“Indonesia tanah air beta, pusaka abadi nan jaya. Indonesia sejak dulu kala, tetap dipuja-puja bangsa.
Di sana tempat lahir beta. Dibuai, dibesarkan Bunda.
Tempat berlindung di hari tua, sampai akhir menutup mata…”
Lagu ‘Indonesia Pusaka’ tetiba menggema di bulan ini sebagai salah satu lagu wajib nasional yang kerap mewarnai peringatan kemerdekaan Republik Indonesia. Lagu nasionalis yang sangat optimis. Ada euforia puja puji terhadap Indonesia di masa lalu. Ada keyakinan Indonesia tetap menjadi tempat yang nyaman dalam menghabiskan hari tua. 71 tahun mungkin bukan usia yang tua jika dibandingkan usia negara-negara lawas semisal USA, Portugal, ataupun Swiss. Tapi jika melihat Negara seperti Yugoslavia atau Cekoslowakia yang ‘wafat’ di usia 74 tahun tentu sudah sepantasnya Indonesia bersikap bijak tidak larut dalam kegembiraan yang tidak produktif. Ya, momentum dirgahayu semestinya bisa menjadi momen instrospeksi agar negeri ini bisa lebih wawas diri.
Indonesia lahir seumuran dengan Korea Selatan, hanya lebih lambat 2 hari. Namun akselerasi keduanya sangat jauh berbeda. Berdasarkan laporan UNDP, pada tahun 2015, Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index/ HDI) Korea Selatan sebesar 0.898 dan ada di peringkat 17 dunia. Indonesia masih berkutat di posisi 110 dunia dengan nilai 0.684, setara dengan Gabon yang juga merdeka pada 17 Agustus namun lebih muda 15 tahun dari Indonesia. Usia memang tidak lantas menunjukkan kualitas. Lihat saja Singapura yang ‘baru’ berusia 51 tahun namun sudah menjadi salah satu negara maju di dunia (HDI 0.912 – peringkat 11 dunia). Sementara Liberia yang sudah berusia 169 tahun masih termasuk negara tertinggal (HDI 0.430 – peringkat 177 dunia). Lalu, apa yang membedakan?
Sebagian orang berapologi dengan alasan titik awal perjalanan Negara. Padahal di awal masa kemerdekaan, Singapura tidak kalah sulitnya dengan Indonesia, bahkan mungkin lebih tragis. Dua pertiga penduduknya miskin dan tinggal di pemukiman kumuh. Air bersih sulit didapat, wabah malaria menyerang, sehingga mayat pun bergelimpangan. Pun demikian dengan Korea Selatan. Paska Perang Dunia II, Korea kembali mengalami kehancuran kedua akibat perang saudara (1950 – 1953). Kehidupan sosial, ekonomi dan politik hancur, puluhan juta warganya miskin dan kelaparan. Praktis pada tahun 1960-an, Indonesia jauh lebih maju dibandingkan Singapura ataupun Korea Selatan.
Ada pula yang menjadikan negara penjajah sebagai alasan. Konon Inggris lebih baik dari Belanda. Singapura berpisah dari Malaysia pada 9 Agustus 1965, Malaysia sendiri sebelumnya adalah jajahan Inggris. Hanya saja sering luput dari perhatian bahwa sekitar 90% negara di dunia pernah dijajah Inggris, termasuk Indonesia. Dan hingga saat ini tidak sedikit negara persemakmuran Inggris yang masih masuk kategori low human development, misalnya Sierra Leone, Afghanistan, Sudan, Malawi, Uganda, Lesotho, Papua Nugini, dan Pulau Solomon. Selain pernah dijajah Jepang, Korea Selatan pernah dijajah Perancis. Kanada adalah contoh bekas negara jajahan Perancis yang maju, namun jangan lupakan bekas negara jajahan Perancis di Afrika tengah dan barat misalnya Niger, Chad, Burkina Faso, Guinea, Pantai Gading dan Senegal yang termasuk negara-negara dengan HDI terendah. Artinya, mengkambinghitamkan penjajahan Belanda hanyalah sebuah bentuk sikap tidak berani bertanggung jawab.
Tidak sedikit pula pendapat lain yang lebih fair, bahwa secara umum ada tiga faktor yang menyebabkan Indonesia jadi jauh tertinggal oleh negara-negara yang pernah ada di level lebih rendah dari Indonesia. Ketiga faktor utama itu adalah fokus pembangunan, karakter warga, dan kepemimpinan. Fokus pembangunan ekonomi Singapura dan Korea Selatan diintegrasikan dengan investasi SDM melalui pembangunan pendidikan. Alhasil, kedua negara ini berhasil membentuk karakter warganya yang sejalan dengan visi pembangunan negara mereka. Ya, bukan hanya masuk jajaran negara dengan kualitas pendidikan terbaik di dunia, Singapura dan Korea Selatan berhasil menanamkan nilai kerja keras, disiplin, patuh aturan, peduli lingkungan dan tidak mau mengambil hak orang lain kepada seluruh warganya. Lingkungan yang kondusif tentu akan menopang percepatan pembangunan. Selain itu, kemajuan Singapura tak bisa dipisahkan dari sosok Lee Kwan Yew yang bertangan besi namun visioner. Mirip dengan sosok Park Chung Hee di Korea Selatan. Di Indonesia, pemimpin otoriter berkonotasi negatif, pemimpin demokratis adalah harga mati. Pun realitanya demokratis yang dimaksud cenderung plin plan dan tak punya sikap, sementara pemimpin yang kuat dan tegas langsung dicap diktator.
Jika disadari demikian, lantas mengapa Indonesia yang begitu potensial tak jua mampu mengungguli atau paling tidak menyamai negara-negara tersebut? Persoalannya memang kompleks namun akar masalahnya tidak jauh dari problem karakter dan mentalitas. Kurang sabar untuk konsisten, kurang konsisten untuk terus belajar, dan kurang belajar untuk bersabar. Hakikat dan tujuan pembangunan nasional sebenarnya sudah terintegrasi, hanya saja praktik pembangunannya masih parsial. Mengutamakan pembangunan fisik yang terlihat termasuk proyek mercusuar yang high cost dibandingkan pembangunan non fisik. Mendahulukan ketercapaian indikator (semu) ekonomi nasional di atas perhatian lebih pada sektor pendidikan dan kesehatan. Bahkan memprioritaskan pembangunan kota daripada desa, Jawa daripada luar Jawa, barat daripada timur Indonesia. Alih-alih keseimbangan, yang terjadi justru ketimpangan.
Tidak ada yang perlu dibanggakan dari usia 71 tahun jika mentalitasnya masih anak-anak. Bukan tidak mungkin 71 tahun yang terlewat sejatinya hanya 1 tahun yang berulang sebanyak 71 kali. Indonesia masih banyak PR, belum selesai dengan dirinya. Tidak hanya soal minimnya kualitas, kesenjangan sosial ataupun lemahnya supremasi hukum. Leadership dan followership juga masih menjadi tantangan besar. Belum lagi bicara tentang master plan bangsa. Namun dalam konteks wawas diri, setiap komponen bangsa harus introspeksi untuk kemudian memberikan kontribusi produktifnya, tanpa kecuali. Sadar peran, kewajiban dan tanggung jawabnya untuk selanjutnya bersinergi dalam meraih cita bersama.
Akhirnya, sesi kontemplasi ini harus diakhiri dengan keseimbangan antara kekhawatiran dan optimisme yang diikuti oleh aksi nyata perbaikan. Kekhawatiran akan masa depan bangsa menjadi suplemen agar bangsa ini tidak terlena dan tertidur. Bukan tidak mungkin Indonesia tinggal sejarah, toh Negara Adidaya Uni Sovyet pun runtuh. Bukan tidak mungkin Indonesia bangkrut, toh ekonomi Yunani yang peradabannya sudah puluhan abad pun bisa koleps. Namun optimisme akan kebangkitan Indonesia sebagai kekuatan regional dan global juga perlu terus dipupuk sebagai pembakar motivasi. Negeri ini kaya potensi dan sumber daya, tak ada alasan tak bisa mengejar ketertinggalan. Jika usia bukan faktor penentu kemajuan suatu negara, maka kontribusi nyata yang akan membedakannya. Dan jika sisa usia merupakan Rahasia-Nya, mengisinya dengan kerja, prestasi dan karya tuk mencapai cita bersama tentu menjadi hal yang utama. Indonesia Bangkit Berdikari, Insya Allah…
“Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri” (Soekarno)
Recent Comments