Covid: Antara Konspirasi, Bisnis, dan Kemanusiaan (1/2)

Only two things are infinite, the universe and human stupidity; and I’m not sure about the former (universe)” (Albert Einstein)

Pandemi virus corona memang kejadian luar biasa. Berdasarkan data yang rutin diupdate worldometers, hingga 7 Juli 2021 ini telah ada lebih dari 185 juta kasus Covid-19 di seluruh dunia, dengan korban jiwa lebih dari 4 juta orang. Indonesia sendiri ada di urutan ke-16 dengan jumlah kasus Covid-19 lebih dari 2,3 juta kasus dan korban jiwa lebih dari 61 ribu orang. Dalam beberapa pekan terakhir, jumlah kasus harian Covid-19 di Indonesia berkali-kali mencatatkan rekor terbanyak, dan trennya masih terus meningkat. Jumlah kasus harian Covid-19 di Indonesia hanya kalah oleh Brazil dan India. Jumlah kematian pun sepekan terakhir berkali-kali mencatatkan rekor terbanyak dengan tren yang juga meningkat. Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat sudah dilakukan di Jawa – Bali. Rumah Sakit mulai kehabisan tempat, tenaga medis bertumbangan, ketersediaan oksigen pun menipis. Indonesia dapat dikatakan tengah menghadapi krisis Covid-19.

Dan setiap kejadian luar biasa sudah biasa ada teori konspirasi yang menyertainya. Teori konspirasi terkait virus corona ini sudah aja sejak kehadirannya mulai ramai disoroti di awal tahun lalu. Kejelasan mengenai asal munculnya virus tersebut sampai saat ini tidak ada penjelasan yang memuaskan dari WHO. Dugaan mengenai kebocoran laboratorium di Institut Virologi Wuhan, atau dari hewan yang dijual di Pasar Makanan Laut Huanan yang berulang kali dibantah Pemerintah Cina tidak dapat dibuktikan kebenarannya. Teori konspirasi lainnya yang menuding bahwa virus corona adalah senjata biologis buatan Amerika Serikat juga tidak dapat dibuktikan secara nyata. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa virus corona sudah diketahui keberadaannya puluhan tahun lalu, termasuk bahaya mutasi virusnya seperti dalam wabah Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS) dan Middle East Respiratory Syndrome (MERS). Namun memang masih banyak yang belum terjawab termasuk pertanyaan bagaimana virus menular dari kelelawar ataupun mengapa virusnya baru ‘meledak’ sekarang.

Beberapa penganut teori konspirasi lain melihat kejadian ini dari pertanyaan sederhana: siapa yang paling diuntungkan dengan pandemi ini? Memang ternyata ada berbagai pihak yang ‘diuntungkan’ dengan adanya Covid-19 ini. Perusahaan farmasi yang memproduksi vaksin, disinfektan, obat dan vitamin, misalnya. Kemudian perusahaan yang memproduksi Alat Pelindung Diri (APD) dan masker. Kemudian perusahaan berbasis teknologi, informasi, dan komunikasi. Bahkan perusahaan penyedia games pun diuntungkan. Disinilah dunia bisnis mengambil kesempatan dalam ‘kesempitan’ pandemi. Ketika produk tertentu seketika ramai diborong dan habis di pasaran, tentu ada kepentingan bisnis yang bermain. Ketika ketersediaan masker atau oksigen begitu terbatas, boleh jadi ada yang mengambil peluang bisnis. Dan karena keseimbangan dunia ini, jika ada yang diuntungkan, tentu ada yang dirugikan. Walaupun bisa mengancam siapa saja, nyatanya pandemi ini kian memperlebar gap antara yang miskin dengan yang kaya. Dalam perspektif bisnis yang berorientasi profit, kondisi ini bukanlah salah pihak yang diuntungkan. Mereka yang mengambil peluang untuk meraup keuntungan tidak serta merta menjadi pihak yang paling bertanggung jawab terhadap berbagai permasalahan yang terjadi.

Lantas, apakah ada hubungannya dengan dunia politik? Pemilihan Kepala Negara misalnya? Boleh jadi. Yang jelas, pemegang kebijakan juga memiliki ruang besar untuk memanfaatkan pandemi ini. Korupsi dan kolusi semakin marak di masa pandemi. Bagaimana tidak, ada kucuran dana yang sangat besar yang bisa diselewengkan untuk kepentingan pribadi ataupun golongan. Pandemi ini adalah ujian kepemimpinan. Mereka yang suka meremehkan masalah, plin plan dalam mengambil keputusan, mengambil muka pimpinan, asal bicara tanpa data, mencari aman, berpikir pragmatis, hingga mereka yang mencari kesempatan dalam kesempitan semakin mudah terlihat. Konspirasi dapat diartikan sebagai persengkokolan jahat. Dan ruang persengkokolan semacam ini makin terbuka di masa pandemi.

Persoalannya, sekadar berpikir konspiratif bukan hanya tidak memecahkan masalah, bahkan tidak jarang justru memperkeruh permasalahan. Tidak sedikit mereka yang sekadar ikut-ikutan berpikir konspiratif, justru kebablasan. Istilah tren yang menggambarkan orang-orang ini adalah ‘covidiot’. Ada beberapa indikasi dan levelisasi para covidiot ini. Mulai dari menyangkal eksistensi dari virus corona dan penyakit yang diakibatkan oleh virus tersebut (Covid-19). Ada pula yang menganggapnya ada, namun menyangkal bahwa dampaknya sebesar yang diberitakan media. Ada yang merasa kebal virus sampai mencoba membuktikan kekebalannya dengan tidak mematuhi protokol kesehatan, mulai dari tidak menggunakan masker, sengaja bikin acara kumpul bareng, sampai menyengaja berinteraksi erat dengan penderita Covid-19. Ada juga covidiot yang berlebihan dalam menyikapi pandemi, misalnya dengan memborong tisu, hand sanitizer, ataupun masker.

Parahnya lagi, sebagaimana Covid, covidiot ini juga menular. Opini menyesatkan dan berita hoax juga banyak dan terus diproduksi untuk semakin mendangkalkan paradigma berpikir para covidiot yang kerap sharing tanpa saring informasi yang sejalan dengan pemikirannya. Informasi yang kadang dibungkus dengan bumbu religius dan (pseudo)ilmiah semakin sulit untuk bisa diluruskan, apalagi jika ditambah benih ego dan kesombongan. Berpikir kritis terhadap kondisi di sekitar kita sebenarnya merupakan hal yang lebih baik dibandingkan berpikir naif dan terlalu polos. Hanya saja terlalu berpikir konspiratif justru sama sekali tidak memberi manfaat. Siapa yang paling diuntungkan jika alih-alih terbangun ‘herd immunity’ malah terbentuk ‘herd stupidity’ akibat masyarakat kian abai terhadap protokol kesehatan? Siapa yang paling diuntungkan dengan menuduh tenaga medis hingga pemerintah sebagai kaki tangan elit global? Kasus Covid semakin tinggi, korban semakin banyak, teori konspirasi tak kunjung terbukti. Para covidiot pun juga sama sekali tidak dapat untung.

(bersambung)

Leave a Comment


NOTE - You can use these HTML tags and attributes:
<a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <strike> <strong>