Agar Belajar di Rumah Tidak Salah Kaprah

Setiap tempat adalah sekolah. Setiap orang adalah guru. Setiap buku adalah ilmu.
(Roem Topatimasang dalam ‘Sekolah itu Candu’)

Salah satu dampak wabah COVID 19 terhadap dunia pendidikan yang jelas dirasakan adalah kembalinya rumah sebagai madrasah anak, dengan orang tua sebagai gurunya. Rata-rata hampir dua pekan sudah sekolah diliburkan di sebagian besar wilayah Indonesia. Di banyak sekolah, tugas mengajar peserta didik diserahkan ke orang tua. Jika melihat tren peningkatan kasus penyebaran virus corona yang masih terus meningkat, penugasan peserta didik untuk belajar di rumah tampaknya masih akan berlangsung beberapa pekan atau bahkan beberapa bulan ke depan.

Awalnya mungkin tidak sedikit anak ‘kaget’ ketika diajar oleh orang tuanya yang ternyata jauh lebih galak dibandingkan gurunya di sekolah. Pun kini barangkali sudah mulai bisa beradaptasi, potensi stress anak tetaplah tinggi. Social distancing membatasi aktivitas anak ke luar rumah dibatasi, termasuk membatasi interaksinya bermain dengan teman sebayanya. Bermain dengan orang tuanya canggung, dengan adik atau kakaknya pun bosan. Dan yang tidak kalah stress adalah orang tuanya. Semakin sering mengajar anaknya, semakin ‘gregetan’ juga. Bagi orang tua yang bekerja dari rumah, tugas work form home(WFH) nya semakin berat ditambah tugas mengajar anak. Bagi orang tua yang terpaksa tidak bisa WFH lebih parah, lingkup kontrol tugasnya jadi semakin luas. Alhasil, bukannya lebih tenang dengan berdiam di rumah, yang terjadi malah uring-uringan dan marah-marah.

Jika melihat peran penting keluarga dalam pendidikan anak, dan memperhatikan kondisi wabah COVID 19 yang begitu mengancam, tidak ada yang salah dengan kebijakan belajar di rumah. Sekiranya ada yang belum optimal, tentu memang perlu ada yang diperbaiki dari segi implementasinya. Bagaimanapun, pendidikan itu sejatinya mencerahkan, jadi tidak seharusnya malah bikin murung. Pendidikan itu seharusnya menginspirasi, malah aneh jika dengan mengajar anak pikiran jadi buntu. Dan pendidikan itu semestinya mampu mengakrabkan, mendekatkan yang jauh bukan menjauhkan yang dekat. Barangkali memang tidak semua orang tua memiliki kompetensi mendidik, namun jiwa mendidik sejatinya sudah ter-install di diri setiap orang tua. Tinggal bagaimana mengoperasikannya saja.

Namun sebelum jauh berbicara tentang operasionalisasi mendidik anak, hal penting yang perlu lebih dahulu ada adalah persiapan mengajar. Bukan hanya persiapan fisik, namun juga persiapan jiwa dan pikiran. Hal yang kadang luput disadari orang tua adalah bahwa mendidik bukan semata menyampaikan atau meneruskan materi pembelajaran, namun ada keterikatan jiwa dan pikiran disitu. Disanalah titik awal bahwa ‘pendidikan itu mampu mengakrabkan’. Jadi selain kehadiran fisik, kehadiran jiwa dan pikiran juga tak kalah penting. Bukan tidak bisa memang, mengajar anak sambil mengejar target WFH, misalnya. Anak barangkali akan tetap belajar, dan pekerjaan kantor terselesaikan. Namun keterikatan jiwa dan pikiran tadi tidak muncul, sehingga aktivitas belajar mengajar hanya menjadi rutinitas yang melelahkan dan membosankan.

Tantangan selanjutnya adalah tidak banyak orang tua yang memiliki kompetensi pedagogik, apalagi kompetensi profesional. Sedangkan pola penugasan dari sekolah ke siswa mengikuti pola ini, sesuai dengan buku paket yang ada. Silabus dibagikan ke orang tua untuk kemudian diajarkan ke anaknya. Hal yang paling umum terjadi adalah aktivitas belajar mengajar konvensional, dimana orang tua memberi tahu tugas halaman sekian sampai sekian, kemudian anak mengerjakannya. Tanpa benar-benar didampingi, tentunya. Paling jika ada yang kurang jelas atau kurang dimengerti interaksi baru terjadi. Di sisi lain, orang tua menggunakan standar dirinya untuk anaknya. Tingkat kesulitan soal jadi berbeda standarnya, sehingga yang terjadi adalah ‘gitu aja kok ga bisa’. Waktu penyelesaian tugas jadi berbeda pula standarnya sehingga yang terjadi adalah ‘gitu aja kok lama banget ngerjainnya’. Belum lagi orang tua juga tidak dibekali teknik menyampaikan dan teknik evaluasi pembelajaran yang baik. Akibatnya pembelajaran semakin tidak sesuai standar, yang ada malah semuanya tambah stress.

Lantas sebaiknya bagaimana? Dari pihak orang tua tadi sudah jelas, harus mempersiapkan fisik, hati, dan pikirannya terlebih dahulu. Termasuk keinginan untuk terus belajar. Niat baik untuk membuat anak jadi orang sukses tidaklah cukup. Disinilah pihak sekolah semestinya bisa ikut membantu, membekali orang tua dengan perlengkapan mengajar yang memadai, bukan hanya selembar silabus dan lembar evaluasi siswa. Orang tua perlu dibekali cara menghidupkan rumah menjadi madrasah. Upaya untuk menciptakan pembelajaran yang aktif, inovatif, kreatif, efektif, dan menyenangkan, tidak mudah terwujud jika hanya mengandalkan inisiatif dan kompetensi yang dimiliki orang tua. Butuh dukungan dari pihak sekolah yang lebih memahami detail aktivitas pendidikan dan pembelajaran.

Lebih jauh lagi, sebenarnya –atau seharusnya–, ada perbedaan mendasar antara pendidikan di sekolah yang masuk ke ranah formal, dengan pendidikan di rumah yang masuk ke ranah informal. Hanya saja saat ini memang agak salah kaprah. Konsep pendidikan formal dipaksakan masuk dalam ranah pendidikan informal. Mungkin karena darurat bencana juga. Atau bisa jadi karena pendidikan kita selama ini sudah identik dengan persekolahan formal, sehingga pendidikan akhirnya terjebak dalam formalitas persekolahan.

Idealnya, ketika pendidikan dikembalikan ke rumah, bentuknya pun menyesuaikan lebih kontekstual (sesuai dengan konteks kehidupan sehari-hari) dan lebih fungsional (menjawab kebutuhan dan menyelesaikan permasalahan). Apalagi momennya tepat dengan fenomena wabah yang menjadi bagian dari permasalahan sehari-hari. Jadi, kurikulum dan silabus di sekolah semestinya bisa sejenak dikesampingkan, untuk digantikan dengan konten yang lebih sesuai dan kekinian. Pelajaran tematik masih dibutuhkan, namun temanya adalah seputar keluarga, kesehatan, lingkungan, virus corona dan sebagainya. Sehingga materi-materi edukasi tentang COVID 19 tidak hanya ada di laman web atau beredar di media sosial saja. Melainkan langsung diajarkan, didiskusikan, dan diimplementasikan langsung ke unit terkecil dari masyarakat dunia yang bernama keluarga.

Kemudian terkait kompetensi orang tua, yang kemudian perlu dikuatkan adalah kompetensi kepribadian dan kompetensi sosialnya, bukan lagi kompetensi pedagogik dan kompetensi profesionalnya. Kompetensi kepribadian dan kompetensi sosial ini relatif sudah jadi default di setiap orang tua yang sejatinya adalah pendidik. Tidak harus belajar terkait keguruan dan ilmu pendidikan. Dan ketika pendidikan sudah lebih bercorak informal, kontekstual dan fungsional, pembelajaran seharusnya tak lagi normatif dan membosankan. Teknisnya barangkali tidak sesederhana itu, sebab banyak orang tua juga yang masih terjebak pemahaman keliru bahwa yang namanya pendidikan adalah sekolah. Karenanya edukasi, pembekalan, dan pendampingan ke orang tua dari pihak sekolah masih dibutuhkan. Bahkan bisa jadi polanya berubah, guru di sekolah menjadi fasilitator pendidikan informal di rumah. Ujung tombak pendidikannya ada di orang tua. Agak liar memang, entah siapa nanti yang akan stress. Yang jelas masih ada waktu beberapa pekan atau beberapa bulan ke depan untuk mendesain pendidikan terbaik bagi anak di rumah, dan itu seharusnya jelas bukan pendidikan formal.

Didiklah anakmu sesuai dengan zamannya. Karena mereka hidup bukan di zamanmu.
(Ali bin Abi Thalib)

Leave a Comment


NOTE - You can use these HTML tags and attributes:
<a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <strike> <strong>