh golongan yang akan mendapatkan naungan dari Allah SWT di hari kiamat. Membina para pemuda bukan hanya akan menyelamatkan dirinya dunia akhirat, namun juga akan menyelamatkan masa depan dunia ini. Karena kelak merekalah yang akan menjadi pemimpin di semua lingkup kehidupan. Pemimpin yang terbina dengan baik akan memakmurkan dunia, sementara generasi yang rusak akan menghancurkannya. Butuh energi yang sangat besar untuk membina pemuda hari ini, dan nyatanya memang tidak harus semuanya. Cukup ‘sepuluh pemuda’ yang berkualitas jika mengutip kata-kata Bung Karno. Dan untuk melahirkan sekelompok pemuda pemimpin yang berkualitas butuh pembinaan yang serius dan juga berkualitas. Tak bisa asal-asalan. Butuh desain bahkan rekayasa pembinaan yang komprehensif. Agar lahir pemimpin masa depan yang berkarakter, berkompeten dan berkontribusi menyelesaikan berbagai problematika yang menempanya. Supaya lahir pahlawan di zamannya yang membawa umat dan bangsa ini pada kejayaan dan kegemilangan. Semoga Allah SWT membimbing dan meridhai langkah kita dalam membina dan membersamai mereka.

We cannot always build the future for our youth but we can build our youth for the future
(Franklin D. Roosevelt)

Pemuda yang Menginspirasi dalam Sunyi

Idealisme adalah kemewahan terakhir yang hanya dimiliki pemuda” (Tan Malaka)

Pemuda ada di masa puncak idealisme. Kematangan secara fisik yang belum disertai kesempurnaan kematangan emosional justru membuat para pemuda menjadi sosok pemberani yang memegang teguh prinsip yang diyakininya. Itulah yang dilakukan oleh Tamlikha, Maksalmina, Martunis, Nainunis, Sarbunis, Falyastatnunis dan Dzununis yang memilih mengasingkan diri dalam sebuah gua untuk mempertahankan akidahnya. Setelah ditidurkan selama tiga ratus (ditambah sembilan) tahun dan bertemu kembali dengan masyarakat yang sudah silih berganti generasi dan sudah beriman kepada Allah SWT, alih-alih menjadi saksi hidup sejarah masa lalu mereka justru memohon agar Allah SWT mencabut nyawa mereka tanpa sepengetahuan orang lain. Idealisme orientasinya adalah terwujudnya cita-cita, bukan ketenaran. Bahkan nama-nama mereka pun kurang familiar dibandingkan dengan inspirasi sejarah oleh para pemuda yang bergelar Ashabul Kahfi. “…Sesungguhnya mereka itu orang-orang muda yang beriman kepada Tuhan mereka, dan Kami tambahi mereka dengan hidayah dan petunjuk. Dan Kami kuatkan hati mereka (dengan kesabaran dan keberanian)…” (QS. Al Kahfi: 13 – 14).

Memperjuangkan sebuah idealisme tentu diwarnai berbagai tantangan yang menghadang. Pengorbanan adalah konsekuensi dari sebuah perjuangan. Dalam Al Qur’an Surah Al Buruj dikisahkan mengenai ashabul ukhdud,  kaum terlaknat yang menggali parit berisi api dan melempar semua orang yang beriman kepada Allah SWT ke dalam parit api tersebut. Kisah lengkap ashabul ukhdud dimuat dalam sebuah hadits panjang yang diriwayatkan Imam Muslim. Berkisah tentang seorang pemuda beriman yang dikaruniai keahlian pengobatan dan kemustajaban do’a. Kematiannya justru menancapkan iman yang mendalam kepada masyarakat yang menyaksikan pembunuhannya. Pun keimanan tersebut membuat mereka dilemparkan ke dalam parit api. Mereka menemui ajal dengan mendapatkan keridhaan Allah. Dalam hadits panjang tersebut, si pemuda hanya disebut ghulam yang berarti anak muda. Tidak dikenal namanya tidaklah mengurangi inspirasi mengenai keistiqomahan dan pengorbanan yang dicontohkan.

Semangat pemuda adalah semangat berjuang dan berkarya. Nothing to lose. Benar ataupun salah akan jadi pembelajaran hidup. Cenderung spontan dan agak kurang pikir panjang, tapi karenanya justru menjadi perjuangan yang penuh ketulusan dan keikhlashan. Jika di-list, akan panjang sekali daftar tokoh kunci pemuda inspiratif yang tak terlalu dikenal sejarah. Sebutlah Soegondo Djojopuspito, Ketua Panitia Kongres Pemuda II tahun 1928 yang menjadi titik tolak gerakan pemuda di Indonesia. Belum digelari pahlawan nasional, kalah tenar jika dibandingkan W.R. Supratman, misalnya. Padahal posisi sebagai Ketua Panitia saat itu sangatlah berisiko dan memberikan andil signifikan dalam keberlangsungan Kongres Pemuda. Atau sebut saja Wikana yang mendesak Soekarno memproklamasikan Indonesia, Frans Mendur yang mendokumentasikan detik-detik proklamasi, Shodanco Singgih yang ‘menculik’ Soekarno – Hatta ke Rengasdengklok atau Kusno Wibowo yang merobek warna biru pada bendera bendara yang berkibar di Hotel Yamato. Karena ketercapaian cita-cita adalah yang utama dibandingkan dikenalnya nama, para pemuda idealis ini tidak ambil pusing bagaimana catatan sejarah akan menempatkan mereka. Ya, sejarah juga alpa mencatat siapa mahasiswa yang pertama kali menduduki gedung MPR/ DPR dalam artian yang sebenarnya pada tahun 1998. Karena bukan disitu esensi perjuangan mereka.

Namun roda zaman terus berputar, era pengetahuan dan informasi seakan menuntut semua pihak untuk menunjukkan eksistensi. Para pemuda yang tadinya asyik menginspirasi dalam sunyi kini tak ketinggalan menjadi garda terdepan unjuk eksistensi. Berbagai macam kanal kontribusi digagas, bisa berupa kegiatan, program, gerakan, atau bahkan aplikasi di dunia maya. Iklim kompetisi ditambah motivasi untuk unjuk gigi mewarnai dinamika kontribusi pemuda. Menjadi sulit menyamakan isu dan gerak langkah kontribusi pemuda. Yang memang tidak lagi didesain untuk disatukan. Belum lagi semakin banyak pemuda yang kehilangan jati diri sehingga eksistensi menjadi orientasi, tak lagi memperjuangkan cita dan visi bersama. Kontribusi harus dalam ramai agar bisa menginspirasi. Bagaimanapun harus ada keuntungan yang diperoleh dari setiap karya dan kontribusi. Lebih miris lagi mendapati semakin banyaknya pemuda apatis yang tak peduli. Tingginya kompetisi diyakininya sebagai sebuah tanda untuk hidup ‘mandiri’, hidup untuk diri sendiri, hidup dalam dunianya sendiri. Bagi mereka, karya tidak perlu dibagi, cukuplah untuk menginspirasi diri sendiri.

Akan tetapi, yang namanya roda akan kembali ke titik awal. Saat ini pun masih banyak pemuda yang terus berkarya dalam sepi, tetap menginspirasi dalam sunyi. Gemerlap publikasi tak menyilaukan matanya yang menatap masa depan dengan penuh optimisme kegemilangan. Mereka sudah selesai dengan dirinya, sehingga dengan atau tanpa dikenal manusia, karya tetap harus tercipta. Eksistensi dirinya tak ada nilainya jika dibandingkan dengan motivasi untuk terus berkontribusi dan banyaknya manfaat yang hendak dirawat. Ketika memperjuangkan cita mulia menjadi pilihan, inspirasi bisa dilakukan dalam ramai maupun sunyi. Bentuk perjuangan bisa berubah menyesuaikan zaman, namun cita perjuangan tetaplah sama. Belum tentu populer, tapi memang popularitas bukan tujuan. Semakin sunyi, semakin menginspirasi, sebab energi tidak perlu terkuras hanya untuk meladeni persepsi orang. Hingga akan tiba suatu masa dimana kontribusi dalam sunyi ini kan dibuka tabirnya, menginspirasi dunia, membuat perubahan nyata. Tinggal pastikan diri kita turut berperan di dalamnya.

April 1993, surat kabar Republika yang baru berusia 3 bulan melakukan promosi di Stadion Kridosono, Yogyakarta. Ketika acara ramah tamah di Restoran Bambu Kuning, rombongan Republika bertemu sekelompok da’i muda yang tergabung dalam Corps Dakwah Pedesaan (CDP). Mereka adalah da’i sekaligus guru dan pemberdaya masyarakat yang berkiprah di daerah miskin Gunung Kidul yang saat itu tengah dilanda kekeringan dan kelaparan. Sebagai aktivis sosial, anggota CDP ini hanya digaji Rp. 6000.- per bulan. Gaji mereka berasal dari sumbangan para mahasiswa dari berbagai kampus di Yogyakarta. Singkat cerita, peristiwa tersebut menginspirasi lahirnya sebuah rubrik di Harian Umum Republika yang bertajuk Dompet Dhuafa pada 2 Juli 1993. Dompet Dhuafa kemudian terus berkembang menjadi salah satu Lembaga Amil Zakat tingkat nasional terbesar di Indonesia dengan puluhan kantor cabang dan perwakilan di dalam dan luar negeri. Sejarah kemudian mencatat nama Parni Hadi, Haidar Bagir, Sinansari Ecip, dan Erie Sudewo sebagai pendiri Yayasan Dompet Dhuafa Republika. Sejarah juga mencatat nama Ustadz Umar Sanusi dan (alm.) Ustadz Jalal Mukhsin sebagai pegiat Corps Dakwah Pedesaan. Namun sejarah luput mencatat, siapa saja mahasiswa yang telah menginspirasi rombongan Republika kala itu dengan menyisihkan uang saku mereka untuk menggaji anggota CDP. Ya, mereka adalah para pemuda yang menginspirasi dalam sunyi.

Retorika dan Aksi Nyata Mahasiswa untuk Indonesia

Di sini negeri kami, tempat padi terhampar. Samuderanya kaya raya, negeri kami subur, Tuhan. Di negeri permai ini, berjuta rakyat bersimbah luka. Anak kurus tak sekolah, pemuda desa tak kerja. Mereka dirampas haknya, tergusur dan lapar. Bunda relakan darah juang kami, ‘tuk membebaskan rakyat…

Lagu ‘Darah Juang’ di atas tampaknya tidak asing di kalangan aktivis mahasiswa. Bersama dengan ‘lagu-lagu perjuangan’ lain seperti ‘Berderap dan Melaju’, ‘Buruh Tani’ atau ‘Totalitas Perjuangan’, senandung ‘Darah Juang’ biasa menemani aksi mahasiswa yang acap kali penuh retorika. Keberpihakan mahasiswa terhadap rakyat ketika menggelar parlemen jalanan jelas tersurat dalam lirik lagu-lagu tersebut. Retorika kian terasa dalam mimbar dan podium demonstrasi, menguatkan asa rakyat jelata bahwa masih ada mahasiswa yang memperjuangkan nasib mereka. Pun baru sebatas retorika.

Dalam memperjuangkan  perbaikan bagi bangsa, tidak salah menggunakan retorika. Sebab retorika mampu menyalakan harapan, membakar semangat juang, sekaligus pengingat yang dapat memanaskan telinga para penguasa. Apalagi retorika yang penuh data. Namun tentu akan jadi ironi ketika perjuangan berhenti pada tataran retorika tanpa aksi. Sebatas memobilisasi massa tanpa berupaya menggerakkan masyarakat untuk lebih mandiri dan berdaya. Sekadar turun ke jalan tanpa coba turun tangan menyelesaikan masalah riil di lapangan. Hanya lelah berkoar-koar tanpa pernah merasakan kepayahan dalam berkontribusi nyata di tengah masyarakat.

Saat ini tidak sedikit masyarakat yang skeptis dengan gerakan mahasiswa, karena dinilai hanya sebatas retorika tanpa aksi nyata. Wacana mahasiswa yang kaya pembaharuan ibarat ada di menara gading, sementara permasalahan rakyat yang kompleks ada di dasar samudera. Terlampau terbentang jarak antara mahasiswa dengan masyarakatnya. Padahal Tri Dharma Perguruan Tinggi butir terakhir adalah pengabdian masyarakat yang menuntut aksi nyata. Tak salah Tan Malaka pernah mengingatkan, “Bila kaum muda yang telah belajar di sekolah dan menganggap dirinya terlalu tinggi dan pintar untuk melebur dengan masyarakat yang bekerja dengan cangkul dan hanya memiliki cita-cita yang sederhana, maka lebih baik pendidikan itu tidak diberikan sama sekali”.

Dunia pendidikan tinggi di Indonesia memang masih lebih asyik bermain dalam ranah kognitif teoritis, belum benar-benar mempertemukan mahasiswa dengan dunia paska kampus, termasuk realita masyarakat. Namun kesadaran mahasiswa dan pihak kampus untuk menebar kebermanfaatan ke tengah masyarakat saat ini semakin tinggi. Kampus dan organisasi kemahasiswaan mulai berlomba menjalankan program sosial kemasyarakatan. Di satu sisi, tuntutan akademis membuat mahasiswa kian apatis dan individualis. Di sisi lain, kompleksitas masalah justru mendorong banyak pihak berpartisipasi dalam mengurai permasalahan masyarakat.

Dan asa itu masih banyak tersisa, semangat mahasiswa masih bergelora, retorika akan segera dilengkapi dengan aksi nyata. Hipotesis bahwa mahasiswa hanya pandai bicara akan terbantahkan. Karena kenyataannya, banyak mahasiswa yang aktif berkarya di tengah masyarakat. Di berbagai wilayah nusantara, menjawab permasalahan masyarakat di berbagai bidang kehidupan. Jumlahnya juga bukan cuma satu dua. Para mahasiswa ini bekerja untuk kepentingan rakyat Indonesia, bergerak bersama ‘tuk wujudkan cita mulia: melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia.

Kekuatan suatu bangsa terletak pada simpul terlemahnya. Kemiskinan adalah simpul terlemah bangsa ini, sehingga advokasi, pembinaan dan pemberdayaan masyarakat marginal merupakan sebuah upaya strategis untuk melipatkangandakan kekuatan bangsa. Butuh pengorbanan dan tidak bisa sendirian memang, namun harus ada yang berani memulai. Rakyat yang sudah jemu akan janji palsu para pengampu kebijakan, banyak menggantungkan harapannya kepada para mahasiswa yang memiliki semangat, vitalitas, intelektualitas, sekaligus idealisme yang tinggi. Kelompok elit masyarakat yang senantiasa hadir membawa perubahan.

Bagaimanapun, pemuda hari ini adalah pemimpin bangsa di masa depan. Jika hari ini dunia pendidikan cuma memproduksi ‘robot-robot bernyawa’, masa depan bangsa akan jauh dari kreativitas dan berdaya. Jika hari ini kampus hanya menghasilkan sarjana yang pandai beretorika, kebangkitan bangsa Indonesia hanya akan berkutat dalam wacana. Namun ketika hari ini banyak sekumpulan pemuda yang peduli terhadap masyarakatnya, dan berkontribusi nyata dengan segenap cinta bagi bangsa dan negara, masa depan bangsa akan cerah dan berjaya. Menuju kegemilangan Indonesia yang dimulai hari ini, dari diri kita, untuk mulai menebar karya dan kontribusi nyata demi kemajuan bangsa.

Hidup Mahasiswa!!! Hidup Rakyat Indonesia!!!

*tulisan ini merupakan prakata dalam buku “Hak Rakyat Digasak, Mahasiswa Bergerak!” karya penerima Beasiswa Aktivis Nusantara

Pijar Sang Pembelajar

“Sampaikanlah pada ibuku, aku pulang terlambat waktu. Ku akan menaklukkan malam dengan jalan pikiranku. Sampaikanlah pada bapakku, aku mencari jalan atas semua keresahan-keresahan ini, kegelisahan manusia. Rataplah malam yang dingin. Tak pernah berhenti berjuang pecahkan teka-teki malam. Tak pernah berhenti berjuang pecahkan teka-teki keadilan…” (Ost. Gie)

Sebut saja Anto, seorang aktivis mahasiswa kelas kakap yang tengah bimbang dengan masa depannya. Semangat berapi-apinya ketika di mimbar demonstrasi seolah tiada arti di hadapan dosen pembimbing akademisnya saat ini. Ia memandangi Kartu Rencana Studi (KRS)-nya yang masih menyisakan beberapa mata kuliah yang harus diselesaikan di semester akhir kuliahnya. Belum lagi skripsinya masih terbengkalai dan aktivitasnya di luar kelas membuatnya telat mengetahui informasi bahwa dosen pembimbing skripsinya sudah berangkat ke luar negeri selama beberapa bulan ke depan untuk menyelesaikan gelar PhD-nya. Ganti judul dan dosen pembimbing skripsi tentu butuh effort besar, belum lagi masih ada mata kuliah yang harus diulang. Ia bingung hendak meminta bantuan ke siapa, sementara teman-teman seangkatannya sudah lulus semua. Ia malu untuk bertemu orang tuanya yang selalu bertanya kapan dirinya diwisuda.

Lain halnya dengan Anti, mahasiswa tingkat akhir yang tengah mengurung diri di kamarnya. Belakangan ini kondisi fisiknya menurun, susah tidur dan kepalanya sering sakit. Kemungkinan dirinya tengah depresi berat. Orang tuanya tampak menyerah menghadapi anaknya yang tiba-tiba saja jadi sensitif dan malas beraktivitas. Sementara tidak ada temannya yang menjenguk dan menghiburnya. Sebelumnya, kuliahnya lancar sampai di semester-semester akhir semakin banyak tugas presentasi yang tidak disukainya. Anti mengalami kesulitan berbicara di depan kelas dan menjadi bahan olok-olok. Label ‘kutu buku gagu’ pun dilekatkan teman-temannya padanya. Puncaknya, ia ‘blank’ dalam seminar skripsi beberapa hari lalu. Presentasi yang sudah dipersiapkannya pun gagal total. Kegagalan yang harus dihadapinya sendirian.

* * *

Masa kuliah adalah masa yang penuh vitalitas, kaya akan impian dan idealisme yang didukung dengan kesegaran potensi jiwa, fisik dan akal. Masa kuliah adalah fase kehidupan yang penuh semangat dan dinamika, dimana mahasiswa merupakan golongan elit pemuda terpelajar yang memiliki potensi besar. Keberadaan mahasiswa dengan potensi keilmuannya sangat diharapkan dapat menjadi solusi bagi kompleksnya problematika bangsa. Mahasiswa juga kerap dipandang sebagai golongan penyalur aspirasi masyarakat yang solid dan massif. Belum lagi, jika melihat perjalanan sejarah, kumpulan pemuda penuh intelektual ini selalu menjadi yang terdepan dalam menggagas perubahan. Ya, di setiap titik perubahan besar dalam sejarah, pemuda selalu hadir memberikan kontribusinya. Menjadi pahlawan pada zamannya.

Pertanyaannya, potensi kepahlawanan tersebut dimiliki oleh mahasiswa seperti apa? Apakah mahasiswa kupu-kupu (kuliah pulang – kuliah pulang), kura-kura (kuliah rapat – kuliah rapat) atau bahkan mahasiswa kunang-kunang (kuliah nangkring – kuliah nangkring)? Secara umum, ada empat domain prestasi yang harus dimiliki oleh seorang mahasiswa dan diseimbangkan. Pertama, domain spiritualitas yang menjadi pondasi dasar pemuda dalam berpikir dan bersikap. Kekuatan spiritual akan menjaga pemiliknya dari perilaku menyimpang, disorientasi dan berbagai energi negatif lainnya. Domain inilah yang akan membentuk karakter berkualitas dengan paradigma yang benar. Kedua, domain intelektual yang mengharuskan pemiliknya terus menjadi pembelajar seumur hidup. Mengisi hari dan hidupnya dengan ilmu yang bermanfaat dan mengaplikasikannya untuk kebermanfaatan yang luas. Sifatnya yang terus berkembang memungkinkan pemiliknya untuk terus menggali sumber ilmu kapanpun, dimanapun dan dari siapa (atau apa) pun. Ketiga, domain pengembangan diri yang akan melengkapi kapasitas intelektual. Penguasaan bahasa, keterampilan dan kepemimpinan, misalnya, akan melipatgandakan potensi yang dimiliki. Domain ini juga akan mendorong terciptanya kompetensi spesifik dan tajam. Keempat, domain sosial yang akan menyeimbangkan sisi individual pemiliknya dengan dunia luar di sekelilingnya. Kekuatan sosial ini jika dipenuhi dengan interaksi lingkungan yang positif akan membuat hidup lebih bermakna. Domain ini akan mengantarkan pada kekayaan jiwa, keberkahan ilmu dan kebermanfaatan diri.

Kasus Anto mencerminkan mahasiswa yang kuat di domain pengembangan diri dan sosial, namun lemah di domain intelektual. Ia pun akan tertinggal. Sementara Anti sebaliknya, fokus di domain intelektualnya melupakan domain spiritual, pengembangan diri dan sosialnya. Ia pun terpuruk. Menyeimbangkan keempat domain tersebut memang tidak mudah, namun mengabaikan salah satunya saja akan menghambat optimalisasi kualitas diri. Mahasiswa jenis kupu-kupu, kura-kura, ataupun kunang-kunang harus bertransformasi menjadi ’kutu kupret’ yang produktif: kuliah bermutu, kuliah berprestasi.

Kualitas dan produktivitas mahasiswa tidak hanya ditentukan di bangku kuliah, produktivitas juga tercermin dalam aktivitas organisasi, bahkan nangkring pun bisa produktif. Menjadi kontraproduktif jika jadi aktivis hanya sebagai pelarian karena gagal di akademis. Di sisi lain, kontribusi mahasiswa juga tidak dimonopoli mereka yang turun ke jalan atau terjun langsung ke masyarakat. Mahasiswa yang gemar dengan diskusi, mengikuti kajian, bahkan riset di laboratorium pun dapat berkontribusi ke masyarakat. Sebagaimana prestasi mahasiswa pun tidak melulu terkait akademik, keunggulan di ranah non-akademik pun dapat menjadi prestasi yang membanggakan.

Kesia-siaan dalam hidup biasanya diawali dari kesia-siaan dalam menjalani masa muda, yaitu dengan banyak menghabiskan waktu untuk hal-hal yang kurang bermanfaat. Padahal potensi yang dimiliki sebenarnya begitu besar, tidak akan habis jika hanya ‘sekadar’ mengikuti banyak kompetisi atau mencoba menorehkan banyak prestasi. Bahkan biasanya waktu akan lebih efektif di tangan mereka yang sibuk. Aktivis pembelajar akan mengoptimalkan waktunya dengan aktivitas bermanfaat. Sebaliknya, mahasiswa yang bermasalah justru banyak diisi mereka yang ’tidak jelas kerjaannya’.

Pengembangan kualitas diri ini akan terhenti ketika aktivis berhenti belajar. Tidak berani melakukan sesuatu yang baru. Stagnan. Karenanya, gelora kontribusi aktivis akan terus bergemuruh selama perbaikan diri terus dilakukan tak kenal henti. Pijar prestasi aktivis kan terus bersinar kala mereka terus belajar. Dan hanya para pembelajar sejati lah yang akan mampu menyeimbangkan domain prestasinya. Melahirkan pribadi-pribadi unggul yang siap melakukan perubahan besar yang akan menggoncangkan dunia. Dan jika bukan tidak mungkin pribadi unggul itu adalah kita, tak tergerakkah kita untuk mencoba mengoptimalkan potensi yang kita miliki? Tak tertarikkah kita untuk menjadi pahlawan pada zaman ini?

Beri aku seribu orang tua, niscaya akan kucabut Semeru dari akarnya. Beri aku sepuluh pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia” (Soekarno)

*tulisan ini merupakan kata pengantar bukuonline “Pijar-pijar Aktivis Pembelajar” karya penerima Beasiswa Aktivis Nusantara

Mahasiswa Ada Kok, Gak Kemana-mana

Sampaikanlah pada ibuku, aku pulang terlambat waktu. Ku akan menaklukkan malam dengan jalan pikiranku. Sampaikanlah pada bapakku, aku mencari jalan atas semua keresahan-keresahan ini, kegelisahan manusia. Rataplah malam yang dingin. Tak pernah berhenti berjuang pecahkan teka-teki malam. Tak pernah berhenti berjuang pecahkan teka-teki keadilan…” (Ost. Gie)

Beberapa waktu lalu penulis sempat berbincang dengan sekumpulan mahasiswa dari berbagai universitas. Salah seorang mahasiswa ITB menyampaikan keresahannya tentang kepedulian mahasiswa yang terasa kian sulit untuk digugah. Penulis menanggapinya dengan mencoba memahami kondisi mahasiswa saat ini tanpa membandingkan dengan euphoria kondisi mahasiswa di masa lalu. Tantangannya berbeda. Pun penulis juga sampaikan bahwa kepedulian terwujud dalam aksi nyata, bukan sebatas keprihatinan dalam do’a. Karenanya bentuk kepedulian tidak melulu harus berupa aksi massa, walaupun tetap harus ada yang melakukannya. Yang penting harus ada keresahan yang kemudian menjelma menjadi gerak dalam aktivitas nyata. Yang menjadi masalah adalah ketika tidak merasa ada masalah, tidak peka terhadap problematika yang dihadapi bangsa ini.

Penulis jadi teringat sajak yang ditulis salah seorang senior saya di FTUI dan BEM UI beberapa saat lalu yang mempertanyakan kemana gerangan para pemuda. Tulisan serupa juga diungkapkan salah seorang aktivis alumni ITB yang sempat mendapat respon balik dari juniornya mahasiswa ITB. Tulisan-tulisan senada lainnya bisa di-googling, tidak perlu penulis sampaikan dalam tulisan ini. Intinya, memang terdapat perbedaan antara gerakan mahasiswa di masa lalu dengan dinamika mahasiswa saat ini. Ketika keresahan para alumni akan adik-adiknya yang dinilainya terjebak semakin hedonis dan individualis, tidak bertemu dengan pembelaan mahasiswa yang merasa biaya kuliah yang semakin tinggi dengan beban akademis yang semakin berat.

Alhasil, gerakan alumni kembali menggunakan almamaternya yang sejatinya merupakan bentuk kepedulian jadi terkesan aneh. Ekskalasi isu tanpa momentum yang tepat justru kurang mendapat tempat di hati masyarakat. Para alumni jadi terkesan sekedar post power syndrome, bahkan nuansa politis lebih terlihat dibandingkan gerakan moral intelektual, sementara mahasiswa kurang mendapatkan pendewasaan yang baik dalam membangun gerakan. Gerakan alumni ini selain mengangkat isu permasalahan bangsa juga memperlihatkan problematika yang dihadapi gerakan mahasiswa saat ini. Sayangnya, penyadaran yang dibangun belum didesain sempurna untuk menyelesaikan permasalahan.

Apatisme memang menjadi tantangan gerakan mahasiswa saat ini, tidak perlu ditutup-tutupi atau berusaha terus mencari pembenaran. Tidak perlu juga menyalahkan pihak eksternal, termasuk alumni yang sebenarnya juga punya andil. Kembali turunnya alumni sejatinya menunjukkan ada yang salah dengan kaderisasi gerakan mahasiswa. Biaya kuliah memang kian mahal tapi nyatanya parkiran kampus semakin penuh, mahasiswa semakin banyak yang memiliki barang mewah dan gemar menghabiskan waktu ke pusat perbelanjaan ataupun tempat makan kelas menengah ke atas. Beban akademis mungkin semakin tinggi, tetapi nilai dan kelulusan semakin mudah, teknologi informasi juga telah jauh berkembang. Masalahnya cuma di pengelolaan waktu yang lebih efektif dan efisien.

Jadi tidak perlu ditanya kemana mahasiswa, mereka ada, sibuk berkuliah di tengah sistem pendidikan yang mencetak robot. Mahasiswa ada dan tidak kemana-mana, sibuk dengan dirinya dan masa depan semunya. Sebagai kakak, alumni semestinya dapat berperan untuk mengenalkan mahasiswa pada dirinya, lingkungan masyarakatnya, bangsa dan negaranya, serta masa depannya. Bukan lantas mengambil alih peran mahasiswa ataupun mendikte mereka dengan solusi yang berbeda zaman. Permasalahan gerakan mahasiswa kontemporer haruslah diurai oleh mahasiswa itu sendiri, sebagai elemen bangsa yang cakap berpikir dan bertindak. Alumni bisa menjadi katalisator, tetapi bukan penentu sikap. Problematika akan terselesaikan ketika segenap elemen dapat berbuat sesuai peran, fungsi dan tanggung jawabnya.

Dunia pendidikan tinggi kita saat ini memang banyak melahirkan sarjana yang biasa dan luar biasa. Luar biasa dapat lulus cepat dengan indeks prestasi gemilang. Tetapi dunia kampus lupa untuk menghasilkan sarjana yang biasa di luar, mencermati perubahan zaman, berinteraksi dengan masyarakat, dan menjadi bagian dari solusi atas permasalahan bangsa. Tri Dharma perguruan tinggi seolah berhenti di tataran pendidikan dan penelitian, meninggalkan sisi pengabdian masyarakat. Segenap pemangku kepentingan perlu kembali diingatkan bahwa mahasiswa masih menjadi tumpuan harapan bagi masyarakat Indonesia. Mahasiswa adalah elemen strategis bangsa yang mampu membawa perubahan baik secara vertikal maupun horizontal. Beban berat yang tidak banyak disadari para mahasiswa.

Mahasiswa perlu didukung untuk menjawab tantangan gerakan mahasiswa di zamannya. Pertanyaan ‘dimana mahasiswa’ tampak tidak berbeda dengan pertanyaan ‘kapan menikah’ atau ‘kapan punya anak’. Alih-alih memotivasi, justru bisa mengerdilkan. Tidak solutif. Jangan-jangan mahasiswa saat ini hanya mewarisi ‘pesta, buku, dan cinta’ dari para seniornya, bukan idealisme perjuangan. Sekarang pertanyaannya adalah ‘bagaimana mahasiswa akan mengambil sikap’, mandiri dan independen dalam mengatasi permasalahan mereka serta permasalahan bangsa dan Negara. Di tengah arus apatisme yang kian merebak, penulis optimis masih ada mahasiswa-mahasiswa ‘setengah dewa’ yang tidak hanya memikirkan dirinya sendiri dan terus berkontribusi melakukan perbaikan. Di ruang kuliah, di organisasi, di tengah masyarakat, dimanapun mereka berkata. Penulis yakin setiap zaman ada pahlawannya, dan masih ada pahlawan mahasiswa di zaman ini. Mahasiswa peduli bukan utopis. Hidup Mahasiswa! Hidup Rakyat Indonesia!

Katakan hitam adalah hitam, katakan putih adalah putih. ‘Tuk kebenaran dan keadilan, menjunjung totalitas perjuangan. Seluruh rakyat dan mahasiswa, bersatu padu bergerak bersama. Berbekal moral intelektual, selamatkan Indonesia tercinta…

Formalitas Pendidikan Tinggi, pendidikan tinggi formalitas

“Sekolahlah biasa saja, jangan pintar-pintar, percuma! Latihlah bibirmu agar pandai bekicau, sebab mereka sangat perlu kicau yang merdu. Sekolah buatmu hanya perlu untuk titel, peduli titel diktat atau titel mukjizat. Sekolah buatmu hanya perlu untuk gengsi, agar mudah bergaul tentu banyak relasi”
(‘Nak (2)’, Iwan Fals)

Udah selesai Pak, PhD-nya?”, tanya seorang dosen dari Negeri Jiran saat break usai aku mempresentasikan penelitianku di Hotel Fort Canning, Singapura medio Agustus lalu. Untuk mempersingkat pembahasan, sambil tersenyum aku pun menjawab, “Belum”. “Hehehe, jangankan gelar doktoral, gelar master aja belum”, batinku. Forum presentasi riset internasional memang banyak diikuti oleh dosen dan cukup efektif untuk menambah ‘kum’ mereka. Sayangnya, forum yang mempertemukan banyak peneliti dan akademisi ini biasanya kurang dinamis. Karakter peneliti dan akademisi yang umumnya pendiam mungkin satu hal, tetapi kecintaan akan ilmu pengetahuan yang menggugah rasa ingin tahu, tidak hanya sibuk dengan diri sendiri, adalah hal yang lain.

Dunia pendidikan kita penuh dengan formalitas. Bukan hanya skripsi atau tesis ‘yang penting jadi’, bahkan dunia penelitianpun jadi ‘yang penting presentasi’ dan ‘masuk publikasi internasional’. Tidak bermaksud menggeneralisir, tapi setidaknya hal tersebut yang kurasakan dalam konferensi tersebut. Ada yang mengangkat judul “Education Nowadays” dari hasil meneliti dua desa dengan masing-masing 30 responden, ada yang instrumennya hanya kembali 21% dan cenderung homogen, ada yang penelitiannya selevel skripsi, bahkan ada yang presentasi dengan membacakan power point copy paste dari makalah dengan terbata-bata seolah tak memahami apa yang ditulis. Penelitianku mungkin juga tidak istimewa, namun setidaknya aku memahami benar apa yang kusampaikan, umpan balik dari peserta pun cukup baik.

Teringat olehku cerita seorang teman yang urung pergi presentasi riset ke Eropa karena penelitiannya ‘dibajak’ dosennya. Realitanya tentu tidak cuma satu dua kasus. Jika yang dilakukan sebatas membacakan paper, siapapun bisa melakukannya, tidak harus si pembuat paper, dan artinya siapapun berhak atas selembar sertifikat bukti telah menghadiri dan mempresentasikan riset skala internasional. Penelitian formalitas berbuah sertifikat formalitas yang berguna untuk kenaikan pangkat formalitas. Tidak perlu lagi ditanyakan kebermanfaatan dari penelitian yang dilakukan.

Sekolah, apalagi pendidikan tinggi memang sarat formalitas. Formalitas yang sekaligus merupakan peluang bisnis. Tak heran ada jual beli gelar dan ijazah, tak perlu terkejut dengan berbagai kecurangan dalam ujian dan seleksi masuk kuliah, termasuk menggunakan jasa joki. Karena semuanya hanya formalitas. Berbagai pertanyaan tentang rencana lanjut kuliah tidak bisa kujawab dengan singkat. Memang tidak sedikit mereka yang melanjutkan pendidikan untuk memperdalam ilmu dan kompetensi, namun tidak sedikit yang cuma mengejar gelar atau sekedar daripada tidak ada kesibukan. Formalitas. Tanpa menyebut nama, lihat saja beberapa orang pemegang rekor gelar terpanjang, berapa banyak tulisan dan penelitian mereka yang dipublikasikan? Berapa banyak berita yang memuat kepakaran mereka? Hampir tidak ada! Banyak gelar tanpa kompetensi itu formalitas, sekedar kuliah di kampus abal-abal demi selembar ijazah yang menambah sederetan gelar itu formalitas.

Perguruan tinggi memiliki Tri Dharma yang (seharusnya) bukan formalitas. Pendidikan akan menghasilkan ilmu yang merupakan senjata ampuh bagi pemiliknya. Pendidikan yang hanya formalitas –sekedar mengajar, sekedar hadir di kelas, sekedar memberikan dan mengerjakan tugas—demi selembar ijazah ibarat senjata mainan yang hanya mampu menakuti anak kecil. Tumpul, tidak banyak membantu dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Tidak perlu ditanya keberkahan dan kebermanfaatan pendidikan formalitas tersebut. Penelitian tidak hanya mengeksplorasi cara berpikir sistematis dan ilmiah, tetapi juga dapat mengurai dan mengatasi permasalahan yang dihadapi. Riset formalitas akan kehilangan makna dan manfaat, tidak akan menjadi sesuatu yang menginspirasi. Bahkan berpotensi cacat moral dan intelektual, dengan plagiat misalnya.

Pengabdian masyarakat akan mendekatkan civitas akademika dengan simpul terpenting kehidupan berbangsa dan bernegara, menurunkan mereka dari menara gading. Bagaimanapun, kualitas seorang lulusan perguruan tinggi baru benar-benar akan teruji di tengah masyarakat, bukan di kampusnya. Formalitas perguruan tinggi hanya akan membentuk robot-robot penuh ego, hitung-hitungan dan keangkuhan. Bahaya sekali ketika ijazah menjadi tujuan yang wajib diraih dengan menghalalkan segala cara. Alangkah ironinya jika toga justru menjadi hijab lulusan perguruan tinggi dengan masyarakatnya. Dan ketika semuanya hanya formalitas, kapitalisasi pendidikan akan menyeruak, pendidikan tinggi akan kehilangan filosofi keberadaannya. Pada akhirnya, kehancuran negeri ini tinggal menuju waktunya. Mari selamatkan masa depan bangsa dengan memberikan ruh dan makna pada pendidikan, tidak terjebak formalitas. Membangun jiwa, bukan hanya badannya, untuk Indonesia Raya.

”Bila kaum muda yang telah belajar di sekolah menganggap dirinya terlalu tinggi dan pintar untuk melebur dengan masyarakat yang bekerja dengan cangkul dan hanya memiliki cita-cita yang sederhana, maka lebih baik pendidikan itu  tidak diberikan sama sekali!” ( Tan Malaka )