Category Archives: Hati & Pernikahan

Wahai Para Istri, Bersyukurlah!

Allah tidak akan melihat kepada perempuan yang tidak bersyukur kepada suaminya, dan dia tidak merasa cukup dengan apa yang diberikan suaminya.” (HR. An Nasa’i dan Al Baihaqi)

Dalam kitab Al Bidayah wa An Nihayah karya Al Hafizh ‘Imaduddin Abul Fida’ Isma’il bin ‘Umar bin Katsir Al Qurasyi Ad Dimasyqi, ada sebuah hadits panjang riwayat Al Bukhari yang berkisah tentang pernikahan Nabi Ismail a.s. dengan seorang wanita yang tinggal di sekitar sumur Zamzam. Tidak lama setelah pernikahan tersebut, Hajar, ibu Nabi Ismail a.s. meninggal dunia. Pada suatu hari, Nabi Ibrahim a.s. datang untuk mengetahui kabar anaknya, namun dia tidak menemukan Nabi Ismail a.s.. Beliaupun bertanya kepada istri Nabi Ismail yang kemudian menjelaskan bahwa suaminya sedang pergi mencari nafkah. Kemudian Nabi Ibrahim a.s. bertanya tentang kehidupan dan keadaan mereka. Istri Nabi Ismail a.s. menjawab, “Kami mengalami banyak keburukan, hidup kami sempit dan penuh penderitaan yang berat.” Setelah mendengarkan keluhan tentang kehidupan yang dijalani anak dan menantunya, Nabi Ibrahim a.s. berkata, “Nanti apabila suami kamu datang sampaikan salam dariku dan katakan kepadanya agar mengganti palang pintu rumahnya”. Kemudian beliau pun pergi.

Ketika Nabi Ismail a.s. datang, dia merasakan sesuatu lalu dia bertanya kepada istrinya, “Apakah ada orang yang datang kepadamu?”. Istrinya menjawab, “Ya. Tadi ada orang tua begini dan begitu keadaannya datang dan dia menanyakan kamu lalu aku terangkan, dan dia bertanya kepadaku tentang keadaan kehidupan kita maka aku terangkan bahwa aku hidup dalam kepayahan dan penderitaan.” Nabi Ismail bertanya, “Apakah orang itu memberi pesan kepadamu tentang sesuatu?”. Istrinya menjawab, “Ya, dia memerintahkan aku agar aku menyampaikan salam darinya kepadamu dan berpesan agar kamu mengubah palang pintu rumahmu.” Nabi Ismail a.s. berkata, “Dialah ayahku dan sungguh dia telah memerintahkan aku untuk menceraikan kamu, maka kembalilah kamu kepada keluargamu.” Maka Ismail menceraikan istrinya.

Kemudian Ismail menikah lagi dengan wanita lain dari penduduk yang tinggal di sekitar situ. Nabi Ibrahim a.s. yang pergi meninggalkan mereka dalam kurun waktu yang dikehendaki Allah SWT datang kembali untuk menemui mereka namun dia tidak menemukan Nabi Ismail a.s.. Beliaupun bertanya kepada istri Nabi Ismail yang kemudian menjelaskan bahwa suaminya sedang pergi mencari nafkah. Kemudian Nabi Ibrahim a.s. bertanya tentang kehidupan dan keadaan mereka. Istri Nabi Ismail a.s. menjawab seraya memuji Allah SWT, “Kami selalu dalam keadaan baik-baik saja dan cukup”. Nabi Ibrahim a.s. bertanya, “Apa makanan kalian?”. Istri Nabi Ismail a.s. menjawab, “Daging”. Nabi Ibrahim a.s. bertanya lagi, “Apa minuman kalian?”. Istri Nabi Ismail a.s. menjawab, “Air”. Kemudian Nabi Ibrahim a.s. berdoa, “Ya Allah, berkahilah mereka dalam daging dan air mereka”. Rasulullah SAW bersabda, “Saat itu belum ada biji-bijian di Mekkah dan seandainya ada tentu Nabi Ibrahim sudah mendoakannya. Dan dari doa Nabi Ibrahim tentang daging dan air itulah, tidak ada seorang pun penduduk Makkah yang mengeluh bila yang mereka dapati hanya daging dan air”.

Nabi Ibrahim a.s. selanjutnya berkata, “Jika nanti suamimu datang, sampaikan salam dariku kepadanya dan perintahkanlah dia agar memperkokoh palang pintu rumahnya”. Kemudian beliau pun pergi.  Ketika Nabi Ismail a.s. datang, dia berkata, “Apakah ada orang yang datang kepadamu?” Istrinya menjawab, “Ya, tadi ada orang tua dengan penampilan sangat baik datang kepada kita (seraya memuji Ibrahim). Dia bertanya kepadaku tentangmu maka aku terangkan, lalu dia bertanya kepadaku tentang keadaan hidup kita, maka aku jawab bahwa aku dalam keadaan baik”. Nabi Ismail a.s. bertanya, “Apakah orang itu memberi pesan kepadamu tentang sesuatu?”. Istrinya menjawab, “Ya, dia memerintahkan aku agar aku menyampaikan salam darinya kepadamu dan berpesan agar kamu mempertahankan palang pintu rumahmu”. Nabi Ismail a.s. berkata, “Dialah ayahku dan palang pintu yang dimaksud adalah kamu. Dia memerintahkanku untuk mempertahankan kamu”.

Kedua istri Nabi Ismail a.s. menjawab jujur pertanyaan Nabi Ibrahim a.s., namun dalam perspektif kesyukuran yang berbeda. Dan hasilnya pun bertolak belakang. Perkara kesyukuran ini ternyata sangatlah mendasar. Ketika Rasulullah SAW dan para sahabat melakukan sholat gerhana matahari dengan sangat panjang, beliau melihat surga dan neraka. Saat melihat neraka, beliau bersabda, “Tidak pernah aku melihat pemandangan seperti itu sebelumnya. Aku melihat kebanyakan penduduk neraka adalah kaum wanita”. Sahabat bertanya, “Mengapa (demikian) wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Karena kekufuran mereka”. Kemudian para sahabat bertanya lagi, “Apakah mereka kufur kepada Allah?” Beliau menjawab, “Mereka kufur terhadap suami-suami mereka, kufur terhadap kebaikan-kebaikannya. Kalaulah engkau berbuat baik kepada salah seorang di antara mereka selama waktu yang panjang, kemudian dia melihat sesuatu pada dirimu (yang tidak dia sukai), niscaya dia akan berkata, ‘Aku tidak pernah melihat sedikit pun kebaikan pada dirimu’” (HR Bukhari).

Lagi-lagi perkara kesyukuran yang menyebabkan banyak wanita masuk ke neraka. Bukan berarti laki-laki atau suami sudah pasti selalu bersyukur. Namun keinginan untuk memperoleh lebih, membandingkan dengan yang lain, hingga pertimbangan berdasarkan perspektif orang lain lebih banyak dilakukan oleh para wanita. Karenanya, jika ketaatan adalah salah satu kunci surga bagi para istri, maka kesyukuran adalah tameng yang akan menyelamatkan para istri dari neraka. Dalam hadits lain, Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya orang yang selalu melakukan kefasikan adalah penghuni neraka”. Dikatakan, “Wahai Rasulullah, siapakah yang selalu berbuat fasik itu?” Beliau menjawab, “Para wanita”. Seorang sahabat bertanya, “Bukankah mereka itu ibu-ibu kita, saudari-saudari kita, dan isteri-isteri kita?” Beliau menjawab, “Benar. Akan tetapi apabila mereka diberi sesuatu, mereka tidak bersyukur. Apabila mereka ditimpa ujian (musibah), mereka tidak bersabar” (HR. Ahmad).

Ketika seorang istri merasa sulit untuk berterima kasih, kerap lalai dalam beribadah, sering merasa iri, mudah mengeluh, selalu menuntut, dan menyebarkan aib suami. Bisa jadi kekufuran dan kefasikan itu sudah mulai jelas memperlihatkan tandanya. Kesyukuran tidak terbentuk. Padahal betapa banyak hal yang bisa disyukuri, tidak terhitung jumlahnya. Pekerjaan rumah menumpuk pertanda ada ladang pahala. Rumah riuh berantakan pertanda ada keaktifan. Semua gejala masalah akan terlihat berbeda ketika dipandang dari perspektif kesyukuran. Bukan menunggu nikmat datang baru bersyukur, tetapi senantiasa bersyukur sehingga nikmat kian bertambah. Wahai para istri, maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?

Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sesuai) apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan” (QS. Ath Thalaq: 7)

Si Tengah yang Unik

“Barangsiapa yang diuji dengan anak-anak perempuan kemudian ia berbuat baik kepada mereka (dengan mendidiknya), maka anak-anak perempuan itu akan menjadi penghalang baginya dari sentuhan api neraka”. (HR Bukhari dan Muslim)

Bulan Juni selalu menjadi bulan yang spesial. Di bulan ini beberapa orang terdekat merayakan hari kelahirannya. Tentu bukan Presiden Soekarno, Soeharto, BJ. Habibie, dan Jokowi yang saya maksud. Cukup unik memang 4 dari 7 presiden Indonesia lahir di bulan Juni dari 12 bulan yang tersedia. Namun beberapa anggota keluarga besar saya kebetulan lahir di bulan Juni. Dari yang tertua ada ibu kandung saya dan ibu mertua yang sama-sama lahir di bulan Juni. Kemudian adik ipar dan adik kandung saya, keduanya anak bungsu. Dan yang paling muda adalah anak kedua dan ketiga saya yang juga lahir di bulan Juni. Tulisan ini akan fokus bercerita tentang anak kedua yang lahir 6 tahun lalu.

Menjadi anak ke-2 dari 3 bersaudara memang tidak mudah. Ketika anak sulung mendapatkan cinta yang berlimpah karena lahir paling awal, anak tengah tidak mendapatkannya. Bahkan tidak jarang anak tengah ini hanya dapat ‘lungsuran’ dari kakaknya, tanpa diberikan barang baru. Ketika anak bungsu relatif dimanjakan, anak tengah hanya sedikit merasakannya ketika ia menjadi anak bungsu. Pada masa itu pun barangkali ia belum mengingatnya. Apalagi, Si Tengah ku ini berjarak 3.5 tahun dari kakaknya, namun hanya berjarak 2 tahun dari adiknya. Belum cukup puas merasakan sebagai anak bungsu, adiknya keburu lahir, anak laki-laki pertama pula.

Setiap anak terlahir dengan karakteristik yang berbeda, dipengaruhi beberapa faktor seperti lingkungan sekitar, perlakuan dari setiap orang tua, atau urutan kelahiran. Ya, berbagai penelitian menunjukkan bahwa urutan kelahiran menjadi salah satu faktor yang memengaruhi karakteristik anak. Gunarsa dan Yulia (2008) menunjukkan bahwa anak kedua dari tiga bersaudara menunjukkan karakter yang paling berbeda dibandingkan saudaranya. Posisi terapit di antara seoarang kakak dan adik seringkali menimbulkan rasa iri. Sehingga tak jarang anak tengah memiliki jiwa yang pengertian, kuat, dan sensitif, karena harus menghadapi perlakuan sang kakak sekaligus menjadi panutan untuk sang adik. Anak tengah menurut Psikolog Anak asal USA, Dr. Kevin Leman (2012) masuk kedalam kategori anak yang sangat fleksibel. Mereka mampu bersikap ramah dan bersosialisasi dengan orang lain. Pun kadang mereka memiliki rasa malu yang cukup tinggi, tetapi mereka bisa mengatasinya dengan tenang. Anak tengah juga bisa sangat sabar dan umumnya lebih memilih untuk menghindari konflik. Tak heran jika mereka lebih sering menjadi mediator atau negosiator dalam suatu masalah.

Sifat dan kepribadian anak tengah paling sulit dijabarkan. Umumnya, anak tengah memiliki kepribadian yang menyenangkan namun sedikit pemberontak dalam keluarganya. Anak tengah tumbuh lebih bahagia dalam lingkungan pertemanannya. Karenanya, anak tengah cenderung memiliki lingkaran pertemanan yang luas. Anak kedua sangat tahu rasanya bersaing dan tidak berkawan, sehingga anak kedua suka bekerja dengan orang lain dan cinta persahabatan. Anak kedua akan terus berusaha untuk menyenangkan orang lain, dan akan terus berusaha untuk menjadi perekat atau penjaga persahabatan. Profesor Departemen Psikologi, Institut Penelitian Kepribadian dan Sosial California, Dr. Frank J. Sulloway, Ph.D, mengatakan bahwa anak-anak tengah mendapat skor lebih tinggi dalam hal keramahan dibandingkan kakak dan adiknya, itulah yang menyebabkan anak tengah lebih mudah dalam hal pergaulan. Penelitian ini memperkuat sebuah studi dalam The Journal of Genetic Psychology (1966) yang menemukan bahwa anak tengah cenderung lebih baik dalam situasi kelompok. Sebelumnya, sebuah studi dari Texas Christian University dan University of Minnesota (1964) juga menunjukkan bahwa anak tengah memiliki perilaku yang sangat baik dan paling bisa menyesuaikan diri dalam kelompok.

Si Tengah ku yang sementara ini bercita-cita menjadi chef tak kalah menarik. Secara kecerdasan kognitif barangkali tidak sebaik kakaknya, namun kecerdasan sosialnya luar biasa. Si Tengah adalah yang paling aktif menunjukkan rasa sayangnya kepada keluarga. Perhatian terhadap kondisi keluarganya, bahkan yang kerap membuat tertegun adalah tiba-tiba merangkul dan mengucapkan “Aku sayang Ayah” seraya mengecup pipi. Alih-alih disebut negosiator, Si Tengah ini adalah ‘provokator’ ulung yang kerap memengaruhi adiknya dalam mencapai sesuatu yang diinginkannya. Ia relatif lebih mampu menjaga adiknya dibandingkan kakaknya. Sensitif dan kompetitif, serta memiliki inisiatif yang tinggi.

Uniknya, Si Tengah kerap terbangun di tengah malam kemudian tertawa atau menangis, apalagi tahun lalu. Entah bermimpi atau ‘diganggu’. Tatapan mata kosongnya pun cukup membuat bergidik. Berbeda dengan kakak dan adiknya, yang terlihat sangat sedih jika dimarahi Ayahnya (yang memang jarang marah). Si Tengah ini terlihat ketakutan ketika dimarahi Ayahnya, bahkan tubuhnya sampai gemetaran. Dan setahun ke depan, Si Tengah ini akan tidak bersekolah dengan pertimbangan usia, kompetensi, dan kondisi yang serba tanggung. Sepertinya akan jadi cerita lain membayangkan Si Tengah melihat kakak dan adiknya bersekolah sementara dirinya tidak.

Bagaimanapun, Si Tengah patut diapresiasi atas cinta dan perhatiannya yang besar. Plus kesabarannya dalam menjalankan peran sebagai adik sekaligus kakak. Dan urutan kelahiran sejatinya hanyalah salah satu faktor yang memengaruhi kepribadian, bukan satu-satunya. Pola pengasuhan keluarga bahkan akan lebih banyak menentukan pribadi anak yang akan dibentuk. Happy birthday, my little angel! I wish you to love life and never stop dreaming! You are braver than you believe, stronger than you seem, smarter than you think, and more loved than you’ll ever know. My happiness becomes boundless to see your healthy growth. I will be with you to guide you in the way of life, to cheer for you in the success, and to comfort you in sadness. Love you, always! Happy birthday, my little girl!

A father holds his daughter’s hand for a short while, but he holds her heart forever” (Unknown)

Pengasuhan Positif

Apabila anak Adam meninggal, maka terputuslah amalnya, kecuali (amal) dari tiga ini: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak sholeh yang mendo’akannya” (HR. Muslim)

Pandemi Covid-19 bukan hanya memberi dampak negatif terhadap bidang kesehatan dan ekonomi. Kekerasan anak meningkat cukup signifikan di masa pandemi. Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) mencatat peningkatan kasus kekerasan terhadap anak sebesar 38 persen selama kurun 2020. Dari 2.700 kasus yang tercatat di Komnas PA, 52 persennya adalah kejahatan seksual. Angka riilnya pasti lebih besar. Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA) menerima lebih dari 4.000 laporan kekerasan terhadap anak sepanjang 1 Januari hingga Juli 2020. Ada 3.296 anak perempuan dan 1.319 anak laki-laki menjadi korban kekerasan selama rentang waktu tersebut. Dari jumlah tersebut, 1.111 anak mengalami kekerasan fisik, 979 anak mengalami kekerasan psikis, 2.556 anak menderita kekerasan seksual, 68 anak menjadi korban eksploitasi, 73 anak menjadi korban perdagangan orang, dan 346 anak menjadi korban penelantaran. Dan 58,80% kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak itu terjadi di dalam rumah tangga.

Tidak sedikit kasus kekerasan tersebut yang dipicu oleh hal yang sepele, ada yang hanya karena ribut berebut baju dengan kakaknya, ada yang karena sakit-sakitan, ada yang karena minta dibelikan sampul buku sekolah, bahkan ada yang karena salah jemur pakaian. Sesepele apapun alasannya, dampak dari kekerasan tersebut akan memberikan bekas yang mendalam. Kesalahan dalam pola asuh ini berpotensi menjadikan korban sebagai pelaku di masa sepan. Berbagai kasus seperti seorang ayah yang mencabuli anaknya, atau seorang ibu yang menganiaya anaknya, semestinya tidak terjadi jika terjadi pengasuhan positif dalam keluarga. Pengasuhan positif akan meningkatkan kualitas interaksi yang positif antar keluarga. Ada saling pengertian dan saling menghargai. Tumbuh kembang anak akan teroptimalkan. Sementara berbagai perilaku menyimpang dan kelainan akan dapat diantisipasi dan dihindari.

Dalam prinsip pengasuhan positif, anak harus dilakukan dengan cinta dan kasih sayang, penghargaan dan saling memaafkan, bebas dari tindakan kekerasan, dan tidak membeda-bedakan. Orang tua harus menyediakan lingkungan yang aman, nyaman, dan menyenangkan bagi tumbuh kembang anak. Caranya adalah dengan menjaga keharmonisan keluarga, memenuhi kebutuhan anak, melakukan stimulasi/ pendidikan sesuai dengan tahap perkembangan anak, dan memberikan perlindungan dari tindakan kekerasan. Bukankah itu sama saja dengan memanjakan? Memenuhi kebutuhan bukan berarti menuruti semua kemauan anak. Melindungi anak dari tindakan kekerasan bukan berarti tidak menegur atau menasihati anak. Pengasuhan positif adalah membangun ekosistem keluarga yang penuh nilai kasih sayang, bukan menjadikan anak lebih superior dibandingkan orang tua mereka.

Ada beberapa peran yang harus dijalankan orang tua dalam pengasuhan anak. Mulai dari memenuhi kebutuhan anak akan makanan sehat dan bergizi; menanamkan nilai agama dan moral dalam kehidupan; membangun kelekatan emosi dengan anak sebagai dasar keterampilan bersosialisasi; memenuhi kebutuhan kasih sayang, perhatian, dan rasa aman; menumbuhkan perilaku saling menghargai, menyayangi, toleransi, cinta kasih, kerja sama, tanggung jawab, dan kesederhanaan; hingga mengajarkan cara menyelesaikan masalah dan konflik yang dihadapi serta mengambil keputusan. Sayangnya, tidak semua orang tua mampu menjalankan peran-peran tersebut karena berbagai kendala. Ada yang terkendala ekonomi, ada yang terkendala kompetensi, ada juga yang terkendala waktu. Tidak mengherankan, pola pengasuhan positif lebih sulit diterapkan di keluarga miskin dengan pendidikan minim, atau di keluarga tanpa kehadiran orang tua.

Untuk menerapkan pengasuhan positif, orang tua perlu memberikan keteladanan yang baik dan pembiasaan yang baik. Kemudian terus melakukan pengasuhan tanpa kekerasan dan berkelanjutan. Orang tua harus memahami tahap perkembangan anak, cara berkomunikasi efektif, dan membangun disiplin positif. Anak usia 0-2 tahun adalah tahap penyesuaian diri. Anak butuh simulasi sentuhan lembut, ekspresi wajah gembira ketika berinteraksi, diajak bicara dengan suara pelan, digendong ketika menangis, distimulasi panca inderanya, disapih dengan jujur, dan diperhatikan perkembangan berjalan dan berbicaranya. Hindari mengguncang, merebut kasar, mengayun keras, meneriaki, membiarkan bayi menangis lama, memperlihatkan ekspresi marah atau dingin, menstimulasinya dengan gawai, dan mengabaikan keterlambatan perkembangan anak.

Anak usia 2-7 tahun adalah tahap mandiri dan eksplorasi. Anak butuh stimulasi gerak tubuh dan keseimbangan melalui aktivitas di luar ruangan. Orang tua perlu mengizinkan anak untuk berinisiatif mengerjakan tugas sehari-hari secara mandiri dan mempertahankan hak propertinya sendiri. Beri anak kesempatan untuk mengungkapkan pendapat dan pastikan anak memiliki banyak waktu bermain bebas dengan pengawasan. Stimulasi dengan gawai sebaiknya dilakukan setelah anak berusia lima tahun, itu pun dengan waktu yang sangat terbatas. Biarkan anak bermain tanpa menuntutnya dengan berbagai beban aktivitas akademis. Anak usia 7-10 tahun adalah tahap berkarya dan kepercayaan. Berikan stimulasi pemecahan masalah (problem solving) lewat diskusi, eksperimen, dan praktik langsung. Orang tua perlu lebih banyak mendengar dan memberikan kesempatan anak untuk berpendapat. Orang tua juga perlu mengenali lingkungan pertemanan anak. Orang tua tidak boleh terlalu mengekang anaknya, melarang tanpa penjelasan, ataupun mengisolasi anak dari dunia pertemanannya. Pun demikian, pengawasan anak masih tetap diperlukan.

Pengasuhan positif membutuhkan komunikasi efektif, dimana penyampaian pesan dapat dipahami oleh penerima pesan dengan nyaman. Untuk membangun komunikasi efektif dengan anak, orang tua perlu mendengar aktif dan memberikan kesempatan pada anak untuk bicara lebih banyak. Bicaralah dengan singkat dan jelas, menggunakan kata-kata yang positif. Jaga kontak mata dan posisi tubuh yang sejajar dengan anak. Cobalah berempati dan memperhatikan Bahasa tubuh anak. Hindari menyalahkan, meremehkan, memarahi, memberi label, mengejek, membandingkan, dan menyindir anak. Banyak masalah pengasuhan yang bersumber dari permasalahan komunikasi, karenanya komunikasi efektif ini sangat penting untuk diperhatikan.

Pengasuhan positif juga membutuhkan disiplin positif, yaitu pembentukan kebiasaan dan tingkah laku anak yang positif dengan kasih sayang sehingga anak dapat menjadi makhluk sosial dan tumbuh berkembang dengan optimal. Disiplin positif bukanlah mengendalikan anak dengan kekerasan atau melarang hal yang diinginkan anak atau menghukum anak yang melakukan kesalahan. Tujuan disiplin positif adalah membuat anak dapat bertanggung jawab atas tingkah lakunya, memberikan kesempatan kepada anak untuk berperilaku sesuai dengan yang diinginkan oleh lingkungannya, dan mengajarkan anak bagaimana bertingkah laku, memahami mana yang benar dan salah. Orang tua membutuhkan bekal kesabaran, kepercayaan diri, ketenangan, konsistensi, dan tidak mudah menyerah dalam mendisiplinkan anak. Buatlah kesepakatan bersama dan pilihlah waktu yang tepat. Berilah contoh dan penjelasan, jangan mengungkit perilaku yang sudah berlalu. Hindari mencaci, mengecam, dan memukul anak karena bisa membuat anak membenci, dendam, dan tidak mengacuhkan orang tuanya. Apresiasi perilaku positif anak pada waktu dan proporsi yang tepat merupakan pembentukan karakter anak.

Anak adalah kehidupan. Mereka sekedar lahir melaluimu tetapi bukan berasal darimu. Walaupun bersamamu tetapi bukan milikmu. Curahkan kasih sayang tetapi bukan memaksakan pikiranmu,
karena mereka dikaruniai pikirannya sendiri. Berikan rumah untuk raganya, tetapi tidak jiwanya. Karena jiwanya milik masa mendatang, yang tak bisa kau datangi, bahkan dalam mimpi sekalipun. Bisa saja mereka mirip dirimu, tetapi jangan pernah menuntut mereka jadi sepertimu. Sebab kehidupan itu menuju ke depan, dan tidak tengelam di masa lampau…
” (‘Anakmu Bukanlah Milikmu’, Kahlil Gibran)

Niat Baik, Prasangka, dan Komunikasi

Kadangkala kita sendiri yang merusak jalan cerita. Yang sudah berjalan baik, tidak ada masalah, kita rusak karena tidak sabar, prasangka, terlalu sensitif dan sebagainya.” (Tere Liye)

Neng Salma bingung, Kang Dede suaminya menyampaikan bahwa tahun ini mereka tidak bisa memberikan santunan anak yatim dikarenakan pandemi Covid-19. Sementara Neng Salma sudah terlanjur menjanjikan kepada pihak panti asuhan bahwa tahun ini santunan tetap diberikan walaupun harus memperhatikan prosedur kesehatan. Dan tidak seperti biasanya, suasana hangat yang menyertai rumah tangga Kang Dede tiba-tiba menjadi dingin.

Akang, pokoknya santunan anak yatim harus tetap jadi! Eneng kan udah bilang ke Kang Mus yang dampingi anak-anak…”, ujar Neng Salma. “Bukannya Akang ga mau, tapi kan kondisi emang lagi begini. Lagian salah sendiri Eneng udah bilang duluan. Kang Mus juga pasti ngertiin kok…”, timpal Kang Dede. “Lho, bukannya pas puasa kemarin Akang dapat proyek besar, emangnya uangnya udah habis?”, tanya Neng Salma. “Neng, kebutuhan sekarang lagi pada naik. Banyak masyarakat yang butuh dibantu…”, jawab Kang Dede. “Ntuh Mpok Dona yang biasanya kasih sedekah, kemarin datang malah minta dibantu karena bisnis travelnya lagi ngap-ngapan gegara corona… Karyawan Akang juga harus dites Covid dan disiapkan APD sesuai peraturan, dan itu butuh dana…”, lanjut Kang Dede.

Dengan muka ditekuk, Neng Salma menimpali, “Kalo Akang ga mau bantu kasih santunan, biar Eneng cari sendiri deh uangnya… Lagian banyak orang kok yang mau bantu… Ngerti kalo sedekah tuh membuka pintu rejeki…”. “Dibilang bukannya Akang ga mau tapi emang uangnya ga ada… Ya udah kalo mo cari uang sendiri silakan…”, balas Kang Dede seraya menggerutu. “Ya udah, Eneng cari dana sendiri, ga usah bawa-bawa nama Akang!”, sambut Neng Salma. “Lho, gimana ga bawa-bawa Akang? Orang juga taunya Eneng istri Akang. Lagian rekening buat santuan kan selama ini pake nama Akang…”, Kang Dede menanggapi. “Ya udah, Eneng tinggal bikin rekening sendiri…”, serobot Neng Salma. “Terserah kamu aja!”, tegas Kang Dede seraya pergi tak ingin melanjutkan perdebatan. “Lho kok terserah?! Dasar nggak bertanggung jawab!!”, balas Neng Salma tak kalah sengit. Suasanapun menjadi hening…

* * *

Dasar istri tidak pengertian… Kondisi ekonomi kayak gini kok masih maksa kasih santunan… Buat makan aja susah… Mana segala kasih janji ga tanya-tanya dulu… Selama ini uangnya emang darimana, ga pernah pusing nyari duit sih… Biarin aja, emangnya gampang cari duit… Dibilangin cuma ngelawan, apa perlu cari yang lain aja ya…”, batin Kang Dede.

Dasar suami ga bertanggung jawab… Mau dibantuin jaga reputasi malah marah-marah… Emangnya Eneng ga tau uang proyeknya dipake buat apa… Lagian sok kaya utang dimana-mana… Makanya harus banyak sedekah biar rejekinya berkah… Liat aja, banyak kok yang mau bantuin. Dimana ada kemauan pasti ada jalan… Hmm, atau jangan-jangan Akang udah ga sayang Eneng ya…”, batin Neng Salma.

* * *

Sementara itu di dunia paralel…

Akang minta maaf ya Neng, sepertinya tahun ini kita ga bisa kasih santuan ke binaannya Kang Mus kayak tahun-tahun sebelumnya…”, ujar Kang Dede kepada istrinya selepas makan malam. “Kenapa Kang?”, tanya Neng Salma. “Anggarannya ga cukup. Pengeluarannya lagi banyak karena Covid dan ada beberapa prioritas lain”, jawab Kang Dede. “Oh gitu, semoga Allah memberikan kita rezeki yang berkah. Kalo Eneng bantu cari donatur gimana, Kang?”, tanya Neng Salma. “Boleh aja. Tapi ga malah ngerepotin Eneng?”, Kang Dede bertanya balik. “InsyaAllah nggak, Kang. Kalo niatnya membantu orang, pasti Allah membantu kita. Orang-orang juga pasti bantu. Nanti seberapa terkumpulnya aja disalurkan, Kang Mus pasti paham kondisinya lagi begini. Kasihan juga anak-anak kalo ga dikasih santunan, mereka juga pasti membutuhkan…”, jelas Neng Salma. “Iya, alhamdulillah, Akang senang punya istri yang pengertian kayak Eneng. Akang paling cuma bisa bantu untuk transport dan beberapa bingkisan…”, jawab Kang Dede. “Iya Akang, terima kasih udah bersedia bantu. Sekalian izin pake nomor rekening Akang ya buat penghimpunan donasi. Semoga rezeki Akang semakin lancar…”, ujar Eneng. “Terima kasih, Eneng sayang…”, balas Kang Dede seraya memeluk istrinya.

Sementara itu di tempat lain, seseorang berjubah hitam tampak menggerutu. “Haduh, itu kok rumah tangga Kang Dede masih adem ayem aja… Padahal saya udah ngomporin Neng Salma dengan informasi yang berbeda dengan yang saya sampaikan ke Kang Dede… Kalo mereka sampai cekcok kan saya bisa ambil kesempatan… Harus pake strategi lain nih…”, gumam orang itu.

Komunikasi adalah kunci untuk membuka hubungan (apapun). Lantas kepercayaan adalah kunci penggenapnya agar awet dan langgeng…” (Tere Liye)

Perkenalkan, Dihya ElBarra Udiutomo

Sesungguhnya mereka (umat-umat terdahulu) menamakan (anak-anak mereka) dengan nama para nabi mereka dan orang-orang shalih sebelum mereka” (HR. Muslim)

Salah satu pertanyaan umum paska kelahiran anak setelah ucapan selamat dan do’a adalah ‘namanya siapa?’, apalagi kali ini istriku melahirkan seorang putra, tidak lagi putri seperti kedua kakaknya. Dan ketika disampaikan namanya adalah Dihya ElBarra Udiutomo lantas muncul pertanyaan berikutnya, “Dihya artinya apa?”. Sebagaimana kakak-kakaknya: Rumaisha Alifiandra Udiutomo dan Muthiah Rheviani Udiutomo, sepertinya memang perlu dituliskan kisah dibalik nama untuk mempermudah penjelasan. Termasuk penjelasan untuk anak-anakku kelak.

Dihya, Yusuf dari Madinah
Kata ‘Dihya’ dalam bahasa Arab berarti sinaran, biasa digunakan untuk nama anak laki-laki. Sementara untuk anak perempuan dengan makna serupa biasa digunakan nama ‘Dhiya’ (sinar/ cahaya). Pengucapannya mirip, mengapa ‘Dihya’ digunakan sebagai nama laki-laki? Sejatinya, pemilihan nama ‘Dihya’ merujuk pada nama seorang sahabat Rasulullah SAW: Dihyah Al Kalbi r.a. Huruf ‘h’ di belakang sengaja dihilangkan agar tidak rancu pengucapannya dengan nama perempuan ‘Diah’ atau ‘Diyah’ yang berarti cantik/ ayu. Lantas siapakah Dihyah Al Kalbi r.a. ini?

Dari Jabir r.a. meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Telah diperlihatkan kepadaku para nabi, maka aku melihat Musa adalah seorang laki-laki yang kuat, seakan-akan dia adalah lelaki dari kaum Syanu’ah. Dan aku melihat Isa bin Maryam, dan yang paling mirip dengannya di antara yang pernah aku lihat, adalah Urwah bin Mas’ud. Dan aku melihat Ibrahim, dan yang paling mirip denganya di antara yang pernah aku lihat ialah sahabat kalian –yaitu diri beliau sendiri— dan aku pun melihat Jibril, dan yang paling mirip dengannya di antara yang pernah aku lihat adalah Dihyah.” (HR. Muslim). Dalam hadits lain, Imam An-Nasa’i meriwayatkan dengan sanad yang shahih dari Yahya bin Ya’mur dari Ibnu Umar r.a., “Malaikat Jibril mendatangi Nabi Muhammad SAW dalam rupa Dihyah Al-Kalbi”.

Dihyah bin Khalifah bin Farwah Al-Kalbi al-Qaddhai r.a. merupakan shahabat anshar yang memiliki penampilan yang sangat menawan. Dihyah r.a. masuk Islam pada tahun pertama hijriyah, namun belum ikut dalam perang Badar di tahun kedua hijriyah. Dihyah r.a. baru mulai bergabung dalam pasukan kaum muslimin di Perang Uhud dan tak pernah absen dalam peperangan hingga Perang Yarmuk di zaman khalifah Umar bin Khattab r.a. Setelah itu, Dihyah menetap di Damaskus – Syam hingga wafat di masa kekhalifahan Muawiyah r.a.

Kisah tentang Dihyah r.a. tidak pernah terlepas dari ketampanannya sehingga Malaikat Jibril pun kerap turun ke bumi menyerupai wajahnya. Dalam Perang Ahzab misalnya, setelah kaum musyrikin berhasil dikalahkan dan meninggalkan Madinah, Malaikat Jibril turun membawa perintah dari langit untuk menghukum kaum Yahudi Bani Quraidzah. Para sahabat bahkan ummul mukminin mengira Rasulullah SAW tengah berbicara dengan Dihyah Al Kalbi r.a. sampai Rasulullah SAW menjelaskan bahwa yang tadi datang adalah Malaikat Jibril. Kisah masyhur lain tentang Dihyah r.a. adalah perannya sebagai duta untuk menyampaikan surat dakwah dari Rasulullah SAW kepada Heraklius, Kaisar Byzantium – Romawi. Dalam beberapa kitab diantaranya Al Bidayah Wal Nihayah – Ibnu Katsir, dikisahkan bahwa Heraklius menyampaikan pesan kepada Rasulullah SAW melalui Dihyah Al Kalbi r.a. bahwa dirinya membenarkan risalah kenabian namun ‘tersandera’ oleh tahta dan nyawanya sehingga tidak dapat berbuat banyak. Sementara sahabat Heraklius, Ibnu Nathur, seorang Uskup Agung di Syam akhirnya memilih untuk bersyahadat dan masuk islam, pun akhirnya dibunuh. Di Madinah, Dihyah r.a. menyampaikan pesan dari Heraklius dan Ibnu Nathur, dan Rasulullah SAW pun mendo’akan keduanya.

Elbarra, Allah dan Surga
Kata ‘Barra’ dalam bahasa Arab berarti bersih, biasa digunakan untuk nama anak laki-laki. Berbeda dengan Bara’ (dengan satu huruf ‘ra’ dan hamzah di akhir kata) yang berarti berlepas diri, Al Barra justru mempunyai susunan huruf yang sama dengan Al Birru yang berarti kebaikan. Menggunakan awalan ‘el’ dan bukan ‘al’ hanya variasi saja, toh alif lam disana hanya menunjukkan kata benda (isim). Adapun pemilihan nama ‘Elbarra’ merujuk pada nama seorang sahabat Rasulullah SAW: Al Barra bin Malik Al Anshari r.a. Jika Rumaisha adalah ibunya Anas bin Malik r.a, maka Al Barra ini adalah saudaranya. Lantas apakah keistimewaan Al Barra bin Malik r.a. ini?

Tak ada yang istimewa dari fisik Al Barra bin Malik r.a. Tubuhnya kurus dan tidak terurus. Tak ada yang menyangka orang ini telah membunuh lebih dari 100 orang kafir dalam duel satu lawan satu. Belum jika ditambah banyaknya musuh Allah SWT yang dibunuhnya dalam berbagai peperangan yang diikutinya. Kisah tentang Al Barra bin Malik r.a. tak pernah lepas dari keberanian dan kepahlawanan. Bahkan Amirul Mukminin, Umar bin Khattab r.a. pernah mengirimkan surat kepada gubernur di seluruh wilayah Islam yang isinya, “Jangan kalian jadikan Al-Barra sebagai komandan pasukan karena dikhawatirkan akan membahayakan pasukannya. Dikarenakan dia seseorang yang selalu berada di ujung tombak pasukan.”. Di antara kisah kepahlawanan Al Barra r.a. adalah dalam perang Yamamah menghadapi puluhan ribu pasukan nabi palsu Musailamah Al-Kadzdzab. Setelah pasukan Ikrimah bin Abu Jahal r.a. dipukul mundur, Khalifah Abu Bakar Ash Shiddiq mengirim pasukan di bawah komando Khalid bin Walid r.a. Namun pasukan Musailamah masih terlalu kuat, menyisakan berbagai kisah heroik syahidnya para sahabat di Yamamah, seperti Tsabit bin Qais, Zaid bin Al Khaththab, ataupun Salim (radhiallahu anhum). Al Barra bin Malik r.a. dan kaum anshar pun terjun berjuang dan berhasil memporak-porandakan pasukan Musailamah. “Wahai penduduk Madinah! Tak ada Madinah bagi kalian sekarang. Yang ada hanya Allah dan surga!”, demikian kata-kata semangat Al Barra r.a. kepada kaum Anshar yang membuatnya dikenal dengan dua kata: Allah dan Surga.

Pasukan Musailamah mundur dan berlindung dalam ‘kebun kematian’ yang memiliki dinding menjulang tinggi. Tubuh kecil Al Barra r.a. membuatnya ringan diangkat di atas tombak dengan berpijak pada tameng. Ia pun melompat melewati tembok tinggi benteng musuh. Melawan pasukan musuh sendirian untuk bisa membuka pintu ‘kebun kematian’ dari dalam. Satu per satu nyawa pasukan Musailamah meregang. Dengan lebih dari 80 luka akibat panah dan sayatan pedang, Al Barra r.a. berhasil membuka gerbang ‘kebun kematian’. Kaum muslimin pun menyerbu masuk. Kemenangan berhasil diraih dengan tewasnya Musailamah Al Kadzdzab beserta puluhan ribu pasukannya. Dirawat selama sebulan langsung oleh Komandan Khalid bin Walid r.a, ternyata Al Barra r.a. belum ditakdirkan syahid seperti cita-citanya. Perang Tustar menaklukkan Persia lah yang mengakhiri kisah kepahlawanannya. Dalam perang ini, tangan Al Barra r.a. sempat melepuh saat menyelamatkan saudaranya, Anas bin Malik r.a. yang terkena kaitan cakar besi panas yang dilemparkan pasukan Persia dari atas benteng. Namun ia belum juga syahid, sementara benteng Persia tampak kian sulit ditaklukkan.

Dari Anas bin Malik r.a. meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda “Ada beberapa orang yang berpenampilan kusut dan jelek dengan baju yang sudah lusuh jika dia bersumpah maka niscaya Allah akan menakdirkan sumpahnya tersebut terealisasi. Dan jika mereka berdoa niscaya doanya tidak akan ditolak oleh Allah, salah seorang di antara golongan ini adalah Barra bin Malik.” (HR. Tirmidzi). Para sahabat yang menjadi saksi sabda Rasulullah SAW kala baiat aqabah tersebut segera meminta Al Barra r.a. untuk berdo’a. Akhirnya Barra bin Malik r.a. memanjatkan dua do’a: pertolongan Allah SWT untuk kemenangan kaum muslimin, dan kesyahidan yang mengantarkannya bertemu dengan Rasulullah SAW. Perang kembali berkecamuk, Al Barra r.a. berhasil mengalahkan salah seorang pembesar Persia, Marzaban az Zarih. Dan tidak menunggu lama, kedua permohonannya dikabulkan Allah SWT.

Tak Alpa Bina Generasi Alfa

Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.
(QS. An Nisa: 9)

Hebat Isha saat main komputer tebak bentuk, namun saat menggunakan mouse masih perlu bantuan”, demikian salah satu komentar guru yang tertulis di buku penghubung TK putri sulungku. Wajar saja si sulung bingung, memang ia belum pernah belajar menggunakan mouse karena kebetulan laptop di rumah menggunakan layar sentuh (touchscreen). Tiba-tiba aku jadi merasa tua. Dulu aku pertama kali melihat langsung dan mengoperasikan komputer ketika kelas IV SD di rumah pamanku. Itupun tergolong cepat dibandingkan teman-temanku yang baru belajar MS-DOS, wordstar dan lotus 123 ketika SMP. Namun saat ini, bahkan dua balita di rumah sudah akrab dengan gadget.

Waktu berjalan begitu cepat, teknologi informasi berkembang begitu pesat. Generation gap pun semakin terasa. Orang tua muda saat ini didominasi oleh generasi Y (kelahiran 1981 – 1995) yang tumbuh besar di era teknologi informasi. Generasi Y juga dikenal sebagai echo boomers karena orang tua mereka umumnya masuk generasi baby boomers (kelahiran 1946 – 1965). Pun ada juga yang orang tuanya sudah masuk generasi X (kelahiran 1966 – 1980) atau bahkan ada yang orang tuanya dari generasi pre baby boomers (lahir sebelum tahun 1945). Yang jelas para generasi Y ini merasakan perubahan pola dan pendekatan pendidikan seiring dengan kemajuan zaman.

Sudah banyak penelitian, kajian, ataupun tulisan yang mengupas tentang perbedaan karakteristik antar generasi, terutama antara Gen X dengan Gen Y yang saat ini ada di usia produktif. Hanya saja jika kita mau merekayasa masa depan, semestinya fokus kajian ada pada bagaimana mempersiapkan generasi Z (kelahiran 1996 – 2010) atau bahkan generasi Alfa (lahir setelah tahun 2010) untuk produktif menghadapi tantangan hidup yang jauh berbeda dengan generasi orang tuanya. Kedua generasi ini adalah generasi cerdas yang tidak tahan banting dan salah mendidik mereka sama artinya dengan menghancurkan masa depan dunia.

Beberapa hari lalu ramai berita tentang guru di Makassar yang menegur seorang siswa kemudian malah dipukuli orang tua siswa tersebut. Beberapa bulan lalu ada berita tentang guru yang sempat dipenjara hanya karena mencubit siswa, bahkan ada guru yang dipidana karena mencukur rambut gondrong siswa. Mudah saja menyalahkan ‘kecengengan’ siswa dan memberikan dukungan ke guru karena barangkali kita pernah merasakan pendidikan yang lebih ‘keras’ daripada itu. Namun sejatinya masalah ada pada kegagalan pendidikan dalam membentuk karakter dan mentalitas mereka. Dalam hal ini, orang tua lah yang terlalu memanjakan mereka sehingga anak tidak mandiri dan tidak berani bertanggung jawab. Atau dalam perspektif yang lebih luas, berbagai kasus ini seharusnya menjadi perhatian bagi para pendidik untuk lebih tepat dalam membina peserta didiknya.

Generasi baby boomers dan generasi X melihat generasi Y sudah berkurang rasa hormatnya terhadap orang tua dan guru, maka generasi Z dan Alfa tentu berpotensi lebih ‘berani’ lagi. Ketegasan dalam mendidik memang masih diperlukan, namun tidak ada salahnya pendidik, dalam hal ini orang tua dan guru lebih menyesuaikan dirinya sebagai mitra dari anak-anak. Tidak bersikap superior namun tetap menjaga wibawa sehingga tetap disegani. Tak perlu mengelu-elukan euforia pendidikan masa lalu karena generasi ini cukup mengerti bahwa mereka tidak hidup di masa lalu. Sikap kritis mereka bahkan akan menemukan celah kolotnya pendidikan generasi sebelumnya yang malah menumbuhkan ego mereka. Cukup sampaikan hikmah dan pembelajaran di masa lalu yang dapat menginspirasi mereka tanpa harus mengajak mereka kembali ke masa lalu.

Generasi saat ini adalah generasi instan, bukan generasi militan. Sejak dini mereka perlu dididik untuk menghargai proses. Tidak perlu membuat mereka merasakan perjuangan yang sama dengan yang pernah pendidik rasakan karena realita dan kesulitan yang akan mereka hadapi juga berbeda, namun tetap menjadi penting bagi mereka untuk belajar berjuang dan menghargai perjuangan. Generasi ini juga kurang menghargai pemberian karenanya perlu diajarkan untuk senantiasa memberi dan berbagi. Tidak akan mudah karena mereka generasi pembosan. Pola pendidikan konvensional yang kaku dan monoton tidak mereka sukai. Mereka adalah generasi kreatif yang menghargai ide dan pembaruan, disinilah kreativitas pendidik memainkan peran.

Meniadakan televisi yang jarang menghadirkan tontonan bermutu mungkin baik untuk pembentukkan karakter anak. Membatasi penggunaan gadget pada anak juga barangkali bermanfaat dalam mendidik anak. Namun aksi boikot teknologi informasi sejatinya bukan solusi jangka panjang, karena mereka akan hidup di zaman itu. Salah-salah malah mereka akan mencarinya di luar dan kian sulit diawasi. Hal penting yang sangat perlu diperhatikan adalah keteladanan. Generasi Y adalah generasi awal teknologi yang punya potensi sama untuk kecanduan teknologi. Karenanya pendidik harus memberi contoh bagaimana memanfaatkan teknologi informasi dengan bijak. Lebih banyak melakukan aktivitas bersama tanpa disibukkan oleh gadget yang banyak melahirkan generasi asosial.

Didiklah anak sesuai zamannya”, sebuah ungkapan yang barangkali banyak benarnya. Lingkungan dan tantangan zaman berubah, sehingga proses pendidikan yang sama belum tentu menghasilkan output yang serupa. Butuh desain pendidikan yang jelas, bukan sekedar menitipkan mereka ke sekolah atau bahkan membiarkan teknologi terbaru mendidik mereka. Jika generasi Y memandang generasi baby boomers sebagai generasi kolot yang gagap teknologi, barangkali seperti itu juga persepsi generasi Alfa terhadap generasi Y. Tantangan mendidik generasi Alfa ini kian berat seiring lahirnya generasi selanjutnya di masa mendatang –sebutlah generasi Beta—tempat mereka nanti tumbuh dan berkembang. Gap generation kian membesar, membekali mereka dengan pendidikan yang sesuai dengan zaman mereka semakin krusial.

Saat ini banyak romantika generasi Y yang kembali diangkat, mulai dari permainan, tontonan, hingga jajanan. Pada saatnya nanti, romantika generasi Z lah yang akan kembali mencuat ke permukaan. Salah satunya adalah momentum reformasi. Titik balik perubahan ke arah yang lebih baik. Bisa jadi kebangkitan umat dan bangsa ada di tangan generasi Alfa. Karenanya kita tak boleh alpa membina mereka. Silih bergantinya generasi adalah keniscayaan, namun apa yang bisa kita wariskan untuk generasi masa depan adalah pilihan.

Teach the children so that it will not be necessary to teach the adults” (Abraham Lincoln)

Syukur dan Sabar dalam Berumah Tangga

Pada suatu hari, Imran bin Haththan menemui dan menatap istrinya. Secara fisik, Imran adalah laki-laki buruk rupa dan bertubuh pendek. Sedangkan istrinya cantik jelita dan tinggi semampai. Semakin lama dipandang, sang istri kian terlihat cantik di mata Imran. Merasa dipandangi terus-menerus, istri Imran pun bertanya, “Ada apa dengan dirimu?”. Imran menjawab, “Segala puji bagi Allah. Demi Allah, kamu perempuan yang cantik.” Sang istri kemudian berkata, “Bergembiralah, karena sesungguhnya saya dan kamu akan masuk surga.” Imran pun bertanya, “Dari mana kamu tahu hal itu?”. Istrinya menjawab, “Sebab, kamu telah dianugerahi istri seperti aku, dan engkau bersyukur. Sedangkan aku diuji dengan suami seperti kamu, dan aku bersabar. Orang yang bersabar dan bersyukur ada di dalam surga.

Kisah tersebut dengan berbagai versinya kerap disampaikan sebatas humor mengenai pasangan ‘Beauty and the beast’. Padahal jika diselami maknanya lebih dalam, syukur dan sabar merupakan hal utama dalam berumah tangga. Berbagai penelitian menyebutkan bahwa penyebab terbesar perceraian adalah masalah finansial, kemudian perselingkuhan, baru faktor-faktor lainnya termasuk KDRT, masalah anak dan keluarga, ataupun karena perbedaan prinsip. Jika perselingkuhan erat kaitannya dengan iman serta kesetiaan (dan biasanya hanya merupakan dampak bukan akar masalah); masalah keuangan (dan berbagai faktor penyebab perceraian lainnya) lebih dekat dengan manajemen syukur dan sabar.

Tanpa bermaksud mendikotomikan, syukur memiliki keutamaan yang lebih tinggi dibandingkan sabar. Karenanya dalam beberapa ayat Al Qur’an, Allah SWT mengungkapkan betapa sedikit manusia yang pandai bersyukur. Karenanya ketika Aisyah r.a. bertanya mengapa Rasulullah SAW shalat sampai sebegitunya padahal dosa beliau sudah pasti diampuni, Rasulullah SAW hanya menjawab, “Tidak pantaskah jika aku menjadi hamba yang bersyukur?”. Padahal tetap beribadah hingga kaki bengkak-bengkak adalah wujud kesabaran, namun syukurlah yang menjadi tujuan. Misi sebagai hamba dijalani dengan bersyukur, sementara misi sebagai khalifah dihadapi dengan bersabar. Dimensi syukur lebih abstrak, bahkan kita perlu bersyukur atas karunia mampu bersyukur.

Problematika berumah tangga biasa dimulai dari keluhan-keluhan yang muncul diikuti dengan sikap suka membandingkan dengan nikmat yang diperoleh orang lain. Bukti nyata terkikisnya rasa syukur dan sabar. Rasa syukur untuk bisa bersabar dan kesabaran untuk terus bersyukur. Pernikahan biasanya diawali dengan kesyukuran, kecuali dalam beberapa kasus misalnya kawin paksa atau married by accident. Bahtera rumah tangga yang mengarungi samudera kehidupan tentu tidak terlepas dari hujan badai dan ujian. Disinilah kesabaran dibutuhkan. Sabar adalah sikap aktif untuk mengatasi permasalahan dengan penuh kesungguhan. Kerja keras tanpa batas.

Bersabar itu sulit, namun bersyukur lebih rumit dan kerap dilupakan. Kala ujian datang menghadang, manusia sering alpa akan segala nikmat yang telah diberikan dalam bentuk lain. Orang sakit mungkin ingat akan nikmat sehat, namun lupa bahwa adanya keluarga yang menemani juga merupakan nikmat. Ketika masalah finansial menerpa bahtera rumah tangga, suami istri tentu tidak tinggal diam dan bekerja keras. Itu adalah kesabaran. Namun tanpa kesyukuran, kesabaran tersebut biasanya tak mampu bertahan. Suami istri seakan lupa nikmat ketika mereka baru menapaki mahligai pernikahan, kebahagiaan dikaruniai keluarga yang mendukung dan anak yang terlahir sempurna, termasuk nikmat keharmonisan rumah tangga yang pernah dirasakan. Toh rezeki tidak harus berupa uang.

Ketika kesyukuran tiada, yang tersisa adalah sikap emosional dan kesombongan. Sebab rasa syukur ditandai dengan ketenangan dan berbagi. Dan saat kesabaran juga terkikis, yang muncul adalah ego dan menyalahkan pihak lain. Sebab kesabaran menghadirkan sikap solutif dan mau bekerja sama. Bisa dibayangkan neraka rumah tangga tanpa kesyukuran dan kesabaran. Dalam beberapa hadits yang menyampaikan bahwa penghuni neraka didominasi oleh wanita, Rasulullah SAW mengemukakan penyebabnya adalah karena para wanita banyak melaknat/ mengeluh dan durhaka pada suaminya. Mengingkari banyak kebaikan pada suaminya ketika menemukan suatu hal yang tidak disukainya. “Allah tidak akan melihat kepada wanita yang tidak mensyukuri apa yang ada pada suaminya dan tidak merasa cukup dengannya.” (HR. Nasa’i).

Jika istri perlu lebih banyak bersyukur untuk mengikis sikap gengsi dan ketidakstabilan emosinya, suami perlu lebih banyak bersabar untuk meruntuhkan egonya. Laki-laki memang pemimpin dalam rumah tangga, namun mengedepankan statement tersebut bukan solusi dalam mengatasi problematika rumah tangga. Sebab istri perlu dihargai sebagai tulang rusuk bukan alas kaki. “Tulang rusuk yang bengkok”, kata Rasulullah SAW. Harus bersabar untuk meluruskannya karena akan patah jika dipaksa. Bukan hanya bersabar untuk tidak menyakiti, tetapi juga bersabar atas berbagai sikap istri yang kadang emosional, moody, suka menuntut, kekanak-kanakan dan kurang bijaksana. “…Dan bergaullah kalian dengan mereka (para istri) secara patut. Kemudian bila kalian tidak menyukai mereka (maka bersabarlah) karena mungkin kalian tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan pada dirinya kebaikan yang banyak.” (QS. An-Nisa: 19).

Kesyukuran dan kesabaran ini harus terinternalisasi dalam nurani dan pikiran dan terimplementasi dalam perbuatan. Mulai dari hal yang sederhana misalnya suami yang biasa meminta maaf pun tidak salah dan istri yang berterima kasih atas pemberian sekecil apapun. Kesyukuran pasti akan menambah nikmat. Sementara kesabaran akan mendatangkan solusi atas berbagai permasalahan dari arah yang tidak terduga. Bahtera rumah tangga akan kokoh dengan kesabaran, dan akan semakin indah dengan kesyukuran. Semoga kita –dan pasangan hidup kita– menjadi hamba-hamba Allah yang pandai bersyukur dan khalifah-khalifah di muka bumi yang teguh besabar.

“Sungguh mengagumkan urusannya orang mukmin itu, semua urusannya menjadi kebaikan untuknya, dan tidak didapati yang demikian itu kecuali pada orang mukmin. Apabila dia mendapatkan kesenangan dia bersyukur, maka yang demikian itu menjadi kebaikan baginya. Dan apabila dia ditimpa kesusahan ia bersabar, maka yang demikian itu pun menjadi kebaikan baginya”. (HR. Muslim)

Pendidikan Anak dan 5 Level Kepemimpinan

Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya. Imam adalah pemimpin yang akan diminta pertanggungjawaban atas rakyatnya. Seorang suami adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas keluarganya. Seorang istri adalah pemimpin di dalam urusan rumah tangga suaminya, dan akan dimintai pertanggung jawaban atas urusan rumah tangga tersebut.” (HR. Bukhari – Muslim)

Setiap anak dilahirkan dalam keadaan suci ibarat kertas kosong. Secara naluriah, seorang anak akan mengharapkan dan membutuhkan bimbingan dari orang dewasa. Disinilah pendidikan anak memegang peranan penting, untuk mulai mengisi dan mewarnai kertas kosong tersebut. Ketika beranjak dewasa, sang anak mungkin sudah –dan harus– mampu mengambil keputusan dan menentukan jalan hidupnya sendiri, namun sketsa awal yang dibuat pada kertas kosong itu akan sangat memengaruhi pilihan hidup yang kelak diambil. Dan karena kepemimpinan adalah seni memengaruhi orang-orang yang dipimpin, peran pemimpin secara otomatis hinggap di pundak para orang tua dalam mendidik anaknya.

Orang tua adalah pemimpin bagi anak-anaknya, namun pemimpin seperti apa? Sebagai refleksi, ada baiknya kita komparasikan dengan lima level kepemimpinan yang ditulis oleh John C. Maxwell. Maxwell menggunakan 5 level pemimpin (5P) yaitu Position (Posisi), Permission (Perkenanan) , Production (Produksi), People Development (Pengembangan SDM), dan Personhood (ke-Pribadi-an). Masing-masing level ini kemudian dipasangkan dengan dengan produknya, yang disebut Maxwell sebagai 5R, yaitu Rights (hak), Relationships (hubungan), Results (hasil), Reproduction (reproduksi) dan Respect (hormat).

Level kepemimpinan pertama adalah posisi atau jabatan. Seorang anak mengikuti orang tua karena keharusan. Pendidikan anak di level ini ditandai dengan penekanan hak orang tua untuk dituruti karena posisinya sebagai orang tua yang harus dihormati anaknya. Tanpa kemampuan ataupun upaya khusus, jabatan orang tua dan anak sudah ditentukan, tidak akan tertukar. Indoktrinasi bahwa orang tua selalu benar, lebih tahu dari anaknya dan tidak akan mencelakakan anaknya akan kental, sementara ruang dialogis sangat terbatas. Anak akan berpotensi kehilangan jati dirinya, terkekang minat dan bakatnya, serta sekadar menjadi ‘boneka’ orang tuanya. Moralitas relatif turun sementara potensi pemberontakan tinggal menunggu momentumnya saja. Maxwell mengatakan, “A great leader’s courage to fulfill his vision comes from passion, not position”.

Orang tua yang mendidik anaknya di level kepemimpinan pertama ini perlu berbenah, setidaknya naik ke level kepemimpinan selanjutnya yaitu perkenanan yang berorientasi hubungan. Pada level kedua ini, seorang anak menuruti orang tuanya karena rasa sayangnya pada orang tua, bukan karena keharusan semata. Disini orang tua sudah menjadi pribadi yang menyenangkan bagi anak-anaknya sehingga kerja sama antar anggota keluarga dapat lebih terjalin. Anak-anak sudah mulai merasa dihargai dan lingkungan keluarga pun lebih terasa positif. Sayangnya, pendidikan anak di level ini cenderung membuat orang tua populer di mata anak, tetapi pengembangan diri anak kurang terfasilitasi. Pendidikan yang berorientasi membuat nyaman semua anggota keluarga ini kurang mengakomodir kebutuhan anak yang memiliki motivasi tinggi untuk maju.

Pendidikan anak perlu naik ke level kepemimpinan ketiga yang fokus pada kompetensi (pengetahuan, keterampilan dan sikap) serta memberikan hasil nyata dari pendidikan anak. Pada level ini, seorang anak akan patuh pada orang tuanya karena sudah merasakan hal-hal positif bahkan hasil yang dapat dilihat kasat mata, buah dari pendidikan yang dilakukan orang tuanya. Anak-anak sudah merasakan tercapainya tujuan pendidikan, yaitu adanya perubahan kehidupan mereka ke arah yang lebih baik. Anak-anak pun sudah mampu mengatasi masalah dan mengambil keputusan sendiri dalam mencapai cita hidup mereka. Di level ini, orang tua telah mampu menjadi role model yang baik bagi anaknya dan dengan jelas mampu menunjukkan kontribusi mereka bagi keluarga. Teladan orang tua yang produktif akan menghasilkan anak-anak yang produktif.

Pekerjaan terakhir seorang pemimpin adalah memastikan dirinya mewariskan hal-hal yang baik, termasuk ketersediaan kader pengganti. Pada level kepemimpinan keempat, kaderisasi adalah harga mati karena pemimpin yang baik adalah pemimpin yang mampu menghasilkan pemimpin lainnya. Di level ini, orang tua sudah mempersiapkan anak-anaknya sebagai pemimpin sekaligus orang tua di masa mendatang. Orang tua mengoptimalkan segala yang dimilikinya untuk pengembangan anak-anak mereka sebagai investasi SDM strategis. Pendidikan di level ini akan menumbuhkan dan memperkuat loyalitas anak kepada orang tua dan keluarganya. Bakat dan minat anak diperhatikan, potensi anak dikembangkan, inisiatif anak didukung, proyeksi masa depan anak dipersiapkan dengan baik. Reproduksi bukan berarti mencetak anak sebagai kloning orang tuanya, karakter kepemimpinan sang anak tetap harus terbentuk.

Level kepemimpinan kelima menyoal kepribadian dan respek, yang disebut Jim Collins sebagai pemimpin dengan professional will dan strategic humility. Bijak dan kharismatik. Di level ini, anak-anak menaruh rasa hormat yang sangat tinggi kepada orang tuanya. Respek ini bahkan sanggup menggerakkan untuk berjuang dan mengorbankan segala yang dimilikinya demi orang tuanya. Tanpa alasan. Bukan karena hubungan darah, rasa kasih sayang ataupun melihat apa yang sudah orang tua berikan. Lebih luhur dari itu. Orang tua menjadi teladan, inspirator, sekaligus pemimpin idola bagi anak-anaknya. Butuh waktu lama dan upaya keras untuk mencapai level ini, bahkan mungkin baru dapat dilihat setelah perannya sebagai orang tua di dunia sudah berakhir.

Ada ungkapan yang mengatakan, “Seratus kambing yang dipimpin oleh seekor singa akan jauh lebih berbahaya daripada seratus singa yang dipimpin oleh seekor kambing”. Ungkapan tersebut barangkali ada benarnya dan relevan dengan pendidikan anak kita. Jika anak-anak kita tidak mampu mengaum, bisa jadi bukan karena mereka lemah, namun karena kita tidak mampu memberikan pendidikan sekuat singa. Orang tua punya peran besar dalam membangun masa depan anak, apalagi di usia keemasannya. Mari sejenak kita renungi level kepemimpinan kita dalam mendidik anak, sebentar saja, untuk kemudian kita berbenah dan memperbaiki diri. Agar kelak anak-anak kita mengenang kita sebagai orang tua terbaik, penuh dedikasi dan keteladanan, bukan hanya orang yang ‘kebetulan’ jadi orang tua. Setiap orang tua adalah pemimpin, setiap anak adalah amanah, mendidik anak adalah kewajiban. Pemimpin, amanah dan kewajiban akan dimintai pertanggungjawabannya.

“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka.” (QS. An Nisa: 9)

Polemik di Balik Nama Muthi’ah

“Pemuka wanita ahli surga ada empat: Maryam binti Imran, Fathimah binti Rasulillah SAW, Khadijah binti Khuwailid, dan Asiyah.” (HR. Hakim)

Fathimah r.a. sangat penasaran dengan pesan ayahandanya, Rasulullah SAW, untuk menemui dan meneladani sosok muslimah berakhlak mulia bernama Muthi’ah. Sambil membawa Hasan r.a. yang masih kecil, Fathimah pun datang menemui muslimah teladan yang disebut Rasulullah SAW sebagai calon penghuni syurga. Sesampainya di depan rumah yang dimaksud, Fathimah r.a. mengucapkan salam. Salam dijawab, pintu pun dibuka, namun di luar dugaan Fathimah r.a. justru mendapat jawaban dari tuan rumah, “Sungguh bahagia aku menyambut kedatanganmu Fathimah. Namun, maafkanlah aku karena aku hanya dapat menerima kedatanganmu di rumahku. Sesungguhnya suamiku mengamanatkan padaku untuk tidak menerima tamu lelaki di rumahku.” Fathimah r.a. tersenyum, “Wahai Muthi’ah, ini Hasan, anakku dan dia masih kecil.” Muthi’ah r.a. menjawab, “Sekali lagi maafkan aku Fathimah, meskipun ia masih kecil tetapi ia lelaki. Sungguh aku tidak dapat melanggar amanat suamiku.

Ada yang meriwayatkan bahwa selepas itu Fathimah r.a. bergegas membawa anaknya pulang dan kembali menemui Muthi’ah, ada pula yang meriwayatkan kejadian tersebut berulang di hari selanjutnya ketika Fathimah turut mengajak Husein sementara suaminya Muthi’ah hanya mengizinkan Fahimah dan Hasan radhiallahu anhum. Wallahu a’lam. Singkat cerita, Fathimah r.a. diterima masuk ke dalam rumah, kemudian beliau menyampaikan perintah ayahandanya untuk meneladani akhlak Muthi’ah. Muthi’ah r.a. tampak senang mendengar kabar gembira yang disampaikan Fathimah, sekaligus heran dan bingung karena tidak merasa ada yang istimewa dari muslimah seperti dirinya.

Fathimah r.a. memandang ke sekeliling isi rumah, mencoba menerka apa yang istimewa dari seorang Muthi’ah. Pandangannya pun tertuju pada kursi, gantungan baju, dan meja yang di atasnya terdapat cambuk rotan, kipas dan handuk. Fathimah r.a. pun bertanya, “Untuk apa benta-benda itu?”. “Benda-benda ini kusediakan untuk menyambut suamiku pulang dari bekerja. Kursi ini untuk istirahat, gantungan untuk bajunya, dan handuk ini kugunakan untuk mengelap keringatnya yang sudah bekerja keras. Setelah kering keringatnya, suamiku biasa berbaring sejenak dan aku duduk di sampingnya sambil mengipasinya dengan kipas ini sampai hilang rasa lelahnya.”, jawab Muthiah r.a. “Lalu untuk apa cambuk ini?” tanya Fathimah r.a. semakin penasaran. “Setelah hilang rasa lelahnya, suamiku mandi dan aku menyiapkan hidangan untuknya. Suamiku akan makan hidangan tersebut dan aku memberikan cambuknya seraya berkata jika ada pelayananku yang tak memuaskan maka cambuklah aku.” “Lalu, apakah suamimu sering memukulmu?” tanya Fathimah r.a. lagi. “Tidak, tidak pernah, yang selalu terjadi adalah dia menarik tubuhku dan memelukku penuh kasih sayang.”, jawabnya. Mendengar semua penjelasan tersebut, Fathimah r.a. terperangah, tak terasa air matanya menetes. Ia pun menyadari, sungguh tak berlebihan jika ayahandanya memintanya belajar dari sosok Muthi’ah.

* * *

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Rasulullah SAW bersabda “Sesungguhnya mereka (umat-umat terdahulu) menamakan dengan nama para nabi mereka dan orang-orang shalih sebelum mereka.”. Menyimak kisah di atas, tidak sedikit kaum muslimin yang menamai anak mereka dengan Muthi’ah, seorang teladan muslimah dalam keta’atan terhadap suami. Namun tidak sedikit pihak yang mempertanyakan keshahihan kisah tersebut yang tidak ditemukan dalam kitab-kitab yang biasa dijadikian rujukan. Penolakan lebih besar dilakukan oleh para penganut Syi’ah yang melihat kisah tersebut sebagai suatu upaya penghinaan ahlul bait. Dalam hal ini, derajat Fathimah r.a. seolah ada di bawah sosok ‘misterius’ bernama Muthi’ah. Sementara mereka mengklaim banyak sekali dalil yang menunjukkan keutamaan Fathimah dan para ahlul bait di atas shahabat lain.

Padahal keutamaan seorang shahabat bukan berarti menghina shahabat yang lain. Misalnya saja ketika Allah SWT membenarkan pendapat Umar r.a. mengenai tawanan perang Badar, bukan lantas menunjukkan Umar r.a. lebih mulia dibandingkan Abu Bakar r.a. yang pendapatnya diambil oleh Rasulullah SAW. Rasulullah SAW juga kerap memuji para shahabatnya, tanpa merendahkan shahabat lainnya. Ada pula bantahan bahwa kisah tersebut bertentangan dengan hadits para pemuka wanita ahli syurga seperti yang disebutkan di atas. Padahal shahabiyah yang dijamin masuk syurga bukan hanya Khadijah dan Fathimah radhiallahu anhuma. Ada Summayah, ada Ummu Sulaim, dan ada yang lainnya. Sebagaimana shahabat yang dijamin masuk syurga bukan hanya para Khulafaur Rasyidin. Kisah di atas sejatinya dapat dimaknai sama dengan kisah salah seorang ahli syurga yang tidak disebutkan namanya karena senantiasa menjaga dirinya dari sifat hasad kepada orang lain.

Ya, jika Muthi’ah yang berarti wanita yang ta’at bukanlah sekedar nama, melainkan sifat, dapat kita pahami bahwa hal tersebut akan mengantarkan seorang istri kepada syurga. Allah SWT berfirman, “Maka wanita yang shalihah adalah wanita yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada (bepergian) dikarenakan Allah telah memelihara mereka…” (QS. An Nisa: 34). Rasulullah SAW bersabda, “Jika seorang wanita melaksanakan shalat lima waktunya, melaksanakan shaum pada bulannya, menjaga kemaluannya, dan mentaati suaminya, maka ia akan masuk surga dari pintu mana saja ia kehendaki” (HR. Ahmad dan Ibnu Hibban). Beliau juga bersabda, “Tidak ada perkara yang lebih bagus bagi seorang mukmin setelah bertakwa kepada Allah daripada istri yang shalihah, bila ia menyuruhnya maka ia menaatinya, bila memandangnya membuat hati senang, bila bersumpah (agar istrinya melakukan sesuatu), maka ia melakukannya dengan baik, dan bila ia pergi maka ia dengan tulus menjaga diri dan hartanya.” (HR. Ibnu Majah)

Dalam riwayat lain Rasulullah SAW bersabda, “Kalau aku boleh memerintahkan seseorang untuk sujud kepada orang lain, maka aku akan memerintahkan para istri untuk sujud kepada suaminya, disebabkan karena Allah telah menetapkan hak bagi para suami atas mereka (para istri)” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi). Bahkan dengan redaksi serupa, Imam Ahmad meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Tidaklah pantas bagi seorang manusia untuk sujud kepada manusia yang lain. Seandainya pantas bagi seseorang untuk sujud kepada seorang yang lain niscaya aku perintahkan istri untuk sujud kepada suaminya dikarenakan besarnya hak suaminya terhadapnya. Demi Zat yang jiwaku berada di tangannya, seandainya pada telapak kaki sampai belahan rambut suaminya ada luka/ borok yang mengucurkan nanah bercampur darah, kemudian si istri menghadap suaminya lalu menjilati luka/ borok tersebut, niscaya ia belum purna (belum dianggap cukup) menunaikan hak suaminya“.

Masih banyak lagi dalil yang menyampaikan keutamaan ketaatan seorang Istri terhadap suaminya, misalnya sabda Rasulullah SAW, “Ada dua golongan yang shalat mereka tidak melewati kepala-kepala mereka (tidak diterima oleh Allah SWT), yaitu budak yang melarikan diri dari tuannya sampai ia kembali kepada tuannya dan istri yang durhaka kepada suaminya hingga ia kembali ta’at” (HR. Al Hakim dan Ath Thabrani). Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Seorang perempuan jika telah menikah maka suami lebih berhak terhadap dirinya dibandingkan kedua orang tuanya dan mentaati suami (dalam hal yang ma’ruf) itu lebih wajib dari pada ketaatan kepada orang tuanya“.

Polemik lainnya mengenai nama Muthi’ah justru hadir karena namanya yang dianggap sebagai tazkiyah (menganggap diri suci) sehingga dimakruhkan untuk memberi nama anak dengan Muthi’ah. Dalam sebuah hadits shahih riwayat Imam Muslim disebutkan, “Anak perempuan Umar bin Khaththab bernama ‘Ashiyah (wanita yang suka bermaksiat), maka Rasulullah SAW memberinya nama Jamilah (wanita yang cantik)”. Berkenaan dengan hal ini Abu Thayyib berkata, “Beliau tidak mengganti Ashiyyah menjadi Muthiah(gadis yang penuh ketaatan) padahal ini adalah lawan dan kebalikannya. Indikasinya,beliau memilih Jamilah karena menghidari tazkiyyah (mensucikan diri)”.

Berbeda dengan nama Barrah (wanita yang baik dan berbakti), Yasaar (yang mudah), Rabaah (yang beruntung), Nafi’ (yang bermanfaat) dan Aflaha (yang menang) yang memang jelas tersurat dalam hadits riwayat Imam Muslim mengenai kemakruhannya, pendapat Abu Thayyib memiliki beberapa kelemahan. Pertama, Rasulullah SAW tidak selalu mengganti nama yang kurang baik dengan kebalikannya. Nama Hazn (sedih) diganti Sahal (mudah), padahal mudah bukanlah lawan dari sedih. Begitu juga dengan nama Zahm (berdesakan) yang diganti menjadi Basyir (pemberi berita gembira) atau Syihab (meteor) menjadi Hisyam (pemurah). Bukan dengan antonimnya. Karenanya kurang tepat kesimpulan bahwa pemilihan nama Jamilah disebabkan kemakruhan memberi nama Muthiah yang merupakan lawan dari ‘Ashiyah.

Kedua, dalam beberapa riwayat yang shahih dikisahkan bahwa Muthi’ bin Al Aswad r.a. dulunya bernama Al ‘Ash (pendosa), kemudian Rasulullah SAW mengganti namanya menjadi Muthi’ (yang ta’at). Dan nama Muthi’ah hanyalah bentuk muannats (perempuan) dari Muthi’. Ketiga, nama sejatinya adalah do’a, bukan klaim. Memberi nama anak dengan nama nabi atau orang-orang shalih adalah do’a, bukan klaim bahwa anak tersebut selevel dengan nabi atau orang-orang shalih. Nama Mukhlish (orang yang ikhlash) atau Muttaqin (orang yang bertakwa) adalah do’a, bukan klaim, karenanya tidak perlu terburu-buru untuk mengharamkan atau memakruhkan suatu nama karena do’a kebaikan yang menyertainya.

Berhati-hati dalam memberi nama adalah suatu keharusan, apalagi kelak kita akan dipanggil oleh Allah SWT dengan nama tersebut. Namun tidak perlu mempersulit pemberian nama. Upayakan memberi nama dengan nama orang-orang baik dan yang memiliki makna baik. Karena nama adalah do’a.

Barangsiapa yang memperhatikan sunnah, ia akan mendapatkan bahwa makna-makna yang terkandung dalam nama berkaitan dengannya sehingga seolah-olah makna-makna tersebut diambil darinya dan seolah-olah nama-nama tersebut diambil dari makna-maknanya. Jarang kau dapati nama yang buruk kecuali melekat pada orang yang buruk pula. Dan Allah dengan hikmah yang terkandung dalam qadha dan qadarnya memberikan ilham kepada jiwa untuk menetapkan nama sesuai yang punya
(Ibnu Qoyyim Al Jauziyah)

Perkenalkan, Muthiah Rheviani Udiutomo

Semua anak bayi tergadaikan dengan aqiqahnya yang pada hari ketujuhnya disembelih hewan (kambing), diberi nama dan dicukur rambutnya.” (HR Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i, Ibnu Majah, Ahmad)

Alhamdulillah, prosesi aqiqah #DeMuthi terlaksana dengan lancar tepat di hari ketujuhnya, berbeda dengan prosesi aqiqah sang kakak yang tidak bisa tepat di hari ketujuh karena hampir seminggu masih harus dirawat di Rumah Sakit. Prosesi aqiqah kali ini juga lebih sederhana dan singkat, karena esensinya hanya menjalankan sunnah Rasulullah SAW sekaligus sebagai ungkapan syukur atas kehadiran buah hati dalam keadaan sehat. Tahadduts bin ni’mah. Apalagi kami belum genap satu tahun tinggal di perumahan baru sehingga menjadi penting membangun silaturahim dengan masyarakat sekitar.

Idealnya, pemberian nama juga dilakukan di hari ketujuh sebelum mencukur rambutnya, tetapi waktu seminggu tampaknya terlalu lama untuk bersabar menjawab pertanyaan ‘siapa namanya?’ dari rekan-rekan dan kerabat. Walaupun penentuan nama kali ini tidak semudah sebelumnya, bahkan sampai ketika bermalam di bidan pun nama belum difiksasi, namun akhirnya nama #DeMuthi sudah dilaunching sehari setelah kelahiran. Salah satu hal yang mempersulitnya adalah pergeseran waktu kelahiran dari yang diperkirakan di bulan Mei menjadi di awal Juni, tepatnya 3 Juni lalu. Si kakak yang sudah menyiapkan nama panggilan Mei-chan untuk adiknya juga harus dipahamkan bahwa nama adiknya adalah #DeMuthi. ^_^

Muthiah Rheviani Udiutomo, begitu kami (akhirnya) menamainya setelah melalui perenungan mendalam. Polanya tetap sama seperti nama kakaknya: nama shahabiyah/ orang shalih + nama yang bermakna baik + udiutomo. Dalam sebuah hadits riwayat Imam Muslim, Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya mereka (umat-umat terdahulu) menamakan (anak-anak mereka) dengan nama para nabi mereka dan orang-orang shalih sebelum mereka”. Berbeda dengan anak laki-laki, nama shahabiyah relatif terbatas, dan tidak ada Nabi dan Rasul perempuan. Akhirnya pilihannya terbatas, padahal salah satu fungsi nama adalah sebagai pembeda. Nama Rumaisha yang digunakan kakaknya saja sudah banyak yang menggunakannya, apalagi nama-nama  yang lebih popular seperti Maryam, Khadijah, Fathimah atau ‘Aisyah.

Singkat kata, terpilihlah nama Muthiah yang berarti perempuan yang ta’at, karena bagaimanapun nama adalah do’a. Sama halnya dengan Rumaisha (atau lebih dikenal dengan Ummu Sulaim), Muthiah juga merupakan sosok shahabiyah yang dijamin masuk syurga. Keta’atannya pada suaminya menjadi teladan yang sulit ditemui di masa sekarang ini. Terlepas dari kontroversi nama Muthiah yang mungkin akan dibahas dalam tulisan lain, menjadi hal yang unik ketika mendapati bahwa ustadzah yang mengisi taushiyah dalam prosesi aqiqah juga bernama Muthiah. Nama Muthiah jika disingkat menjadi Muthi sebagai nama panggilan juga mengandung makna yang baik: orang yang ta’at.

Rheviani berasal dari kata ‘Rheva’ yang dalam bahasa latin berarti lahir dengan kekuatan. Salah satu hal yang paling berkesan dalam persalinan #DeMuthi adalah lahir dengan proses kelahiran normal 5 hari setelah hari perkiraan lahirnya dengan berat dan tinggi badan (3.2kg/ 49cm) yang lebih besar dari kakaknya (2.9kg/ 46cm) yang lahir melalui SC. ‘Revia’ sendiri merupakan bentukan dari kata ‘Reva’ yang berarti mampu bertahan. Dalam referensi lain, ‘Reva’ juga bermakna cantik dan kuat, rajin, pekerja keras, menyukai perubahan dan variasi, intuitif dan penuh inspirasi, mandiri, kritis terhadap diri dan orang lain. Sementara akhiran ‘ni’ menunjukkan anak kedua (‘ni’ dalam bahasa Jepang artinya dua) sebagaimana kata ‘alif’ dalam nama kakaknya menunjukkan anak pertama. Akhiran ‘ni’ juga menunjukkan bulan ‘Juni’ sehingga ide awal panggilan ‘Mei-chan’ bisa menjadi ‘Ni-chan’.

Nama tengah ini disengaja tidak menggunakan nama dari bahasa Arab yang di masa sekarang kerap mempersulit mobilitas seseorang. Penekannya lebih kepada maknanya baik. Penggunaan tiga kata dalam nama juga disengaja untuk memudahkan seseorang memperoleh paspor untuk umroh dan haji tanpa harus menambahkan nama. Untuk nama belakang, ‘udiutomo’ yang berarti mencari keutamaan tetap digunakan karena seseorang sebaiknya menisbatkan dirinya kepada nama ayahnya. “Panggillah mereka dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka. Itulah yang lebih adil pada sisi Allah” (QS. Al-Ahzab: 5). Dalam sebuah hadits riwayat Abu Daud yang sedikit lemah, Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya kalian akan dipanggil pada hari kiamat dengan nama kalian dan nama bapak kalian, maka pilihlah nama kalian yang paling baik”.

Salah satu kewajiban orang tua terhadap anaknya adalah memberikan nama yang baik, nama yang sekaligus menjadi do’a kebaikan dari orang tua kepada anaknya. Semoga pemberian nama Muthiah Rheviani Udiutomo menjadikan putri kami sebagai ‘anak perempuan kedua yang kuat, rajin, dan mandiri serta penuh ketaatan dalam kebaikan’… Aamiiin Ya Rabbal ‘Alamiin…

Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (Kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Furqan: 74)