Monthly Archives: April 2020

Rumah Sempit yang Meluas

“Empat perkara termasuk dari kebahagiaan, yaitu wanita (istri) yang shalihah, tempat tinggal yang luas/ lapang, tetangga yang shalih, dan tunggangan (kendaraan) yang nyaman. Dan 4 perkara yang merupakan kesengsaraan yaitu tetangga yang jelek, istri yang jelek (tidak shalihah), kendaraan yang tidak nyaman, dan tempat tinggal yang sempit.” (HR. Ibnu Hibban)

Awalnya mungkin menyenangkan beraktivitas di rumah, namun lama-kelamaan rasa bosan datang menyertai. Kebosanan adalah hal yang lumrah, apalagi jika kita menjalankan aktivitas monoton. Namun kebosanan ini perlu dikelola sehingga tidak berpengaruh buruk terhadap kondisi kejiwaan. Selain gejala penyakit Covid-19, ada gejala lain yang perlu diwaspadai di masa pandemik seperti ini, yaitu gejala cabin fever. Cabin fever merupakan istilah lama yang kembali mengemuka, menggambarkan emosi atau perasaan sedih yang muncul akibat terlalu lama terisolasi di dalam rumah ataupun tempat tertentu. Jika sebatas bosan atau sedih tentu masih wajar, namun cabin fever ini dapat menimbulkan kegelisahan, turunnya motivasi, mudah tersinggung, mudah putus asa, sulit berkonsentrasi, pola tidur tidak teratur, lemah lesu, sulit mempercayai orang lain, tidak sabaran, bahkan depresi untuk waktu yang lama.

Cara sederhana untuk mengatasi cabin fever adalah pergi ke luar rumah, namun di tengah kondisi wabah seperti ini aktivitas ke luar rumah tentu dibatasi. Bahkan dapat dikatakan, semua aktivitas saat ini dibawa ke rumah. Kerja dari rumah, belajar di rumah, hingga beribadah di rumah. Ketika kantor dipindah ke rumah, sekolah dipindah ke rumah, sampai masjid pun pindah ke rumah, bisa dibayangkan betapa penuh sesaknya rumah kita. Ruang untuk urusan pribadi, keluarga, pendidikan, kantor, hingga urusan ibadah semua bertumpuk di rumah. Jika sebelumnya barangkali ada orang-orang yang sulit memisahkan urusan pribadi atau keluarga dengan urusan kantornya, sekarang banyak orang akan mengalaminya sebab sekat antar ruang itu sudah tak lagi ada. Jika sebelumnya ada orang-orang yang cakap dalam menempatkan segala urusannya, kini mereka harus bekerja keras menatanya sebab segala urusan hanya punya satu tempat bernama rumah.

Kebosanan di rumah tampak tak terelakkan, apalagi alternatif solusi mengatasi kebosanan tampak tidak variatif. Ke luar rumah untuk berolahraga atau berkebun misalnya, punya batasan waktu dan kondisi. Atau menata ulang perabotan misalnya, selain melelahkan, jika terlalu sering dilakukan juga justru akan menimbulkan kebosanan baru. Atau bahkan tetap menjaga interaksi dengan banyak orang melalui media digital juga hanya menjadi solusi semu, sebab tentu kita bisa merasakan tidaklah sama interaksi by phone atau by video dengan interaksi langsung.

Lantas apakah kita cukup pasrah terpenjara dalam kebosanan? Tunggu dulu, kebosanan itu sejatinya hanya masalah perspektif. Dalam KBBI, bosan didefinisikan sebagai ‘sudah tidak suka lagi karena sudah terlalu sering atau banyak’. Jadi yang menentukan kadar kebosanan adalah ‘tidak suka’, ‘terlalu sering’, dan ‘terlalu banyak’, yang kesemuanya adalah sesuatu yang relatif. Tidak mengherankan cabin fever tidak termasuk dalam gangguan psikologis, sebab gejala tersebut takkan ditemukan pada mereka yang memandangnya secara positif. Dan artinya, solusi atas kebosanan ini sebenarnya sederhana, mengelola ‘kesukaan’ kita dan mengatur kadar intensitasnya.

Dari sudut pandang yang positif, ketika kantor dipindah ke rumah, sekolah dipindah ke rumah, sampai masjid pun pindah ke rumah, bisa dibayangkan betapa luasnya rumah kita sebenarnya. Banyak aktivitas yang bisa dilakukan, dan banyak spot yang bisa dieksplorasi dari bangunan luas bernama rumah, apalagi jika ditambah pekarangan dan lingkungan sekitarnya. Luar biasanya lagi, kita mempunyai kemampuan teleportasi ala pahlawan fiksi, berpindah dari rumah, sekolah, kantor, masjid, dan tempat-tempat lain dalam sekejap. Karena kebosanan adalah perkara ‘kesukaan’, semakin kita menikmati prosesnya, kebosanan akan kian menjauh.

Aku rela dipenjara asalkan bersama buku, karena dengan buku aku bebas”, demikian ungkap Bung Hatta. Bagaimana mungkin ada kebebasan dalam penjara hanya bermodalkan buku? Lagi-lagi ini hanya masalah perspektif. Penjara bagi jiwa adalah ketika kita dipaksa melalukan sesuatu yang tidak kita sukai. Karenanya ketika kita dapat melakukan apa yang kita sukai, dan menyukai apa yang kita lakukan, jiwa kita akan bebas, tidak dipenjara ataupun dikarantina. Dan ternyata sekadar ‘suka’ saja tidak cukup, aktivitas yang dilakukan perlu merangsang kreativitas agar tidak monoton. Melakukan hal yang berbeda, atau melakukan hal yang sama dengan cara berbeda dapat mengatur kadar intensitas. Karena itulah, membuat rencana aktivitas dan menata ruang yang terkesan teknis administratif bisa jadi lebih efektif dalam mengusir kebosanan dibandingkan melakukan gerakan olahraga yang itu-itu saja. Sebagaimana mengisi TTS akan lebih produktif dibandingkan menonton televisi. Dan membuat tulisan akan lebih membebaskan dibandingkan bermain game.

A house is made of bricks and beams. A home is made of hopes and dreams”, begitulah kata pepatah. Penjara kebosanan bernama rumah hanya akan muncul ketika kita gagal menjadikan harapan sebagai bata-batanya dan impian sebagai tiang-tiangnya. Rumahpun terasa sempit karena terbatasi dinding dan pagar. Lain halnya dengan rumah yang diisi dengan cinta dan kebahagiaan, energi positifnya mampu menempuh jarak yang teramat luas, sehingga rumahpun terasa lapang. Hal ini sejalan dengan yang dikatakan Ar Rafi’i dalam Wahyul Qalam, “Jika engkau menghadapi dunia dengan jiwa lapang, engkau akan memperoleh banyak kegembiraan yang semakin lama semakin bertambah, semakin luas, duka yang semakin kecil dan menyempit. Engkau harus tahu bahwa bila duniamu terasa sempit, sebenarnya jiwamulah yang sempit, bukan dunianya”. Kebosanan muncul dalam kesempitan dan hilang dalam kelapangan. Karenanya, rumah di surga kelak tidak menghadirkan kebosanan, sebab isinya penuh cinta dan kebahagiaan. Semoga kita mampu melapangkan rumah-rumah kita, dan membuka jalan untuk memiliki rumah yang lapang kelak di Jannah-Nya. Aamiiin…

“Ya Rabbku, lapangkanlah untukku dadaku, dan mudahkanlah untukku urusanku, dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku, supaya mereka mengerti perkataanku” (QS. Thoha: 25-28)

Dari Karantina ke Karantina

“Menyepi itu penting, supaya kamu benar-benar bisa mendengar apa yang menjadi isi dari keramaian.” (Emha Ainun Nadjib)

Tak terasa, Ramadhan kembali datang menyapa. Kali ini dalam kondisi yang tidak biasa. Sudah enam pekan ini aktivitas kerja dilakukan dari rumah, work from home istilah kekiniannya. Artinya, sudah lebih dari 40 hari aktivitas ke luar rumah dan bersosialisasi secara fisik dibatasi. Social distancing dan physical distancing, istilahnya. Interaksi intensif hanya dengan anggota keluarga. Dan Ramadhan tahun ini kemungkinan akan berjalan dengan pola serupa. Menikmati Ramadhan dari rumah saja. Agak ada aroma romantika libur sekolah selama berpuasa Ramadhan di zaman Gus Dur, tapi ini tidak sama. Ada virus corona yang mengancam di luar sana. Pandemi Covid-19 membuat manusia ‘terkarantina’ di rumahnya. Imbuhan ter- yang lebih bermakna ‘terpaksa’ dibandingkan ‘tidak sengaja’.

Dalam KBBI, karantina didefinisikan sebagai tempat penampungan yang lokasinya terpencil guna mencegah terjadinya penularan (pengaruh dan sebagainya) penyakit dan sebagainya. Dan tempat penampungan untuk mencegah penularan virus corona itu adalah rumah-rumah kita. Wikipedia pun menguatkan bahwa karantina adalah sistem yang mencegah perpindahan orang dan barang selama periode waktu tertentu untuk mencegah penularan penyakit. Kata karantina berasal dari quarantena, yang dalam Bahasa Venesia abad pertengahan berarti “empat puluh hari”, merujuk pada periode yang dipersyaratkan bagi semua kapal untuk diisolasi sebelum penumpang dan kru dapat berlabuh di pantai selama epidemi Maut Hitam (Black Death). Jauh sebelumnya, mekanisme karantina ini sudah dikenal dalam Islam. Rasulullah SAW bersabda, “Jika kamu mendengar wabah di suatu wilayah, maka janganlah kalian memasukinya. Tapi jika terjadi wabah di tempat kamu berada, maka jangan tinggalkan tempat itu.” (HR. Bukhari – Muslim).

Lantas apa pengaruhnya karantina ini dengan ibadah Ramadhan kita? Salah satu pembeda Ramadhan dengan bulan lainnya adalah suasananya yang lebih kondusif untuk beribadah. Dan suasana itu akan terasa dari interaksi dan sosialisasi. Sesuatu yang terbatasi di masa pandemi Covid-19 ini. Shalat wajib berjama’ah dan tarawih dibatasi, bahkan dianjurkan dilakukan di rumah saja. Ifthar jama’i hingga tadarus bersama juga terkendala. Berbagai kegiatan lain yang mengumpulkan banyak orang semisal tabligh akbar, pesantren kilat, hingga pembagian ta’jil gratis pun sulit dilakukan. Alhasil, suasana dan syiar Ramadhan tidak seramai biasanya. Di satu sisi, peluang kebaikan seakan menyempit. Di sisi lain, potensi berbuat dosa terhadap sesama juga mengecil.

Dampak perubahan suasana ini adalah pada perubahan kebiasaan yang akhirnya kembali kepada diri sendiri. Misalnya, di berbagai masjid perkantoran selepas shalat zhuhur di bulan Ramadhan banyak yang berlomba-lomba tilawah Al Qur’an. Namun sekarang, selepas shalat zhuhur di rumah, pilihan untuk tidur siang bisa jadi lebih menarik untuk dilakukan. Atau jika biasanya kajian ada dimana-mana, dengan kondisi saat ini, mencari dan mengikuti kajian lebih dominan ke pilihan pribadi. Beribadah dilakukan atas kesadaran dan kemauan pribadi, bukan terpengaruh suasana apalagi sekadar ikut-ikutan. Manusia sebagai makhluk sosial membutuhkan bantuan orang lain adalah satu hal. Namun hisab di akhirat nanti menjadi tanggung jawab masing-masing adalah hal yang lain.

 

Karenanya, menjadi penting untuk menghidupkan suasana Ramadhan di rumah. Bukan hanya secara konteks dengan berbagai poster dan hiasan Ramadhan. Namun juga perlu dikuatkan dengan konten, aktivitas dan targetan Ramadhan bersama keluarga. Syiar Ramadhannya barangkali lingkupnya dipersempit, tanpa mengurangi esensi dan keutamaannya. Tazkiyatunnafs akan menjadi kunci keberhasilannya. Mulai dari mu’ahadah (mengingat perjanjian dengan Allah SWT), mujahadah (bersungguh-sungguh), muraqabah (merasa selalu diawasi Allah SWT), muhasabah (introspeksi diri), hingga mu’aqabah (memberikan sanksi). Ketika kontrol sosial relatif terbatas, maka cara efektif untuk bisa terus produktif adalah ‘ibda binasfik, memulai dari diri sendiri.

Ramadhan ini bisa dikatakan sebagai karantina lanjutan. Ya, dalam kondisi karantina kita memasuki karantina lainnya. Dengan rumah tetap menjadi tempat penampungannya. Hanya saja virus dalam karantina Ramadhan adalah hawa nafsu, yang jika tidak dikelola dengan baik akan menjerumuskan ke dalam penyakit bernama dosa dan kemaksiatan. Karantina medis meningkatkan imun, karantina Ramadhan meningkatkan iman. Pribadi takwa yang menjadi tujuan karantina Ramadhan hanya bisa terwujud ketika kita sudah mampu menundukkan hawa nafsu. Apalagi dengan berkurangnya interaksi sosial dan syiar Ramadhan di luar sana, faktor individu menjadi penentu keberhasilan mengendalikan hawa nafsu. Tidak bisa bergantung dan mengandalkan orang lain.

Ramadhan tahun ini barangkali akan terasa lebih lama, karena variasi interaksi dan aktivitas tidak sedinamis biasanya. Namun bukan berarti kita tak bisa menikmatinya. Banyak aktivitas dan variasi interaksi yang bisa dilakukan, sebab sekat jarak sudah tidak lagi relevan di masa sekarang. Saling menyapa dan menjaga tak mesti harus bertatap muka. Saling mengingatkan dan menguatkan tidak harus berjabat tangan. Semua kebaikan bisa dilakukan kapan saja dimana saja. Atau jangan-jangan, kondisi ini adalah sebentuk jawaban atas do’a-doa kita sebelumnya, untuk bisa dipertemukan kembali dengan bulan Ramadhan, dan diberikan kesempatan untuk optimal beribadah di dalamnya. Optimal beribadah di rumah. Meningkatkan imun dan iman. Membentuk pribadi yang sehat dan bertakwa.

Puasa itu adalah perisai. Maka, apabila seseorang sedang berpuasa, maka janganlah ia berkata kotor pada hari itu dan jangan pula bertengkar. Apabila ia dimaki oleh orang lain dan diajak berkelahi, hendaklah ia berkata ‘aku sedang berpuasa’.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Program Kartu Prakerja Buat (Si)Apa?

It’s a recession when your neighbor loses his job; it’s a depression when you lose yours.”
(Harry S. Truman)

Akhirnya, Pemerintah Indonesia resmi meluncurkan salah satu janji kampanye Jokowi yaitu Kartu Prakerja. Walaupun Menkeu Sri Mulyani sempat mengatakan ‘sakit perut’ mencari sumber anggaran Kartu Prakerja, seiring dengan wabah Covid-19, anggaran Kartu Prakerja naik dua kali lipat menjadi 20 triliun rupiah. Kemenko Perekonomian Darmin Nasution mengumumkan bahwa hingga penutupan pendataran tahap pertama pada 16 April 2020 lalu, tercatat jumlah pendaftar program Kartu Prakerja sebanyak 5.965.048 orang. Dari serangkaian verifikasi, sebanyak 2.078.026 orang dinyatakan lolos dan akan diseleksi menjadi 200 ribu peserta pelatihan gelombang pertama.

Sejak masa kampanye pilpres 2019, program Kartu Prakerja ini sudah menuai kontroversi, bahkan sempat dilaporkan ke Banwaslu. Jika tahun lalu ada mispersepsi tentang Kartu Prakerja dimana dikesankan pemerintah akan membiayai para pengangguran, kontroversi Kartu Prakerja tahun ini lebih kompleks lagi. Mulai dari konflik kepentingan, urgensi atau ketermendesakannya, prioritas peruntukan anggaran 5,6 triliun rupiah di tengan pandemi Covid-19, hingga teknis implementasi program Kartu Prakerja. Beragamnya kontroversi ini dapat dimaklumi, sebab ketika masa kampanye ‘barangnya’ belum ada, sehingga Kartu Prakerja barangkali masih diidentikkan dengan kartu-kartu ‘sakti’ Jokowi yang lain.

“Materi Kursus Mirip Konten Youtube”, demikian headline surat kabar harian Jawa Pos pada Jum’at, 17 April 2020 seraya menampilkan data beberapa pelatihan online program Kartu Prakerja, mitra penyedia pelatihan, dan nominal biayanya. Wajar saja jika publik mempertanyakan, sebab jika kursus yang diselenggarakan Kartu Prakerja berupa menonton video pelatihan, konten Youtube jauh lebih banyak, variatif, dan gratis. Sementara paket pelatihan dalam skema Kartu Prakerja dibandrol variatif mulai dari Rp. 168.000 hingga 1 juta rupiah. Memang biaya pelatihannya akan ditanggung pemerintah dengan skema Kartu Prakerja, namun itu artinya pemerintah ‘menyumbang’ anggaran senilai plafon harga pelatihan per orang dikali jumlah penerima kartu prakerja kepada para mitra platform pelatihan online. Sementara konten serupa bisa dipelajari di YouTube dengan gratis. Sementara beberapa perusahaan besar semisal Microsoft, Google, Oracle, Nikon, dan sebagainya justru menyediakan pelatihan online gratis di tengah wabah Covid-19 ini.

Kritik pun merembet ke conflict of interest, dimana Belva Devara, Staf Khusus Milenial Presiden Jokowi merupakan Pendiri dan CEO Ruangguru, salah satu mitra platform digital Kartu Prakerja. Padahal baru beberapa hari sebelumnya, Andi Taufan, Staf Khusus Milenial yang lain disoroti setelah surat dengan kop Sekretariat Kabinet kepada perangkat desa guna mendukung program yang dijalankan perusahaannya. Bhelva mengatakan bahwa proses pemilihan penyedia layanan Kartu Prakerja dilakukan oleh Manajemen Pelaksana Kartu Prakerja dan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, namun aroma konflik kepentingan tak terhindarkan.

Jika memperhatikan kondisi aktual pandemik Covid-19 saat ini, pertanyaan publik terhadap Kartu Prakerja lebih banyak lagi. Menteri Ketenagakerjaan, Ida Fauziyah mengatakan total ada 114.340 perusahaan yang telah terpukul oleh wabah Covid-19, dampaknya tercatat 1.943.916 tenaga kerja telah dirumahkan dan atau mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK). Itu yang tercatat, jumlah yang terdampak apalagi di sektor informal tentu lebih banyak lagi. Gagasan awal Kartu Prakerja untuk membekali para pengangguran dengan keterampilan vokasional untuk membantunya dalam mencari pekerjaan atau berwirausaha sudah baik. Namun gagasan baik tidaklah cukup, harus diperhatikan pula ketepatan waktu, ketepatan sasaran, dan keefektifan cara.

Banyak kalangan beranggapan bahwa Kartu Prakerja lebih tepat diimplementasikan dalam keadaan normal, dengan mekanisme melibatkan BLK dan LPK seperti yang sudah direncanakan sebelumnya. Karena pada saat pandemik seperti ini, yang dibutuhkan masyarakat adalah kebutuhan untuk dapat bertahan hidup day to day, sehingga pola bantuan sosial atau bantuan langsung tunai dinilai lebih relevan. Apalagi anggaran 20 triliun rupiah bukan jumlah yang sedikit. Dengan menghitung standar garis kemiskinan masyarakat Indonesia dari BPS per Maret 2019 sebesar Rp. 425.250 per kapita per bulan, maka anggaran Rp. 20 triliun bisa membantu lebih dari 15,6 juta orang selama 3 bulan. Pemerintah boleh saja berkelit sudah memiliki program bantuan langsung dengan anggaran yang jauh lebih besar, namun itu bukan berarti menjadikan Kartu Prakerja sebagai prioritas.

Belum lagi jika konsep Kartu Prakerja dikuliti lebih detail. Untuk mengakses pelatihan online, dibutuhkan modal berupa perangkat/ gawai, modem/ kuota internet dan jaringan yang stabil. Buat masyarakat yang benar-benar membutuhkan, modal tersebut kemungkinan lebih prioritas digunakan untuk survive dibandingkan ikut pelatihan online. Apalagi Kartu Prakerja diprioritaskan bagi mereka yang tidak mendapatkan bantuan sosial. Di tambah lagi, sebagian besar masyarakat marjinal memiliki keterbatasan fasilitas dan kemampuan dalam mengikuti pelatihan online. Akhirnya, penerima Kartu Prakerja semakin tidak tepat sasaran. Beberapa konten materi pelatihan juga tidak relevan dengan kondisi aktual, misalnya paket teknik melamar pekerjaan. Wong pekerja saja banyak yang dirumahkan dan di-PHK, apa gunanya belajar teknik melamat pekerjaan di saat lowongan kerja tidak tersedia. Atau paket pelatihan ojol yang tidak relevan di masa pandemi Covid-19,  dimana ojek online menjadi salah satu pekerjaan terdampak PSBB. Ada juga pelatihan vokasional yang sifatnya pratik bukan teori, misalnya pelatihan salon dan tata rias. Pembelajarannya tidak akan efektif jika hanya belajar online tanpa praktik.

Sebelum ada Kartu Prakerja, pelatihan vokasional untuk mengurangi pengangguran sudah lama dilakukan pemerintah melalui Balai Latihan Kerja (BLK). Di akhir tahun 2019, terdapat 303 BLK yang tersebar di seluruh Indonesia, dan Kemenaker menargetkan adanya 2.000 BLK komunitas di tahun 2020. Bahkan dua bulan lalu, Jokowi menjanjikan akan membangun 3.000 BLK komunitas di tahun 2020. Pelatihan vokasional ini biasanya diselenggarakan di lokasi BLK, dan bukan hanya gratis, peserta juga mendapatkan konsumsi dan uang transport. Ada juga yang di lokasi peserta. Sistemnya lebih banyak praktiknya daripada teori. Pelatihannya dipandu instruktur bersertifikasi dengan kurikulum mengacu pada Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) sehingga kualitas kompetensi lulusannya lebih dapat dipastikan, sertifikat bukan sekadar formalitas. Seleksi peserta pun bisa lebih tepat sasaran.

Dari berbagai argumentasi di atas, pelaksanaan Kartu Prakerja seharusnya tidak perlu dipaksakan jika pada akhirnya hanya sebatas menggugurkan janji, tidak efektif, dan tidak tepat sasaran. Jika tetap diteruskan dengan format online, akan lebih baik tetap melibatkan BLK dan LPK yang sudah berpengalaman mengisi pelatihan offline. Alih-alih menggandeng mitra platform digital, kondisi saat ini bisa menjadi momentum BLK dan LPK bertransformasi menjawab tantangan era digital. Beberapa softskills dan teori pelatihan vokasional bisa mulai diajarkan secara online. Namun pendalaman kompetensi keterampilan dan sikap sebaiknya tetap dengan praktik langsung. Agar kualitas lebih terjamin. Praktik pelatihan ini barangkali belum cocok dengan situasi wabah Covid-19 saat ini, karenanya sumberdaya yang ada memang sebaiknya diprioritaskan pada program-program yang langsung membantu masyarakat dalam menghadapi dan mengurangi risiko pandemi Covid-19.

Dan ketika ternyata tidak ada perubahan pola implementasi program Kartu Prakerja, barangkali publik akan semakin bertanya: program ini sebenarnya untuk apa dan untuk siapa? Masyarakat jelas bukan pihak yang paling diuntungkan sebab ada kebutuhan mendesak lainnya. Memang pelunasan janji ini akan memberikan manfaat dibanding dengan program dan kebijakan penanganan wabah Covid-19 lain yang lebih kontroversial. Yah, siapa tahu para narapidana yang telah dibebaskan bisa tertarik mengikuti pelatihan online daripada kembali melakukan aksi kriminal. Atau masyarakat yang masih bandel keluar rumah tanpa menghiraukan protokol penanganan Covid-19 bisa lebih produktif dengan program Kartu Prakerja. Yah, siapa tahu? Dan barangkali memang tidak ada yang tahu mengapa program trial and error ini harus segera diimplementasikan dengan melibatkan sejumlah pemangku kepentingan. Selain mereka, pihak yang paling diuntungkan dengan diluncurkannya program Kartu Prakerja ini.

Sungguh aku benci kepada seseorang yang aku lihat sedang menganggur, tidak mengerjakan amal dunia maupun amal akhirat.” (Ibnu Mas’ud)

Titik Balik Indonesia Tanpa Corona

Kepanikan adalah separuh penyakit, ketenangan adalah separuh obat dan kesabaran adalah langkah awal kesembuhan.” (Ibnu Sina)

Per 16 April 2020, kasus positif corona di Indonesia bertambah 380 kasus menjadi 5.516 kasus dengan korban jiwa mencapai 496 orang. Melihat data peningkatan jumlah kasus positif corona 11 hari terakhir yang selalu di atas 200 kasus, ditambah case fatality rate Indonesia yang hampir 9% sepertinya perjuangan Indonesia melawan wabah COVID-19 masih akan cukup panjang. Namun dibalik itu, jumlah penduduk positif corona yang sembuh mencapai 548 orang dan akhirnya telah berhasil melampaui angka kematian akibat corona. Recovery rate Indonesia memang baru 9.9%, namun capaian ini membawa harapan positif bahwa badai corona akan berlalu dari bumi Indonesia.

Greenland saat ini menjadi satu-satunya negara yang berhasil melalui badai corona ini. Negara yang secara administratif masuk dalam Kerajaan Denmark ini berhasil mencetak recovery rate 100% per 8 April 2020. Dari 11 penduduk di pulau terbesar di dunia ini, semuanya dinyatakan sembuh. Memang Greenland sangat responsif. Setelah kasus pertama ditemukan, ibukota Nuuk yang menjadi pusat penyebaran COVID 19 langsung lockdown. Mobilitas 57 ribu penduduknya langsung dibatasi, pintu buat wisatawan ditutup, penduduk yang berpotensi terpapar virus corona segera dikarantina. Alhasil, hanya dalam rentang 23 hari sejak kasus pertama diumumkan pada 17 Maret 2020, negara yang 80% wilayahnya tertutup salju ini dinyatakan bebas dari virus corona.

Terlepas dari potensi terjangkit kembali, recovery rate yang tinggi baik dibandingkan dengan kasus ataupun fatality rate akan sejalan dengan menurunnya kasus corona aktif. Hal ini jelas terlihat dari China dan Korea Selatan yang sejak bulan lalu kurva penyebaran COVID 19nya sudah menurun. Terlepas dari laporan intelijen AS yang menyatakan bahwa China berbohong tentang jumlah kasus dan jumlah korban jiwa akibat COVID 19, dari data resmi yang dilaporkan pemerintah, recovery rate China mencapai 94.6% sementara fatality ratenya hanya 4.1%. Sementara itu, recovery rate Korea Selatan di angka 73,1% dengan fatality rate hanya 2.2%. Kabar baiknya, semakin banyak negara yang memiliki tingkat kesembuhan yang tinggi dan kurva penyebaran COVID 19nya sudah mulai menurun.

Jerman dengan recovery rate di angka 53,9% dan fatality rate sebesar 2,9% menjadi satu-satunya negara dengan jumlah kasus lebih dari 100 ribu yang kurva COVIDnya mulai menurun. Berbeda dengan AS, Spanyol, Italia, Perancis, dan Inggris yang perbandingan recovery rate dengan fatality ratenya tidak terlalu jauh. Padahal Jerman turut menampung pasien dari beberapa negara Eropa lain sehingga jumlah kasus dan angka kematiannya sempat meningkat signifikan. Negara lain dengan jumlah kasus positif corona mencapai lima digit namun kurvanya sudah mulai menurun adalah Iran (77.995 kasus, recovery rate 67%, fatality rate 6,2%), Brazil (30.425 kasus, recovery rate 46,1%, fatality rate 6,3%), Swiss (26.732 kasus, recovery rate 59,5%, fatality rate 4,8%), Austria (14.476 kasus, recovery rate 62.1%, fatality rate 2.8%), dan Peru (12.491 kasus, recovery rate 49%, fatality rate 2,2%).

Kabar baiknya lagi, beberapa negara tetangga Indonesia turut menunjukkan pola serupa. Australia yang memiliki 6.468 kasus dengan recovery rate 57,9% dan fatality rate hanya 0,97%, kurva penyebaran COVID 19 nya mulai menurun. Adapun negara-negara di kawasan Asia Tenggara yang kurvanya juga mulai menurun adalah Malaysia (5.182 kasus, recovery rate 53,4%, fatality rate 1,6%), Thailand (2.672 kasus, recovery rate 59,6%, fatality rate 1,7%), Vietnam (268 kasus, recovery rate 66%, fatality rate 0%), Brunei Darussalam (136 kasus, recovery rate 79,4%, fatality rate 0,7%), dan Kamboja (122 kasus, recovery rate 80,3%, fatality rate 0%). Kurva penyebaran COVID 19 di Laos juga relatif sudah mulai turun, namun karena baru ada 2 orang yang sembuh dari 19 kasus (recovery rate 10,5%) maka terlalu dini untuk disimpulkan.

Ada beberapa hal menarik dari data COVID 19 di Asia Tenggara ini. Pertama, Singapura termasuk negara maju dengan case fatility rate rendah. Dari 4.427 kasus positif corona, korban jiwa hanya 10 orang atau fatality ratenya hanya 0,2%. Namun kurva penyebaran COVID 19 di Singapura belum menurun, dimana recovery ratenya baru 15,4%. Hal ini menunjukkan pentingnya memperhatikan tingkat kesembuhan untuk dapat mengentaskan wabah COVID 19. Kedua, ada beberapa negara di Asia Tenggara yang masih nihil korban jiwa akibat COVID 19, yaitu Vietnam, Kamboja, Laos, dan Timor Leste. Brunei Darussalam pun baru mencatatkan satu korban meninggal. Entah ada hubungannya dengan iklim tropis dan sistem imun di Asia Tenggara, namun setidaknya hal ini menunjukkan bahwa korban virus corona bisa diminimalisir jika penanganannya tepat.

Mengesampingkan Timor Leste yang kasus positif coronanya baru mulai meningkat, ada pelajaran yang bisa diambil dari Vietnam, Kamboja, dan Laos yang secara geografis lebih dekat dari Wuhan, China sebagai lokasi awal ditemukannya virus corona. Walaupun kurva wabah COVID 19 di Vietnam baru mulai terlihat 6 Maret 2020, namun dari awal Februari pemerintah Vietnam sudah menghentikan penerbangan dari dan ke China, meliburkan sekolah, membatasi mobilitas masyarakat, dan mengkarantina wilayah Provinsi Vinh Punc yang memiliki banyak buruh migran dari China. Laos dan Kamboja juga bergerak cepat untuk menutup pintu masuk ke negaranya saat wabah COVID 19 mulai booming di China, serta menutup tempat umum dan keramaian. Intinya kesigapan, keseriusan, dan konsistensi dalam menangani wabah COVID 19.

Hal lain yang bisa jadi pelajaran dari data COVID 19 di Asia Tenggara adalah pentingnya tes COVID 19 yang valid sebagai dasar pemetaan dan penanganan masalah. Indonesia dengan jumlah penduduk terbesar di Asia Tenggara baru menjalankan 36.000 tes, artinya baru 132 orang per 1 juta penduduk yang dites. Dalam hal ini, Indonesia bahkan lebih parah dari Filipina (5.660 kasus, recovery rate 7,7%, fatality rate 6,4%) yang baru menjalankan 48.171 tes yang artinya hanya 440 orang per 1 juta penduduk. Angkanya jauh jika dibandingkan beberapa negara tetangga yang kurva penyebaran COVID 19nya sudah mulai menurun. Australia telah melakukan 380.003 tes (14.902/ sejuta penduduk), Malaysia 87.183 tes (2.694/ sejuta penduduk), Thailand 100.498 tes (1.440/ sejuta penduduk), Vietnam 206.253 tes (2.119/ sejuta penduduk), dan Brunei 10.826 tes (24.746/ sejuta penduduk). Ini baru jumlah tes, belum mempersoalkan validitas hasil tes.

Bagaimanapun, harapan itu masih ada. Angka kesembuhan yang sudah lebih diri dari angka kematian semoga menjadi pertanda baik bagi Indonesia. Jika tingkat kesembuhan ini dapat meningkat signifikan dibandingkan tingkat kematian, usainya wabah COVID 19 bukan isapan jempol belaka. Pun terlambat, keseriusan penanganan wabah COVID 19 sudah mulai terlihat. Jika semua pihak menjalankan perannya secara optimal, bukan tidak mungkin virus corona dapat menyingkir lebih cepat daripada berbagai prediksi yang telah muncul. Bahkan di tengah berbagai kebijakan, sikap, dan pernyataan pejabat negara yang kontroversial, bangsa Indonesia tak boleh kehilangan asa. Sebab Allah akan mengikuti prasangka hamba-Nya. Mengangkat musibah adalah mudah bagi-Nya. Tinggal bagaimana kita memantaskan diri untuk memperoleh pertolongan-Nya. Jangan sombong. Terus berikhtiar, bersabar, dan bersyukur. InsyaAllah, musibah akan menjadi hikmah, segera musnah dan berganti berkah. Aamiiin…

Ya Allah, Rabb manusia Yang Menghilangkan kesusahan, berilah kesembuhan, Engkaulah Zat Yang Maha Menyembuhkan. Tidak ada yang mampu menyembuhkan kecuali Engkau, kesembuhan yang tidak meninggalkan penyakit lain” (HR. Bukhari)

Fantasi Revolusi Edukasi 4.0

…Kita harus sering mencuci tangan, gunakan masker, lakukan social distancing & physical distancing, stay at home atau di rumah saja, tentunya berdoa kepada Allah SWT supaya virus COVID 19 ini segera berakhir. Untuk itu, saya mengucapkan terima kasih kepada dokter, perawat, dan petugas lab yang sedang berjuang di rumah sakit untuk merawat COVID 19. Mari bersama-sama membantu mereka dengan disiplin di rumah saja…” (Rumaisha Alifiandra Udiutomo di Youtube)

Begitulah sekelumit celoteh anakku ketika diberi tugas dari sekolahnya untuk membuat video ucapan terima kasih kepada para petugas medis. Sudah empat pekan ini Kakak Isha belajar dari rumah karena wabah COVID 19, dan masih diperpanjang setidaknya hingga tiga pekan ke depan. Mekanismenya tidak terlalu rumit, ada jurnal belajar dan jurnal ibadah yang dikirim ke grup whatsapp setiap pekannya sebagai panduan target aktivitas belajar siswa selama sepekan. Untuk tilawah dan muraja’ah hapalan Al Qur’an ada jadwal untuk setor langsung by phone ke guru Al Qur’an. Sementara evaluasi penilaian tengah semester dibuat dalam googleform yang harus dijawab secara mandiri oleh siswa dalam rentang waktu tertentu.

Dunia pendidikan memang cukup terdampak wabah COVID 19 ini. Ujian Nasional dihapus lebih cepat dari rencana awal. Kegiatan belajar mengajar di banyak wilayah mulai dari tingkat pra sekolah hingga perguruan tinggi ditiadakan, dengan banyak di antaranya yang menggantinya dengan belajar jarak jauh dari rumah. Mekanismenya mulai dari yang sederhana hingga menggunakan platform digital khusus. Wabah COVID 19 ini memang banyak dikatakan mengakselerasi simulasi revolusi industri 4.0 dimana berbagai pekerjaan bisa dikerjakan online dari rumah, tanpa harus ke kantor atau bertatap muka. Termasuk di antaranya adalah aktivitas pembelajaran daring.

Pembelajaran dengan menggunakan teknologi digital berbasis web sebenarnya baru masuk dalam tahapan revolusi edukasi 3.0. Revolusi edukasi 4.0 lebih kompleks lagi, menggambarkan berbagai metode untuk mengintegrasikan teknologi cyber, baik secara fisik maupun tidak ke dalam pembelajaran. Jadi bukan sebatas penyediaan konten edukasi daring dan ujian online, namun ada integrasi kemampuan digital dalam dunia pendidikan. Ruang kelas akan berubah menjadi kelas digital yang tak kenal batasan tempat. Pembelajaran lebih personal dengan banyak pilihan peminatan, sekat fakultatif akan semakin luruh. Manusia dan mesin, termasuk kecerdasan buatan dan robotik diselaraskan untuk problem solving dan inovasi pendidikan. Peran guru akan bergeser menjadi coach dan mentor karena teknologi sudah bisa menjalankan peran sebagai pengajar dengan lebih lengkap, aktual, dan tak pernah lupa. Akses informasi akan sangat terbuka, guru konvensional akan semakin tertinggal.

Hanya saja implementasi revolusi edukasi 4.0 saat ini masih sebatas fantasi. Bahkan di tengah wabah COVID 19 yang mengakselerasi simulasi revolusi industri 4.0 pun, penerapan revolusi edukasi 4.0 masih menghadapi banyak tantangan. Tantangan yang paling terlihat adalah dari segi fasilitas dan infrastruktur teknologi. Secanggih-canggihnya platform pendidikan digital, bisa urung terlaksana ketika gawai tidak mendukung. Sebagus-bagusnya pembelajaran daring pun tidak bisa terlaksana walaupun sudah ada gawai jika sinyal tidak ada, misalnya ketika mahasiswa pulang kampung. Monitoring jarak jauh penyelesaian penugasan siswa juga akan gagal diimplementasikan jika tidak memiliki gawai. Betapa banyak masyarakat Indonesia yang tidak memiliki gawai, bahkan tidak sedikit daerah pelosok Indonesia yang belum teraliri listrik.

Selain tantangan keterbatasan fasilitas dan infrastruktur teknologi, tantangan lainnya adalah kecakapan atau kemampuan dalam menggunakan teknologi. Jangankan generasi baby boomer dan generasi X, generasi Y saja bahkan masih ada saja yang gagap teknologi. Padahal merekalah para pendidik generasi Z dan generasi Alpha yang saat ini menjadi peserta didik. Tidak sedikit guru dan dosen senior, terutama di daerah, yang kesulitan menerapkan pembelajaran jarak jauh. Demikian pula dengan orang tua yang pada hakikatnya juga merupakan pendidik. Tidak jarang aktivitas belajar dari rumah terkendala karena keterbatasan kompetensi orang tua, bukan hanya kompetensi mengajar namun juga karena kompetensi digital dan literasi teknologi yang lalai terupdate. Bahkan barangkali kompetensi yang sangat penting di zaman sekarang tersebut belum terinstall, bagaimana mau update?

Ada juga tantangan lain yang tak kalah fundamental, yaitu tantangan mindset dan paradigma. Persoalan mindset ini banyak variannya, mulai dari yang sifatnya kolot, pragmatis, hingga skeptis. Ada yang melihat teknologi sebagai kemewahan yang tidak urgen dan tidak fundamental. Toh orang-orang dulu bisa pintar dan lebih struggle tanpa gawai dan internet. Ada yang mendikotomikan digitalisasi dengan etika dan adab. Toh sebelum ramai gadget, peserta didik lebih santun dan beretika. Ada yang menyerah untuk mengejar kemajuan teknologi. Bahkan ada yang beranggapan bahwa perkembangan teknologi bagian dari konspirasi global. Tantangan yang sifatnya paradigmatik ini juga perlu menjadi perhatian sehingga revolusi edukasi 4.0 tidak sekadar angan.

Solusi sederhana untuk tantangan fasilitas dan infrastruktur teknologi adalah pemerataan pembangunan teknologi informasi ke setiap penjuru dunia, sehingga tidak ada wilayah yang tidak tersentuh kemajuan teknologi informasi. Tren pendidikan dunia mengarah ke solusi ini, lebih terkesan modern namun butuh investasi yang tidak murah. Padahal solusi ini masih akan terbentur tantangan kompetensi dan mindset tadi. Bagaimanapun, pemanfaatan teknologi butuh user. Karenanya, perlu ada solusi pendukung dan solusi alternatif. Solusi pendukung ini kata kuncinya adalah kebertahapan, karena ternyata revolusi edukasi 4.0 tidak mungkin terjadi secara serentak. Pembangunan teknologi informasi harus diselaraskan dengan pembangunan manusia, sehingga tercipta kesiapan, bukan keterpaksaan. Kebertahapan juga bermakna ada prioritas. Bagaimana membangun jiwa (ruh, pemahaman, dan mentalitas) perlu didahulukan ketimbang membangun badan (fasilitas, sarana prasarana, dan infrastruktur). Butuh waktu memang, namun fondasinya lebih kuat. Sehingga kemajuan IPTEK tidak berbuah kehancuran peradaban.

Adapun solusi alternatif dari implementasi revolusi edukasi 4.0 adalah membangun pendidikan berkualitas yang sesuai dengan kekhasan masyarakat. Bisa jadi berbeda di setiap wilayah. Bisa jadi optimalisasinya tidak memerlukan teknologi canggih. Namun pendidikan mampu mengoptimalkan sumber daya yang ada di setiap wilayah, dan menjadi solusi atas berbagai permasalahan di tengah masyarakat. Solusi alternatif ini belum serius dilirik oleh dunia pendidikan Indonesia yang banyak terjebak pada arus modernisasi, formalisasi dan komersialisasi pendidikan. Padahal solusi alternatif ini akan mengembalikan fungsi pendidikan untuk mengembangkan kemampuan, membentuk watak, dan kepribadian, agar peserta didik menjadi pribadi yang bermartabat. Sekaligus mengembalikan definisi teknologi secara lebih luas sebagai alat bantu yang mempermudah atau sarana yang menjamin kelangsungan dan kenyamanan hidup manusia.

Berbagai solusi pembangunan pendidikan 4.0 bisa berjalan secara simultan. Namun ada baiknya kita memahami jati diri kita dan pendidikan kita. Tidak perlu mengukur baju orang di badan sendiri. Revolusi industri 4.0 bukan sekadar digitalisasi alat, tetapi juga revolusi mindset. Dan revolusi edukasi 4.0 bukan sebatas optimasi teknologi, namun juga revolusi budaya pendidikan. Karenanya fondasi pendidikan yang dibangun harus kuat, bukan cuma modal ikut-ikutan. Dan wabah COVID 19 ini seharusnya bisa jadi pelajaran berharga. Bukan hanya bagaimana pendidikan tetap berjalan ketika siswa tidak bisa ke sekolah, dengan pembelajaran online misalnya. Namun bagaimana pendidikan tetap berjalan ketika kemajuan teknologi sekalipun bahkan tidak mampu membantu akses siswa untuk memperoleh pendidikan. Yang akhirnya bermuara pada optimalisasi pendidikan dari unit terkecil, pendidikan keluarga kemudian pendidikan masyarakat. Disitulah simpul terkuat pendidikan (seharusnya) berada.

“Technology is just a tool. In terms of getting the kids working together and motivating them, the teacher is the most important.” (Bill Gates)

Lanjut Iseng Putar Otak

“Makin cerdas otak kita dilatih oleh matematika, makin besar harapan kita akan ketetapan dan kebenaran buah pikiran kita” (Tan Malaka)

Huuufffftttt ada apa dengan diri ini… Setelah iseng tentang sepakbola, iseng berlanjut ke hitung-hitungan matematika. Barangkali karena Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) sehingga untuk menghindari stress ‘dipingit’ di rumah, aktivitas produktifnya adalah iseng. Biar isengnya produktif, harus ada setidaknya salah satu dari olah hati, olah pikir, olah karsa, atau olah raga. Kali ini isengnya adalah olah pikir karena tidak sedikit yang mengirimkan tebak-tebakan beberapa hari terakhir. Berikut adalah beberapa jenis tebak-tebakan yang sempat saya terima, dan saya lengkapi dengan jawabannya.

Pertama, jenis tebak-tebakan operasi matematika. Relatif mudah diselesaikan dengan menuliskan gambar dalam bentuk angka. Kunci menyelesaikan soal jenis ini hanya dua hal: ketelitian dan pemahaman akan aturan dasar operasi hitung matematika. Ketelitian dibutuhkan karena ada detail yang sengaja dibuat untuk mengecoh jawaban. Sementara aturan dasar operasi hitung matematika mendahulukan tanda kurung, kemudian akar dan pangkat, kemudian perkalian dan pembagian, baru penjumlahan dan pengurangan. Untuk soal disamping, dari petunjuk (1) diperoleh bahwa sepasang sepatu bernilai 30/3 = 10, artinya sebuah sepatu bernilai 5. Dari petunjuk (2) diperoleh bahwa 2 orang bernilai 20-10 = 10, sehingga setiap orang bernilai 10/2 = 5. Dari petunjuk (3) diperoleh bahwa 4 pistol bernilai 13-5 = 8, sehingga sebuah pistol bernilai 8/4 = 2. Orang yang membawa 2 pistol dan 2 sepatu bernilai 5+4+10 = 19, disinilah ketelitian dibutuhkan. Pertanyaannya adalah 5 + 19 x 2. Disinilah pemahaman aturan dasar operasi hitung matematika dibutuhkan, dimana perkalian harus didahulukan dibandingkan penjumlahan. Sehingga 5 + 19 x 2 = 5 + 38 = 43.

Dengan teknik yang sama, untuk soal disamping, dari petunjuk (1) diperoleh bahwa sepasang sepatu bernilai 30/3 = 10, artinya sebuah sepatu bernilai 5. Dari petunjuk (2) diperoleh bahwa 2 kulkas bernilai 20-10 = 10, sehingga satu kulkas bernilai 10/2 = 5. Dari petunjuk (3) diperoleh bahwa 6 botol bernilai 17-5 = 12, sehingga satu botol bernilai 12/6 = 2. Ketelitian diperlukan disini karena kulkas membawa botol. Adapun kulkas yang membawa 3 botol bernilai 5+6 = 11, sehingga pertanyaannya menjadi 5 + 11 x 2. Karena perkalian didahulukan daripada penjumlahan, 5 + 11 x 2 = 5 + 22 = 27. Mudah bukan?

Kedua, jenis tebak-tebakan angka. Biasanya digambarkan dengan password untuk membuka sebuah gembok. Soal seperti ini secara serius bisa diselesaikan dengan menggunakan variabel pengganti a, b, c atau x, y, z. Namun secara sederhana dapat diselesaikan dengan logika yang menghubungkan antar petunjuk. Bahkan tidak perlu menggunakan kertas coret-coretan. Untuk soal disamping, misalnya. Dari petunjuk (1) dan (2) dapat disimpulkan bahwa angka 1 adalah angka yang salah karena posisinya tidak berubah tapi angka yang benar di petunjuk (1) di posisi yang salah sementara di petunjuk (2) di posisi yang benar. Dengan logika yang sama, dari petunjuk (2) dan (5) dapat disimpulkan bahwa angka 8 adalah angka yang salah. Karena angka 1 dan 8 adalah angka yang salah, dari petunjuk (2) diperoleh angka 9 adalah angka yang benar di posisi yang benar. Selanjutnya, dari petunjuk (4) dijelaskan bahwa angka 2 (serta 5 dan 3) adalah angka yang salah, sehingga di petunjuk (5) hanya angka 6 yang benar. Berarti di petunjuk (3), angka 4 yang salah. Sementara angka 6 ada di digit pertama karena angka 9 sudah ada di digit ke 3. Terakhir, dari petunjuk (1) diperoleh angka 7 yang benar dan posisinya ada di digit kedua. Sehingga angka yang dimaksud adalah 679.

Terlihat rumit ketika dituliskan, namun jika hanya dibayangkan secara logika sebenarnya lebih sederhana. Berikutnya untuk model soal serupa dengan empat digit. Dari petunjuk (1) dan (2) di sebelah kiri, karena angka 2 dan 6 (serta angka 4 dan 8 ) salah, berarti angka 5 dan 7 adalah angka yang benar. Dari petunjuk (3) di kanan atas, karena angka 5 benar, berarti angka 0, 1, dan 4 salah. Karena angka 0, 1, 2, 4, 6, dan 8, berarti angka yang benar adalah 3, 5, 7, dan 9. Dari petunjuk (4) di kanan bawah didapatkan bahwa angka 7 ada di digit kedua, dan angka 9 ada di digit ke 4. Dari petunjuk (1) dan (3), angka 5 seharusnya ada di digit pertama. Terakhir, angka 3 yang tersisa mengisi digit ketiga. Sehingga diperoleh angka yang dimaksud 5739. Barangkali masih relatif mudah.

Ketiga, jenis soal matematika lanjutan. Untuk menjawabnya butuh pemahaman matematika lebih lanjut, butuh coret-coretan, dan butuh waktu. Misalnya untuk soal disamping, untuk dapat menjawabnya butuh pengetahuan mengenai teorema phytagoras dan kesebangunan pada bangun datar. Menjelaskan jawabannya pun tidak mudah, kecuali buat mereka yang menyukai matematika. Dari gambar disamping, kita mengetahui beberapa hal. Pertama, kesemua bangun ruang yang disebutkan luasnya adalah berbentuk persegi, sehingga panjang sisinya adalah akar dari luasnya. Kedua, segitiga-segitiga yang terbentuk dari tumpukan persegi dengan sisi miring adalah sisi persegi yang ditanya merupakan segitiga yang sebangun sehingga perbandingan antara sisi-sisinya sama. Ketiga, luas persegi yang ditanya adalah kuadrat dari panjang sisi miring tersebut. Panjang sisi miring dapat diketahui dengan teorema phytagoras jika tinggi dan panjang alasnya diketahui. Untuk tinggi relatif mudah karena merupakan penjumlahan dari panjang sisi ketiga persegi. Jadi tingginya = √3 + √12 + √27 = √3 + 2√3 + 3√3 = 6√3. Adapun panjang alasnya bisa diperoleh dari kesebangunan tiga segitiga yang terbentuk, dimulai dari segitiga di tengah yang angkanya diketahui. Panjang alas segitiga di tengah adalah selisih sisi persegi di bawah dengan persegi di tengah, atau 3√3 – 2√3 = √3. Karena ketiga segitiga sebangun, panjang alas segitiga di bawah berarti 3√3/2 dan panjang alas segitiga di atas adalah √3/2. Sehingga panjang alas keseluruhan adalah √3/2 + √3 + 3√3/2 = 3√3. Sehingga panjang sisi persegi yang dicari merupakan akar dari kuadrat tinggi ditambah kuadrat panjang alas. Jadi sisinya = √27+108 = √135. Sehingga luas persegi yang ditanyakan adalah kuadrat dari √135 = 135.

Cara lain adalah dengan menghitung panjang sisi miring dari ketiga segitiga yang sebangun, dimulai dari segitiga di tengah. Panjang sisi miring segitiga di tengah = √12+3 = √15. Karena ketiga segitiga sebangun, panjang sisi miring segitiga di bawah berarti 3√15/2 dan panjang sisi miring segitiga di atas adalah √15/2. Sehingga panjang sisi miring = √15/2 + √15 + 3√15/2 = 3√15. Sehingga luas persegi yang ditanyakan adalah kuadrat dari 3√15 = 9 x 15 = 135. Cukup rumit ya? Tapi begitulah, di balik kerumitan ada keasyikan tersendiri. Barangkali ada lagi cara lain selain kedua cara di atas. Dan sejujurnya soal matematika lanjutan yang saya terima lebih rumit dari contoh soal disamping, membutuhkan pemahaman trigonometri dan aturan segitiga, jawabannya pun lebih panjang dan sulit dijelaskan. Namun ada kebahagiaan tersendiri ketika menemukan jawaban yang benar dari rangkaian penghitungan yang panjang.

Terakhir, jenis soal iseng. Jawabannya bisa jadi tidak ada, tidak terhingga, atau ada namun harus diselesaikan out of the box. Misalnya untuk soal disamping. Kita bisa menganggapnya hanya guyonan yang tidak memerlukan jawaban. Kita bisa menjawabnya dengan kata ‘banyak’, bukan dengan angka. Kita bisa juga menjawabnya dengan 0, sebab yang jadi petunjuk adalah daun, bukan pohon. Kita juga boleh menjawabnya dengan angka 2, dimana pohon diasumsikan sebagai sebuah satuan. Dan kita juga bisa menjawabnya dengan angka 6, karena tree + tree = six. Inilah salah satu jawaban out of the box. Apapun jawabannya, yang penting bisa dipertanggungjawabkan. Apakah Anda punya jawaban lain? Atau barangkali Anda punya tebak-tebakan lain? Silakan share ke saya, dengan senang hati saya akan menyelesaikannya ^_^.

Math is like love; a simple idea, but it can get complicated.” (R. Drabek)

Ikutan Iseng Tentang Sepakbola

Klub Favorit : AFC Ajax
Negara Favorit : Brazil
Pemain yang tidak disukai : Zlatan Ibrahimovic
Klub yang tidak disukai : Barcelona
Pemain Favorit : Cristiano Ronaldo
Pelatih Favorit : Otto Rehhagel
Pemain Legendaris Favorit : Pele
Kiper Favorit : Gianluigi Buffon
Bek Favorit : Dani Alves
Gelandang Favorit : Andrea Pirlo
Sayap Favorit : Ryan Giggs
Playmaker Favorit : Ronaldinho
Penyerang Favorit : Miroslav Klose

Jika kamu menyukai sepak bola salin, edit dan posting yuk!

Begitulah status facebook saya hari ini setelah lama tidak nulis status. Ikutan iseng barangkali karena kangen juga sama sepakbola yang sudah beberapa pekan vakum akibat wabah COVID 19. Bukan cuma liga-liga top dunia dan Indonesia yang sementara ditiadakan, main futsal rutin juga terpaksa off karena physical distancing. Di tulisan ini barangkali saya akan sampaikan sedikit penjelasan mengenai jawaban yang diberikan dalam status di atas. Singkat saja, soalnya kalau dijabarkan setiap pertanyaan bisa jadi satu tulisan.

Untuk klub favorit saya memilih AFC Ajax karena konsistensinya dalam melahirkan dan menemukan pemain sepakbola berkualitas. Beberapa akademi sepakbola lain juga bagus, misalnya Barcelona dan MU. Namun klub-klub tersebut banyak uang sehingga kerap juga membeli pemain instan. Berbeda dengan AFC Ajax yang seakan jadi supplier pemain sepakbola. Nama-nama seperti Johan Cruyff, Marco van Basten, Frank Rijkaard, Dennis Bergkamp, Edwin van der Sar, Clarence Seedorf, Edgar Davids, Patrick Kluivert, dan Wesley Sneijder adalah beberapa pemain yang dibina di AFC Ajax sebelum bergabung dengan klub-klub besar Eropa lainnya. Selain menjadi klub paling sukses di Belanda dengan 34 gelar Eredivisie dan 19 piala KNVB, AFC Ajax juga konsisten bersaing di kancah Eropa meskipun silih berganti ditinggalkan pemain bintangnya.

Gelaran Piala Dunia yang pertama kali saya tonton adalah Piala Dunia 1994 di Amerika Serikat dimana Brazil menjadi juaranya. Sejak saat itu saya memfavoritkan timnas Brazil yang bermain indah dan tidak individualis. Sepakbola bisa dikatakan sudah menjadi budaya keseharian masyarakat Brazil, karenanya kaderisasi pemain sepakbola terbaik di Brazil tidak pernah putus. Bukan hanya menjadi negara yang terbanyak memenangi Piala Dunia dengan 5 trofi, Brazil merupakan satu-satunya timnas yang selalu tampil dalam setiap edisi Piala Dunia tanpa pernah absen. Bahkan tidak pernah melalui jalur playoff. Konsisten di level tertinggi.

Untuk pemain yang tidak disukai, sempat terpikir nama pemain seperti Pepe dan Sergio Ramos yang sering bermain ‘kotor’. Atau pemain bengal semacam Mario Balotelli atau Joey Barton. Tapi sepertinya saya lebih tidak suka pemain yang kelewat sombong, walaupun Zlatan termasuk pemain binaan AFC Ajax. Jika sesumbar sekadar buat psy war kayak Mourinho sih mendingan, ini mah sombongnya sudah jadi tabiat keseharian. Bukan cuma terlalu tinggi menilai dirinya, tetapi pernyataannya kerap merendahkan pihak lain. Kayaknya masa kecilnya yang suram membuat Zlatan mengidap narsistik akut. Bahkan dalam sebuah wawancara, Zlatan menyamakan dirinya dengan Tuhan. Padahal walaupun sering juara liga di beberapa klub, Zlatan terancam tidak akan pernah merasakan juara liga champions, juara Euro, apalagi juara Piala Dunia. Dan yang lebih bikin kesal lagi adalah namanya ada embel-embel ‘Ibrahim’nya, padahal kelakuannya jauh dari keteladanan Abul Anbiya.

Untuk klub yang tidak disukai, sebenarnya saya kurang menyukai klub yang ‘membeli gelar’ dengan gelontoran uang semisal Chelsea, PSG, atau Manchester City. Apalagi Barcelona punya akademi yang bagus juga. Hanya saja Barcelona terlalu sering –dan terlalu jelas—dibantu wasit dalam beberapa pertandingan, terutama di tingkat Eropa. Bukan hanya rivalnya di Spanyol seperti Real Madrid dan Atletico Madrid, klub-klub Eropa seperti AC Milan, Chelsea, hingga PSG pernah jadi korbannya. Sampai ada istilah uefalona untuk menggambarkan bahwa Barcelona sangat dianakemaskan oleh UEFA.

Untuk pemain favorit di era sekarang sepertinya tidak jauh dari nama Cristiano Ronaldo dan Leonel Messi. Pemilihan Ronaldo bukan karena Messi dari Barcelona, namun CR7 menurut saya adalah paket lengkap. Dengan tubuh atletis proporsional, kaki kanan dan kiri serta kepalanya sama berbahayanya bagi petahanan lawan. Konsistensinya juga teruji dengan bermain bagus di beberapa klub, bahkan di level timnas Portugal. Dalam kurun waktu yang panjang. Di dalam lapangan, kepemimpinannya dapat dirasakan. Di luar lapangan, kedermawanan sosialnya tidak diragukan.

Untuk pelatih favorit, saya menyukai figur seperti Claudio Raneiri yang dengan low profile berhasil membawa klub selevel Leicester City menjadi juara Liga Inggris. Namun sebelum masanya Raneiri, ada pelatih serupa yang menurut saya lebih fenomenal. Adalah Otto Rehhagel yang telah berpartisipasi dalam lebih dari 1.000 pertandingan Bundesliga, sebagai pemain dan pelatih. King Otto berhasil mengantarkan klub medioker Werder Bremen menjadi klub papan atas Eropa dengan 2 kali juara Bundesliga, 2 kali juara DFB Pokal plus sekali juara Piala Winner. Melatih klub sebesar Bayern Munchen justru membuat Rehhegel meredup. King Otto kembali bersinar setelah mengantarkan klub promosi Kaiserslautern sebagai juara Bundesliga. Tak cukup membuat kejutan di level klub, King Otto membuat kejutan lainnya ketika mengantarkan timnas ‘anak bawang’ Yunani menjadi Juara Euro 2004 dengan mengalahkan tuan rumah Portugal yang juga diperkuat Cristiano Ronaldo.

Untuk pemain legendaris favorit, barangkali karena saya suka dengan timnas Brazil, nama pertama yang muncul adalah Edson Arantes do Nascimento atau lebih dikenal dengan Pele. Pele adalah satu-satunya pemain yang mampu meraih juara Piala Dunia sebanyak 3 kali plus Piala Jules Rimet. Pada 1999, Pele terpilih sebagai pesepakbola terbaik seabad oleh International Federation of Football History & Statistic (IFFHS) dan juga terpilih sebagai Athlete of the Century oleh Komite Olimpiade Internasional. Berdasarkan IFFHS, top skor timnas Brazil ini merupakan pencetak gol terbanyak di dunia dengan mencetak 1281 gol dari 1363 pertandingan, termasuk pertandingan tidak resmi.

Untuk kiper favorit, saya suka dengan figur kiper yang mampu memberikan rasa tenang kepada pemain lain, misalnya Edwin van der Sar dan Allison Becker. Sayangnya van der Sar belum teruji di level timnas Belanda, sementara Allison belum teruji konsistensinya. Adalah Gianluigi Buffon yang sudah teruji di level klub maupun timnas Italia, dan konsistensinya sudah teruji. Bahkan di usianya yang sudah 42 tahun, Buffon masih terus bermain dan bisa diandalkan. ‘Gigi’ juga mencerminkan kepemimpinan dan loyalitas. Saat Juventus dihukum degradasi ke Serie B, alih-alih mencari klub lain, Gigi justru melihatnya secara positif, mau merasakan menjadi juara Serie B yang belum pernah dirasakannya.

Untuk bek favorit ini agak sulit. Brazil punya Cafu dan Roberto Carlos, Italia punya Paulo Maldini dan Javier Zanetti, dan masih banyak bek hebat lainnya. Namun pilihan secara pragmatis akhirnya jatuh ke Dani Alves. Bagaimanapun, jika trofi adalah ukuran keberhasilan seorang pesepakbola, Dani Alves adalah pesepakbola tersukses. Koleksi trofi Dani Alves mencapai 42 trofi bersama enam tim berbeda, termasuk di level internasional bersama timnas Brasil. Jauh melampaui bek-bek hebat lainnya. Hingga saat ini Dani Alves masih bermain di Sao Paulo dan belum menunjukkan tanda-tanda akan gantung sepatu.

Posisi gelandang (midfielder) ini cakupannya cukup luas, mulai dari gelandang bertahan, gelandang sayap, gelandang serang, hingga playmaker. Dalam beberapa kasus bahkan posisi gelandang serang ini tumpang tindih dengan posisi striker. Karenanya, nominasi nama untuk gelandang favorit ini sangat banyak. Alasan kenapa akhirnya saya memilih Andrea Pirlo dari sekian banyak nama adalah karena posisinya sebagai gelandang bertahan sekaligus deep playmaker merupakan posisi gelandang yang tidak akan tumpang tindih dengan posisi pemain sayap, gelandang serang, apalagi striker. Sebagai gelandang, Pirlo barangkali tidak mencetak banyak gol, namun memanjakan penyerang dengan umpan cantik dan terarah. Hampir semua trofi di level klub dan timnas Italia pernah diraihnya.

Dari semua pemain sayap, saya memfavoritkan Ryan Giggs yang berhasil mengoleksi 35 trofi dari 8 ajang berbeda bersama satu klub: Manchester United. Walau di musim-musim terakhirnya, Giggs banyak bermain lebih ke dalam seperti playmaker, namun sebagian besar posisi yang dijalaninya adalah sebagai pemain sayap. Giggs adalah pemain yang paling banyak tampil membela MU. Dari 963 laga di seluruh ajang kompetisi bersama MU, Giggs mencetak 168 gol dan hebatnya tidak pernah sekalipun mendapat kartu merah. Beberapa rekor Giggs di Liga Inggris di antaranya assist terbanyak (162 assist) dan trofi Liga Inggris terbanyak (13 kali juara Liga Inggris).

Posisi playmaker ini mirip dengan gelandang, cukup banyak nominasinya. Alasan memilih Ronaldo de Assis Moreira atau lebih dikenal dengan Ronaldinho adalah karena skill dan pribadinya yang unik. Di usia 13 tahun, Ronaldinho sudah dilirik media Brazil setelah mencatatkan kemenangan 23-0 dalam laga futsal lokal dimana kesemua gol dicatat olehnya. Ronaldinho dikenal sebagai playmaker penuh trik dan sangat piawai mengolah si kulit bundar. Banyak gerakan, umpan, hingga golnya yang kreatif dan ‘kurang ajar’. Ronaldinho bisa dikatakan sebagai pesepakbola terbaik di dunia sebelum era Ronaldo dan Messi. Sesuatu yang khas darinya adalah wajahnya yang selalu tersenyum, termasuk ketika mendapat kartu merah bahkan ketika di penjara sekalipun. Di penjara Paraguay, bakat Ronaldinho masih terlihat jelas ketika membawa timnya juara pada turnamen futsal antar tahanan.

Miroslav Josef Klose barangkali tidak seproduktif Joseph Bican, Romario, Pele, Puskas, atau Gerd Muller dalam urusan mencetak gol. Bahkan dibandingkan Ronaldo atau Messi pun jumlah golnya barangkali hanya setengahnya. Klose merupakan pencetak gol terbanyak timnas Jerman dengan catatan 71 gol, sekaligus menjadi pencetak gol terbanyak Piala Dunia dengan raihan 16 gol. Klose mencetak gol di 4 edisi Piala Dunia sekaligus membawa Jerman meraih medali (minimal masuk semifinal). Menariknya, timnas Jerman tidak pernah kalah saat Klose berhasil mencetak gol pada pertandingan tersebut. Namun yang paling berkesan dari Klose adalah sikap fair play nya, hal inilah yang menjadikannya favorit.

Itu jawaban saya, bagaimana jawaban Anda?

Data COVID-19 Indonesia, Semengerikan Itu Kah?

Without data, you’re just another person with an opinion” (W. Edwards Deming)

Ada satu ‘hobi’ baru saya beberapa pekan terakhir. Sebuah aktivitas yang memang relevan untuk dilakukan saat ini. Apakah itu? Hobi mengamati data peningkatan dan penyebaran virus corona. Menurut saya, banyak hal menarik yang bisa didapat dari pengamatan data kasus COVID 19 ini.

Sampai dengan hari Selasa, 31 Maret 2020, waktu setempat, tercatat lebih dari 850 ribu orang yang terjangkit virus corona. Amerika Serikat saat ini melaju kencang sebagai negara dengan jumlah kasus terbanyak, lebih dari 180 ribuan orang yang positif terpapar virus ini. China, negara dimana virus corona pertama kali muncul sementara hanya ada di urutan keempat dengan 81 ribuan kasus, di bawah Italia (105 ribuan kasus) dan Spanyol (95 ribuan kasus). Melihat tren peningkatan jumlah kasus, sepertinya tinggal menunggu waktu China akan tergeser ke urutan kelima oleh Jerman yang jumlah kasusnya sudah 71 ribuan.

China yang merupakan negara dengan populasi penduduk terbanyak di dunia, hanya menempati posisi kelima untuk jumlah korban jiwa wabah COVID 19 ini, yakni sebesar 3.305 orang. Peringkat teratas adalah Italia dengan 12.428 orang meninggal, diikuti oleh Spanyol (8.464 orang), Amerika Serikat (3.867 orang), dan Perancis (3.523 orang). Jika melihat trend pertumbuhan kasus dan korban, selisih korban jiwa di Amerika Serikat dan negara-negara di Eropa sepertinya akan semakin berjarak dengan China. Kurva di Amerika Serikat dan negara-negara di Eropa masih terus naik, berbeda dengan kurva di China dan Korea Selatan yang mulai melandai. Sepekan terakhir saja, di Italia dan Spanyol setiap harinya ada lebih dari 650 orang yang meninggal akibat terpapar virus corona, sementara dua pekan terakhir, korban baru COVID 19 yang meninggal di China setiap harinya tidak pernah lebih dari satu digit. Akan lebih mengerikan lagi kalau korban jiwa dibandingkan dengan jumlah penduduk, 3.000an korban jiwa dari 1,4 miliar penduduk China sangat jauh lebih kecil sekali dibandingkan 12.000an korban jiwa dari 60 jutaan penduduk Italia.

Pertanyaannya sekarang, bagaimana dengan Indonesia. Jika dihitung dari jumlah penduduk yang terkonfirmasi terpapar virus corona, Indonesia ‘masih’ ada di peringkat 37 dunia. Namun ketika indikatornya adalah jumlah korban jiwa, peringkatnya meningkat drastis ke posisi 17. Artinya, tingkat kematian atau case fatality rate (CFR) Indonesia sangat mengkhawatirkan. Tingkat kematian 136 orang dari 1.528 orang yang positif COVID 19 di Indonesia atau sekitar 8,9% adalah angka yang mengkhawatirkan. Tingkat kematian ini bahkan lebih tinggi dari Spanyol (8,8%) yang memiliki angka kematian sangat tinggi. Dari 80an negara dengan kasus positif virus corona tertinggi, di atas 250 kasus, CFR Indonesia ini hanya kalah oleh Italia yang mencapai 11,7%.

Sebagai perbandingan, jumlah 1.528 kasus positif corona di Indonesia bisa disejajarkan dengan Arab Saudi (1.563 kasus) dan Finlandia (1.418 kasus). Namun korban jiwa di Finlandia yang digadang-gadang merupakan negara dengan sistem pendidikan terbaik hanya 17 orang, CFR nya hanya 1,2%. Bahkan korban jiwa di Arab Saudi hanya 10 orang sehingga CFR nya hanya 0,6%. Jika melihat jumlah 136 korban jiwa akibat COVID 19, Indonesia barangkali bisa disejajarkan dengan Austria (128 korban jiwa). Namun jumlah kasus di Austria mencapai 10.180 yang artinya CFR nya hanya 1,3%. Adapun rata-rata CFR COVID 19 di dunia adalah 4,9%, artinya tingkat kematian akibat COVID 19 di Indonesia terbilang sangat mengkhawatirkan. Tingginya CFR di Indonesia ini bisa jadi menunjukkan banyaknya kasus positif corona yang belum teridentifikasi, dan atau menunjukkan lemahnya penanganan kasus sehingga banyak yang meninggal dunia.

Sepertinya memang kurang fair membandingkan Indonesia dengan beberapa negara di atas. Indonesia tidak bisa disamakan dengan Norwegia yang memiliki Human Development Index tertinggi. Hanya ada 39 korban jiwa dari 4.641 kasus di Norwegia, atau CFR nya 0,8%. Indonesia juga berbeda dengan Jerman yang penduduknya disiplin dan teknologinya sudah maju. Walaupun Jerman termasuk top-5 negara dengan jumlah kasus terbesar, dari 71.808 kasus, CFR nya hanya 1,1% dengan 775 korban jiwa. Bahkan kurang fair membandingkan Indonesia dengan Singapura yang hanya tercatat 3 korban meninggal akibat COVID 19, salah seorang di antaranya WNI berusia 64 tahun. Dengan 926 kasus di Singapura, CFR nya hanya 0,3%. Bagaimanapun, kedisiplinan masyarakat, kemajuan teknologi, dan optimalisasi peran pemerintah dalam memastikan kesejahteraan rakyat menjadi kunci penting dalam menghadapi wabah COVID 19 ini.

Dilihat dari luasnya wilayah, banyaknya jumlah penduduk, dan kondisi sosial masyarakatnya, Indonesia barangkali bisa dibandingkan dengan Brazil. Kondisi pendidikan, ekonomi, hingga sikap pemerintah dalam menghadapi COVID 19 juga mirip. Per 31 Maret 2020 ini, ada 5.717 kasus positif corona di Brazil dengan 201 korban meninggal. CFR sebesar 3,5% ini sepertinya ditentukan oleh penanganan kasusnya. Kasus pertama di Brazil dilaporkan sepekan sebelum laporan kasus pertama di Indonesia, padahal jarak dari Brazil ke China hampir separuh keliling dunia. Artinya, identifikasi kasus di Brazil lebih baik dibandingkan Indonesia. Seorang teman yang tinggal di Brazil bercerita, ketika anaknya sakit batuk pilek biasa beberapa pekan lalu, penanganannya seperti menangani suspect COVID 19. Setelah diisolasi dan dinyatakan negative, baru dilakukan penanganan reguler. Teman saya juga bercerita bahwa alih-alih membeli dan menggunakan alat rapid test dari China yang tingkat akurasinya rendah, Brazil memilih untuk mengembangkan alat rapid test sendiri. Jika membaca media internasional, kebijakan pemerintah Brazil sebenarnya juga tidak populer, mengedepankan ekonomi dibandingkan keselamatan rakyatnya, serta kerap beda kebijakan dengan kepala daerah. Yah, 11 12 dengan Indonesia lah. Bedanya, grassroot lebih solid dan konstruktif.

Semakin banyak data dan informasi, mungkin semakin tinggi juga kekhawatiran yang akan timbul. Tinggal bagaimana kita menyikapinya. Menjadi bijak atau paranoid. Yang jelas, dari data seharusnya kita bisa belajar. Belajar untuk mengantisipasi, sekaligus memprediksi masa depan. Sehingga data bisa bermanfaat untuk membuat keputusan terbaik. Memang tidak mudah untuk kasus di Indonesia, mengingat tidak semua data dibuka, dan tidak semua kebijakan diambil berdasarkan data. Dan dari data kita juga bisa melihat dunia dari berbagai perspektif. Negatif – positif, pesimis – optimis. Data COVID 19 di Indonesia memang mengerikan, namun masih banyak pikiran dan sikap positif yang bisa dimunculkan. Ketika kebijakan pemerintah tidak bisa diharapkan, masih ada peran individu dan masyarakat yang bisa dioptimalkan. Tetap berikhtiar dan berkontribusi dengan apa yang dimiliki. Seraya bermunajat semoga wabah ini segera teratasi.

Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari penyakit kusta, kegilaan, lepra, dan dari segala penyakit buruk lainnya” (HR. Abu Daud dan Nasa’i)