Monthly Archives: August 2021

Yang Terbaik Bagimu

Teringat masa kecilku, kau peluk dan kau manja. Indahnya saat itu, buatku melambung, di sisimu terngiang hangat napas segar harum tubuhmu. Kau tuturkan segala mimpi-mimpi serta harapanmu. Kau inginku menjadi yang terbaik bagimu. Patuhi perintahmu, jauhkan godaan yang mungkin ku lakukan dalam waktuku beranjak dewasa. Jangan sampai membuatku terbelenggu jatuh dan terinjak…
(‘Yang Terbaik Bagimu’, ADA Band feat Gita Gutawa)

Alkisah, hiduplah seorang ayah bersama anak laki-laki semata wayangnya. Istrinya telah meninggal beberapa tahun lalu, dan semenjak anaknya kuliah di kota sebelah, ia kerap merasa kesepian. Ayah dan anak laki-lakinya ini sangat menyukai otomotif dan kerap menghadiri pameran otomotif yang bisa ditempuh oleh mobil tua ayahnya. Suatu saat di masa liburan kuliah, mereka datang ke sebuah pameran otomotif yang cukup besar. Sambil bergurau, sang ayah menanyakan mobil seperti apa yang disukai sang anak, agar bisa sering pulang menemui ayahnya di kampung. Sang anak pun menjawab dengan antusias bahwa mobil city car keluaran terbaru menjadi favoritnya. Harganya tidak terlampau mahal, namun desainnya cukup elegan. Sang ayah hanya menanggapinya dengan tersenyum.

Waktupun cepat berlalu, sang anak lulus kuliah dengan hasil memuaskan dan langsung mendapat tawaran kerja di kota. Ketika prosesi wisuda, sang ayah tak bisa hadir karena sedang sakit, sementara mobil tuanya pun sudah dijual. Sang anak tampak sangat bersedih, merasa ditinggalkan, bahkan di momen spesial pun harus diikutinya sendiri. Namun rupanya sang ayah masih sempat mengirimkan paket hadiah wisuda ke alamat tempat tinggal anaknya di kota. Sepulang wisuda, dengan bersemangat, sang anak membuka paket hadiahnya, seraya berharap sang ayah memberi kejutan besar. Setelah dibuka, hadiahnya ternyata sebuah kotak kayu yang berukir indah. Sang anak membukanya, dengan harapan ada hadiah berupa kunci mobil di dalamnya. Namun yang ada di dalamnya ternyata ‘hanya’ Al Qur’an yang terlihat bagus sebagai hiasan. Dengan kecewa, ia pun menutup kotak tersebut dan menaruhnya di sudut lemari di kamarnya. Tak lupa ia menelpon ayahnya dan berterima kasih ‘setengah hati’ kepada ayahnya.

Waktupun kian cepat berlalu, sang anak sudah sukses berkarir. Ia sudah mampu membeli mobil yang diidam-idamkannya. Namun kesibukannya seringkali membuatnya tidak sempat pulang ke kampung menjumpai ayahnya. Hingga suatu saat, ayahnya yang sudah tua dan sakit-sakitan jatuh sakit dan kemudian meninggal. Setelah prosesi pemakaman dan menyelesaikan berbagai keperluan di kampung, sang anak pun kembali sendirian ke kota dengan penuh kesedihan. Tak terasa air mata mengalir pelan di pipinya. Memasuki rumahnya yang baru, ia mendapati kotak kayu hadiah ayahnya ketika wisuda yang ditaruhnya di pojok lemari. Ia mengusap kotak kayu berukir indah itu seraya membayangkan tangan kasar dan kokoh milik ayahnya. Membuka kotak kayu tersebut dan mengambil Al Qur’an di dalamnya. Karena tak pernah membukanya, ia baru menyadari ada semacam pembatas halaman di Al Qur’an tersebut. Ia buka Al Qur’an di pembatas halaman yang ternyata menunjukkan Surah Luqman, dan ia sangat terkejut. Ternyata kertas yang menjadi pembatas halamannya adalah selembar cek dengan nominal sebesar harga mobil city car yang diidam-idamkannya, dan tertanggal persis dengan waktu wisudanya dulu. Air matanya pun tumpah.

Alif Laam Miim. Inilah ayat-ayat Al Quran yang mengandung hikmah. Sebagai petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang berbuat kebaikan, (yaitu) orang-orang yang melaksanakan shalat, menunaikan zakat dan mereka meyakini adanya akhirat. Merekalah orang-orang yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhannya dan mereka itulah orang-orang yang beruntung…” (QS. Luqman: 1-5). Terbata ia mulai membaca Al Quran yang terasa sudah sangat lama tak disentuhnya. Teringat dulu ayahnya mengajarinya dengan keras agar ia mampu membaca Al Qur’an dengan baik.

Dan sungguh, telah Kami berikan hikmah kepada Luqman, yaitu, “Bersyukurlah kepada Allah! Dan barang siapa bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya dia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barang siapa tidak bersyukur (kufur), maka sesungguhnya Allah Mahakaya, Maha Terpuji”. Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, ketika dia memberi pelajaran kepadanya, “Wahai anakku! Janganlah engkau mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar. Dan Kami perintahkan kepada manusia (agar berbuat baik) kepada kedua orangtuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam usia dua tahun. Bersyukurlah kepadaKu dan kepada kedua orang tuamu. Hanya kepada Aku kembalimu.” (QS. Luqman: 12-14). Isaknya semakin keras. Merasa belum banyak berbuat baik kepada ayahnya selagi masih ada kesempatan. Dan kini yang tersisa hanya penyesalan.

Sang anak baru tersadar mengapa ayahnya menjual mobil tuanya. Pantas saja seakan ada ganjalan hati yang dipendam ayahnya hingga akhir hayatnya. Dan sejak wisuda, intensitas interaksi dirinya dengan ayahnya memang sangat berkurang. Begitulah cinta seorang ayah yang kadang kala tidak dimengerti oleh anaknya. Seorang ayah mungkin hampir tidak pernah mengumbar ungkapan cinta secara verbal, namun rasa cintanya tergambar jelas dari kerja keras dan pengorbanannya. Mencoba memberi yang terbaik bagi anaknya, dan menyisakan untuk dirinya sendiri. Tak pernah terlihat mengeluh dan menangis. Bahkan ada cinta dalam amarahnya. Sejenak, berbagai kenangan masa lalunya dengan ayahnya terlintas, membawa kesyahduan yang tak terlukiskan. Sebuah memori indah yang takkan terulang kembali. Hanya ungkapan maaf dan terima kasih yang terlambat untuk disampaikan. Dan untaian do’a yang bisa dipanjatkan, semoga Allah SWT menerima segala amal baiknya, mengampuni dosa-dosanya, dan menempatkannya di tempat terbaik di sisi-Nya.

…Tuhan tolonglah, sampaikan sejuta sayangku untuknya. Ku terus berjanji takkan khianati pintanya. Ayah dengarlah, betapa sesungguhnya ku mencintaimu. Kan ku buktikan, ku mampu penuhi semua maumu. Andaikan detik itu kan bergulir kembali. Ku rindukan suasana basuh jiwaku, membahagiakan aku yang haus akan kasih dan sayangmu. ‘Tuk wujudkan segala sesuatu yang pernah terlewati
(‘Yang Terbaik Bagimu’, ADA Band feat Gita Gutawa)

Coretan Dinding Zaman Now

Coretan dinding membuat resah, resah hati pencoret mungkin ingin tampil
Tapi lebih resah pembaca coretannya, sebab coretan dinding adalah pemberontakan kucing hitam yang terpojok di tiap tempat sampah, di tiap kota
Cakarnya siap dengan kuku kuku tajam, matanya menyala mengawasi gerak musuhnya
Musuhnya adalah penindas, yang menganggap remeh coretan dinding kota
Coretan dinding terpojok di tempat sampah, kucing hitam dan penindas sama-sama resah

(‘Coretan Dinding’, Iwan Fals)

Sudah sejak lama, coretan dinding menjadi sarana ekspresi. Sejak dini bahkan sudah lumrah, anak kecil mengungkapkan ekspresinya lewat coret-coretan di dinding, sekaligus melatih perkembangan motorik halusnya. Atau jika kita lihat perjalanan sejarah, coretan dinding ini sudah ada sejak zaman kuno, seperti di masa Mesir kuno, Yunani kuno, ataupun Romawi kuno. Toilet umum seringkali menjadi tempat paling favorit bagi coretan-coretan dinding. Motifnya mulai dari iseng, menyalurkan kreativitas, hingga sarana promosi dan curhat serius. Coretan-coretan seperti ini juga banyak kita temui di belakang truk yang kerapkali menjadi semacam ‘hiburan’ dalam perjalanan.

Namun coretan dinding tidaklah selamanya menghibur, apalagi jika kontennya berisi kritik sosial. Berbeda dengan pujian dan sanjungan yang kerap melenakan, yang namanya kritik, biasanya menyinggung dan mengusik. Apalagi dilakukan di ruang publik. Dan coretan dinding ini hanyalah potret masalah, bukan sejenis makalah ilmiah yang bisa memberikan rekomendasi untuk pemecahan masalah. Di saat ada yang menganggapnya sebagai kebebasan berekspresi, sebagian yang lain memandangnya sebagai kritik tanpa solusi, bahkan ada yang melihatnya sebagai vandalisme perusak reputasi.

Di berbagai negara, menandai atau mengecat properti tanpa izin dianggap oleh pemilik properti dan otoritas sipil sebagai perusakan dan vandalisme, yang merupakan kejahatan yang dapat dihukum. Memang ada juga coretan-coretan dinding yang berisi kode untuk menandai ‘wilayah kekuasaan’ misalnya, atau bahkan kode untuk mencuri dan melakukan perbuatan kriminal. Namun coretan dinding yang berisi kritik sosial ini ada di dimensi yang berbeda dengan vandalisme. Motifnya berbeda. Coretan dinding ini di satu sisi memperlihatkan aksi provokasi, di sisi lain justru memperlihatkan kondisi ketidakberdayaan.

Misalnya mural ‘TUHAN AKU LAPAR!!’ atau ‘DIPAKSA SEHAT DI NEGARA YANG SAKIT’ yang sempat viral dan sudah dihapus aparat, alih-alih terlihat sebagai coretan liar yang provokatif, justru memperlihatkan ekspresi ketidakberdayaan. Memang kurang tepat juga membandingkan coretan dinding zaman now dengan di era kemerdekaan dulu, situasi dan sasaran kritik sosialnya berbeda. Namun tetap menjadi ironi ketika ekspresi ketidakberdayaan lewat seni coretan dinding, disikapi dengan represif dan koersif. Mengebiri kemerdekaan berekspresi jelas menjadi kado yang tidak diharapkan di hari kemerdekaan Indonesia ke-76.

Kritik perlu disikapi secara kontemplatif. Bisa jadi penilaian orang lain ada benarnya, walaupun itu sesuatu tidak kita sukai. Boleh jadi kritiklah yang akan menyelamatkan di saat pujian justru menghancurkan. Tentu kita bukan mentolerir vandalisme dengan dalih kebebasan berekspresi, namun kritik sosial melalui mural atau grafiti bukanlah sesuatu yang harus disikapi secara represif dan berlebihan. Apalagi yang dikritik pernah berjanji tidak akan marah jika dikritik sekeras apapun. Pun nyatanya janji memang tidak selalu sesuai dengan kenyataan.

Sebagaimana coretan dinding anak kecil yang konstruktif bagi tumbuh kembang anak, coretan dinding berisi kritik sosial semestinya mampu disikapi dengan lebih bijak. Jeritan suara hati rakyat barangkali memang tidak menemukan kanal penyaluran selain ‘curhat’ di dinding. Seperti WC sekolah pun tidak jarang memuat curhatan para siswa. Kondisi ini juga akan sejalan dengan hukum aksi reaksi, ketika kebebasan berekspresi dibungkam, akan semakin banyak ekspresi yang akan muncul. Sikap antikritik hanya akan menyuburkan tumbuhnya kritik-kritik yang lain. Dinding mungkin tidak bisa berbicara, namun coretan dinding yang sarat makna kan terus bersuara. Dan menghapusnya hanya akan membuat semakin banyak ‘dinding’ yang bercerita.

Jika rakyat pergi ketika penguasa pidato,
kita harus hati-hati barangkali mereka putus asa
Kalau rakyat sembunyi dan berbisik-bisik ketika membicarakan masalahnya sendiri,
penguasa harus waspada dan belajar mendengar
Bila rakyat tidak berani mengeluh itu artinya sudah gawat
Dan bila omongan penguasa tidak boleh dibantah kebenaran pasti terancam
Apabila usul ditolak tanpa ditimbang, suara dibungkam, kritik dilarang tanpa alasan,
dituduh subversif dan mengganggu keamanan,
maka hanya ada satu kata: LAWAN!
(‘Peringatan’, Wiji Thukul)

Wahai Para Istri, Bersyukurlah!

Allah tidak akan melihat kepada perempuan yang tidak bersyukur kepada suaminya, dan dia tidak merasa cukup dengan apa yang diberikan suaminya.” (HR. An Nasa’i dan Al Baihaqi)

Dalam kitab Al Bidayah wa An Nihayah karya Al Hafizh ‘Imaduddin Abul Fida’ Isma’il bin ‘Umar bin Katsir Al Qurasyi Ad Dimasyqi, ada sebuah hadits panjang riwayat Al Bukhari yang berkisah tentang pernikahan Nabi Ismail a.s. dengan seorang wanita yang tinggal di sekitar sumur Zamzam. Tidak lama setelah pernikahan tersebut, Hajar, ibu Nabi Ismail a.s. meninggal dunia. Pada suatu hari, Nabi Ibrahim a.s. datang untuk mengetahui kabar anaknya, namun dia tidak menemukan Nabi Ismail a.s.. Beliaupun bertanya kepada istri Nabi Ismail yang kemudian menjelaskan bahwa suaminya sedang pergi mencari nafkah. Kemudian Nabi Ibrahim a.s. bertanya tentang kehidupan dan keadaan mereka. Istri Nabi Ismail a.s. menjawab, “Kami mengalami banyak keburukan, hidup kami sempit dan penuh penderitaan yang berat.” Setelah mendengarkan keluhan tentang kehidupan yang dijalani anak dan menantunya, Nabi Ibrahim a.s. berkata, “Nanti apabila suami kamu datang sampaikan salam dariku dan katakan kepadanya agar mengganti palang pintu rumahnya”. Kemudian beliau pun pergi.

Ketika Nabi Ismail a.s. datang, dia merasakan sesuatu lalu dia bertanya kepada istrinya, “Apakah ada orang yang datang kepadamu?”. Istrinya menjawab, “Ya. Tadi ada orang tua begini dan begitu keadaannya datang dan dia menanyakan kamu lalu aku terangkan, dan dia bertanya kepadaku tentang keadaan kehidupan kita maka aku terangkan bahwa aku hidup dalam kepayahan dan penderitaan.” Nabi Ismail bertanya, “Apakah orang itu memberi pesan kepadamu tentang sesuatu?”. Istrinya menjawab, “Ya, dia memerintahkan aku agar aku menyampaikan salam darinya kepadamu dan berpesan agar kamu mengubah palang pintu rumahmu.” Nabi Ismail a.s. berkata, “Dialah ayahku dan sungguh dia telah memerintahkan aku untuk menceraikan kamu, maka kembalilah kamu kepada keluargamu.” Maka Ismail menceraikan istrinya.

Kemudian Ismail menikah lagi dengan wanita lain dari penduduk yang tinggal di sekitar situ. Nabi Ibrahim a.s. yang pergi meninggalkan mereka dalam kurun waktu yang dikehendaki Allah SWT datang kembali untuk menemui mereka namun dia tidak menemukan Nabi Ismail a.s.. Beliaupun bertanya kepada istri Nabi Ismail yang kemudian menjelaskan bahwa suaminya sedang pergi mencari nafkah. Kemudian Nabi Ibrahim a.s. bertanya tentang kehidupan dan keadaan mereka. Istri Nabi Ismail a.s. menjawab seraya memuji Allah SWT, “Kami selalu dalam keadaan baik-baik saja dan cukup”. Nabi Ibrahim a.s. bertanya, “Apa makanan kalian?”. Istri Nabi Ismail a.s. menjawab, “Daging”. Nabi Ibrahim a.s. bertanya lagi, “Apa minuman kalian?”. Istri Nabi Ismail a.s. menjawab, “Air”. Kemudian Nabi Ibrahim a.s. berdoa, “Ya Allah, berkahilah mereka dalam daging dan air mereka”. Rasulullah SAW bersabda, “Saat itu belum ada biji-bijian di Mekkah dan seandainya ada tentu Nabi Ibrahim sudah mendoakannya. Dan dari doa Nabi Ibrahim tentang daging dan air itulah, tidak ada seorang pun penduduk Makkah yang mengeluh bila yang mereka dapati hanya daging dan air”.

Nabi Ibrahim a.s. selanjutnya berkata, “Jika nanti suamimu datang, sampaikan salam dariku kepadanya dan perintahkanlah dia agar memperkokoh palang pintu rumahnya”. Kemudian beliau pun pergi.  Ketika Nabi Ismail a.s. datang, dia berkata, “Apakah ada orang yang datang kepadamu?” Istrinya menjawab, “Ya, tadi ada orang tua dengan penampilan sangat baik datang kepada kita (seraya memuji Ibrahim). Dia bertanya kepadaku tentangmu maka aku terangkan, lalu dia bertanya kepadaku tentang keadaan hidup kita, maka aku jawab bahwa aku dalam keadaan baik”. Nabi Ismail a.s. bertanya, “Apakah orang itu memberi pesan kepadamu tentang sesuatu?”. Istrinya menjawab, “Ya, dia memerintahkan aku agar aku menyampaikan salam darinya kepadamu dan berpesan agar kamu mempertahankan palang pintu rumahmu”. Nabi Ismail a.s. berkata, “Dialah ayahku dan palang pintu yang dimaksud adalah kamu. Dia memerintahkanku untuk mempertahankan kamu”.

Kedua istri Nabi Ismail a.s. menjawab jujur pertanyaan Nabi Ibrahim a.s., namun dalam perspektif kesyukuran yang berbeda. Dan hasilnya pun bertolak belakang. Perkara kesyukuran ini ternyata sangatlah mendasar. Ketika Rasulullah SAW dan para sahabat melakukan sholat gerhana matahari dengan sangat panjang, beliau melihat surga dan neraka. Saat melihat neraka, beliau bersabda, “Tidak pernah aku melihat pemandangan seperti itu sebelumnya. Aku melihat kebanyakan penduduk neraka adalah kaum wanita”. Sahabat bertanya, “Mengapa (demikian) wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Karena kekufuran mereka”. Kemudian para sahabat bertanya lagi, “Apakah mereka kufur kepada Allah?” Beliau menjawab, “Mereka kufur terhadap suami-suami mereka, kufur terhadap kebaikan-kebaikannya. Kalaulah engkau berbuat baik kepada salah seorang di antara mereka selama waktu yang panjang, kemudian dia melihat sesuatu pada dirimu (yang tidak dia sukai), niscaya dia akan berkata, ‘Aku tidak pernah melihat sedikit pun kebaikan pada dirimu’” (HR Bukhari).

Lagi-lagi perkara kesyukuran yang menyebabkan banyak wanita masuk ke neraka. Bukan berarti laki-laki atau suami sudah pasti selalu bersyukur. Namun keinginan untuk memperoleh lebih, membandingkan dengan yang lain, hingga pertimbangan berdasarkan perspektif orang lain lebih banyak dilakukan oleh para wanita. Karenanya, jika ketaatan adalah salah satu kunci surga bagi para istri, maka kesyukuran adalah tameng yang akan menyelamatkan para istri dari neraka. Dalam hadits lain, Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya orang yang selalu melakukan kefasikan adalah penghuni neraka”. Dikatakan, “Wahai Rasulullah, siapakah yang selalu berbuat fasik itu?” Beliau menjawab, “Para wanita”. Seorang sahabat bertanya, “Bukankah mereka itu ibu-ibu kita, saudari-saudari kita, dan isteri-isteri kita?” Beliau menjawab, “Benar. Akan tetapi apabila mereka diberi sesuatu, mereka tidak bersyukur. Apabila mereka ditimpa ujian (musibah), mereka tidak bersabar” (HR. Ahmad).

Ketika seorang istri merasa sulit untuk berterima kasih, kerap lalai dalam beribadah, sering merasa iri, mudah mengeluh, selalu menuntut, dan menyebarkan aib suami. Bisa jadi kekufuran dan kefasikan itu sudah mulai jelas memperlihatkan tandanya. Kesyukuran tidak terbentuk. Padahal betapa banyak hal yang bisa disyukuri, tidak terhitung jumlahnya. Pekerjaan rumah menumpuk pertanda ada ladang pahala. Rumah riuh berantakan pertanda ada keaktifan. Semua gejala masalah akan terlihat berbeda ketika dipandang dari perspektif kesyukuran. Bukan menunggu nikmat datang baru bersyukur, tetapi senantiasa bersyukur sehingga nikmat kian bertambah. Wahai para istri, maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?

Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sesuai) apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan” (QS. Ath Thalaq: 7)

Antara ‘Ad dan Tsamud (2/2)

Kaum ‘Ad dan Tsamud diberikan tenggat waktu sebelum diazab dan mereka sama-sama tidak mau bertaubat. Ketika tanda azab berupa kekeringan menimpa ladang dan kebun kaum ‘Ad, Nabi Hud a.s. masih berusaha meyakinkan mereka, “Hai kaumku, mohonlah ampun kepada Tuhanmu lalu bertobatlah kepada-Nya, niscaya Dia menurunkan hujan yang sangat deras atasmu, dan Dia akan menambahkan kekuatan kepada kekuatanmu, dan janganlah kamu berpaling dengan berbuat dosa.” Kaum ‘Ad berkata: “Hai Hud, kamu tidak mendatangkan kepada kami suatu bukti yang nyata, dan kami sekali-kali tidak akan meninggalkan sembahan-sembahan kami karena perkataanmu, dan kami sekali-kali tidak akan mempercayai kamu. Kami tidak mengatakan melainkan bahwa sebagian sembahan kami telah menimpakan penyakit gila atas dirimu.” (QS. Hud: 52-54). Sementara Nabi Saleh a.s. berkata, “Hai kaumku, inilah unta betina dari Allah, sebagai mukjizat (yang menunjukkan kebenaran) untukmu, sebab itu biarkanlah dia makan di bumi Allah, dan janganlah kamu mengganggunya dengan gangguan apapun yang akan menyebabkan kamu ditimpa azab yang dekat. Mereka membunuh unta itu, maka berkata Saleh: “Bersukarialah kamu sekalian di rumahmu selama tiga hari, itu adalah janji yang tidak dapat didustakan.” (QS. Hud: 64-65).

Dan akhirnya, kesudahan kaum ‘Ad dan Tsamud pun sama, sama-sama dibinasakan. “Jika mereka berpaling maka katakanlah: “Aku telah memperingatkan kamu dengan petir, seperti petir yang menimpa kaum ‘Aad dan Tsamud.” (QS. Fushshilat: 13). Teknisnya memang tidak persis sama, hal ini justru menunjukkan betapa mudah dan banyaknya cara jika Allah SWT hendak mengazab suatu kaum. Kaum ‘Ad diazab dengan beragam cara. Dimusnahkan oleh suara yang mengguntur, menjadikan mereka seperti sampah yang dibawa banjir (QS. Al Mu’minun: 41). Kemudian dengan angin yang mengandung azab yang pedih, yang menghancurkan mereka menjadi tak tampak lagi kecuali bekas tempat tinggal mereka (QS. Al Ahqaf: 24-25), atau angin yang membinasakan, yang tidak membiarkan suatu apapun yang dilandanya dan menjadikannya seperti serbuk (QS. Adz Dzariyat: 41-42), atau angin yang sangat bergemuruh dalam beberapa hari (QS. Fushshilat: 16), atau angin kencang yang terus menerus sehingga membuat mereka bergelimpangan bagaikan pohon-pohon kurma yang tumbang dengan akar-akarnya (QS. Al Qamar: 19-20). Dikatakan pula sebagai angin topan yang sangat dingin, yang melanda selama tujuh malam delapan hari terus-menerus, dan menjadikan kaum ‘Ad mati bergelimpangan seperti batang-batang pohon kurma yang telah kosong (lapuk), serta tidak menyisakan seorang pun di antara mereka (QS. Al Haqqah: 6-8).

Kaum Tsamud tak lebih baik, azabnya juga beragam. Dalam tafsir Ibnu Katsir, selama tiga hari masa penangguhan azab, wajah mereka berubah. Menjadi kuning di hari pertama, lalu menjadi merah di hari kedua, kemudian menjadi hitam di hari ketiga. Kemudian kaum Tsamud diazab dengan gempa yang menimpa mereka dan mereka pun mati bergelimpangan di dalam reruntuhan rumah mereka (QS. Al A’raf: 78). Juga disebutkan bahwa azabnya adalah suara yang sangat keras (QS. Al Haqqah: 5), atau suara mengguntur yang menimpa sehingga mereka mati bergelimpangan di rumahnya (QS. Hud:67), atau suara keras yang mengguntur di pagi hari (QS. Al Hijr: 83), atau suara keras mengguntur yang menjadikan mereka seperti batang-batang kering yang lapuk (QS. Al Qamar:31). Juga disebutkan mereka diazab dengan sambaran petir (QS. Fushshilat: 17), atau mereka disambar petir sedang mereka melihatnya, mereka tidak mampu bangun juga tidak mendapat pertolongan (QS. Adz Dzariyat: 44-45).

Mentadabburi ayat-ayat tentang azab umat-umat terdahulu semestinya mampu membuat kita merenung. Betapa besarnya kuasa Allah SWT dan betapa mudah bagi-Nya untuk membinasakan suatu kaum. Caranya pun banyak, mulai dari melibatkan makhluk seukuran virus atau bakteri, hingga benda langit berukuran besar. Namun jika di masa lampau, azab begitu terlihat, di masa sekarang kita perlu lebih berhati-hati. Balasan atas kekafiran dan kemaksiatan tidak sesegera itu. Melakukan perbuatan dosa pun terasa semakin ringan. Nyaman dalam kelalaian. Kisah hancurnya umat terdahulu mengingatkan kita untuk senantiasa bersyukur, mewawas diri dan tidak sombong. Tidak ada daya upaya yang bisa dilakukan manusia, kecuali atas kehendak dan kekuasaan Allah SWT.

“Belumkah datang kepada mereka berita penting tentang orang-orang yang sebelum mereka, (yaitu) kaum Nuh, ‘Ad, Tsamud, kaum Ibrahim, penduduk Madyan dan negeri-negeri yang telah musnah? Telah datang kepada mereka Rasul-rasul dengan membawa keterangan yang nyata, maka Allah tidaklah sekali-kali menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri.”
(QS. At Taubah: 70)