“There are risks and costs to action. But they are far less than the long-range risks of comfortable inaction” (John F. Kennedy)
Beberapa waktu lalu saya membaca manga tentang sepakbola berjudul ‘Blue Lock’ yang menceritakan upaya Asosiasi Sepakbola Jepang (JFA) dalam mencetak striker haus gol. Berbeda dengan manga bergenre olahraga lainnya yang banyak menonjolkan tentang kerja sama tim, ‘blue lock’ justru mengajarkan bahwa striker sejati harus memiliki ego yang tinggi untuk mencetak gol. Kualitas seorang striker ditentukan oleh jumlah gol yang bisa dicetaknya, sepragmatis itu. Ketidakberanian menembak ke arah gawang ketika ada ruang tembak, dan memilih untuk mengoper ke rekan dianggap sebagai bentuk kelemahan. Cari aman. Jika rekannya bisa mencetak gol, dia akan dipuji karena tidak egois. Ketika gagal berbuah gol, dia tidak disalahkan. Padahal bentuk ketidakegoisan seorang striker adalah dengan keberanian mengambil peluang (sekaligus risiko) untuk terus mencetak gol. Dan rekan setimnya harus memahami posisi itu.
Dalam realitanya, memang banyak didapati sikap egois yang dimiliki para pemain bintang di posisi penyerang. Mulai dari menolak untuk diganti, memilih menembak bola ke gawang dibandingkan mengoper, memarahi rekan setim yang tidak memberinya bola, mengambil alih tendangan set piece, hingga tidak membantu pertahanan. Sikap malas ataupun kebanyakan gaya tidak masuk hitungan, sebab konteksnya adalah sikap yang menunjukkan ego tinggi dalam memperbesar peluang mencetak gol. Dan ego itulah yang menunjukkan gairah dan semangat untuk terus menjadi yang terbaik. Pentingnya kolektivitas tim dalam permainan sepakbola adalah satu hal, namun melihat sosok pemain yang tidak pernah puas dalam melampaui rekor demi rekor adalah sesuatu yang lain. Butuh ego, ‘keserakahan’, dan keberanian untuk dapat melakukannya.
Dalam konteks organisasi yang lebih luas, konteks ego yang seperti ini juga diperlukan oleh sosok pemimpin. Sebagai ‘ujung tombak’ suatu organisasi, pemimpin diharapkan berani mengambil tanggung jawab, bukan lantas melemparnya ke orang lain. Memang ada yang namanya mendelegasikan dan memberikan kepercayaan pada orang lain, namun itu berbeda dengan lempar tanggung jawab. Sosok pemimpin harus berani mengambil keputusan yang paling tidak populer sekalipun jika memang itu keputusan yang perlu diambil. Dan pemimpin sejati akan berdiri paling depan dalam mempertanggungjawabkan keputusannya. Keputusan yang diambil karena pemahaman dan kesadaran yang utuh. Keputusan yang bisa jadi penuh dengan risiko.
Keberanian untuk mengambil risiko menjadi modal penting untuk menjadi pemimpin. Kebijakan yang diambil bisa jadi tidak menyenangkan semua orang, bagaimanapun keputusan tetap harus dilakukan. Tidak malah menggantung sikap hanya karena ketidakberanian dalam menghadapi risiko kepemimpinan. Apalagi melarikan diri dari tanggung jawab dengan dalih apapun. Atau lepas tanggung jawab dengan alasan apapun. Menjadikan orang lain sebagai ‘tameng’ atas pilihan sikap juga tidak menunjukkan kebesaran jiwa seorang pemimpin. Termasuk memilih untuk tidak bersikap. Menunggu arah angin berhembus. Pragmatis dan oportunis.
Keputusan yang diambil belum tentu tepat, namun berani mengambil tanggung jawab atas sebuah keputusan yang diambil melalui pertimbangan yang mendalam akan jauh lebih baik dibandingkan ‘cuci tangan’ atas keputusan yang belum tentu salah. Cari aman. Seakan anggota organisasi tidak dapat menilai modus tersebut. Padahal setiap kebijakan akan ada konsekuensinya, dan setiap pilihan akan ada risikonya. Para pemimpin sejati memiliki keberanian dalam menghadapi konsekuensi dan risiko tersebut, sebab berani memimpin berarti berani untuk menderita. Leiden is lijden. Terus menjadi sorotan apapun sikap yang dipilih. Bahkan senantiasa dikritisi.
“The biggest risk is not taking any risk”, demikian ungkap Mark Zuckerberg. Harus ada yang ambil risiko shooting ke gawang walaupun belum tentu gol, sebab saling oper –secantik apapun—takkan berbuah kemenangan. Tidak cukup hanya bermain aman untuk meraih kemenangan. Harus ada yang mengambil risiko kepemimpinan sepelik apapun kondisinya agar arah perubahan lebih terang benderang. Jika kualitas striker dihitung dari jumlah golnya, maka kualitas seorang pemimpin dinilai dari seberapa besar keputusan yang diambilnya mampu memberikan kebermanfaatan bagi orang lain. Dan jalan perjuangan seorang pemimpin selalu menuntut keberanian dalam mengambil tanggung jawab. Bukan mencari berjuta pembenaran untuk lari dari tanggung jawab.
“Leadership is taking responsibility while others are making excuses” (John C. Maxwell)
Recent Comments