Tag Archives: pemerintah

Tembus Sejuta Kasus Positif Covid, Prestasi Siapa?

“...Sepanjang tahun 2020 dan memasuki tahun 2021, kita menghadapi beberapa ujian, beberapa cobaan yang sangat berat. Pandemi Covid-19 yang melanda dunia, 215 negara dan Indonesia, telah mengakibatkan krisis kesehatan dan krisis ekonomi. Kita bersyukur, Indonesia termasuk negara yang bisa mengendalikan dua krisis tersebut dengan baik, tetapi permasalahan belum sepenuhnya selesai. Pandemi masih berlangsung dan kita harus waspada dan siaga…

Pernyataan tersebut disampaikan Presiden Joko Widodo dalam sambutan virtualnya pada Sidang Majelis Pekerja Lengkap Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (MPL-PGI) 25 Januari lalu. Entah statement yang optimis atau gegabah mengingat kala itu kasus positif Covid-19 di Indonesia hampir menyentuh angka sejuta kasus, dengan jumlah pasien Covid-19 yang meninggal lebih dari 28 ribu jiwa. Dan benar saja, selang sehari kemudian, berdasarkan laporan Gugus Tugas Percepatan Penanangan Covid-19, per 26 Januari 2021, Indonesia mencatatkan penambahan 13.094 kasus baru Covid-19 yang membuat Indonesia menembus jumlah 1 juta dengan total 1.012.350 kasus. Jumlah kasus ini bahkan lebih tinggi dari penggabungan jumlah kasus dari 9 negara ASEAN lainnya yang berjumlah 920.797 kasus. Filipina yang per 6 Agustus 2020 lalu sempat memuncaki kasus Covid-19 di wilayah Asia Tenggara, saat ini kurvanya sudah mulai menurun dengan 516.166 kasus, jauh tertinggal dari Indonesia. Dengan total tes per populasi penduduk yang kurang dari setengahnya dibandingkan Filipina, kasus riil Covid-19 di Indonesia kemungkinan jauh lebih besar dari data yang dilaporkan.

Ungkapan syukur bahwa Indonesia mampu mengelola Covid-19 bukan kali itu saja disampaikan Jokowi. “…Pemerintah telah mengambil langkah untuk mengurangi dampak dari krisis ini. Walau pandemik belum berlalu tapi kita bersyukur bahwa kita termasuk negara yang mampu mengelola tantangan ini. Penanganan kesehatan yang bisa dikendalikan dengan terus meningkatkan kewaspadaan dan pertumbuhan ekonomi yang sudah naik kembali sejak kuartal 3 lalu meski dalam kondisi minus…”, ucap Jokowi dalam acara HUT PDIP ke-48 10 Januari lalu. Ungkapan syukur tidak salah, namun beberapa pihak menganggapnya kurang tepat. Apalagi hingga kini belum ada permintaan maaf dari pemerintah atas penanganan pendemi Covid-19 yang terbilang sangat lamban. Belum lagi kasus korupsi dana bansos yang terkuak ke publik, pemerintah sepertinya lebih tepat untuk banyak istighfar dan meminta maaf, daripada memberikan ketenangan semu dengan prestasi semu.

Hari ini, Perdana Menteri Inggris Boris Johnson, menyampaikan permintaan maaf atas kasus dan kematian akibat virus corona yang terus bertambah. “Saya sangat menyesal atas setiap nyawa yang telah meninggal dan tentu saja, sebagai perdana menteri saya bertanggung jawab penuh atas semua yang telah dilakukan pemerintah…” ujar Johnson ketika angka kematian akibat Covid-19 di Inggris melampaui 100 ribu jiwa. September tahun lalu, Presiden Israel Reuven Rivlin, menyatakan permintaan maaf terhadap warga Israel akibat kegagalan pemerintah membendung pandemi virus corona. “Saya menyadari bahwa kami belum banyak melakukan apa-apa sebagai pemimpin yang pantas mendapat perhatian Anda. Anda percaya kami, dan kami mengecewakan Anda…”, ujar Rivlin ketika Israel menerapkan penguncian wilayah (lockdown) akibat lonjakan penularan dan kematian akibat Covid-19. Kanselir Jerman, Angela Merker pada 9 Desember lalu juga meminta maaf kepada publik atas peningkatan kematian harian akibat virus seraya menjura, membungkuk dengan menangkupkan kedua tangan. “Saya benar-benar minta maaf… tetapi jika kita membayar harga korban tewas pada 590 orang setiap hari maka itu menurut saya, tidak dapat diterima…” ujarnya dalam pidato emosional di depan parlemen.

Sikap berbeda ditunjukkan Pemerintah Indonesia. Memang berbagai upaya telah dilakukan pemerintah untuk mengendalikan virus, mulai dari penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), PSBB proporsional, hingga pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM). Presiden Jokowi juga sempat menunjuk Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan untuk menekan lonjakan kasus di beberapa daerah, namun upaya itu belum juga membuahkan hasil. Walau dianggap terlambat, Jokowi juga memecat Terawan Agus Putranto dan menunjuk Budi Gunadi Sadikin untuk menjadi Menteri Kesehatan, pun hasilnya juga belum terlihat.

Merespon data kasus Covid-19 yang sudah menembus 1 juta kasus, Menkes Budi Gunadi Sadikin berjanji akan lebih menggencarkan program 3T, yaitu testing, tracing, dan treatment untuk mengurangi laju penularan virus. “Angka ini membuat kita harus merenung dan ada dua momen penting yang harus kita sadari. Saatnya Indonesia untuk berduka. Sebab, dengan terus meningkatnya kasus, banyak sekali pasien yang meninggal dunia. Bahkan, sudah lebih dari 600 tenaga kesehatan gugur dalam menghadapi pandemi ini. Dan mungkin sebagian dari keluarga dekat dan teman dekat sudah meninggalkan kita. Itu momen pertama yang harus kita lalui bahwa ada rasa duka yang mendalam dari pemerintah, dari seluruh rakyat Indonesia atas angka ini… Angka 1 juta ini memberikan satu indikasi bahwa seluruh rakyat Indonesia harus bersama dengan pemerintah bekerja bersama untuk atasi pandemi ini dengan lebih keras lagi. Kita teruskan kerja keras kita…” ujar Menkes dalam tayangan YouTube Sekretariat Presiden. Bukan permintaan maaf, namun mengajak masyarakat untuk merenung. Dalam kesempatan yang berbeda, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mengatakan, dibutuhkan percepatan dan keserempakan program vaksinasi Covid-19 untuk membangun kekebalan kelompok atau herd immunity. Semakin cepat herd immunity terbentuk, semakin cepat pula pandemi berakhir. “Perlu ada kecepatan. Itu kuncinya kenapa perlu cepat dilakukan vaksinasi kepada dua pertiga populasi agar memiliki antibodi,” kata Tito saat Rapat Monitoring dan Evaluasi Pelaksanaan Vaksinasi Covid-19, Senin lalu.

Semuanya baik-baik saja. Barangkali itu pesan yang disampaikan Pemerintah Indonesia dalam menghadapi Covid-19. Tanpa kesedihan dan kecemasan pun korban terus bertambah. Jika kita telusuri rekam perjalanan pandemi Covid-19 di negara ini, kita akan mendapati banyak pernyataan kontroversial dari para pejabat tinggi yang sebenarnya justru kontraproduktif dalam upaya penanganan Covid-19. Misalnya Menkes Terawan yang mengatakan tidak ada masyarakat Indonesia yang terkena virus corona karena do’a. Atau Menhub Budi Karya yang sebelum positif Covid-19 pernah berkelakar bahwa masyarakat Indonesia memiliki kekebalan tubuh dari virus corona karena gemar makan nasi kucing. Bukan sebatas pernyataan, kebijakan kontroversial juga kerap dibuat. Misalnya pemberian diskon bagi wisatawan untuk menggenjor sektor pariwisata, atau anggaran untuk influencer yang mencapai 90,45 miliar rupiah. Dan pada akhirnya, kita tidak bisa terus mengutuk kegelapan. Berusaha menjadi bagian dari solusi pun keberhasilannya akan diklaim pemerintah. Apalagi menghadapi rezim yang anti kritik, yang dapat dilakukan hanya senantiasa menjaga diri, keluarga, dan lingkungan sekitar kita agar tetap baik-baik saja. Mematuhi protokol kesehatan karena kesadaran, bukan sekadar ikut kebijakan pemerintah yang seringkali tak tentu arah. Karena solusi mengatasi pandemi ini ada di setiap diri kita.

Alhamdulillah 243 WNI yang pulang dari Wuhan dan diobservasi 14 hari di Natuna dinyatakan bersih dari Corona. Dalam kelakarnya, Menko Perekonomian Airlangga bilang: Karena perizinan di Indonesia berbelit-belit maka virus corona tak bisa masuk. Tapi omnibus law tentang perizinan lapangan kerja jalan terus” (Mahfud MD)

New Normal, Ilusi Penuh Harapan

Normal is an illusion. What is normal for the spider is chaos for the fly.” (Charles Addams)

Alhamdulillah, setelah dua setengah bulan mengganti shalat Jum’at dengan shalat zhuhur akibat pandemi Covid-19, akhirnya saya berkesempatan melaksanakan shalat Jum’at di masjid secara berjama’ah. Itupun karena memang sedang ada agenda rapat offline. Karena masjid perumahan juga belum menyelenggarakan shalat Jum’at berjama’ah. Tidak ada yang terlalu berbeda dari Jum’atan sebelum virus corona menyerang, kecuali tersedianya hand sanitizer dan bilik disinfektan untuk jama’ah, dan sebagian besar jama’ah menggunakan masker. Ya, tidak semua jama’ah mengikuti protokol cegah corona dengan menggunakan masker ketika beraktivitas di luar rumah. Social distancing antar jama’ah juga hanya terjadi di awal ketika jama’ah belum banyak yang datang. Ketika jama’ah sudah membludak, apalagi pas pelaksanaan shalat, jarak antar jama’ah hanya sekadar ‘tidak menempel’. Saya tidak akan membahas lebih baik mana shalat Jum’at di masjid atau shalat zhuhur di rumah ketika terjadi wabah. Yang ingin saya soroti adalah betapa banyak masyarakat kita yang bosan #dirumahaja dan ingin segera dapat beraktivitas di luar rumah, seperti sediakala. Apalagi saat ini pemerintah sudah membuka ruang itu dengan terminologi “new normal” atau kenormalan baru. Pun baru akan dimulai Juni mendatang, masyarakat awam sudah banyak yang ‘berani beraktivitas normal’ hanya berbekal masker.

Kenormalan baru yang dikehendaki pemerintah adalah kehidupan seperti biasanya ditambah dengan protokoler kesehatan, seperti menjaga jarak, menggunakan masker, mencuci tangan, dan tidak berkerumun. Karena obat atau vaksin corona belum pasti kapan akan ditemukan, sementara virus corona takkan hilang dalam waktu dekat, pemerintah berharap masyarakat Indonesia bisa berdamai dengan corona. Panduan menghadapi kenormalan baru pun sudah disiapkan. Kebijakan ini diharapkan menjadi solusi terbaik dalam menghadapi pandemi Covid 19 yang dampaknya bukan hanya terlihat dari perspektif dunia kesehatan, namun sektor-sektor kehidupan lainnya juga sangat terdampak, termasuk sektor ekonomi. Kenormalan baru diharapkan mampu menggeliatkan kembali perekonomian nasional yang sempat ‘mati suri’.

Kebijakan kenormalan baru ini banyak menuai kritik. Ketua DPR RI, Puan Maharani meminta pemerintah tidak terburu-buru menerapkan new normal tanpa kajian mendalam, termasuk harus ada langkah antisipasi seandainya terjadi gelombang baru penyebaran virus corona setelah penerapan new normal. Sementara itu, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal menolak istilah new normal yang dinilainya tidak akan efektif. Sudah banyak buruh yang PHK, sebagian lainnya tidak ada yang bisa dikerjakan karena ketiadaan bahan baku, sebagiannya lagi tetap bekerja walau tanpa new normal. Sementara Relawan Laporcovid-19 yang juga Ketua Jurnalis Bencana dan Krisis Indonesia, Ahmad Arif menilai kondisi ke depan adalah kondisi tidak normal. Pemerintah harus mampu mengendalikan pandemi dan menurunkan penyebaran virus corona, atau alih-alih new normal, yang terjadi justru bencana baru. Organisasi Muhammadiyah juga mengkritik dan skeptis dengan kebijakan ini. Data primer dari ratusan jaringan Rumah Sakit Muhammadiyah menunjukkan tren Covid 19 di Indonesia belum melandai. Berdamai dengan Covid 19 bukanlah sikap yang tepat, apalagi akan banyak nyawa masyarakat Indonesia yang dipertaruhkan. Dan masih banyak lagi kritik terhadap kebijakan kenormalan baru yang pada intinya dianggap tidak tepat waktunya karena belum memenuhi syarat untuk menerapkannya.

Sebagai catatan, ada beberapa syarat yang direkomendasikan WHO bagi negara yang hendak menerapkan new normal. Pertama, transmisi atau penularan Covid-19 terbukti sudah dapat dikendalikan. Indikator yang biasa digunakan adalah basic reproduction number (biasa dilambangkan dengan R0/ R naught) yaitu angka yang menunjukkan daya tular virus dari seseorang ke orang lain. Nilai R0 pada suatu waktu (t) atau biasa disebut effective reproduction number (Rt) haruslah lebih kecil dari 1 (satu) sehingga pelonggaran atau new normal dapat diterapkan. Bahkan idealnya, nilai Rt kurang dari 1 ini harus konsisten di bawah 1 (satu) selama dua pekan (14 hari) untuk memastikan transmisi Covid 19 sudah dapat dikendalikan. Kedua, sistem kesehatan terbukti memiliki kapasitas dalam merespon pelayanan Covid-19, mulai dari mengidentifikasi, mengisolasi, menguji, melacak kontak, hingga mengkarantina. Jangan sampai ketika terjadi gelombang baru akibat pelonggaran, Rumah Sakit dan fasilitas kesehatan menjadi overload. Ketiga, adanya mitigasi risiko pandemi khususnya untuk wilayah dan kelompok orang yang rentan terjangkit Covid-19, misalnya di panti jompo, fasilitas kesehatan termasuk Rumah Sakit Jiwa, ataupun pemukiman padat penduduk. Keempat, implementasi pencegahan penularan Covid-19 di tempat kerja dan tempat umum dengan penyediaan fasilitas fisik dan penerapan prosedur kesehatan. Kelima, risiko penyebaran imported case dapat dikendalikan. Keenam, adanya keterlibatan aktif masyarakat dalam pengelolaan masa transisi kenormalan baru.

Faktanya, berbagai persyaratan tersebut memang belum terpenuhi. Nilai Rt di beberapa wilayah Indonesia yang akan diterapkan new normal, termasuk DKI Jakarta, masih di atas 1 (satu). Penambahan jumlah kasus baru corona pun masih ratusan setiap harinya, lebih tinggi dibandingkan penambahan jumlah pasien yang sembuh. Kurva penyebaran virus corona pun relatif masih terus meningkat dan belum menunjukkan tanda-tanda akan melandai dalam waktu singkat. Belum lagi, rasio jumlah tes corona dibandingkan dengan populasi penduduk Indonesia tergolong paling rendah di antara negara-negara dengan jumlah kasus corona minimal lima digit. Artinya, bisa jadi jumlah kasus positif corona (termasuk jumlah korban jiwa akibat corona) di Indonesia jauh lebih besar dibandingkan data yang selama ini dipublikasikan. Singkatnya, new normal hanyalah ilusi sebab syarat dan ketentuannya belum terpenuhi, namun tetap akan diimplementasi.

Pun demikian, kenormalan baru adalah ilusi yang bisa dipahami. Ketika masyarakat lebih takut mati karena kelaparan dibandingkan mati karena virus. Ketika pemerintah sudah tidak lagi mampu membiayai. Ketika berbagai wacana dan teori konspirasi virus corona semakin ramai dan tidak dihalangi. Ketika pemimpin bukan hanya membiarkan, namun mencontohkan untuk tidak patuh prosedur. Ketika ekonomi menjadi panglima, yang siap menumbalkan sektor lainnya termasuk kesehatan dan pendidikan. Se-absurd apapun, kenormalan baru akan mentolerir dan menjadi solusi atas itu semua.

Masyarakat tak perlu takut menghadapi virus corona, toh berbagai virus mulai dari influenza hingga HIV bisa jadi ada setiap saat di semua tempat. Karenanya sebagian masyarakat menyambut kenormalan baru dengan euforia. Tidak perlu khawatir berlebihan dalam beraktivitas, harapan hidupnya pun semakin tinggi. Ketika Covid-19 diposisikan sebagai ilusi yang menebar ancaman dan ketakutan, new normal adalah ilusi yang memberikan harapan. Harapan untuk kembali menjalani hari-hari tanpa ketakutan. Harapan berdamai dengan virus dan membentuk sistem imun. Harapan kesejahteraan ekonomi semakin membaik. Dan berbagai harapan yang bisa jadi hanya sebatas angan. Entah sekadar harapan semu atau harapan yang akan mewujud biarlah imunitas dan waktu yang menjawabnya.

Akhirnya, masyarakat termasuk garda terdepan Covid-19 hanya bisa berdamai dengan kebijakan new normal. Ya, berdamai dengan kebijakan, bukan dengan virus yang tidak mengenal negosiasi. Tak bisa melawan. Tak punya posisi tawar. Apalagi bagi mereka yang tak punya pilihan dalam menentukan aktivitas pekerjaannya. Semuanya hanya bisa bekerja sesuai dengan tupoksinya, dan biarkan kenormalan baru menjadi tanggung jawab pribadi masing-masing. Hidup mati adalah takdir yang tak perlu ditakuti, apalagi hanya dari virus yang terlihatpun tidak. Dalam ketidakjelasan, bukankah lebih baik hidup dengan harapan dibandingkan hidup dengan ketakutan?

Karena beban tanggung jawab dipindahkan ke individu masyarakat, maka pemerintah bisa beralih fokus untuk mengerjakan proyek selanjutnya. Apalagi keberadaan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) nomor 1 tahun 2020 terkait penanganan pandemi Covid 19 sangat berpihak kepada pemerintah. Mulai dari keleluasaan menggunakan anggaran dengan dalih penanganan pandemi, hingga kekebalan hukum untuk disalahkan dalam upayanya mengatasi pandemi Covid 19. Proyek-proyek bisa kembali dijalankan, termasuk proyek pilkada. Biarlah rakyat mengais recehan untuk dapat meneruskan kehidupan. Biarlah para pengangguran dan pulahan juta korban PHK mati-matian untuk survival di tengah pandemi Covid-19. Semoga saja kebijakan new normal ini sudah direncanakan dengan matang dan tidak didasari pada kepentingan pragmatis golongan. Sehingga ribuan korban jiwa, termasuk puluhan tenaga medis tidaklah mati sia-sia. Untuk kemudian menuntut haknya di akhirat. Sehingga semua pihak bertanggung jawab terhadap pilihan yang diambil. Tidak kemudian lepas tangan ketika kondisi memburuk. Sehingga harapan baik bukan sebatas ilusi, namun menjadi impian yang akan diperjuangkan, dan do’a yang akan terwujud. Tetap normal dalam new normal.

“Hope and fear cannot occupy the same space. Invite one to stay.” (Maya Angelau)

Carut Marut Pendidikan, Kemana Saja Pemerintah?

Dalam pidato kenegaraan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di Gedung DPR/ MPR sehari sebelum peringatan HUT RI ke-66 lalu, Presiden SBY memastikan bahwa saat ini sudah tidak ada lagi warga berpenghasilan rendah yang kesulitan mendapat pelayanan kesehatan dan pendidikan. “Di masa lalu, masyarakat berpendapatan rendah sering mengalami kesulitan untuk mengakses pelayanan dasar. Alhamdullilah, keadaan ini telah berubah. Saat ini, saya dapat memastikan bahwa semua warga negara berpenghasilan rendah, memiliki hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan dan pendidikan dari pemerintah,” kata SBY (detiknews.com, 16/8). Menanggapi hal tersebut, Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas), Mohammad Nuh langsung menyampaikan rencana pembangunan pendidikan tahun 2012. Berdasarkan arahan Presiden SBY, prioritas pembangunan pendidikan akan diarahkan untuk meningkatkan akses dan pemerataan pelayanan pendidikan yang bermutu dan terjangkau. Hal itu dilakukan baik melalui jalur formal maupun non-formal di semua jenjang pendidikan (Kompas, 17/8).

Pernyataan Presiden SBY tersebut segera saja menuai banyak cibiran, mengingat realitanya masih banyak masyarakat miskin yang belum dapat mengakses layanan pendidikan dan kesehatan. Lihat saja dari data anak usia sekolah yang putus sekolah. Berdasarkan data BKKBN tahun 2010, jumlah anak Indonesia usia sekolah (7 – 13 tahun) yang terancam putus sekolah mencapai 13 juta anak, dan 80%nya karena alasan ekonomi. Artinya masih ada lebih dari 10 juta masyarakat berpenghasilan rendah yang sulit mengakses layanan pendidikan. Pernyataan Presiden SBY tersebut seakan hanya menegaskan ketidaktahuan pemerintah terhadap kondisi lapangan, mulai dari potret masyarakat miskin di Indonesia, keterbatasan tenaga pendidik hingga keterbatasan fasilitas pendidikan.

Dalam kunjungannya ke SD Babakan Madang 01, Sentul, Kabupaten Bogor, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) nampak terkejut melihat potret nyata sekolah di Indonesia dan meminta supaya anggaran pendidikan diprioritaskan untuk memperbaiki bangunan sekolah yang rusak. “Kantor guru kecil sempit dan desak-desakan. Atapnya tidak karuan kalau hujan bocor bangunannya juga sudah tidak layak. Saya lihat perpustakaanya juga tidak layak,” ujarnya di hadapan pejabat dan para guru (Republika, 22/8). Miris sekali mendengarnya, karena SD Babakan Madang 01 yang relatif dekat dengan ibukota saja dianggap tidak layak, bagaimana dengan SD lain di pelosok Indonesia? Sementara saat ini masih ada ratusan ribu sekolah yang tidak layak di Indonesia.

Carut marut pendidikan ini sebenarnya dapat diurai jika saja ada keseriusan semua pihak, terutama pemerintah dalam mengelola pendidikan di negara ini. Kebijakan anggaran pendidikan 20% dari APBN jelas bukan angka kecil, bahkan India saja hanya menganggarkan anggaran pendidikan 10% dari APBN untuk meningkatkan kualitas SDM dan pendidikan di negaranya. Yang perlu dicemati adalah efektifitasnya. Selama ini pemerintah seolah merasa sudah berbuat banyak dengan mengucurkan banyak dana pendidikan, padahal tidak sedikit yang tidak tepat sasaran dan tidak tepat jumlah. Akhirnya, 6 dari 10 dana BOS diselewengkan, dana beasiswa keluarga miskin pun dikorupsi. Fakta ini seharusnya segera disikapi dengan sistem pengawasan dan sanksi yang ketat, bukan malah ditutupi seolah semuanya baik – baik saja. Kepemimpinan adalah keteladanan dan seorang pemimpin tidak selayaknya jauh dari masyarakatnya. Karenanya, ketika potret pendidikan Indonesia dipandang melalui kacamata kuda pemerintah, perbaikan hanya akan sebatas angan. Yang ada hanya apologi dan pembenaran atas berbagai ketidakoptimalan dalam pelayanan.

Di samping penanganan taktis masalah – masalah pendidikan yang sudah mencuat, seperti banyaknya anak putus sekolah, sekolah tidak layak, guru kurang berkualitas, penyelewengan anggaran pendidikan, dan sebagainya, perlu juga ditinjau hal yang lebih filosofis untuk perbaikan pendidikan Indonesia. Harus ditegaskan kembali tujuan pendidikan di Indonesia. Berbagai kasus seperti kecurangan UN dan joki SNMPTN muncul karena tujuan pendidikan seolah sebatas mengejar nilai untuk bisa melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Berbagai kasus komersialisasi pendidikan muncul karena pendidikan diarahkan sebagai komoditi bisnis. Masalah sentralisasi – desentralisasi guru dan berbagai kasus politisasi pendidikan muncul karena pendidikan dijadikan alat memuluskan jalan penguasa. Semakin tidak terdefinisikannya tujuan pendidikan di Indonesia, semakin liar penyimpangan arah yang akan terjadi dan semakin banyak perbaikan yang harus dilakukan. Sebelum melangkah lebih jauh, setiap pihak yang hendak menguraikan permasalahan pendidikan di Indonesia, seyogyanya menelaah kembali tujuan pendidikan nasional. Jika potret ironis pendidikan saja tidak diketahui pemerintah, jangan – jangan tujuan pendidikan nasional pun pemerintah tidak tahu??