“Apabila anak Adam meninggal, maka terputuslah amalnya, kecuali (amal) dari tiga ini: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak sholeh yang mendo’akannya” (HR. Muslim)
Pandemi Covid-19 bukan hanya memberi dampak negatif terhadap bidang kesehatan dan ekonomi. Kekerasan anak meningkat cukup signifikan di masa pandemi. Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) mencatat peningkatan kasus kekerasan terhadap anak sebesar 38 persen selama kurun 2020. Dari 2.700 kasus yang tercatat di Komnas PA, 52 persennya adalah kejahatan seksual. Angka riilnya pasti lebih besar. Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA) menerima lebih dari 4.000 laporan kekerasan terhadap anak sepanjang 1 Januari hingga Juli 2020. Ada 3.296 anak perempuan dan 1.319 anak laki-laki menjadi korban kekerasan selama rentang waktu tersebut. Dari jumlah tersebut, 1.111 anak mengalami kekerasan fisik, 979 anak mengalami kekerasan psikis, 2.556 anak menderita kekerasan seksual, 68 anak menjadi korban eksploitasi, 73 anak menjadi korban perdagangan orang, dan 346 anak menjadi korban penelantaran. Dan 58,80% kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak itu terjadi di dalam rumah tangga.
Tidak sedikit kasus kekerasan tersebut yang dipicu oleh hal yang sepele, ada yang hanya karena ribut berebut baju dengan kakaknya, ada yang karena sakit-sakitan, ada yang karena minta dibelikan sampul buku sekolah, bahkan ada yang karena salah jemur pakaian. Sesepele apapun alasannya, dampak dari kekerasan tersebut akan memberikan bekas yang mendalam. Kesalahan dalam pola asuh ini berpotensi menjadikan korban sebagai pelaku di masa sepan. Berbagai kasus seperti seorang ayah yang mencabuli anaknya, atau seorang ibu yang menganiaya anaknya, semestinya tidak terjadi jika terjadi pengasuhan positif dalam keluarga. Pengasuhan positif akan meningkatkan kualitas interaksi yang positif antar keluarga. Ada saling pengertian dan saling menghargai. Tumbuh kembang anak akan teroptimalkan. Sementara berbagai perilaku menyimpang dan kelainan akan dapat diantisipasi dan dihindari.
Dalam prinsip pengasuhan positif, anak harus dilakukan dengan cinta dan kasih sayang, penghargaan dan saling memaafkan, bebas dari tindakan kekerasan, dan tidak membeda-bedakan. Orang tua harus menyediakan lingkungan yang aman, nyaman, dan menyenangkan bagi tumbuh kembang anak. Caranya adalah dengan menjaga keharmonisan keluarga, memenuhi kebutuhan anak, melakukan stimulasi/ pendidikan sesuai dengan tahap perkembangan anak, dan memberikan perlindungan dari tindakan kekerasan. Bukankah itu sama saja dengan memanjakan? Memenuhi kebutuhan bukan berarti menuruti semua kemauan anak. Melindungi anak dari tindakan kekerasan bukan berarti tidak menegur atau menasihati anak. Pengasuhan positif adalah membangun ekosistem keluarga yang penuh nilai kasih sayang, bukan menjadikan anak lebih superior dibandingkan orang tua mereka.
Ada beberapa peran yang harus dijalankan orang tua dalam pengasuhan anak. Mulai dari memenuhi kebutuhan anak akan makanan sehat dan bergizi; menanamkan nilai agama dan moral dalam kehidupan; membangun kelekatan emosi dengan anak sebagai dasar keterampilan bersosialisasi; memenuhi kebutuhan kasih sayang, perhatian, dan rasa aman; menumbuhkan perilaku saling menghargai, menyayangi, toleransi, cinta kasih, kerja sama, tanggung jawab, dan kesederhanaan; hingga mengajarkan cara menyelesaikan masalah dan konflik yang dihadapi serta mengambil keputusan. Sayangnya, tidak semua orang tua mampu menjalankan peran-peran tersebut karena berbagai kendala. Ada yang terkendala ekonomi, ada yang terkendala kompetensi, ada juga yang terkendala waktu. Tidak mengherankan, pola pengasuhan positif lebih sulit diterapkan di keluarga miskin dengan pendidikan minim, atau di keluarga tanpa kehadiran orang tua.
Untuk menerapkan pengasuhan positif, orang tua perlu memberikan keteladanan yang baik dan pembiasaan yang baik. Kemudian terus melakukan pengasuhan tanpa kekerasan dan berkelanjutan. Orang tua harus memahami tahap perkembangan anak, cara berkomunikasi efektif, dan membangun disiplin positif. Anak usia 0-2 tahun adalah tahap penyesuaian diri. Anak butuh simulasi sentuhan lembut, ekspresi wajah gembira ketika berinteraksi, diajak bicara dengan suara pelan, digendong ketika menangis, distimulasi panca inderanya, disapih dengan jujur, dan diperhatikan perkembangan berjalan dan berbicaranya. Hindari mengguncang, merebut kasar, mengayun keras, meneriaki, membiarkan bayi menangis lama, memperlihatkan ekspresi marah atau dingin, menstimulasinya dengan gawai, dan mengabaikan keterlambatan perkembangan anak.
Anak usia 2-7 tahun adalah tahap mandiri dan eksplorasi. Anak butuh stimulasi gerak tubuh dan keseimbangan melalui aktivitas di luar ruangan. Orang tua perlu mengizinkan anak untuk berinisiatif mengerjakan tugas sehari-hari secara mandiri dan mempertahankan hak propertinya sendiri. Beri anak kesempatan untuk mengungkapkan pendapat dan pastikan anak memiliki banyak waktu bermain bebas dengan pengawasan. Stimulasi dengan gawai sebaiknya dilakukan setelah anak berusia lima tahun, itu pun dengan waktu yang sangat terbatas. Biarkan anak bermain tanpa menuntutnya dengan berbagai beban aktivitas akademis. Anak usia 7-10 tahun adalah tahap berkarya dan kepercayaan. Berikan stimulasi pemecahan masalah (problem solving) lewat diskusi, eksperimen, dan praktik langsung. Orang tua perlu lebih banyak mendengar dan memberikan kesempatan anak untuk berpendapat. Orang tua juga perlu mengenali lingkungan pertemanan anak. Orang tua tidak boleh terlalu mengekang anaknya, melarang tanpa penjelasan, ataupun mengisolasi anak dari dunia pertemanannya. Pun demikian, pengawasan anak masih tetap diperlukan.
Pengasuhan positif membutuhkan komunikasi efektif, dimana penyampaian pesan dapat dipahami oleh penerima pesan dengan nyaman. Untuk membangun komunikasi efektif dengan anak, orang tua perlu mendengar aktif dan memberikan kesempatan pada anak untuk bicara lebih banyak. Bicaralah dengan singkat dan jelas, menggunakan kata-kata yang positif. Jaga kontak mata dan posisi tubuh yang sejajar dengan anak. Cobalah berempati dan memperhatikan Bahasa tubuh anak. Hindari menyalahkan, meremehkan, memarahi, memberi label, mengejek, membandingkan, dan menyindir anak. Banyak masalah pengasuhan yang bersumber dari permasalahan komunikasi, karenanya komunikasi efektif ini sangat penting untuk diperhatikan.
Pengasuhan positif juga membutuhkan disiplin positif, yaitu pembentukan kebiasaan dan tingkah laku anak yang positif dengan kasih sayang sehingga anak dapat menjadi makhluk sosial dan tumbuh berkembang dengan optimal. Disiplin positif bukanlah mengendalikan anak dengan kekerasan atau melarang hal yang diinginkan anak atau menghukum anak yang melakukan kesalahan. Tujuan disiplin positif adalah membuat anak dapat bertanggung jawab atas tingkah lakunya, memberikan kesempatan kepada anak untuk berperilaku sesuai dengan yang diinginkan oleh lingkungannya, dan mengajarkan anak bagaimana bertingkah laku, memahami mana yang benar dan salah. Orang tua membutuhkan bekal kesabaran, kepercayaan diri, ketenangan, konsistensi, dan tidak mudah menyerah dalam mendisiplinkan anak. Buatlah kesepakatan bersama dan pilihlah waktu yang tepat. Berilah contoh dan penjelasan, jangan mengungkit perilaku yang sudah berlalu. Hindari mencaci, mengecam, dan memukul anak karena bisa membuat anak membenci, dendam, dan tidak mengacuhkan orang tuanya. Apresiasi perilaku positif anak pada waktu dan proporsi yang tepat merupakan pembentukan karakter anak.
“Anak adalah kehidupan. Mereka sekedar lahir melaluimu tetapi bukan berasal darimu. Walaupun bersamamu tetapi bukan milikmu. Curahkan kasih sayang tetapi bukan memaksakan pikiranmu,
karena mereka dikaruniai pikirannya sendiri. Berikan rumah untuk raganya, tetapi tidak jiwanya. Karena jiwanya milik masa mendatang, yang tak bisa kau datangi, bahkan dalam mimpi sekalipun. Bisa saja mereka mirip dirimu, tetapi jangan pernah menuntut mereka jadi sepertimu. Sebab kehidupan itu menuju ke depan, dan tidak tengelam di masa lampau…” (‘Anakmu Bukanlah Milikmu’, Kahlil Gibran)
Recent Comments