“Tell your story. Shout it. Write it. Whisper it if you have to. But tell it. Some won’t understand it. Some will outright reject it. But many will thank you for it. And then the most magical thing will happen. One by one, voices will start whispering, ‘Me, too.’ And your tribe will gather. And you will never feel alone again.”
(L.R. Knost)
“Write what you do and do what you write” barangkali merupakan jargon yang banyak dikenal terutama mereka yang terlibat dalam urusan Quality Management. Harus ada bukti tertulis dari apa yang telah kita kerjakan, dan pekerjaan yang dilakukan harus didukung oleh dokumen tertulis sebagai dasar pedoman pelaksanaan. Jika kita tidak bisa membuktikan bahwa kita telah bekerja, berarti kita tidak bekerja. Dan jika kita bekerja tidak sesuai dengan dokumen tertulis, berarti ada kesalahan dalam pekerjaan kita. Penyampaian tanpa bukti tertulis juga belum bisa dianggap kebenaran. Di sisi lain, melakukan apa yang disampaikan dapat menunjukkan integritas seseorang, namun menyampaikan apa yang dilakukan tidak selamanya dinilai positif. Bisa saja justru dianggap sombong, ujub, ataupun riya’. Tulisan ini tidak hendak menyoroti relevansi dari jargon tersebut, namun coba menghubungkan menulis dengan berbicara sebagai sesama aktivitas penyampaian pesan.
Menulis dan berbicara merupakan keterampilan berbahasa yang bersifat aktif-produktif. Penulis dan pembicara berperan sebagai penyampai atau pengirim pesan kepada pihak lain. Keduanya harus mengambil sejumlah keputusan berkaitan dengan topik, tujuan, jenis informasi yang akan disampaikan, serta cara penyampaiannya sesuai dengan kondisi sasaran (pembaca atau pendengar) dan corak teksnya (eksposisi, deskripsi, narasi, argumentasi, dan persuasi). Perbedaan antara keduanya hanya dalam hal kecaraan dan medianya. Komunikasi dalam berbicara terjadi secara langsung dan respon pendengar juga dapat langsung ditangkap. Pembicara menyampaikan pesan secara lisan, sementara penulis menyampaikan pesan secara tertulis, termasuk gambar dan ilustrasi.
Menulis dan berbicara punya teknik dan tantangannya sendiri. Tidak semua orang yang hebat dalam menulis, mampu berbicara dengan fasih. Dan tidak semua orang yang hebat dalam berbicara, cakap menuangkan gagasannya dalam bentuk tulisan. Dalam berbicara, ada unsur nonverbal seperti suara, mimik, pandangan, dan gerak dapat secara langsung digunakan untuk memperjelas, mempertegas, dan menarik perhatian pendengar. Respon pendengar yang bisa langsung ditangkap juga memungkinkan pembicara untuk menyesuaikan, mengubah, atau memperbaiki apa yang disampaikannya. Namun implementasinya tak sesederhana itu, butuh banyak latihan dan ‘jam terbang’. Pembicara bukan hanya butuh persiapan materi atau konten pembicaraan, namun juga kesiapan mental. Asal berbicara memang mudah, namun berbicara yang baik, mencerahkan, dan menginspirasi tentu butuh pembiasaan.
Menulis tidak lebih mudah. Karena tidak langsung berhadapan dengan pembaca, dan tidak langsung mendapatkan responnya, persiapan penulis bisa lebih matang. Penulis bisa melakukan review tulisannya sebanyak yang dibutuhkan agar benar-benar siap, sebelum dipublikasikan. Namun jika pembicaraan dapat cepat diralat atas respon yang diberikan, klarifikasi tertulis butuh waktu. Ada berbagai teknik penulisan, termasuk penggunaan gaya bahasa, penambahan ilustrasi dan gambar untuk memperkuat tulisan. Namun implementasinya tak sesederhana itu, butuh banyak latihan dan ‘jam terbang’. Dan menjadi penulis butuh keberanian. Asal menulis memang mudah, namun perlu diingat bahwa ‘masa hidup’ sebuah tulisan jauh lebih lama dibandingkan pembicaraan. Apalagi di era digital seperti sekarang ini. Jejak digital tulisan mudah diakses siapa saja, dan penulislah yang harus mempertanggungjawabkan tulisannya. Belum lagi dengan UU ITE, tantangan menjadi penulis lebih besar. Pastikan menulis yang baik atau lebih baik diam.
Dengan berbagai tantangan dan keunggulan masing-masing, idealnya setiap diri kita mampu menjadi pembicara dan penulis yang baik. Seorang da’i atau motivator yang sering berbicara di ruang publik tentu akan mengalami batasan ruang dan waktu dalam menginspirasi. Akan berbeda jika apa yang disampaikan juga dituliskan. Inspirasinya dapat terus terjaga menembus zaman. Di sisi lain, seorang penulis produktif akan mengalami batasan dalam kolaborasi gagasan. Penulis butuh menyampaikan langsung apa yang dituliskan sehingga ada respon langsung yang dapat memperkaya gagasan. Bukankah dua kepala lebih baik daripada satu kepala? Apalagi banyak kepala. Dalam dunia akademik, keseimbangan antara menulis dengan berbicara ini sudah lama dikenal. Misalnya tugas akhir tertulis yang dibuat harus dipresentasikan dalam sidang tugas akhir. Menulis dan berbicara, tanpa kecuali. Sayangnya, momentum seperti ini kurang dibiasakan. Akhirnya, aktivitas menulis dan berbicara dilakukan ala kadarnya. Itupun masih lebih baik dibandingkan mereka yang asal menulis dan asal berbicara, tanpa manfaat, tanpa berani mempertanggungjawabkan apa yang ditulis dan diucapkannya.
Keberadaan kita di dunia ini harus memberi manfaat. Namun setiap diri kita punya keterbatasan dalam melakukan beragam kebermanfaatan tanpa melibatkan orang lain. Batas sempit itu dapat diperluas dengan aktivitas menyampaikan inspiratif, baik lisan maupun tulisan. Dan batas itu akan semakin luas jika kita optimal melakukan keduanya, berbicara dan menulis. Dengan tetap memperhatikan keteladanan perilaku atas apa yang dibicarakan ataupun ditulis, tentunya. Tidak ada dikotomi antara keduanya, semuanya bisa dilatih dan dibiasakan. Dan karena keduanya bersifat aktif-produktif, satu-satunya cara paling efektif untuk menguasai keterampilan berbicara dan menulis adalah dengan langsung mengimplementasikannya. Khazanah ilmu dapat terus berkembang dengan penyampaian secara lisan dan tulisan, dan seharusnya kita berupaya menjadi bagian darinya. Memiliki keterampilan berbicara dan menulis, dan mencerminkannya dalam keteladanan perilaku. Bismillah… Komisaris… eh bukan… Bismillah, saya siap. Bagaimana dengan Anda?
“I love writing for kids. I love talking to children about what I’d written. I don’t want to leave that behind.” (J.K. Rowling)
Recent Comments