Category Archives: Opini Politik

‘Kampanye’ Ala Nabi Yusuf ‘Alaihi Salam

Kami menceritakan kepadamu kisah yang paling baik dengan mewahyukan Al Quran ini kepadamu, dan sesungguhnya kamu sebelum (Kami mewahyukan)nya adalah termasuk orang-orang yang belum mengetahui.” (QS. Yusuf: 3)

Kajian Rutin Ahad pagi ini di Masjid Muniroh Abdullah Ar Rukban mengangkat tema tentang Shiroh Nabi Yusuf a.s. Tampaknya bukan kebetulan, tilawah rutin penulis hari ini juga tepat di Surah Yusuf, Surah ke-11 dalam Al-Qur’an yang terdiri dari 111 ayat. Dan qadarullah beberapa hari lalu, kajian kantor ba’da zhuhur di Masjid panggung Cordofa juga membahas beberapa hikmah dari kisah Nabi Yusuf a.s. yang disebutkan dalam Al Qur’an sebagai ‘kisah yang paling baik’ (ahsanal qashash). Banyak sekali pelajaran hidup dalam kisah Nabi Yusuf a.s., mulai lingkup pribadi, keluarga, masyarakat, hingga negara. Namun sesuai dengan judul, tulisan ini hanya akan dibatasi pada proses Nabi Yusuf a.s. menjadi bendaharawan Negeri Mesir, mulai dari kisah di penjara hingga pelantikan beliau.

Pengangkatan Nabi Yusuf a.s. menjadi pejabat di Mesir tidak dapat terpisahkan dari kisah beliau ketika di penjara. Integritas Nabi Yusuf a.s. dibuktikan disini, kompetensi takwil mimpi pun ditunjukkan disini. Sebagaimana dilanjutkan oleh ulama-ulama di kemudian hari, penjara menjadi medan dakwah potensial para da’i, tak terkecuali Nabi Yusuf a.s. yang begitu dicintai dan dihormati oleh para tahanan. Dalam Al Qur’an Surat Yusuf ayat 36 diceritakan, suatu ketika dua pemuda narapidana berkonsultasi pada Nabi Yusuf a.s. yang mereka nilai orang yang berbuat baik (muhsinin) tentang mimpi-mimpi mereka. Saat itu, Nabi Yusuf a.s. tidak langsung menjelaskan takwil mimpi mereka, melainkan berdakwah menguatkan fondasi akidah. Tawadhu menegaskan bahwa kompetensi takwil mimpi yang dimilikinya adalah karunia Allah SWT. Dari lima ayat yang menceritakan jawaban Nabi Yusuf a.s. atas pertanyaan dua rekannya d penjara, empat ayat pertama adalah dakwah, hanya satu ayat yang menjelaskan takwil mimpi mereka. Dalam unjuk kompetensinya, Nabi Yusuf a.s. sama sekali tidak ragu mengungkapkan jati dirinya sebagai da’i. Berbeda dengan kebanyakan politisi saat ini yang justru tersandera dengan ‘politik identitas’. “Inilah jalanku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan yakin, Maha Suci Allah, dan aku tidak termasuk orang-orang musyrik” (QS. Yusuf: 108).

Setelah itu, Nabi Yusuf a.s. mencoba ‘peruntungannya’ dengan menitip pesan kepada tahanan yang diketahuinya akan selamat. Namun Allah SWT sudah menetapkan bukan seperti itu jalur politik yang benar. “Dan dia (Yusuf) berkata kepada orang yang diketahuinya akan selamat di antara mereka berdua, “Terangkanlah keadaanku kepada tuanmu.” Maka setan menjadikan dia lupa untuk menerangkan (keadaan Yusuf) kepada tuannya. Karena itu dia (Yusuf) tetap dalam penjara beberapa tahun lamanya.” (QS. Yusuf: 42). Kampanye lewat jalur ‘orang dalam’ mungkin bisa lebih cepat sampai tujuan, namun belum tentu dibenarkan dan diridhai. Jalur instan bisa jadi menzhalimi hak orang lain, bisa jadi pula melewatkan pembelajaran penting atau keberkahan yang mengiringi proses yang lebih panjang. Malah bukan tidak mungkin, jalan yang tidak benar justru berakibat buruk, sebagaimana Nabi Yusuf a.s. yang harus mendekam dalam penjara hingga beberapa tahun lamanya.

Beberapa tahun kemudian, Raja Mesir bermimpi berulang dan berlanjut. Mimpi yang tidak dapat ditakwilkan oleh para pejabat dan tokoh agama di Mesir, namun cukup untuk mengingatkan rekan penjara Nabi Yusuf a.s. yang selamat akan kompetensi Nabi Yusuf a.s. Dalam kajian di Masjid Orchid, disebutkan bahwa Nabi Yusuf a.s. dipenjara selama 7 tahun, nama Raja Mesir saat itu adalah Aminhautib IV dan nama rekan penjara Yusuf yang menjadi pelayan Raja Mesir adalah Minarus. Singkat cerita, Raja Aminhautib IV mengutus Minarus untuk bertanya kepada Nabi Yusuf a.s. akan makna dari mimpinya. “Yusuf, wahai orang yang sangat dipercaya! Terangkanlah kepada kami (takwil mimpi) tentang tujuh ekor sapi betina yang gemuk yang dimakan oleh tujuh (ekor sapi betina) yang kurus, tujuh tangkai (gandum) yang hijau dan (tujuh tangkai) lainnya yang kering agar aku kembali kepada orang-orang itu, agar mereka mengetahui.” (QS. Yusuf: 46).

Mendapati pertanyaan itu, Nabi Yusuf a.s. tidak menyembunyikan ilmu dan kompetensinya. “Dia (Yusuf) berkata, “Agar kamu bercocok tanam tujuh tahun (berturut-turut) sebagaimana biasa; kemudian apa yang kamu tuai hendaklah kamu biarkan ditangkainya kecuali sedikit untuk kamu makan. Kemudian setelah itu akan datang tujuh (tahun) yang sangat sulit, yang menghabiskan apa yang kamu simpan untuk menghadapinya (tahun sulit), kecuali sedikit dari apa (bibit gandum) yang kamu simpan. Setelah itu akan datang tahun, dimana manusia diberi hujan (dengan cukup) dan pada masa itu mereka memeras (anggur).” (QS. Yusuf: 47-49). Menariknya, Nabi Yusuf a.s. tidak hanya menjelaskan takwil mimpi Raja, namun juga memberi solusi. Biji gandum yang telah dipanen tidak bisa bertahan lama disimpan, karenanya Nabi Yusuf a.s. menyarankan membiarkan tangkainya (tidak dipreteli) agar bisa lebih awet. Selain itu, Nabi Yusuf a.s. juga mengingatkan pentingnya menyimpan bibit untuk menghadapi masa subur kedua. Kampanye Nabi Yusuf a.s. adalah kampanye yang cerdas dan mencerdaskan, tidak hanya sampaikan gagasan namun juga solutif.

Setelah Raja Mesir mendengar penjelasannya, beliau meminta Nabi Yusuf a.s. dibebaskan dan dibawa menghadapnya. Namun bukannya senang dengan pembebasannya, Nabi Yusuf a.s. justru mengajukan ‘syarat’ pembebasannya. “Kembalilah kepada tuanmu dan tanyakan kepadanya bagaimana halnya perempuan-perempuan yang telah melukai tangannya. Sungguh, Tuhanku Maha Mengetahui tipu daya mereka.” (QS. Yusuf: 50). Umumnya, yang memberi syarat adalah yang membebaskan sehingga disebut bebas bersyarat. Ini sudah diberikan kebebasan tanpa syarat malah minta syarat. Kampanye Nabi Yusuf a.s. sangat memperhatikan reputasi sebelum menjabat. Nama baiknya harus dibersihkan sehingga tidak menjadi ‘beban’ ke depannya. Sangat berbeda dengan politisi di Negeri Wakanda dimana politisi yang sudah terbukti korupsi atau melanggar hukum tidak malu untuk mencalonkan dirinya kembali ke pentas politik. Jika Nabi Yusuf a.s. dipenjara dulu baru jadi pejabat, di Negeri Wakanda banyak politisi yang menjabat dahulu, melakukan perbuatan melanggar hukum, baru kemudian dipenjara.

Kasus tujuh tahun sebelumnya kembali dibuka dan kebenaran pun terungkap. “Dia (raja) berkata (kepada perempuan-perempuan itu), “Bagaimana keadaanmu ketika kamu menggoda Yusuf untuk menundukkan dirinya?” Mereka berkata, “Mahasempurna Allah, kami tidak mengetahui sesuatu keburukan darinya.” Istri Al-Aziz berkata, “Sekarang jelaslah kebenaran itu, akulah yang menggoda dan merayunya, dan sesungguhnya dia termasuk orang yang benar”. (Yusuf berkata), “Yang demikian itu agar dia (Al-Aziz) mengetahui bahwa aku benar-benar tidak mengkhianatinya ketika dia tidak ada (di rumah), dan bahwa Allah tidak meridhai tipu daya orang-orang yang berkhianat.” (QS. Yusuf: 51-52). Mengkhianati amanah adalah ciri kemunafikan dan tidak ada tempat yang layak bagi seorang pengkhianat. Tidak ada rasa aman memberi amanah kepada seorang pengkhianat. Karenanya, fakta pengkhianatan ini perlu diungkapkan. Bukan untuk mempermalukan orang tua angkatnya, karena Nabi Yusuf a.s. juga tidak bisa melupakan jasa dan ketulusan mereka dalam merawat beliau. Kampanye ini dilakukan untuk memperoleh kepercayaan publik kembali, termasuk kepercayaan dari Raja Mesir. Dan Nabi Yusuf a.s. pun tidak lantas menyalahkan orang tua angkatnya. “Dan aku tidak (menyatakan) diriku bebas (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu mendorong kepada kejahatan, kecuali (nafsu) yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS. Yusuf: 53).

Singkat cerita, setelah berbincang-bincang dengan Nabi Yusuf a.s., Raja Mesir menjadikan Nabi Yusuf a.s. seorang yang berkedudukan tinggi di lingkungan kami dan terpercaya. Kemudian Nabi Yusuf a.s. berkata, “Jadikanlah aku bendaharawan negeri (Mesir); karena sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga dan berpengetahuan.” (QS. Yusuf: 55). Ayat ini kerap dijadikan dalil untuk memperbolehkan meminta jabatan, namun ada dua hal yang seringkali terlewatkan. Pertama, proses panjang dalam mendapat kepercayaan pemimpin dan membuktikannya. Kedua, kualifikasi personal yang dimiliki, tidak hanya aspek berpengetahuan atau berkompeten, namun juga aspek pandai menjaga atau berintegritas. Kompetensi dan karakter ini harus melekat pada diri pemimpin, keduanya, tidak boleh hanya salah satunya. Kampanye Nabi Yusuf a.s. adalah pembuktian kompetensi sekaligus karakter dan integritas beliau. “Dan demikianlah Kami memberi kedudukan kepada Yusuf di negeri ini (Mesir); untuk tinggal dimana saja yang dia kehendaki. Kami melimpahkan rahmat kepada siapa yang Kami kehendaki dan Kami tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Yusuf: 56).

Sungguh, pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang yang mempunyai akal. (Alquran) itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya, menjelaskan segala sesuatu, dan (sebagai) petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Yusuf: 111)

 

Buatlah Kegaduhan, Selagi Cari Sensasi Masih Halal

Teko hanya mengeluarkan isi teko. Kata-kata mencerminkan isi hati. Hati yang baik akan mengatakan yang baik, begitu pula sebaliknya.” (Aa Gym)

Penetapan logo halal terbaru yang diterbitkan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kemenag membuat gaduh. Penetapan label halal yang dituangkan dalam Keputusan Kepala BPJPH Nomor 40 Tahun 2022 tentang Penetapan Label Halal dan berlaku secara nasional tersebut menuai kontroversi. Sebenarnya, standardisasi dalam kehidupan bermasyarakat, termasuk sertifikasi halal memang sebaiknya diselenggarakan oleh pemerintah, sementara ini Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang menerbitkan logo halal secara legal formal adalah Organisasi Masyarakat (Ormas), bukan badan atau lembaga pemerintah.

Bukan tanpa alasan penetapan logo halal yang baru ini banyak memperoleh cibiran. Pertama, perubahan logo bukanlah hal yang urgen dan substantif. Tak heran ada meme yang menyindirnya dengan langkanya minyak goreng. Ketika ada isu besar yang menyoroti pemerintah, sudah menjadi lumrah ada kebijakan atau statement remeh tidak popular yang kemudian dikelola menjadi kegaduhan. Perubahan logo juga tidak berkolerasi langsung terhadap persoalan sertifikasi halal, berbeda dengan edukasi dan pendampingan UMKM, misalnya. Intinya, kebijakan ini dianggap sebagai sesuatu hal yang tidak perlu.

Kedua, perubahan logo di tengah kondisi pemerintah yang sedang butuh uang untuk membangun Ibu Kota Negara (IKN) baru justru memunculkan spekulasi baru. Apalagi baru pekan lalu MUI mengingatkan pemerintah agar tidak cap penceramah radikal hanya karena kritik pemerintah. Imbauan ini muncul setelah pada awal bulan Maret ini Presiden Jokowi berpesan kepada TNI-Polri untuk tidak mengundang penceramah radikal dan tidak ikutan debat soal IKN. Coincidence? I think not! Terkesan ada aroma bisnis pula. Bagaimanapun, perubahan administrasi, apalagi skala nasional, adalah proyek besar. Belum lagi dampak mekanisme penerbitan sertifikasi halal ke depannya yang dikelola langsung oleh pemerintah.

Ketiga, tidak sedikit kegaduhan yang dibuat pejabat negara belakangan ini, khususnya ketika ada isu khusus yang sedang disoroti. Kegaduhan yang jika ditanggapi membuang energi, jika dibiarkan semakin menjadi-jadi. Apalagi sosok Menteri Agama bukan kali ini saja membuat gaduh. Belum ada sebulan ketika Gus Yaqut menjadi sorotan publik usai mengeluarkan pernyataan kontroversial seakan membandingkan suara toa masjid dengan gonggongan anjing. Kemudian dalam sebuah webinar yang digelar oleh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) 24 Oktober 2021 lalu, Yaqut mengungkapkan bahwa jabatan Menteri Agama bukan merupakan hadiah negara untuk umat Islam secara keseluruhan, melainkan hanya untuk NU. Pernyataan kontroversial tersebut bahkan membuat beberapa pihak sampai mengusulkan pembubaran Kementerian Agama. 5 April 2021 lalu, Gus Yaqut juga melontarkan pernyataan kontroversi yang berharap semua agama bisa diberi kesempatan untuk memulai doa dalam suatu acara formal. Tahun lalu juga beredar video Gus Yaqut mengucapkan selamat hari raya Naw-Ruz 178 EB ke komunitas Baha’i, sementara Baha’i oleh MUI diangga sebagai aliran sesat. Bahkan sehari usai dilantik menjadi Menteri Agama pada 24 Desember 2020, Gus Yaqut menyebut jika negara harus melindungi semua kaum yang ada termasuk Syiah dan Ahmadiyah.

Keempat, tidak sedikit masyarakat yang skeptis dan kehilangan kepercayaan pada pemerintah, walaupun sudah sewajarnya hal-hal yang menyangkut hajat hidup orang banyak dikelola oleh negara. Hal ini tentunya tidak terlepas dari track record pemerintah, terutama dalam hal penegakan hukum dan pemberantasan korupsi. Ironisnya, Kementerian Agama (Kemenag) termasuk yang terkorup, KPK bahkan pernah menempatkan Kemenag sebagai kementerian dengan indeks integritas terendah. Pada 2005, mencuat kasus korupsi Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) dan Dana Abadi Umat di Departemen Agama tahun 2003-2005 yang melibatkan mantan Menteri Agama, Said Agil Husin al Munawar dan mantan Dirjen Bimas Islam dan Penyelenggara Haji (BIPH), Taufik Kamil yang merugikan negara hingga 719 Miliar rupiah. Said Agil ini sempat tenar ketika menjabat karena memerintakan penggalian ‘harta karun’ di kompleks Prasasti Batutulis. Kemudian pada 2011-2012, sejumlah pejabat anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DR) dan pejabat Kemenag mengorupsi dana untuk pengadaan Alquran dan Laboratorium Madrasah. Kemudian ada kasus Penyalahgunaan Dana Haji dan Biaya Operasional Menteri yang dilakukan oleh mantan Menteri Agama, Suryadharma Ali. Selanjutnya, pada 2019 lalu ramai kasus jual beli jabatan yang melibatkan Ketua Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Romahurmuziy, Kepala Kanwil Kemenag Jawa Timur Haris Hasanuddin, dan Kepala Kanwil Kabupaten Gresik, Muafaq Wirahadi.

Last but not least, desain logo halal baru tak kalah kontroversialnya. Penjelasan panjang dan filosofis terkait makna logo baru jauh dari kata memuaskan. Misalnya sejak kapan warna ungu bermakna keimanan. Logo halal baru memang anti-mainstream, logo halal di banyak negara –baik Islam sebagai agama mayoritas ataupun minoritas—lebih mirip dengan logo halal lama, tanpa lingkaran bertuliskan ‘Majelis Ulama Indonesia’, tentunya. Sederhana, jelas, dan umum. Halal itu jelas. Tidak sedikit pula yang mengkritisi logo baru yang kurang tepat dari perspektif seni kaligrafi. Dan menjadikan gunungan sebagai perwajahan logo halal baru bisa dikatakan sebagai blunder besar. Gunungan wayang identik dengan orang Jawa, tidak mewakili keindonesiaan. Alih-alih menghadirkan nuansa Islam nusantara, kesan yang terasa justru nilai primordialisme dan sukuisme. Alhasil, ramai netizen membuat logo halal baru sesuai kekhasan daerahnya masing-masing, semisal Sumatera Barat dengan rumah gadang-nya, atau Sumatera Selatan dengan jembatan amperanya. Akhirnya, banyak sekali dijumpai logo halal tandingan yang beredar di dunia maya.

Sekontroversial apapun, atau dikritik sebanyak apapun, logo halal baru sudah ditetapkan dan efektif digunakan per 1 Maret 2022 lalu. Belajar dari kasus Roy Suryo yang melaporkan Gus Yaqut terkait penistaan agama bulan lalu, justru balik dilaporkan karena pencemaran nama baik, tampaknya semuanya akan aman ke depannya. Para pendukung pemerintah terjamin keamanannya setidaknya sampai 2024, apalagi kalau Jokowi diperpanjang 3 periode. Karena waktu menuju 2024 semakin sempit, ‘aji mumpung’ harus dioptimalkan. Kebijakan dan legacy perlu segera dibuat mumpung masih punya kewenangan. Seperti yang sudah-sudah, toh nanti isunya akan menguap dan tergantikan. Apalagi publik di Indonesia relatif ‘mudah lupa’. Kegaduhan pun diselesaikan dengan kegaduhan yang lain. Skema ini bisa diulang berkali-kali. Setidaknya selama ‘cari sensasi’ masih halal untuk dilakukan. Hanya butuh waktu kurang dari 15 bulan, seorang Yaqut Cholil Qoumas dikenal di penjuru nusantara. Dan tampaknya masih akan ada rangkaian kegaduhan yang semakin mempopulerkan namanya ke depannya.

Akan datang kepada manusia tahun-tahun yang penuh dengan penipuan. Ketika itu pendusta dibenarkan sedangkan orang yang jujur malah didustakan, pengkhianat dipercaya sedangkan orang yang amanah justru dianggap sebagai pengkhianat. Pada saat itu Ruwaibidhah berbicara.” Ada yang bertanya, “Apa yang dimaksud Ruwaibidhah?”. Beliau menjawab, “Orang bodoh yang turut campur dalam urusan masyarakat luas.” (HR. Ibnu Majah)

Propaganda dan Standar Ganda Konflik Ukraina

Perang perang lagi, semakin menjadi. Berita ini hari, berita jerit pengungsi. Lidah anjing kerempeng, berdecak keras beringas. Melihat tulang belulang, serdadu boneka yang malang. Tuan, tolonglah tuan, perang dihentikan. Lihatlah di tanah yang basah, air mata bercampur darah…” (‘Puing II’, Iwan Fals)

Sudah dua pekan ini media nasional dan internasional banyak menyoroti Ukraina, apalagi setelah invasi militer Rusia ke Ukraina 12 hari lalu. Berbagai macam informasi pun mengalir melalui beragam media. Berita, video dan gambar pun tersebar, dimana tidak sedikit di antaranya yang ternyata hoax. Konflik Rusia – Ukraina memang menjadi medan proxy war, berbagai macam propaganda dilakukan oleh kedua belah pihak. Di masyarakat dunia pada umumnya, simpati atas Ukraina begitu besar, apalagi ditambah sosok Presiden Ukraina, Volodymyr Zelensky, yang digambarkan begitu berani, heroik, dan merakyat. Dalam hal membentuk opini publik, Rusia tampaknya masih kalah dibandingkan ‘Barat’ yang memiliki daya dukung luar biasa terhadap arus informasi dan pembentukan opini dunia.

Blok Barat dengan Blok Timur semestinya sudah tidak ada lagi setelah berakhirnya perang dingin antara keduanya yang ditandai dengan bersatunya Jerman Barat dan Jerman Timur dan runtuhnya Uni Soviet sebagai pemimpin Blok Timur. Namun nyatanya, konflik Rusia – Ukraina kali ini –setelah sebelumnya juga terjadi sewindu yang lalu—tidak lepas dari keterlibatan NATO (North Atlantic Treaty Organization) atau Pakta Pertahanan Atlantik Utara. NATO adalah organisasi aliansi militer antar negara yang dibuat negara-negara Blok Barat pada 1949. Sekitar 6 tahun kemudian, negara-negara Blok Timur mendirikan Pakta Warsawa untuk menghadapi kemungkinan ancaman dari aliansi NATO. Ketika Pakta Warsawa dibubarkan pada 1991, NATO tetap eksis bahkan terlibat dalam berbagai perang terbuka, misalnya dalam Perang Bosnia, Invasi Militer ke Afghanistan, hingga Perang di Libya. Padahal selama masa perang dingin, NATO tidak terlibat dalam perang terbuka.

Tak heran, Rusia yang (dipersepsikan) menyerang Ukraina, masih mendapat dukungan dari negara lain. Beberapa di antaranya adalah sekutu Rusia seperti Belarusia, Venezuela, Korea Selatan, dan Myanmar. Namun beberapa di antaranya yang lain adalah ‘korban’ Blok Barat semisal Iran dan Suriah. Bagaimana dengan Indonesia? Secara politis, Indonesia termasuk 1 dari 141 negara pendukung resolusi yang mengecam agresi Rusia ke Ukraina. Namun dengan tidak menyampaikan kata ‘invasi’ ataupun ‘Rusia’ dalam pernyataannya, Indonesia relatif masih berhati-hati dengan mengedepankan isu kemanusiaan dan keamanan. Namun cengkraman Blok Barat sepertinya masih sedemikian kuat sehingga Indonesia dengan politik bebas aktifnya malah mendukung salah satu pilihan dan bukannya abstain, apalagi mengingat intervensi Barat ke Ukraina seperti halnya intervensi Barat dalam lepasnya Timor Timur.

Sementara itu, netizen Indonesia malah tidak banyak yang pro Barat. Bagaimanapun, isu agama (Islam) dan isu ‘anti-Barat’ cukup sukses diangkat. Belum lagi kedekatan Indonesia dengan Rusia dan Cina, secara sejarah ataupun aktual. Netizen Indonesia ‘kanan’ ataupun ‘kiri’ yang biasanya berseberangan, dalam hal ini mendapati kesimpulan yang sama pun alasannya berbeda. Ditambah lagi standar ganda yang dilakukan Amerika dan sekutunya dalam menyikapi konflik Rusia-Ukraina ini menjadi tambahan amunisi untuk memposisikan ‘kejahatan’ Barat. Penerapan standar ganda inilah yang akhirnya menjadi anti-propaganda.

Seorang Osama bin Laden yang dianggap sebagai dalang peristiwa 11 September 2001 dijadikan alasan bagi Amerika dan sekutunya untuk menyerang Afghanistan. Terlepas dari berbagai teori konspirasi seputar peristiwa 9/11, Osama bukanlah pribadi yang mewakili negara, apakah layak negaranya dibombardir? Sementara ada negara yang berulang kali menyerang negara lain, namun jangankan dibombardir, negara tersebut bahkan dielu-elukan layaknya pahlawan. Bayangkan saja seandainya Indonesia kena sanksi internasional atas aksi Reynhard Sinaga yang telah memperkosa ratusan pria di Inggris. Atau bagaimana operasi militer Amerika di Irak selama bertahun-tahun hanya karena ‘dugaan’ adanya senjata pemusnah massal, sementara negara-negara yang terbukti memiliki ratusan bahkan ribuan senjata nuklir aman-aman saja. Bahkan untuk menggertak Rusia, NATO ‘meminjam tangan’ Ukraina. Atau bagaimana Rusia diberikan berbagai sanksi ekonomi dan sosial terkait invasi ke Ukraina, sementara tak ada sanksi apapun bagi Amerika menginvasi banyak negara lain, ataupun Israel yang menginvasi Palestina. Sementara dalam perspektif Rusia, yang dilakukannya hanyalah menerima kembali wilayah yang pernah dilepas karena ingin kembali bergabung, menindak tegas bekas wilayah jajahan yang mengingkari kesepakatan, dan mempertahankan wilayahnya dari campur tangan pihak asing yang bahkan sampai mendirikan pangkalan militer dilengkapi dengan berbagai persenjataan di perbatasan negaranya. Ditambah bumbu-bumbu lain seperti jalur minyak dan gas di Ukraina.

Hanya saja argumentasi ‘standar ganda’ ini tidak popular ketika dibawa ke media internasional, dimana propaganda Barat sudah begitu lekat. Klaim tentang ‘standar ganda’ ini memang tidak lantas membenarkan peperangan dan tragedi kemanusiaan yang terjadi. Belum lagi ada perspektif isu berbeda yang dimunculkan antara perang di Timur Tengah (dan Afrika) dengan perang di Eropa. Ditambah lagi, ‘kejahatan’ Amerika sudah jadi rahasia umum yang tidak bisa diapa-apakan. Amerika ibarat anak Kepala Sekolah yang suka mem-bully temannya. Tidak ada siswa yang berani melaporkan, dilaporkan pun tidak ada guru yang berani bertindak. Mengangkat argumentasi ini hanya akan berujung pada perdebatan diskriminatif kontraprduktif yang akan jauh keluar dari konteks win-win solution.

Pada akhirnya, tidak mengambil keputusan atas sesuatu yang belum benar-benar diketahui bisa jadi merupakan langkah bijak. Bukan berarti menutup mata atas tragedi kemanusiaan yang terjadi, namun tidak perlu sok tahu, sok pahlawan, dan terjun lebih dalam di pusaran konflik. Bersiap akan kemungkinan terburuk akan jauh lebih baik dibandingkan turut memperburuk keadaan. Sudah cukup banyak ‘provokator’ dan ‘sengkuni’ dalam berbagai konflik bersenjata di penjuru dunia ini. Bagaimanapun, industri pertahanan perlu konsumen, sebagaimana industri kesehatan dan farmasi butuh penyakit. Lebih baik bersiap untuk beradaptasi ‘new normal’, tidak terjebak pada isu propaganda, apalagi sampai menerapkan standar ganda. Tetap optimis bahwa dunia akan kembali aman dan damai. Tapi mungkinkah keamanan dan kedamaian dapat dicapai dengan konflik dan peperangan? Wallahu a’lam

…Perang perang lagi, mungkinkah berhenti. Bila setiap negara, berlomba dekap senjata. Dengan nafsu yang makin menggila, nuklir pun tercipta (nuklir bagai dewa). Tampaknya sang jenderal bangga, di mimbar dia berkata: Untuk perdamaian (bohong), demi perdamaian (bohong), guna perdamaian (bohong), dalih perdamaian (bohong). Mana mungkin, bisa terwujudkan. Semua hanya alasan, semua hanya bohong besar” (‘Puing II’, Iwan Fals)

Coretan Dinding Zaman Now

Coretan dinding membuat resah, resah hati pencoret mungkin ingin tampil
Tapi lebih resah pembaca coretannya, sebab coretan dinding adalah pemberontakan kucing hitam yang terpojok di tiap tempat sampah, di tiap kota
Cakarnya siap dengan kuku kuku tajam, matanya menyala mengawasi gerak musuhnya
Musuhnya adalah penindas, yang menganggap remeh coretan dinding kota
Coretan dinding terpojok di tempat sampah, kucing hitam dan penindas sama-sama resah

(‘Coretan Dinding’, Iwan Fals)

Sudah sejak lama, coretan dinding menjadi sarana ekspresi. Sejak dini bahkan sudah lumrah, anak kecil mengungkapkan ekspresinya lewat coret-coretan di dinding, sekaligus melatih perkembangan motorik halusnya. Atau jika kita lihat perjalanan sejarah, coretan dinding ini sudah ada sejak zaman kuno, seperti di masa Mesir kuno, Yunani kuno, ataupun Romawi kuno. Toilet umum seringkali menjadi tempat paling favorit bagi coretan-coretan dinding. Motifnya mulai dari iseng, menyalurkan kreativitas, hingga sarana promosi dan curhat serius. Coretan-coretan seperti ini juga banyak kita temui di belakang truk yang kerapkali menjadi semacam ‘hiburan’ dalam perjalanan.

Namun coretan dinding tidaklah selamanya menghibur, apalagi jika kontennya berisi kritik sosial. Berbeda dengan pujian dan sanjungan yang kerap melenakan, yang namanya kritik, biasanya menyinggung dan mengusik. Apalagi dilakukan di ruang publik. Dan coretan dinding ini hanyalah potret masalah, bukan sejenis makalah ilmiah yang bisa memberikan rekomendasi untuk pemecahan masalah. Di saat ada yang menganggapnya sebagai kebebasan berekspresi, sebagian yang lain memandangnya sebagai kritik tanpa solusi, bahkan ada yang melihatnya sebagai vandalisme perusak reputasi.

Di berbagai negara, menandai atau mengecat properti tanpa izin dianggap oleh pemilik properti dan otoritas sipil sebagai perusakan dan vandalisme, yang merupakan kejahatan yang dapat dihukum. Memang ada juga coretan-coretan dinding yang berisi kode untuk menandai ‘wilayah kekuasaan’ misalnya, atau bahkan kode untuk mencuri dan melakukan perbuatan kriminal. Namun coretan dinding yang berisi kritik sosial ini ada di dimensi yang berbeda dengan vandalisme. Motifnya berbeda. Coretan dinding ini di satu sisi memperlihatkan aksi provokasi, di sisi lain justru memperlihatkan kondisi ketidakberdayaan.

Misalnya mural ‘TUHAN AKU LAPAR!!’ atau ‘DIPAKSA SEHAT DI NEGARA YANG SAKIT’ yang sempat viral dan sudah dihapus aparat, alih-alih terlihat sebagai coretan liar yang provokatif, justru memperlihatkan ekspresi ketidakberdayaan. Memang kurang tepat juga membandingkan coretan dinding zaman now dengan di era kemerdekaan dulu, situasi dan sasaran kritik sosialnya berbeda. Namun tetap menjadi ironi ketika ekspresi ketidakberdayaan lewat seni coretan dinding, disikapi dengan represif dan koersif. Mengebiri kemerdekaan berekspresi jelas menjadi kado yang tidak diharapkan di hari kemerdekaan Indonesia ke-76.

Kritik perlu disikapi secara kontemplatif. Bisa jadi penilaian orang lain ada benarnya, walaupun itu sesuatu tidak kita sukai. Boleh jadi kritiklah yang akan menyelamatkan di saat pujian justru menghancurkan. Tentu kita bukan mentolerir vandalisme dengan dalih kebebasan berekspresi, namun kritik sosial melalui mural atau grafiti bukanlah sesuatu yang harus disikapi secara represif dan berlebihan. Apalagi yang dikritik pernah berjanji tidak akan marah jika dikritik sekeras apapun. Pun nyatanya janji memang tidak selalu sesuai dengan kenyataan.

Sebagaimana coretan dinding anak kecil yang konstruktif bagi tumbuh kembang anak, coretan dinding berisi kritik sosial semestinya mampu disikapi dengan lebih bijak. Jeritan suara hati rakyat barangkali memang tidak menemukan kanal penyaluran selain ‘curhat’ di dinding. Seperti WC sekolah pun tidak jarang memuat curhatan para siswa. Kondisi ini juga akan sejalan dengan hukum aksi reaksi, ketika kebebasan berekspresi dibungkam, akan semakin banyak ekspresi yang akan muncul. Sikap antikritik hanya akan menyuburkan tumbuhnya kritik-kritik yang lain. Dinding mungkin tidak bisa berbicara, namun coretan dinding yang sarat makna kan terus bersuara. Dan menghapusnya hanya akan membuat semakin banyak ‘dinding’ yang bercerita.

Jika rakyat pergi ketika penguasa pidato,
kita harus hati-hati barangkali mereka putus asa
Kalau rakyat sembunyi dan berbisik-bisik ketika membicarakan masalahnya sendiri,
penguasa harus waspada dan belajar mendengar
Bila rakyat tidak berani mengeluh itu artinya sudah gawat
Dan bila omongan penguasa tidak boleh dibantah kebenaran pasti terancam
Apabila usul ditolak tanpa ditimbang, suara dibungkam, kritik dilarang tanpa alasan,
dituduh subversif dan mengganggu keamanan,
maka hanya ada satu kata: LAWAN!
(‘Peringatan’, Wiji Thukul)

Untuk Kita Renungkan

Kita mesti telanjang dan benar-benar bersih
Suci lahir dan di dalam batin
Tengoklah ke dalam sebelum bicara
Singkirkan debu yang masih melekat…

Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 2003 menetapkan 9 Desember sebagai Hari Antikorupsi Sedunia. Tema Hari Antikorupsi tahun ini adalah “Recover with Integrity to Build Forward Better”. Tema ini erat kaitannya dengan mitigasi korupsi dan pemulihan Covid-19, sesuatu yang menjadi ironi di Indonesia. Baru beberapa hari yang lalu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap Menteri Sosial, Juliari P. Batubara terkait korupsi Bantuan Sosial (Bansos) Covid-19. Ironisnya lagi, Wakil Bendahara Umum PDIP ini kerap terlibat aktif dalam kampanye antikorupsi. Dalam posternya sebagai Caleg DPR RI Dapil Jateng 1 pada Pemilu 2019 lalu, ditampilkan slogan besar “Korupsi dibabat pasti Indonesia Hebat!”. Dalam cuplikan wawancara setelah diangkat Jokowi sebagai Mensos akhir tahun lalu, Pak Juliari sempat mengatakan “…Jadi pengendalian korupsi itu ya diri sendiri, nggak ada orang lain. Inget lho, kalau kamu korupsi kasihan anak istrimu, kasihan anak suamimu. Mereka pasti keluar malu!”. Bahkan pada peringatan Hari Antikorupsi tahun ini beredar banyak spanduk yang memuat fotonya dengan tulisan “Membangun Kesadaran Seluruh Elemen Bangsa dalam Budaya Anti Korupsi: Kemensos RI Hadir Tanpa Korupsi Wujudkan Indonesia Sejahtera”. Gambaran lengkap pribadi tanpa integritas. Apa yang diucapkan berbeda dengan yang dilakukan. Masih ingat dengan slogan “Katakan Tidak! pada Korupsi” dimana tiga bintang utama iklan tersebut malah didakwa sebagai koruptor? Demikianlah politik pencitraan. Ringan dalam berkata, namun karena tak bersumber dari bersihnya jiwa, perilaku yang ditampilkan jadi jauh berbeda.

Anugrah dan bencana adalah kehendak-Nya
Kita mesti tabah menjalani
Hanya cam
buk kecil agar kita sadar
Adalah Dia diatas segalanya…

Dua pekan lalu, KPK menetapkan Menteri Kelautan dan Perikanan, Edhy Prabowo sebagai tersangka kasus korupsi ekspor benih lobster (benur). Pada peringatan Hari Antikorupsi tahun lalu, Pak Edhy sempat mengunggah cuitan di laman twitternya, “Korupsi adalah musuh utama yang harus kita perangi. Bersama-sama membangun komitmen KKP menjadi birokrat yang bersih dan melayani untuk mewujudkan masyarakat kelautan dan perikanan yang sejahtera. Selamat Hari Antikorupsi Sedunia!”. Lagi-lagi perkataan yang tidak sesuai dengan perbuatan. Entah sekadar tuntutan jabatan atau memang terlalu jumawa, kesudahan mereka yang berteriak lantang antikorupsi justru tidak sedikit yang berakhir di jeruji besi. Bisa jadi batas benci dan cinta memang sedemikian tipis. Bisa jadi pula manusia diuji dengan sisi terlemahnya. Yang pasti, semangat antikorupsi memang bukan sebatas kata dan narasi. Tetapi sikap aktif untuk tetap jujur dan amanah dalam menghadapi segala godaan dunia.

…Ini bukan hukuman hanya satu isyarat
Bahwa kit
a mesti banyak berbenah
Memang bila kita kaji lebih jauh
Dalam kekalutan, masih banyak tangan yang tega berbuat nista…

Tanpa bermaksud mengecilkan, jika ekspor benur adalah urusan bisnis, korupsi bansos Covid-19 adalah urusan hajat hidup orang banyak. Jahat sekali rasanya, mengambil hak mereka yang terdampak bencana. Tak heran wacana hukuman mati mengemuka sesuai Undang-undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) pasal 2. Dalam UU Tipikor disebutkan, hukuman mati bisa dijatuhkan jika korupsi dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak pidana korupsi. Pun sepertinya hukuman mati bagi koruptor hanyalah wacana. Mantan Bupati Nias, Binahati Benedictus Baeha yang pernah terlibat dalam kasus korupsi dana bantuan bencana tsunami Nias divonis 5 tahun penjara. Mantan Anggota DPRD Mataram, Muhir terjaring OTT Kejari Mataram terkait kasus pungli bencana alam divonis 2 tahun penjara. Korupsi penyediaan air bersih di wilayah bencana oleh para pejabat Kementerian PUPR dan korupsi rehab masjid di NTB oleh para ASN Kanwil Kemenag juga tidak ada yang dihukum mati. Jangankan hukuman mati untuk kasus korupsi, hukuman potong tangan tampaknya takkan terjadi di negara ini. Dan akhirnya, rakyatlah yang paling menderita.

Tuhan pasti telah memperhitungkan amal dan dosa yang kita perbuat
Kemanakah lagi kita ‘kan sembunyi, hanya kepada-Nya kita kembali
Tak ada yang bakal bisa menjawab
Mari hanya runduk sujud pada-Nya…

Dalam perspektif manusia, korupsi tidak dapat dibenarkan. Dalam perspektif Islam apalagi, korupsi adalah tindak kriminal yang masuk konteks suap (risywah), pencurian, penipuan, dan pengkhianatan. Harta hasil korupsi tidaklah berkah, do’a dan shadaqoh koruptor tidak diterima, dan korupsi bukan hanya menjadi penghalang untuk masuk surga, namun akan memberi penghinaan bagi pelakunya dan menyeretnya ke neraka. Dalam sebuah hadits yang panjang, Rasulullah SAW bersabda, “…Sesungguhnya saya mempekerjakan salah seorang di antara kalian untuk mengumpulkan zakat yang telah Allah kuasakan kepadaku, lantas ia datang dan mengatakan, “Ini hartamu dan ini hadiah yang diberikan kepadaku”. Kenapa dia tidak duduk-duduk saja di rumah ayahnya atau ibunya sampai hadiahnya datang kepadanya? Demi Allah, tidaklah salah seorang diantara kalian mengambil sesuatu yang bukan haknya, selain ia menjumpai Allah pada hari kiamat dengan memikul hak itu, aku tahu salah seorang di antara kalian menjumpai Allah dengan memikul unta yang mendengus, atau sapi yang melenguh, atau kambing yang mengembik…” (HR. Bukhari).

Kita mesti berjuang memerangi diri
Bercermin dan banyaklah bercermin
Tuhan ada dis
ini, di dalam jiwa ini
Berusahalah agar Dia tersenyum…

Dan akhirnya, biarkanlah hukum berjalan, bukan kuasa kita untuk memvonis dan menetapkan hukuman. Persoalannya sekarang, ini bukan tentang orang lain, tetapi ini tentang kita. Mengambil pelajaran memang lebih mudah dibandingkan bercermin. Padahal tidak ada jaminan kita benar-benar terbebas dari dosa korupsi. Dosa ini bisa dimulai dari perkara remeh seperti mencontek, plagiat, tidak jujur dalam mengisi presensi kehadiran, mengurangi timbangan, mengambil keuntungan secara tidak jujur, dan sebagainya. ‘Tidak korupsi’ butuh pembuktian, bukan sebatas omongan. Benteng kokohnya adalah keikhlashan, kesabaran, dan rasa syukur yang mendalam. Dan biasanya, korupsi tidaklah sendirian. Karenanya butuh lingkungan yang dapat berani menegur dan saling mengingatkan untuk menjaga idealisme antikorupsi. Dan jangan lupa, perkuat hubungan dengan Sang Pemilik Jiwa yang Maha Mengawasi Hamba-Nya. Semoga Allah SWT senantiasa memelihara kita dari aksi korupsi yang tercela. Selamat Hari Antikorupsi Sedunia!

“Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil, dan (janganlah) kamu membawa (urusan) hartamu itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian dari pada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.” (QS. Al Baqarah: 188)

*judul dan quote diambil dari lirik lagu “Untuk Kita Renungkan”, Ebiet G. Ade

Program Kartu Prakerja Buat (Si)Apa?

It’s a recession when your neighbor loses his job; it’s a depression when you lose yours.”
(Harry S. Truman)

Akhirnya, Pemerintah Indonesia resmi meluncurkan salah satu janji kampanye Jokowi yaitu Kartu Prakerja. Walaupun Menkeu Sri Mulyani sempat mengatakan ‘sakit perut’ mencari sumber anggaran Kartu Prakerja, seiring dengan wabah Covid-19, anggaran Kartu Prakerja naik dua kali lipat menjadi 20 triliun rupiah. Kemenko Perekonomian Darmin Nasution mengumumkan bahwa hingga penutupan pendataran tahap pertama pada 16 April 2020 lalu, tercatat jumlah pendaftar program Kartu Prakerja sebanyak 5.965.048 orang. Dari serangkaian verifikasi, sebanyak 2.078.026 orang dinyatakan lolos dan akan diseleksi menjadi 200 ribu peserta pelatihan gelombang pertama.

Sejak masa kampanye pilpres 2019, program Kartu Prakerja ini sudah menuai kontroversi, bahkan sempat dilaporkan ke Banwaslu. Jika tahun lalu ada mispersepsi tentang Kartu Prakerja dimana dikesankan pemerintah akan membiayai para pengangguran, kontroversi Kartu Prakerja tahun ini lebih kompleks lagi. Mulai dari konflik kepentingan, urgensi atau ketermendesakannya, prioritas peruntukan anggaran 5,6 triliun rupiah di tengan pandemi Covid-19, hingga teknis implementasi program Kartu Prakerja. Beragamnya kontroversi ini dapat dimaklumi, sebab ketika masa kampanye ‘barangnya’ belum ada, sehingga Kartu Prakerja barangkali masih diidentikkan dengan kartu-kartu ‘sakti’ Jokowi yang lain.

“Materi Kursus Mirip Konten Youtube”, demikian headline surat kabar harian Jawa Pos pada Jum’at, 17 April 2020 seraya menampilkan data beberapa pelatihan online program Kartu Prakerja, mitra penyedia pelatihan, dan nominal biayanya. Wajar saja jika publik mempertanyakan, sebab jika kursus yang diselenggarakan Kartu Prakerja berupa menonton video pelatihan, konten Youtube jauh lebih banyak, variatif, dan gratis. Sementara paket pelatihan dalam skema Kartu Prakerja dibandrol variatif mulai dari Rp. 168.000 hingga 1 juta rupiah. Memang biaya pelatihannya akan ditanggung pemerintah dengan skema Kartu Prakerja, namun itu artinya pemerintah ‘menyumbang’ anggaran senilai plafon harga pelatihan per orang dikali jumlah penerima kartu prakerja kepada para mitra platform pelatihan online. Sementara konten serupa bisa dipelajari di YouTube dengan gratis. Sementara beberapa perusahaan besar semisal Microsoft, Google, Oracle, Nikon, dan sebagainya justru menyediakan pelatihan online gratis di tengah wabah Covid-19 ini.

Kritik pun merembet ke conflict of interest, dimana Belva Devara, Staf Khusus Milenial Presiden Jokowi merupakan Pendiri dan CEO Ruangguru, salah satu mitra platform digital Kartu Prakerja. Padahal baru beberapa hari sebelumnya, Andi Taufan, Staf Khusus Milenial yang lain disoroti setelah surat dengan kop Sekretariat Kabinet kepada perangkat desa guna mendukung program yang dijalankan perusahaannya. Bhelva mengatakan bahwa proses pemilihan penyedia layanan Kartu Prakerja dilakukan oleh Manajemen Pelaksana Kartu Prakerja dan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, namun aroma konflik kepentingan tak terhindarkan.

Jika memperhatikan kondisi aktual pandemik Covid-19 saat ini, pertanyaan publik terhadap Kartu Prakerja lebih banyak lagi. Menteri Ketenagakerjaan, Ida Fauziyah mengatakan total ada 114.340 perusahaan yang telah terpukul oleh wabah Covid-19, dampaknya tercatat 1.943.916 tenaga kerja telah dirumahkan dan atau mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK). Itu yang tercatat, jumlah yang terdampak apalagi di sektor informal tentu lebih banyak lagi. Gagasan awal Kartu Prakerja untuk membekali para pengangguran dengan keterampilan vokasional untuk membantunya dalam mencari pekerjaan atau berwirausaha sudah baik. Namun gagasan baik tidaklah cukup, harus diperhatikan pula ketepatan waktu, ketepatan sasaran, dan keefektifan cara.

Banyak kalangan beranggapan bahwa Kartu Prakerja lebih tepat diimplementasikan dalam keadaan normal, dengan mekanisme melibatkan BLK dan LPK seperti yang sudah direncanakan sebelumnya. Karena pada saat pandemik seperti ini, yang dibutuhkan masyarakat adalah kebutuhan untuk dapat bertahan hidup day to day, sehingga pola bantuan sosial atau bantuan langsung tunai dinilai lebih relevan. Apalagi anggaran 20 triliun rupiah bukan jumlah yang sedikit. Dengan menghitung standar garis kemiskinan masyarakat Indonesia dari BPS per Maret 2019 sebesar Rp. 425.250 per kapita per bulan, maka anggaran Rp. 20 triliun bisa membantu lebih dari 15,6 juta orang selama 3 bulan. Pemerintah boleh saja berkelit sudah memiliki program bantuan langsung dengan anggaran yang jauh lebih besar, namun itu bukan berarti menjadikan Kartu Prakerja sebagai prioritas.

Belum lagi jika konsep Kartu Prakerja dikuliti lebih detail. Untuk mengakses pelatihan online, dibutuhkan modal berupa perangkat/ gawai, modem/ kuota internet dan jaringan yang stabil. Buat masyarakat yang benar-benar membutuhkan, modal tersebut kemungkinan lebih prioritas digunakan untuk survive dibandingkan ikut pelatihan online. Apalagi Kartu Prakerja diprioritaskan bagi mereka yang tidak mendapatkan bantuan sosial. Di tambah lagi, sebagian besar masyarakat marjinal memiliki keterbatasan fasilitas dan kemampuan dalam mengikuti pelatihan online. Akhirnya, penerima Kartu Prakerja semakin tidak tepat sasaran. Beberapa konten materi pelatihan juga tidak relevan dengan kondisi aktual, misalnya paket teknik melamar pekerjaan. Wong pekerja saja banyak yang dirumahkan dan di-PHK, apa gunanya belajar teknik melamat pekerjaan di saat lowongan kerja tidak tersedia. Atau paket pelatihan ojol yang tidak relevan di masa pandemi Covid-19,  dimana ojek online menjadi salah satu pekerjaan terdampak PSBB. Ada juga pelatihan vokasional yang sifatnya pratik bukan teori, misalnya pelatihan salon dan tata rias. Pembelajarannya tidak akan efektif jika hanya belajar online tanpa praktik.

Sebelum ada Kartu Prakerja, pelatihan vokasional untuk mengurangi pengangguran sudah lama dilakukan pemerintah melalui Balai Latihan Kerja (BLK). Di akhir tahun 2019, terdapat 303 BLK yang tersebar di seluruh Indonesia, dan Kemenaker menargetkan adanya 2.000 BLK komunitas di tahun 2020. Bahkan dua bulan lalu, Jokowi menjanjikan akan membangun 3.000 BLK komunitas di tahun 2020. Pelatihan vokasional ini biasanya diselenggarakan di lokasi BLK, dan bukan hanya gratis, peserta juga mendapatkan konsumsi dan uang transport. Ada juga yang di lokasi peserta. Sistemnya lebih banyak praktiknya daripada teori. Pelatihannya dipandu instruktur bersertifikasi dengan kurikulum mengacu pada Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) sehingga kualitas kompetensi lulusannya lebih dapat dipastikan, sertifikat bukan sekadar formalitas. Seleksi peserta pun bisa lebih tepat sasaran.

Dari berbagai argumentasi di atas, pelaksanaan Kartu Prakerja seharusnya tidak perlu dipaksakan jika pada akhirnya hanya sebatas menggugurkan janji, tidak efektif, dan tidak tepat sasaran. Jika tetap diteruskan dengan format online, akan lebih baik tetap melibatkan BLK dan LPK yang sudah berpengalaman mengisi pelatihan offline. Alih-alih menggandeng mitra platform digital, kondisi saat ini bisa menjadi momentum BLK dan LPK bertransformasi menjawab tantangan era digital. Beberapa softskills dan teori pelatihan vokasional bisa mulai diajarkan secara online. Namun pendalaman kompetensi keterampilan dan sikap sebaiknya tetap dengan praktik langsung. Agar kualitas lebih terjamin. Praktik pelatihan ini barangkali belum cocok dengan situasi wabah Covid-19 saat ini, karenanya sumberdaya yang ada memang sebaiknya diprioritaskan pada program-program yang langsung membantu masyarakat dalam menghadapi dan mengurangi risiko pandemi Covid-19.

Dan ketika ternyata tidak ada perubahan pola implementasi program Kartu Prakerja, barangkali publik akan semakin bertanya: program ini sebenarnya untuk apa dan untuk siapa? Masyarakat jelas bukan pihak yang paling diuntungkan sebab ada kebutuhan mendesak lainnya. Memang pelunasan janji ini akan memberikan manfaat dibanding dengan program dan kebijakan penanganan wabah Covid-19 lain yang lebih kontroversial. Yah, siapa tahu para narapidana yang telah dibebaskan bisa tertarik mengikuti pelatihan online daripada kembali melakukan aksi kriminal. Atau masyarakat yang masih bandel keluar rumah tanpa menghiraukan protokol penanganan Covid-19 bisa lebih produktif dengan program Kartu Prakerja. Yah, siapa tahu? Dan barangkali memang tidak ada yang tahu mengapa program trial and error ini harus segera diimplementasikan dengan melibatkan sejumlah pemangku kepentingan. Selain mereka, pihak yang paling diuntungkan dengan diluncurkannya program Kartu Prakerja ini.

Sungguh aku benci kepada seseorang yang aku lihat sedang menganggur, tidak mengerjakan amal dunia maupun amal akhirat.” (Ibnu Mas’ud)

Bukan (Cuma) Surah Al Ma’idah 51 (2/2)

Padahal momentum ini adalah momentum persatuan kaum muslimin. Tanpa sekat harakah, fikrah, atau golongan Islam tertentu. Polarisasinya semakin kuat: hizbullah atau hizbusysyaithan. “Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu
(QS. Al Ma’idah: 48).

Golongan kafir, munafik dan fasik ini memenuhi pikirannya bahwa aksi jutaan massa bukanlah aksi damai. Ada yang menyikapinya dengan menyebar isu terror, ada yang menggembosi dari dalam, ada pula yang melenggang tenang, toh tidak ada dampak langsung yang akan diterimanya. Padahal Islam jelas melarang umatnya melampaui batas dan berbuat kerusakan. “Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka rasul-rasul Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak diantara mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan dimuka bumi.” (QS. Al Ma’idah: 32).

Golongan ini akan cepat merespon berita yang sesuai dengan nafsu dan pemikiran mereka, pun dari sumber yang tidak bisa dipercaya sekalipun (misalnya situs islamnkridotcom). Lebih aman tak usah menanggapi mereka yang cuma mau eksis. “Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan yang haram. Jika mereka (orang Yahudi) datang kepadamu (untuk meminta putusan), maka putuskanlah (perkara itu) diantara mereka, atau berpalinglah dari mereka; jika kamu berpaling dari mereka maka mereka tidak akan memberi mudharat kepadamu sedikitpun. Dan jika kamu memutuskan perkara mereka, maka putuskanlah (perkara itu) diantara mereka dengan adil, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil.” (QS. Al Ma’idah: 42).

Ada lagi kaum muslim yang taat ulil amri harga mati sehingga mengharamkan demonstrasi. Sikap yang (sok) bijak tanpa melihat situasi dan kondisi. Menasehati dalam diam memang baik, namun memberikan pencerahan kepada masyarakat luas dapat lebih menyebarluaskan kebaikan. Karena itulah mereka yang mengharamkan demonstrasi menyampaikan pandangannya lewat media massa, bukannya konsisten menasehati dalam diam. Sensitif terhadap persoalan metode atau cara, tapi kehilangan sensitifitas terhadap konten isu yang diperjuangkan. “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Al Ma’idah: 87).

Sebenarnya yang diperjuangkan dalam aksi damai sangatlah beralasan dan sederhana. Bahwa hukum harus ditegakkan dengan jujur, adil dan tidak tebang pilih. Jangan sampai hanya tajam ke bawah tapi tumpul ke atas. Tidak ada isu SARA ataupun kebencian terhadap golongan tertentu, karena kemuliaan manusia sejatinya ditentukan oleh kadar ketakwaannya. “Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al Ma’idah: 8).

Anehnya, mereka yang mengharamkan demonstrasi dengan dalih tidak sesuai dengan Al Qur’an dan Al Hadits, justru melempem, tidak lantang menghadapi orang-orang yang menghina Allah SWT dan Rasul-Nya. “Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar.” (QS. Al Ma’idah:33).

Akhirnya, Aksi Damai yang dilatarbelakangi kasus Al Ma’idah 51 justru memberikan banyak hikmah, di antaranya adalah persatuan umat, kejelasan keberpihakan setiap muslim, hingga semakin banyaknya kajian tentang Al Qur’an. Al Ma’idah 51 hanyalah 1 dari 120 ayat di surah Al Ma’idah, hanyalah 1 dari 6326 ayat Al Qur’an. Surah Al Ma’idah disebut juga Al Uqud (perjanjian), semoga saja bisa menjadi pengingat bagi para pemimpin yang pernah berjanji ini dan itu kepada Allah SWT ataupun masyarakatnya, untuk segera menepati janji-janjinya. “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu…” (QS. Al Ma’idah: 1).

Di antara dampak dari aksi damai adalah munculnya berbagai isu dan informasi yang simpang siur. Umat Islam harus pandai memilih dan memilah, serta bersikap, tidak sekadar meneruskan informasi tanpa tanggung jawab. Berita yang ramai dan marak belum tentu benar, namun hati nurani tentu mampu membedakannya. “Tidak sama yang buruk dengan yang baik, meskipun banyaknya yang buruk itu menarik hatimu, maka bertakwalah kepada Allah hai orang-orang berakal, agar kamu mendapat keberuntungan” (QS. Al Ma’idah: 100).

Terakhir, kebenaran mutlak hanya ada di sisi Allah SWT. Tugas kita hanyalah terus mendekat kepada-Nya sehingga Allah senantiasa menganugerahkan hidayah dan keistiqomahan dalam setiap langkah kita. “Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu; tiadalah orang yang sesat itu akan memberi mudharat kepadamu apabila kamu telah mendapat petunjuk. Hanya kepada Allah kamu kembali semuanya, maka Dia akan menerangkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” (QS. Al Ma’idah:105). Apapun pilihan jalan perjuangan kita, semuanya akan dimintai pertanggungjawaban. Dan akhirnya hanya kepada Allah-lah segala sesuatu dikembalikan.

Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya), lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al Ma’idah 54)

Bukan (Cuma) Surah Al Ma’idah 51 (1/2)

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (QS. Al Ma’idah: 51)

Surah Al Ma’idah ayat 51 mendadak ‘terkenal’ akibat ulah petahana gubernur DKI yang mengutipnya sembarangan dalam lawatannya ke Kepulauan Seribu. Surah Al Ma’idah adalah surah ke-5 dalam Al Qur’an yang terdiri dari 120 ayat. Surah yang termasuk golongan surah Madaniyah ini dinamakan Al Ma’idah (hidangan) karena dalam ayat 112-115 memuat kisah pengikut Nabi Isa a.s. yang meminta beliau agar Allah SWT menurunkan hidangan dari langit. Dalam berbagai tempat di surah Al Ma’idah juga dijelaskan mengenai makanan halal, terutama hewan yang halal dimakan.

Bagi penulis, surah Al Ma’idah setidaknya mengingatkan akan dua hal. Pertama, di dalamnya memuat ayat Al Qur’an yang terakhir turun. “…Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu…” (QS. Al Ma’idah: 3). Pun ada riwayat lain yang menyampaikan bahwa ayat yang terakhir turun adalah Surah Al Baqarah ayat 278 – 282. Kedua, di dalamnya memuat rangkaian ayat yang kerap dibawakan para pendukung Negara Islam bahwa barang siapa yang tidak berhukum dengan hukum Allah mereka adalah orang kafir (ayat 44), zalim (ayat 45), dan fasik (ayat 47). “Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (QS. Al Ma’idah: 50).

Sebenarnya ada hal lain yang identik dengan surah Al Ma’idah, yaitu akan adanya generasi pengganti yang dicintai dan mencintai Allah SWT (QS. Al Ma’idah: 54), namun kehebohan surah Al Ma’idah ayat 51 yang disertai berbagai kajian akan ayat-ayat selanjutnya tentu juga akan mendapati ayat mengenai generasi pengganti tersebut. Jika dalam Al Ma’idah 51 memuat larangan tentang mengambil pemimpin dari kalangan non muslim, maka berkenaan dengan penistaan agama juga sudah diingatkan dalam QS. Al Ma’idah ayat 57: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil jadi pemimpinmu, orang-orang yang membuat agamamu jadi buah ejekan dan permainan”.

Lalu bagaimana untuk wilayah dengan penduduk mayoritas non muslim? Tentu ada pertimbangan manfaat dan mudharat tanpa harus mengorbankan izzah sebagai seorang muslim. Pertimbangan yang sama juga berlaku jika ternyata tidak ada seorang pun muslim yang kompeten sebagai pemimpin. Namun default-nya tetap jelas untuk memilih pemimpin seakidah kecuali untuk kondisi darurat. Yang kemudian menjadi ironi adalah loyalitas segelintir umat Islam terhadap pemimpin nonmuslim, membelanya mati-matian bahkan bila harus menyerang saudara seiman sekalipun. Mereka tsiqoh terhadap pemimpin nonmuslim namun berprasangka buruk kepada muslim lainnya. Mereka bukan hanya membenarkan segala kemungkaran yang dilakukan pemimpin nonmuslim tersebut, namun juga menghujat segala bentuk upaya perbaikan yang dilakukan kaum muslimin. Gelap mata dan gelap hati.

Maka kamu akan melihat orang-orang yang ada penyakit dalam hatinya (orang-orang munafik) bersegera mendekati mereka (Yahudi dan Nasrani), seraya berkata: “Kami takut akan mendapat bencana”. Mudah-mudahan Allah akan mendatangkan kemenangan (kepada Rasul-Nya), atau sesuatu keputusan dari sisi-Nya. Maka karena itu, mereka menjadi menyesal terhadap apa yang mereka rahasiakan dalam diri mereka.” (QS. Al Ma’idah 52).

Dalam hal ini, konteksnya bukan lagi benarkah petahana telah menista agama, apalagi sekadar ribut urusan kata ‘pakai’, namun ada cacat yang lebih fundamental. Al Wala wal Bara yang merupakan kaidah prinsip dalam akidah Islam telah tertukar posisinya. “Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan munkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu. Kamu melihat kebanyakan dari mereka tolong-menolong dengan orang-orang yang kafir (musyrik). Sesungguhnya amat buruklah apa yang mereka sediakan untuk diri mereka, yaitu kemurkaan Allah kepada mereka; dan mereka akan kekal dalam siksaan” (QS. Al Ma’idah: 79-80).

Munculnya loyalitas yang salah tempat ini tentu ada penyebabnya, mulai dari kesombongan, kedengkian, hingga kecintaan yang berlebihan terhadap dunia. Lebih jauh lagi, ketakutan pada nonmuslim ataupun takut kehilangan dunia dapat mendorong orang berilmu sekalipun untuk memutar balik ayat-ayat Allah SWT sekehendak nafsunya. “Karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. Dan janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit…” (QS. Al Ma’idah: 44). Itu yang berilmu, bisa dibayangkan betapa ‘buas’nya mereka yang tak berilmu.

Namun muslim golongan tersebut hanya sedikit kok, sayangnya mereka punya sumber daya sehingga terlihat banyak. Yang banyak adalah muslim yang ‘cari aman’, saya muslim tapi saya tidak perlu begini dan begitu. Muslim sok netral yang sebenarnya apatis. Ada yang diam-diam tak peduli, ada yang malah nyinyir. Mereka merasa pintar, bukan pintar merasa. Emangnya bukti cinta Islam harus lewat aksi? Emangnya demo ngaruh ke kebijakan? Bukannya kalau aksi njelek-jelekin Ah*k artinya sama aja gak bisa jaga mulut kayak Ah*k? Bukannya semakin banyak yang membicarakannya malah jadi kampanye gratis buat Ah*k? Bukannya Islam mengajarkan perdamaian dan mudah memaafkan? Emangnya yang di jalan pada teriak takbir tuh pasti shalat shubuhnya berjama’ah di masjid? Emangnya yang ikut aksi KTP-nya Jakarta? Dan berbagai pertanyaan nyinyir lainnya yang semakin gagal fokus. Mereka meman tidak menghalangi ataupun memusuhi, tapi tak jua turut berpartisipasi. Keterlibatan artinya keberpihakan, sementara mereka merasa ada di zona netral.

Mereka berkata: “Hai Musa, kami sekali sekali tidak akan memasukinya selama-lamanya, selagi mereka ada di dalamnya, karena itu pergilah kamu bersama Tuhanmu, dan berperanglah kamu berdua, sesungguhnya kami hanya duduk menanti disini saja”. Berkata Musa: “Ya Tuhanku, aku tidak menguasai kecuali diriku sendiri dan saudaraku. Sebab itu pisahkanlah antara kami dengan orang-orang yang fasik itu” (QS. Al Ma’idah: 25 – 26).

(bersambung)

Ketika Negara Mengais Recehan Uang Umat

“Bappenas Incar Zakat untuk Danai Pengentasan Kemiskinan”, begitu salah satu judul berita yang dimuat di CNN Indonesia (14/9). Eramuslim.com (15/9) bahkan memberi judul lebih provokatif: “Bangkrut, Jokowi Lirik Uang di Baznas Buat Dipakai”. Inti beritanya sih Menteri Perencanaan Pembangunan/ Kepala Bappenas, Bambang P.S. Brodjonegoro, menyatakan bahwa dana yang terhimpun di Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) dapat digunakan untuk memperkuat program pengentasan kemiskinan yang telah dibuat pemerintah. Masih sebatas rencana. Namun di tengah momentum ‘penghematan’ yang sedang dilakukan pemerintah di semua lini ditambah kebijakan tax amnesty yang dinilai belum optimal, wacana ini seakan bermakna pemerintah meminta dana zakat digunakan untuk membiayai program pengentasan kemiskinan pemerintah. Keliru kah?

Zakat memang bukan sekadar untuk membersihkan harta dan menyucikan jiwa, ada fungsi ekonomi dan sosial kemasyarakatan yang menyertainya, termasuk peran zakat dalam pengentasan kemiskinan. Sejalan dengan salah satu tujuan Negara: memajukan kesejahteraan umum. Tantangannya adalah pengelolaan zakat yang belum terpusat membuat sinergi dengan program pemerintah bertujuan serupa tidak mudah terwujud. Wacana pengelolaan zakat satu pintu bukan hal baru, apalagi setelah lahirnya UU Pengelolaan Zakat nomor 23 tahun 2011. Benturan pendapat pun terjadi antara pihak yang menjadikan zakat sebagai model kebijakan fiskal –yang menghendaki pemerintah sebagai operator dengan alasan utama optimalisasi potensi zakat—dengan model partisipatif yang menghendaki pemerintah cukup sebagai regulator, motivator dan pengayom lembaga zakat yang dibentuk masyarakat dengan pertimbangan utama pada aspek kepercayaan dan partisipasi masyarakat.

Faktor Trust dan Logika Terbalik
Apakah upaya pengentasan kemiskinan akan lebih efektif jika zakat yang terhimpun digunakan untuk membiayai program eksisting pemerintah? Jawabannya mungkin akan ada kesamaan dengan pertanyaan: apakah penghimpunan zakat akan lebih optimal jika dikelola oleh pemerintah? Pemerintah mungkin bisa membuat kebijakan yang mengikat dan memaksa, namun ada faktor trust yang turut menentukan keberhasilan implementasinya. Faktor trust ini yang menjelaskan mengapa sampai ada petisi tolak tax amnesty dan tagar #TolakBayarPajak pun sosialisasi tax amnesty banyak dilakukan. Ada yang tidak melakukan sesuatu karena tidak tahu, sebagian lagi karena tidak mampu, namun tidak sedikit karena tidak mau. Negara sejatinya adalah sebuah organisasi nonprofit super besar, dimana faktor trust menjadi hal penting dalam penyelenggaraannya.

Sekarang bagaimana jika pertanyaannya dibalik, apakah upaya pengentasan kemiskinan akan lebih efektif jika anggaran yang ada di pemerintah digunakan untuk membiayai program eksisting lembaga zakat? Menariknya, berbagai penelitian justru menunjukkan bahwa program pengentasan kemiskinan yang diinisiasi lembaga zakat lebih efektif dibandingkan program yang diinisiasi perusahaan ataupun pemerintah. Persentase masyarakat miskin yang terentaskan dari total penerima manfaat program lebih besar. Memang sampelnya lembaga zakat yang sudah establish seperti Dompet Dhuafa, PKPU atau Rumah Zakat. Dan memang secara total penerima manfaat tidak sebesar pemerintah yang support anggarannya juga jauh lebih besar. Namun hal ini memberi sinyal kuat bahwa lembaga zakat sudah nyata berkontribusi dalam mengentaskan kemiskinan, dan sudah selayaknya memperoleh dukungan pemerintah. Bukan malah sebaliknya. Dengan logika serupa, bukan tidak mungkin penghimpunan zakat justru akan lebih optimal jika dilakukan oleh masyarakat dengan memperoleh dukungan regulasi dan pengawasan dari pemerintah.

Sebenarnya, pengelolaan ZISWAF terpusat sebagaimana pengelolaan baitul maal pada masa kekhalifahan adalah lebih ideal. Namun Indonesia tidaklah dalam kondisi ideal. Ada banyak Pe-eR dan pembuktian yang terlebih dahulu perlu diselesaikan. Masih ingat kasus korupsi pengadaan Al Qur’an? Atau kasus korupsi dana haji? Sebelum zakat menjadi instrumen kebijakan keuangan negara, penyelenggara negara perlu memantapkan performanya sebagai clean government dengan menuntaskan berbagai kasus keuangan negara. Jangan sampai pengelolaan zakat justru terjerat birokrasi, budaya ABS, atau bahkan kepentingan politis. Membangun trust merupakan syarat harmonisasi saling menguntungkan.

Negara juga perlu memahami hakikatnya sebagai organisasi nonprofit. Bukan malah mendorong lembaga zakat berubah dari lembaga sosial keagamaan menjadi lembaga keuangan keagamaan. Tidak semua potensi perlu dikapitalisasi. Lihat saja bagaimana penolakan publik atas wacana pengelolaan umroh oleh pemerintah. Adalah paradoks mendapati organisasi nonprofit yang berorientasi bisnis. Sebagaimana amil zakat mengelola amanah muzakki, kepercayaan masyarakat akan terbangun dengan kerja yang amanah dan profesional. Bukan aji mumpung atau sekadar rebutan proyek. Jika pemerintah hanya berpikir profit, bisa-bisa ke depan kotak amal masjid juga wajib setor ke pemerintah. Sinergi itu bukan mengakuisisi. Berbagai program sektor ketiga yang menunjang ketercapaian cita-cita Negara adalah sinergi. Kebijakan pemerintah yang mendukung partisipasi masyarakat dalam mengatasi permasalahan bangsa juga merupakan sinergi. Sinergi adalah saling memperkuat, bukan memanfaatkan salah satu pihak. Dan problematika kemiskinan sebagai simpul terlemah bangsa ini takkan terurai tanpa peran serta aktif dan produktif dari setiap elemen bangsa. Zakat mungkin recehan, namun jika dikelola dengan baik, akan mencapai satu titik dimana amil akan kesulitan mencari mustahik. Karena masyarakat sudah sejahtera. Semoga saja akan terjadi di negeri ini, di masa mendatang…

Mewawas Diri Tuk Bangkit Berdikari

Indonesia tanah air beta, pusaka abadi nan jaya. Indonesia sejak dulu kala, tetap dipuja-puja bangsa.
Di sana tempat lahir beta. Dibuai, dibesarkan Bunda.
Tempat berlindung di hari tua, sampai akhir menutup mata…

Lagu ‘Indonesia Pusaka’ tetiba menggema di bulan ini sebagai salah satu lagu wajib nasional yang kerap mewarnai peringatan kemerdekaan Republik Indonesia. Lagu nasionalis yang sangat optimis. Ada euforia puja puji terhadap Indonesia di masa lalu. Ada keyakinan Indonesia tetap menjadi tempat yang nyaman dalam menghabiskan hari tua. 71 tahun mungkin bukan usia yang tua jika dibandingkan usia negara-negara lawas semisal USA, Portugal, ataupun Swiss. Tapi jika melihat Negara seperti Yugoslavia atau Cekoslowakia yang ‘wafat’ di usia 74 tahun tentu sudah sepantasnya Indonesia bersikap bijak tidak larut dalam kegembiraan yang tidak produktif. Ya, momentum dirgahayu semestinya bisa menjadi momen instrospeksi agar negeri ini bisa lebih wawas diri.

Indonesia lahir seumuran dengan Korea Selatan, hanya lebih lambat 2 hari. Namun akselerasi keduanya sangat jauh berbeda. Berdasarkan laporan UNDP, pada tahun 2015, Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index/ HDI) Korea Selatan sebesar 0.898 dan ada di peringkat 17 dunia. Indonesia masih berkutat di posisi 110 dunia dengan nilai 0.684, setara dengan Gabon yang juga merdeka pada 17 Agustus namun lebih muda 15 tahun dari Indonesia. Usia memang tidak lantas menunjukkan kualitas. Lihat saja Singapura yang ‘baru’ berusia 51 tahun namun sudah menjadi salah satu negara maju di dunia (HDI 0.912 – peringkat 11 dunia). Sementara Liberia yang sudah berusia 169 tahun masih termasuk negara tertinggal (HDI 0.430 – peringkat 177 dunia). Lalu, apa yang membedakan?

Sebagian orang berapologi dengan alasan titik awal perjalanan Negara. Padahal di awal masa kemerdekaan, Singapura tidak kalah sulitnya dengan Indonesia, bahkan mungkin lebih tragis. Dua pertiga penduduknya miskin dan tinggal di pemukiman kumuh. Air bersih sulit didapat, wabah malaria menyerang, sehingga mayat pun bergelimpangan. Pun demikian dengan Korea Selatan. Paska Perang Dunia II, Korea kembali mengalami kehancuran kedua akibat perang saudara (1950 – 1953). Kehidupan sosial, ekonomi dan politik hancur, puluhan juta warganya miskin dan kelaparan. Praktis pada tahun 1960-an, Indonesia jauh lebih maju dibandingkan Singapura ataupun Korea Selatan.

Ada pula yang menjadikan negara penjajah sebagai alasan. Konon Inggris lebih baik dari Belanda. Singapura berpisah dari Malaysia pada 9 Agustus 1965, Malaysia sendiri sebelumnya adalah jajahan Inggris. Hanya saja sering luput dari perhatian bahwa sekitar 90% negara di dunia pernah dijajah Inggris, termasuk Indonesia. Dan hingga saat ini tidak sedikit negara persemakmuran Inggris yang masih masuk kategori low human development, misalnya Sierra Leone, Afghanistan, Sudan, Malawi, Uganda, Lesotho, Papua Nugini, dan Pulau Solomon. Selain pernah dijajah Jepang, Korea Selatan pernah dijajah Perancis. Kanada adalah contoh bekas negara jajahan Perancis yang maju, namun jangan lupakan bekas negara jajahan Perancis di Afrika tengah dan barat misalnya Niger, Chad, Burkina Faso, Guinea, Pantai Gading dan Senegal yang termasuk negara-negara dengan HDI terendah. Artinya, mengkambinghitamkan penjajahan Belanda hanyalah sebuah bentuk sikap tidak berani bertanggung jawab.

Tidak sedikit pula pendapat lain yang lebih fair, bahwa secara umum ada tiga faktor yang menyebabkan Indonesia jadi jauh tertinggal oleh negara-negara yang pernah ada di level lebih rendah dari Indonesia. Ketiga faktor utama itu adalah fokus pembangunan, karakter warga, dan kepemimpinan. Fokus pembangunan ekonomi Singapura dan Korea Selatan diintegrasikan dengan investasi SDM melalui pembangunan pendidikan. Alhasil, kedua negara ini berhasil membentuk karakter warganya yang sejalan dengan visi pembangunan negara mereka. Ya, bukan hanya masuk jajaran negara dengan kualitas pendidikan terbaik di dunia, Singapura dan Korea Selatan berhasil menanamkan nilai kerja keras, disiplin, patuh aturan, peduli lingkungan dan tidak mau mengambil hak orang lain kepada seluruh warganya. Lingkungan yang kondusif tentu akan menopang percepatan pembangunan. Selain itu, kemajuan Singapura tak bisa dipisahkan dari sosok Lee Kwan Yew yang bertangan besi namun visioner. Mirip dengan sosok Park Chung Hee di Korea Selatan. Di Indonesia, pemimpin otoriter berkonotasi negatif, pemimpin demokratis adalah harga mati. Pun realitanya demokratis yang dimaksud cenderung plin plan dan tak punya sikap, sementara pemimpin yang kuat dan tegas langsung dicap diktator.

Jika disadari demikian, lantas mengapa Indonesia yang begitu potensial tak jua mampu mengungguli atau paling tidak menyamai negara-negara tersebut? Persoalannya memang kompleks namun akar masalahnya tidak jauh dari problem karakter dan mentalitas. Kurang sabar untuk konsisten, kurang konsisten untuk terus belajar, dan kurang belajar untuk bersabar. Hakikat dan tujuan pembangunan nasional sebenarnya sudah terintegrasi, hanya saja praktik pembangunannya masih parsial. Mengutamakan pembangunan fisik yang terlihat termasuk proyek mercusuar yang high cost dibandingkan pembangunan non fisik. Mendahulukan ketercapaian indikator (semu) ekonomi nasional di atas perhatian lebih pada sektor pendidikan dan kesehatan. Bahkan memprioritaskan pembangunan kota daripada desa, Jawa daripada luar Jawa, barat daripada timur Indonesia. Alih-alih keseimbangan, yang terjadi justru ketimpangan.

Tidak ada yang perlu dibanggakan dari usia 71 tahun jika mentalitasnya masih anak-anak. Bukan tidak mungkin 71 tahun yang terlewat sejatinya hanya 1 tahun yang berulang sebanyak 71 kali. Indonesia masih banyak PR, belum selesai dengan dirinya. Tidak hanya soal minimnya kualitas, kesenjangan sosial ataupun lemahnya supremasi hukum. Leadership dan followership juga masih menjadi tantangan besar. Belum lagi bicara tentang master plan bangsa. Namun dalam konteks wawas diri, setiap komponen bangsa harus introspeksi untuk kemudian memberikan kontribusi produktifnya, tanpa kecuali. Sadar peran, kewajiban dan tanggung jawabnya untuk selanjutnya bersinergi dalam meraih cita bersama.

Akhirnya, sesi kontemplasi ini harus diakhiri dengan keseimbangan antara kekhawatiran dan optimisme yang diikuti oleh aksi nyata perbaikan. Kekhawatiran akan masa depan bangsa menjadi suplemen agar bangsa ini tidak terlena dan tertidur. Bukan tidak mungkin Indonesia tinggal sejarah, toh Negara Adidaya Uni Sovyet pun runtuh. Bukan tidak mungkin Indonesia bangkrut, toh ekonomi Yunani yang peradabannya sudah puluhan abad pun bisa koleps. Namun optimisme akan kebangkitan Indonesia sebagai kekuatan regional dan global juga perlu terus dipupuk sebagai pembakar motivasi. Negeri ini kaya potensi dan sumber daya, tak ada alasan tak bisa mengejar ketertinggalan. Jika usia bukan faktor penentu kemajuan suatu negara, maka kontribusi nyata yang akan membedakannya. Dan jika sisa usia merupakan Rahasia-Nya, mengisinya dengan kerja, prestasi dan karya tuk mencapai cita bersama tentu menjadi hal yang utama. Indonesia Bangkit Berdikari, Insya Allah…

Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri” (Soekarno)