“Kami menceritakan kepadamu kisah yang paling baik dengan mewahyukan Al Quran ini kepadamu, dan sesungguhnya kamu sebelum (Kami mewahyukan)nya adalah termasuk orang-orang yang belum mengetahui.” (QS. Yusuf: 3)
Kajian Rutin Ahad pagi ini di Masjid Muniroh Abdullah Ar Rukban mengangkat tema tentang Shiroh Nabi Yusuf a.s. Tampaknya bukan kebetulan, tilawah rutin penulis hari ini juga tepat di Surah Yusuf, Surah ke-11 dalam Al-Qur’an yang terdiri dari 111 ayat. Dan qadarullah beberapa hari lalu, kajian kantor ba’da zhuhur di Masjid panggung Cordofa juga membahas beberapa hikmah dari kisah Nabi Yusuf a.s. yang disebutkan dalam Al Qur’an sebagai ‘kisah yang paling baik’ (ahsanal qashash). Banyak sekali pelajaran hidup dalam kisah Nabi Yusuf a.s., mulai lingkup pribadi, keluarga, masyarakat, hingga negara. Namun sesuai dengan judul, tulisan ini hanya akan dibatasi pada proses Nabi Yusuf a.s. menjadi bendaharawan Negeri Mesir, mulai dari kisah di penjara hingga pelantikan beliau.
Pengangkatan Nabi Yusuf a.s. menjadi pejabat di Mesir tidak dapat terpisahkan dari kisah beliau ketika di penjara. Integritas Nabi Yusuf a.s. dibuktikan disini, kompetensi takwil mimpi pun ditunjukkan disini. Sebagaimana dilanjutkan oleh ulama-ulama di kemudian hari, penjara menjadi medan dakwah potensial para da’i, tak terkecuali Nabi Yusuf a.s. yang begitu dicintai dan dihormati oleh para tahanan. Dalam Al Qur’an Surat Yusuf ayat 36 diceritakan, suatu ketika dua pemuda narapidana berkonsultasi pada Nabi Yusuf a.s. yang mereka nilai orang yang berbuat baik (muhsinin) tentang mimpi-mimpi mereka. Saat itu, Nabi Yusuf a.s. tidak langsung menjelaskan takwil mimpi mereka, melainkan berdakwah menguatkan fondasi akidah. Tawadhu menegaskan bahwa kompetensi takwil mimpi yang dimilikinya adalah karunia Allah SWT. Dari lima ayat yang menceritakan jawaban Nabi Yusuf a.s. atas pertanyaan dua rekannya d penjara, empat ayat pertama adalah dakwah, hanya satu ayat yang menjelaskan takwil mimpi mereka. Dalam unjuk kompetensinya, Nabi Yusuf a.s. sama sekali tidak ragu mengungkapkan jati dirinya sebagai da’i. Berbeda dengan kebanyakan politisi saat ini yang justru tersandera dengan ‘politik identitas’. “Inilah jalanku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan yakin, Maha Suci Allah, dan aku tidak termasuk orang-orang musyrik” (QS. Yusuf: 108).
Setelah itu, Nabi Yusuf a.s. mencoba ‘peruntungannya’ dengan menitip pesan kepada tahanan yang diketahuinya akan selamat. Namun Allah SWT sudah menetapkan bukan seperti itu jalur politik yang benar. “Dan dia (Yusuf) berkata kepada orang yang diketahuinya akan selamat di antara mereka berdua, “Terangkanlah keadaanku kepada tuanmu.” Maka setan menjadikan dia lupa untuk menerangkan (keadaan Yusuf) kepada tuannya. Karena itu dia (Yusuf) tetap dalam penjara beberapa tahun lamanya.” (QS. Yusuf: 42). Kampanye lewat jalur ‘orang dalam’ mungkin bisa lebih cepat sampai tujuan, namun belum tentu dibenarkan dan diridhai. Jalur instan bisa jadi menzhalimi hak orang lain, bisa jadi pula melewatkan pembelajaran penting atau keberkahan yang mengiringi proses yang lebih panjang. Malah bukan tidak mungkin, jalan yang tidak benar justru berakibat buruk, sebagaimana Nabi Yusuf a.s. yang harus mendekam dalam penjara hingga beberapa tahun lamanya.
Beberapa tahun kemudian, Raja Mesir bermimpi berulang dan berlanjut. Mimpi yang tidak dapat ditakwilkan oleh para pejabat dan tokoh agama di Mesir, namun cukup untuk mengingatkan rekan penjara Nabi Yusuf a.s. yang selamat akan kompetensi Nabi Yusuf a.s. Dalam kajian di Masjid Orchid, disebutkan bahwa Nabi Yusuf a.s. dipenjara selama 7 tahun, nama Raja Mesir saat itu adalah Aminhautib IV dan nama rekan penjara Yusuf yang menjadi pelayan Raja Mesir adalah Minarus. Singkat cerita, Raja Aminhautib IV mengutus Minarus untuk bertanya kepada Nabi Yusuf a.s. akan makna dari mimpinya. “Yusuf, wahai orang yang sangat dipercaya! Terangkanlah kepada kami (takwil mimpi) tentang tujuh ekor sapi betina yang gemuk yang dimakan oleh tujuh (ekor sapi betina) yang kurus, tujuh tangkai (gandum) yang hijau dan (tujuh tangkai) lainnya yang kering agar aku kembali kepada orang-orang itu, agar mereka mengetahui.” (QS. Yusuf: 46).
Mendapati pertanyaan itu, Nabi Yusuf a.s. tidak menyembunyikan ilmu dan kompetensinya. “Dia (Yusuf) berkata, “Agar kamu bercocok tanam tujuh tahun (berturut-turut) sebagaimana biasa; kemudian apa yang kamu tuai hendaklah kamu biarkan ditangkainya kecuali sedikit untuk kamu makan. Kemudian setelah itu akan datang tujuh (tahun) yang sangat sulit, yang menghabiskan apa yang kamu simpan untuk menghadapinya (tahun sulit), kecuali sedikit dari apa (bibit gandum) yang kamu simpan. Setelah itu akan datang tahun, dimana manusia diberi hujan (dengan cukup) dan pada masa itu mereka memeras (anggur).” (QS. Yusuf: 47-49). Menariknya, Nabi Yusuf a.s. tidak hanya menjelaskan takwil mimpi Raja, namun juga memberi solusi. Biji gandum yang telah dipanen tidak bisa bertahan lama disimpan, karenanya Nabi Yusuf a.s. menyarankan membiarkan tangkainya (tidak dipreteli) agar bisa lebih awet. Selain itu, Nabi Yusuf a.s. juga mengingatkan pentingnya menyimpan bibit untuk menghadapi masa subur kedua. Kampanye Nabi Yusuf a.s. adalah kampanye yang cerdas dan mencerdaskan, tidak hanya sampaikan gagasan namun juga solutif.
Setelah Raja Mesir mendengar penjelasannya, beliau meminta Nabi Yusuf a.s. dibebaskan dan dibawa menghadapnya. Namun bukannya senang dengan pembebasannya, Nabi Yusuf a.s. justru mengajukan ‘syarat’ pembebasannya. “Kembalilah kepada tuanmu dan tanyakan kepadanya bagaimana halnya perempuan-perempuan yang telah melukai tangannya. Sungguh, Tuhanku Maha Mengetahui tipu daya mereka.” (QS. Yusuf: 50). Umumnya, yang memberi syarat adalah yang membebaskan sehingga disebut bebas bersyarat. Ini sudah diberikan kebebasan tanpa syarat malah minta syarat. Kampanye Nabi Yusuf a.s. sangat memperhatikan reputasi sebelum menjabat. Nama baiknya harus dibersihkan sehingga tidak menjadi ‘beban’ ke depannya. Sangat berbeda dengan politisi di Negeri Wakanda dimana politisi yang sudah terbukti korupsi atau melanggar hukum tidak malu untuk mencalonkan dirinya kembali ke pentas politik. Jika Nabi Yusuf a.s. dipenjara dulu baru jadi pejabat, di Negeri Wakanda banyak politisi yang menjabat dahulu, melakukan perbuatan melanggar hukum, baru kemudian dipenjara.
Kasus tujuh tahun sebelumnya kembali dibuka dan kebenaran pun terungkap. “Dia (raja) berkata (kepada perempuan-perempuan itu), “Bagaimana keadaanmu ketika kamu menggoda Yusuf untuk menundukkan dirinya?” Mereka berkata, “Mahasempurna Allah, kami tidak mengetahui sesuatu keburukan darinya.” Istri Al-Aziz berkata, “Sekarang jelaslah kebenaran itu, akulah yang menggoda dan merayunya, dan sesungguhnya dia termasuk orang yang benar”. (Yusuf berkata), “Yang demikian itu agar dia (Al-Aziz) mengetahui bahwa aku benar-benar tidak mengkhianatinya ketika dia tidak ada (di rumah), dan bahwa Allah tidak meridhai tipu daya orang-orang yang berkhianat.” (QS. Yusuf: 51-52). Mengkhianati amanah adalah ciri kemunafikan dan tidak ada tempat yang layak bagi seorang pengkhianat. Tidak ada rasa aman memberi amanah kepada seorang pengkhianat. Karenanya, fakta pengkhianatan ini perlu diungkapkan. Bukan untuk mempermalukan orang tua angkatnya, karena Nabi Yusuf a.s. juga tidak bisa melupakan jasa dan ketulusan mereka dalam merawat beliau. Kampanye ini dilakukan untuk memperoleh kepercayaan publik kembali, termasuk kepercayaan dari Raja Mesir. Dan Nabi Yusuf a.s. pun tidak lantas menyalahkan orang tua angkatnya. “Dan aku tidak (menyatakan) diriku bebas (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu mendorong kepada kejahatan, kecuali (nafsu) yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS. Yusuf: 53).
Singkat cerita, setelah berbincang-bincang dengan Nabi Yusuf a.s., Raja Mesir menjadikan Nabi Yusuf a.s. seorang yang berkedudukan tinggi di lingkungan kami dan terpercaya. Kemudian Nabi Yusuf a.s. berkata, “Jadikanlah aku bendaharawan negeri (Mesir); karena sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga dan berpengetahuan.” (QS. Yusuf: 55). Ayat ini kerap dijadikan dalil untuk memperbolehkan meminta jabatan, namun ada dua hal yang seringkali terlewatkan. Pertama, proses panjang dalam mendapat kepercayaan pemimpin dan membuktikannya. Kedua, kualifikasi personal yang dimiliki, tidak hanya aspek berpengetahuan atau berkompeten, namun juga aspek pandai menjaga atau berintegritas. Kompetensi dan karakter ini harus melekat pada diri pemimpin, keduanya, tidak boleh hanya salah satunya. Kampanye Nabi Yusuf a.s. adalah pembuktian kompetensi sekaligus karakter dan integritas beliau. “Dan demikianlah Kami memberi kedudukan kepada Yusuf di negeri ini (Mesir); untuk tinggal dimana saja yang dia kehendaki. Kami melimpahkan rahmat kepada siapa yang Kami kehendaki dan Kami tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Yusuf: 56).
“Sungguh, pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang yang mempunyai akal. (Alquran) itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya, menjelaskan segala sesuatu, dan (sebagai) petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Yusuf: 111)
Recent Comments