Category Archives: Organisasi

Siapa Berani Ambil Tangung Jawab?

There are risks and costs to action. But they are far less than the long-range risks of comfortable inaction” (John F. Kennedy)

Beberapa waktu lalu saya membaca manga tentang sepakbola berjudul ‘Blue Lock’ yang menceritakan upaya Asosiasi Sepakbola Jepang (JFA) dalam mencetak striker haus gol. Berbeda dengan manga bergenre olahraga lainnya yang banyak menonjolkan tentang kerja sama tim, ‘blue lock’ justru mengajarkan bahwa striker sejati harus memiliki ego yang tinggi untuk mencetak gol. Kualitas seorang striker ditentukan oleh jumlah gol yang bisa dicetaknya, sepragmatis itu. Ketidakberanian menembak ke arah gawang ketika ada ruang tembak, dan memilih untuk mengoper ke rekan dianggap sebagai bentuk kelemahan. Cari aman. Jika rekannya bisa mencetak gol, dia akan dipuji karena tidak egois. Ketika gagal berbuah gol, dia tidak disalahkan. Padahal bentuk ketidakegoisan seorang striker adalah dengan keberanian mengambil peluang (sekaligus risiko) untuk terus mencetak gol. Dan rekan setimnya harus memahami posisi itu.

Dalam realitanya, memang banyak didapati sikap egois yang dimiliki para pemain bintang di posisi penyerang. Mulai dari menolak untuk diganti, memilih menembak bola ke gawang dibandingkan mengoper, memarahi rekan setim yang tidak memberinya bola, mengambil alih tendangan set piece, hingga tidak membantu pertahanan. Sikap malas ataupun kebanyakan gaya tidak masuk hitungan, sebab konteksnya adalah sikap yang menunjukkan ego tinggi dalam memperbesar peluang mencetak gol. Dan ego itulah yang menunjukkan gairah dan semangat untuk terus menjadi yang terbaik. Pentingnya kolektivitas tim dalam permainan sepakbola adalah satu hal, namun melihat sosok pemain yang tidak pernah puas dalam melampaui rekor demi rekor adalah sesuatu yang lain. Butuh ego, ‘keserakahan’, dan keberanian untuk dapat melakukannya.

Dalam konteks organisasi yang lebih luas, konteks ego yang seperti ini juga diperlukan oleh sosok pemimpin. Sebagai ‘ujung tombak’ suatu organisasi, pemimpin diharapkan berani mengambil tanggung jawab, bukan lantas melemparnya ke orang lain. Memang ada yang namanya mendelegasikan dan memberikan kepercayaan pada orang lain, namun itu berbeda dengan lempar tanggung jawab. Sosok pemimpin harus berani mengambil keputusan yang paling tidak populer sekalipun jika memang itu keputusan yang perlu diambil. Dan pemimpin sejati akan berdiri paling depan dalam mempertanggungjawabkan keputusannya. Keputusan yang diambil karena pemahaman dan kesadaran yang utuh. Keputusan yang bisa jadi penuh dengan risiko.

Keberanian untuk mengambil risiko menjadi modal penting untuk menjadi pemimpin. Kebijakan yang diambil bisa jadi tidak menyenangkan semua orang, bagaimanapun keputusan tetap harus dilakukan. Tidak malah menggantung sikap hanya karena ketidakberanian dalam menghadapi risiko kepemimpinan. Apalagi melarikan diri dari tanggung jawab dengan dalih apapun. Atau lepas tanggung jawab dengan alasan apapun. Menjadikan orang lain sebagai ‘tameng’ atas pilihan sikap juga tidak menunjukkan kebesaran jiwa seorang pemimpin. Termasuk memilih untuk tidak bersikap. Menunggu arah angin berhembus. Pragmatis dan oportunis.

Keputusan yang diambil belum tentu tepat, namun berani mengambil tanggung jawab atas sebuah keputusan yang diambil melalui pertimbangan yang mendalam akan jauh lebih baik dibandingkan ‘cuci tangan’ atas keputusan yang belum tentu salah. Cari aman. Seakan anggota organisasi tidak dapat menilai modus tersebut. Padahal setiap kebijakan akan ada konsekuensinya, dan setiap pilihan akan ada risikonya. Para pemimpin sejati memiliki keberanian dalam menghadapi konsekuensi dan risiko tersebut, sebab berani memimpin berarti berani untuk menderita. Leiden is lijden. Terus menjadi sorotan apapun sikap yang dipilih. Bahkan senantiasa dikritisi.

The biggest risk is not taking any risk”, demikian ungkap Mark Zuckerberg. Harus ada yang ambil risiko shooting ke gawang walaupun belum tentu gol, sebab saling oper –secantik apapun—takkan berbuah kemenangan. Tidak cukup hanya bermain aman untuk meraih kemenangan. Harus ada yang mengambil risiko kepemimpinan sepelik apapun kondisinya agar arah perubahan lebih terang benderang. Jika kualitas striker dihitung dari jumlah golnya, maka kualitas seorang pemimpin dinilai dari seberapa besar keputusan yang diambilnya mampu memberikan kebermanfaatan bagi orang lain. Dan jalan perjuangan seorang pemimpin selalu menuntut keberanian dalam mengambil tanggung jawab. Bukan mencari berjuta pembenaran untuk lari dari tanggung jawab.

Leadership is taking responsibility while others are making excuses” (John C. Maxwell)

Niat Baik, Prasangka, dan Komunikasi

Kadangkala kita sendiri yang merusak jalan cerita. Yang sudah berjalan baik, tidak ada masalah, kita rusak karena tidak sabar, prasangka, terlalu sensitif dan sebagainya.” (Tere Liye)

Neng Salma bingung, Kang Dede suaminya menyampaikan bahwa tahun ini mereka tidak bisa memberikan santunan anak yatim dikarenakan pandemi Covid-19. Sementara Neng Salma sudah terlanjur menjanjikan kepada pihak panti asuhan bahwa tahun ini santunan tetap diberikan walaupun harus memperhatikan prosedur kesehatan. Dan tidak seperti biasanya, suasana hangat yang menyertai rumah tangga Kang Dede tiba-tiba menjadi dingin.

Akang, pokoknya santunan anak yatim harus tetap jadi! Eneng kan udah bilang ke Kang Mus yang dampingi anak-anak…”, ujar Neng Salma. “Bukannya Akang ga mau, tapi kan kondisi emang lagi begini. Lagian salah sendiri Eneng udah bilang duluan. Kang Mus juga pasti ngertiin kok…”, timpal Kang Dede. “Lho, bukannya pas puasa kemarin Akang dapat proyek besar, emangnya uangnya udah habis?”, tanya Neng Salma. “Neng, kebutuhan sekarang lagi pada naik. Banyak masyarakat yang butuh dibantu…”, jawab Kang Dede. “Ntuh Mpok Dona yang biasanya kasih sedekah, kemarin datang malah minta dibantu karena bisnis travelnya lagi ngap-ngapan gegara corona… Karyawan Akang juga harus dites Covid dan disiapkan APD sesuai peraturan, dan itu butuh dana…”, lanjut Kang Dede.

Dengan muka ditekuk, Neng Salma menimpali, “Kalo Akang ga mau bantu kasih santunan, biar Eneng cari sendiri deh uangnya… Lagian banyak orang kok yang mau bantu… Ngerti kalo sedekah tuh membuka pintu rejeki…”. “Dibilang bukannya Akang ga mau tapi emang uangnya ga ada… Ya udah kalo mo cari uang sendiri silakan…”, balas Kang Dede seraya menggerutu. “Ya udah, Eneng cari dana sendiri, ga usah bawa-bawa nama Akang!”, sambut Neng Salma. “Lho, gimana ga bawa-bawa Akang? Orang juga taunya Eneng istri Akang. Lagian rekening buat santuan kan selama ini pake nama Akang…”, Kang Dede menanggapi. “Ya udah, Eneng tinggal bikin rekening sendiri…”, serobot Neng Salma. “Terserah kamu aja!”, tegas Kang Dede seraya pergi tak ingin melanjutkan perdebatan. “Lho kok terserah?! Dasar nggak bertanggung jawab!!”, balas Neng Salma tak kalah sengit. Suasanapun menjadi hening…

* * *

Dasar istri tidak pengertian… Kondisi ekonomi kayak gini kok masih maksa kasih santunan… Buat makan aja susah… Mana segala kasih janji ga tanya-tanya dulu… Selama ini uangnya emang darimana, ga pernah pusing nyari duit sih… Biarin aja, emangnya gampang cari duit… Dibilangin cuma ngelawan, apa perlu cari yang lain aja ya…”, batin Kang Dede.

Dasar suami ga bertanggung jawab… Mau dibantuin jaga reputasi malah marah-marah… Emangnya Eneng ga tau uang proyeknya dipake buat apa… Lagian sok kaya utang dimana-mana… Makanya harus banyak sedekah biar rejekinya berkah… Liat aja, banyak kok yang mau bantuin. Dimana ada kemauan pasti ada jalan… Hmm, atau jangan-jangan Akang udah ga sayang Eneng ya…”, batin Neng Salma.

* * *

Sementara itu di dunia paralel…

Akang minta maaf ya Neng, sepertinya tahun ini kita ga bisa kasih santuan ke binaannya Kang Mus kayak tahun-tahun sebelumnya…”, ujar Kang Dede kepada istrinya selepas makan malam. “Kenapa Kang?”, tanya Neng Salma. “Anggarannya ga cukup. Pengeluarannya lagi banyak karena Covid dan ada beberapa prioritas lain”, jawab Kang Dede. “Oh gitu, semoga Allah memberikan kita rezeki yang berkah. Kalo Eneng bantu cari donatur gimana, Kang?”, tanya Neng Salma. “Boleh aja. Tapi ga malah ngerepotin Eneng?”, Kang Dede bertanya balik. “InsyaAllah nggak, Kang. Kalo niatnya membantu orang, pasti Allah membantu kita. Orang-orang juga pasti bantu. Nanti seberapa terkumpulnya aja disalurkan, Kang Mus pasti paham kondisinya lagi begini. Kasihan juga anak-anak kalo ga dikasih santunan, mereka juga pasti membutuhkan…”, jelas Neng Salma. “Iya, alhamdulillah, Akang senang punya istri yang pengertian kayak Eneng. Akang paling cuma bisa bantu untuk transport dan beberapa bingkisan…”, jawab Kang Dede. “Iya Akang, terima kasih udah bersedia bantu. Sekalian izin pake nomor rekening Akang ya buat penghimpunan donasi. Semoga rezeki Akang semakin lancar…”, ujar Eneng. “Terima kasih, Eneng sayang…”, balas Kang Dede seraya memeluk istrinya.

Sementara itu di tempat lain, seseorang berjubah hitam tampak menggerutu. “Haduh, itu kok rumah tangga Kang Dede masih adem ayem aja… Padahal saya udah ngomporin Neng Salma dengan informasi yang berbeda dengan yang saya sampaikan ke Kang Dede… Kalo mereka sampai cekcok kan saya bisa ambil kesempatan… Harus pake strategi lain nih…”, gumam orang itu.

Komunikasi adalah kunci untuk membuka hubungan (apapun). Lantas kepercayaan adalah kunci penggenapnya agar awet dan langgeng…” (Tere Liye)

Sekilas tentang Community Development

Community Development Programs adalah program pengembangan masyarakat yang bertujuan membangun kemandirian, mengembangkan kapasitas dan mengintegrasikan masyarakat untuk membangun sendiri lingkungannya. Kegiatan ini umumnya berorientasi kepada proses dimana dikembangkan perluasan dan pemeliharaan sistem yang bertujuan untuk memapankan relasi kerjasama antar kelompok dalam suatu komunitas, menciptakan struktur pemecahan masalah komunitas yang terpelihara secara baik dalam atau oleh komunitas tersebut, menstimulasi masyarakat agar mempunyai minat & partisipasi luas terhadap isu-isu komunitas, mengembangkan sikap & perilaku suka bekerjasama & meningkatkan peranan kepemimpinan yang berasal dari komunitasnya.

Komunitas yang digarap biasanya masih berbentuk tradisional statis, dimana terjadi kemurungan dalam masyarakat & ketertutupan dari masyarakat luas. Kondisi di komunitas tersebut umumnya terjadi kesenjangan antara harapan dengan kenyataan relasi & kapasitas dalam memecahkan masalah secara demokratis. Stategi dasar yang dapat diterapkan adalah pelibatan sebanyak mungkin (kelompok) masyarakat dalam menentukan & memecahkan masalah mereka sendiri (self help) dan kooperatif berdasarkan kemauan dan kemampuan. Teknik perubahannya dengan konsensus, diskusi kelompok dan komunikasi antar kelompok & komunitas.

Adapun peran dari community worker (CW) adalah sebagai pemercepat perubahan (enabler-katalis) yang akan mengartikulasikan kebutuhan, mengidentifikasi masalah dan mengembangkan kapasitas masyarakat agar dapat menghadapi masalah dengan lebih efektif. Fungsinya adalah untuk membantu masyarakat menyadari dan melihat kondisi mereka, mengembangkan dan membangkitkan organisasi dalam masyarakat, mengembangkan relasi interpersonal yang baik dan memfasilitasi perencanaan yang efektif. Selain itu, community worker juga berperan sebagai perantara (broker) untuk menghubungkan individu / kelompok dalam masyarakat yang membutuhkan bantuan dengan pihak/ yayasan yang mengadakan layanan masyarakat. Selain itu, CW juga berperan sebagai koordinator dan edukator/ pendidik.

Karena peran berat yang harus dijalankan itulah seharusnya setiap CW dibekali dengan kemampuan khusus, setidaknya kemampuan komunikasi, problem solving & decision making, riset, dinamika kelompok, manajemen, administratif, dan lain sebagainya. Pendekatan yang dilakukan untuk pencapaian tujuan disesuaikan dengan kondisi masyarakat. Umumnya, dilakukan upaya pendekatan kepada tokoh-tokoh masyarakat guna memperoleh kepercayaan, dilanjutkan dengan kegiatan yang keuntungannya dapat langsung dirasakan oleh masyarakat, barulah memberikan pemahaman-pemahaman lebih yang pada akhirnya dapat menyadarkan masyarakat bahwa merekalah yang dapat menyelesaikan masalah mereka sendiri.

Pendekatan direktif dapat dilakukan pada masyarakat yang pasif dengan CW yang sudah cukup tahu kebutuhan masyarakat. Namun pendekatan ini potensial menciptakan ketergantungan masyarakat terhadap CW, sehingga pendekatan yang banyak digunakan adalah pendekatan partisipatif dimana masyarakat turut dilibatkan dalam menentukan treatment yang sesuai bagi mereka. Pendekatan terakhir banyak memberikan keuntungan namun tetap harus dijaga ritmenya sehingga masyarakat tidak merasa terpaksa dan kontrolpun harus tetap dijalankan. Adapun tahapan intervensi komunitas dimulai dari persiapan, assessment, perencanaan alternatif program, pemformulasian rencana aksi, implementasi, evaluasi & pengawasan dan terakhir terminasi/ pemutusan. Masyarakat dapat dilibatkan tidak hanya dalam pelaksanaan tetapi juga dalam perencanaan.

Untuk optimalisasi pencapaian tujuan dibutuhkan ketersediaan kader, yaitu orang-orang yang berasal dari masyarakat yang dengan sukarela (ada kesadaran diri) bersedia ikut serta dalam pelaksanaan. Kader bertugas menjadi pelopor dalam melaksanakan kegiatan, pelaksana dan pemelihara kegiatan, menjaga keberlangsungan kegiatan dan membantu menghubungkan antara warga masyarakat dengan lembaga-lembaga yang terkait. Adapun kendala yang biasa dihadapi dalam proses pengambangan masyarakat dapat berasal dari kepribadian individu (homeostatis, kebiasaan, primacy, seleksi persepsi, ketergantungan, superego, minder, dsb) maupun dari sistem sosial (norma, kultur tertentu, kelompok kepentingan, keyakinan, penolakan intervensi, dsb).

*tulisan kala masih mengelola YDBI 13 tahun lalu

Kamp Candradimuka Kepemimpinan di Solo

Candradimuka itu adalah romantika kepemimpinan muda penuh keberanian di Solo. Saat itu keduanya masih berusia 22 tahun. Yang satu adalah Komandan Wehrkreise I Brigade V/ Penembahan Senopati, yang satunya Pimpinan Detasemen TP Brigade XVII/ Sub-Wehrkreise 106 Arjuna. Letkol Slamet Riyadi dan Mayor Achmadi, adalah dua tokoh utama dalam Serangan Umum empat hari di Solo, 7 – 10 Agustus 1949. Keduanya memimpin ribuan tentara pelajar yang dengan gagah berani melancarkan serangan ‘perpisahan’ sebelum gencatan senjata 11 Agustus 1949. Pun mungkin kurang dikenang dalam sejarah, serangan ini berhasil memperkuat posisi tawar politik perjuangan delegasi RI di Konferensi Meja Bundar (KMB) sehingga tercapai kembali kedaulatan RI pada 27 Desember 1949.

Candradimuka itu adalah manifestasi kepemimpinan yang mengayomi dan dicintai. Ikatan Ahli Perencanaan (IAP) telah melakukan survey di 19 provinsi dan 26 kota di Indonesia sepanjang 2017. Hasilnya, Solo dinobatkan sebagai kota paling nyaman dan layak huni di Indonesia. Beberapa aspek yang dinilai di antaranya keamanan, keselamatan, kebersihan dan transportasi kota. Walikota Solo, FX Hadi Rudyatmo menduga selain karena faktor penataan kota, Solo terpilih karena warganya mau dan mampu mengelola kemajemukan. Mungkin tidak sulit menghadirkan kepatuhan kepada pimpinan atas nama otoritas jabatan. Namun menghadirkan cinta dan rasa nyaman bukan hal yang serta merta tumbuh. Butuh interaksi, inspirasi, dan keteladanan. “Sebaik-baik pemimpin kamu ialah pemimpin yang kamu cintai dan mereka mencintaimu, kamu doakan mereka dan mereka pun mendoakan kamu, dan seburuk-buruk pemimpin ialah pemimpin yang kamu benci dan mereka membenci kamu, kamu mengutuk mereka dan mereka mengutuk kamu.” (HR Muslim).

Candradimuka itu adalah kesederhanaan pemimpin yang dekat dan melayani. Bukan tanpa alasan tulisan ini menggunakan kata ‘Solo’ bukannya ‘Surakarta’. Ketika Surakarta lebih bernuansa administratif dan birokratif, Solo lebih bernuansa kultural dan kekinian. Terlepas dari latar belakang sejarah, nama Solo memang lebih sederhana, namun jauh lebih populer dibandingkan Surakarta. Bukan cuma karena lagu ‘Bengawan Solo’ dan ‘Stasiun (Solo) Balapan’ yang sudah familiar di telinga, branding Solo sudah sangat lekat dengan seni budaya Indonesia. Pemimpin yang populer memang belum tentu baik, namun pemimpin yang baik akan dekat dan melayani yang dipimpinnya. Ada kebanggaan terhadap pemimpin yang tidak tersekat formalitas. Solo bukanlah Oslo yang merupakan salah satu kota paling mahal di dunia. Ada harga tak ternilai di balik kesederhanaannya.

Candradimuka itu telah dijalani oleh Presiden RI saat ini yang besar namanya di Solo. Beliau yang meneladani jejak pendahulunya yang telah dimakamkan di Astana Giribangun dekat Kota Solo. Ya, candradimuka itu sebelumnya telah dijalani sosok presiden ‘legendaris’ yang beristrikan bangsawan Solo. Terlepas dari berbagai kekurangan, mereka adalah sosok pemimpin yang berani dan mengayomi. Figur yang melayani dan banyak dicintai. Semoga kamp candradimuka kepemimpinan di Solo mampu menginspirasi lahirnya pemimpin yang memiliki integritas, cendekia, transformatif dan melayani. Pemimpin yang keberadaannya membawa kemaslahatan dan kebermanfaatan. Selamat berjuang, para pemimpin kemanusiaan! Hidup mahasiswa! Hidup Rakyat Indonesia!

…Kami hadir untuk melayani kehidupan sesama insani. Asas maslahat membuat kami giat, asas manfaat membuat semangat. Bakti Nusa berjuang!!!” (Mars Juang Bakti Nusa)

Catatan: tulisan ini adalah pengantar dalam guide book Future Leader Camp 2018

Karena Beasiswa Adalah Amanah

“Kurang cerdas dapat diperbaiki dengan belajar. Kurang cakap dapat dihilangkan dengan pengalaman. Namun tidak jujur itu sulit diperbaiki.” (Bung Hatta)

Angka partisipasi pendidikan tinggi mengalami peningkatan cukup signifikan dalam tujuh tahun terakhir. Data BPS mengungkapkan bahwa selama tahun 1994 – 2009, Angka Partisipasi Sekolah (APS) usia 19 – 24 tahun relatif stagnan di kisaran 12%. Namun capaian ini terus meningkat sejak tahun 2010 dan tahun 2017 ini angkanya telah mencapai 24,67%, hampir dua kali lipat dari capaian tahun 2009. Program pemerintah yang paling mungkin memengaruhi capaian ini adalah Bidik Misi yang dimulai pada 2010 lalu untuk 20.000 mahasiswa. Dampaknya, terjadi peningkatan angka partisipasi pendidikan tinggi yang signifikan pada tahun 2013, tepat empat tahun setelah program digulirkan. Kuota maupun sebaran kampus Bidik Misi pun terus bertambah, termasuk Perguruan Tinggi Swasta (PTS). Pada tahun 2018 nanti, direncanakan kuota Bidik Misi akan menjangkau 90.000 mahasiswa.

Tidak hanya Bidik Misi, program beasiswa untuk mahasiswa memang kian marak dalam satu dasawarsa terakhir. Pemerintah pusat dan daerah, berbagai perusahaan, LSM, yayasan, para alumni hingga donasi individu seakan berlomba memberikan beasiswa. Bentuknya pun semakin beragam bukan hanya pembiayaan pendidikan, ada fasilitas tempat tinggal hingga pembinaan mahasiswa dengan tema tertentu, misalnya menghapal Al Qur’an, entrepreneur, atau kepemimpinan. Bahkan beasiswa untuk paska sarjana juga semakin banyak, di antaranya melalui Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) di bawah Kementerian Keuangan RI. Zaman seolah berubah, jika dulu mahasiswa berebut mencari beasiswa, sekarang beasiswa lah yang sibuk mencari calon penerimanya. Mahasiswa penerima beasiswa tidak lagi eksklusif, mudah ditemukan dimanapun.

Kemudahan memperoleh beasiswa ini turut memengaruhi karakter para penerima beasiswa. Apalagi banyak program beasiswa yang hanya menjadikan indeks prestasi akademik sebagai indikator keberhasilan, abai dengan penguatan karakter penerima beasiswa. Padahal banyaknya beasiswa membuat calon penerimanya semakin pragmatis, memilih yang mudah diperoleh, dapat banyak fasilitas, dan tidak membebani dengan kewajiban apapun. Secara akademik mungkin mereka tidak bermasalah, namun belum tentu secara karakter. Mulai dari lemah komitmen, segera beralih ke beasiswa lain yang menjanjikan fasilitas lebih. Tak peduli fakta bahwa ketika mereka sudah menerima beasiswa sebenarnya ada kuota yang sudah mereka isi, artinya ada hak orang lain yang sudah mereka ambil. Toh ini kompetisi. Mudah menuntut haknya untuk memperoleh berbagai fasilitas yang dijanjikan. Mudah mengeluh, kurang mandiri, dan kurang berempati. Jangankan berpikir bahwa sejatinya beasiswa yang diperolehnya adalah donasi dari masyarakat yang di dalamnya tersimpan amanah dan harapan masyarakat, bahkan ada penerima beasiswa yang ‘memalsukan kemiskinannya’ hanya untuk memperoleh beasiswa. Tidak jujur dalam menyiasati beasiswa. Tak mengherankan tersedia layanan untuk melaporkan mahasiswa yang tidak layak untuk memperoleh beasiswa dalam website Bidik Misi.

Mekanisme pencairan beasiswa yang dirapel juga rentan penyelewengan, baik oleh penerima maupun pengelola beasiswa. Uang dalam jumlah besar yang ‘tiba-tiba’ diterima memungkinkan para penerima beasiswa tidak bijak dalam menggunakannya. Alih-alih untuk biaya pendidikan, beasiswa justru digunakan untuk beli gadget terbaru atau pelesiran. Jika sebagian uang beasiswa dikirimkan untuk membantu orang tuanya tentu masih dapat dimaklumi, namun jika digunakan sekadar untuk gaya-gayaan rasanya kok kejam sekali. Sementara masih banyak anak dari masyarakat marjinal yang tidak mampu melanjutkan pendidikan karena faktor ekonomi. Pengelola juga bisa jadi tidak berlaku amanah jika memang sengaja menunda pencairan misalnya, apalagi jika menjadi ‘broker’ beasiswa sehingga kuota justru diambil oleh mereka yang tak layak memperoleh beasiswa.

Tak hanya itu, amanah para pengelola beasiswa tidaklah kalah besarnya. Mulai dari menyebarkan informasi beasiswa seluas-luasnya dan sebenar-benarnya, hingga menyempurnakan ikhtiar dalam seleksi sehingga yang terpilih adalah mereka yang benar-benar layak. Ada sisi kemanusiaan yang perlu dihadirkan, tidak hanya bersandar pada rumus dan hitungan matematis. Banyak mahasiswa nyaris miskin yang selama ini kurang diperhatikan. Di sisi lain, ada upaya sekadar memenuhi kuota penerima beasiswa di beberapa kampus yang akhirnya menurunkan standar kelayakan calon penerima beasiswa. Amanah lain yang kerap terlupakan adalah mendidik para penerima beasiswa secara paripurna, bukan sebatas menggugurkan kewajiban untuk menyalurkan. Amanah dalam mengelola beasiswa juga mencakup makna memastikan bahwa beasiswa yang diberikan dapat efektif dalam menghasilkan SDM unggul pemimpin masa depan bangsa, yang tentu bukan hanya berkompeten, tetapi juga berkarakter.

Beasiswa adalah amanah, dan setiap amanah akan dimintai pertanggungjawabannya. Para penerima beasiswa akan dimintai pertanggungjawaban bagaimana cara mereka memperoleh beasiswa, digunakan untuk apa, dan apa hasil atau kebermanfaatan dari beasiswa tersebut. Para pengelola beasiswa akan dimintai pertanggungjawaban bagaimana mereka mengelola beasiswa dan para penerima beasiswa. Beasiswa sejatinya bersumber dari donasi masyarakat, termasuk pajak dan ZIS (Zakat, Infak, Sedekah). Beasiswa alumni atau donasi individu pun bagian dari masyarakat. Bahkan perusahaan pun memperoleh pendapatan dari masyarakat dan mengalokasikan dana CSRnya untuk program di masyarakat. Karenanya, program beasiswa seharusnya mampu memberi kontribusi kepada masyarakat. Tidak harus dengan kegiatan sosial kemasyarakatan. Namun sikap amanah dalam menyalurkan dan menerima beasiswa akan membawa kebaikan dalam kehidupan bermasyarakat. Tumbuhnya kepercayaan donatur akan meningkatkan kedermawanan sosial. Ditambah lagi keberkahan dari hadirnya SDM berkualitas dari program beasiswa yang akan terus menebar kebermanfaatan bagi masyarakat. Dan manfaat pun terus berlipat dimulai dari satu kata sederhana: amanah.

Tidak akan bergeser kedua kaki anak Adam di hari kiamat dari sisi RabbNya, hingga dia ditanya tentang lima perkara (yaitu): tentang umurnya untuk apa ia habiskan, tentang masa mudanya untuk apa ia gunakan, tentang hartanya dari mana ia dapatkan, dan dalam hal apa (hartanya tersebut) ia belanjakan serta apa saja yang telah ia amalkan dari ilmu yang dimilikinya.” (HR. Tirmidzi dan Thabrani)

Apa Misi Visi Anda?

Ada yang terasa janggal dari judul di atas? Ya, mungkin karena kata ‘visi’ biasanya diletakkan sebelum kata ‘misi’. Sesuai dengan urutannya, karena misi merupakan penerjemahan dari visi. Tapi tentu penulisan judul tersebut bukan tanpa alasan. Tulisan ini tidak hendak menggugat bahwa misi layak disebut lebih dulu daripada visi, namun setidaknya akan coba dipahamkan bahwa misi memiliki makna yang lebih fundamental dibandingkan visi.

Misi didefinisikan sebagai ‘reason for being’ atau ‘why do we exist?’ Pertanyaan mengenai alasan keberadaan ini sangat mendasar dan perlu dijawab sebelum panjang lebar merencanakan masa depan. Sementara visi adalah ‘what do we want to become?’ Sebuah mimpi, cita dan harapan. Pendapat yang mengatakan bahwa misi berorientasi ke belakang sementara visi berorientasi ke depan, tidak sepenuhnya benar. Karena bagaimanapun, menyadari hakikat keberadaan (organisasi) kita sejatinya menyoal masa lalu, hari ini dan masa depan.

Pemahaman yang benar tentang siapa kita dan untuk apa kita diciptakan menjadi lebih fundamental dibandingkan pemahaman mengenai cita-cita hidup kita. Jati diri manusia sebagai hamba dan khalifah yang menyebarkan Rahmat Allah SWT tidaklah lekang oleh waktu, sementara cita-cita hidup kita bisa saja berubah. Bahkan jika cita-cita yang dimaksud berorientasi akhirat, misalnya mati syahid atau masuk syurga, tetap saja pemahaman terhadap misi, tugas dan tanggung jawab dalam menjalani kehidupan lebih penting. Ketika terjadi disorientasi, jawaban atas pertanyaan ‘siapa kita’ dan ‘mengapa kita ada’ akan lebih dalam maknanya dibandingkan sekadar ‘mau kemana kita’.

Tidak sedikit organisasi yang sibuk merancang impiannya di masa mendatang, namun melupakan hal mendasar: mengapa organisasi tersebut ada. Seorang pengikut mungkin saja tidak punya visi, karena sekadar mengikuti visi pemimpinnya. Pun demikian pengikut tersebut tetap punya misi, karena tanpa misi tak ada arti penting keberadaannya. Seorang pemimpin bisa saja hadir tanpa membawa visi, misalnya karena mengikuti visi kepemimpinan sebelumnya. Bahkan visi organisasi ini dapat dibuat bersama-sama, dengan atau tanpa melibatkan pemimpin. Namun tidak ada pemimpin tanpa misi. Misi kepemimpinan adalah memimpin, menggerakkan dan menjadi teladan. Seseorang yang tidak memimpin, tidak menggerakkan dan tidak pula menjadi teladan bukanlah seorang pemimpin.

Memang benar ada pula pengertian misi sebagai ‘our business’ ataupun ‘the chosen track’ yang bisa jadi dibuat setelah adanya visi. Di beberapa literatur ada yang membedakan antara purpose (misi sebagai alasan keberadaan) dengan mission (misi sebagai turunan visi). Tapi apapun pendekatannya, memahami jati diri organisasi tetaplah lebih utama. Pendapat yang mendefinisikan misi sebagai cara untuk mencapai visi (sehingga ada setelah visi) tidaklah tepat. Definisi tersebut justru membuat tumpang tindih antara misi dengan strategi yang didefinisikan sebagai cara (method), pola (pattern), atau taktik (ploy) untuk mencapai visi. Kesalahan lainnya dalam penyusunan misi adalah dibuat terlalu panjang seperti layaknya profil organisasi. Bukan hanya sulit untuk dihapal dan dipahami, posisi sebagai ‘the chosen track’ juga bisa kehilangan makna akibat misi yang terlalu rumit.

Suatu organisasi tanpa visi memang akan terombang-ambing karena ketidakpastian arah yang dituju, namun organisasi tanpa misi lebih buruk lagi. Sekadar visi tanpa memahami hakikat keberadaannya akan membuat organisasi berambisi untuk menggapai impian, dengan cara apapun yang dapat dilakukan. Fondasi berpijaknya organisasi rapuh dan rentan lupa diri. Eksistensi organisasi yang gagal memahami ‘why do we exist?’ hanyalah ditopang oleh faktor sumber daya (SDM, keuangan, waktu, dsb) dan keberuntungan. Bisa jadi organisasi cukup beruntung tidak runtuh bahkan berhasil mencapai visi. Namun seketika bingung apa yang harus dilakukan karena alpa akan hakikat dirinya. Atau tiba-tiba tersadar bahwa apa yang telah dicapai ternyata bukanlah sesuatu yang benar-benar diimpikannya. Dapat dibayangkan betapa besarnya sumber daya yang terkuras untuk sebuah kekosongan.

Satu visi dalam sebuah organisasi merupakan keharusan karena kita akan berjuang dalam cita yang sama, tinggal menjalankan peran masing-masing. Namun menyadari hakikat misi bersama tak kalah pentingnya. Sehingga kita menginsyafi bersama mengapa organisasi ini harus ada, untuk apa dan untuk siapa. Agar kita kian paham akan segenap tugas dan tanggung jawab yang menyertai. Dan semakin yakin akan kebenaran jalan yang ditempuh. Agar kita tetap sadar diri dalam menggapai mimpi. Dan tetap punya harga diri dalam memperjuangkan visi.

Jadi, apa misi dan visi (organisasi) Anda?

Without a mission statement, you may get to the top of the ladder and then realize it was leaning against the wrong building” (Dave Ramsey)

Antara Teknik Industri dan Non-Governmental Organization

Industrial and systems engineering is concerned with the design, improvement and installation of integrated systems of people, materials, information, equipment and energy. It draws upon specialized knowledge and skill in the mathematical, physical, and social sciences together with the principles and methods of engineering analysis and design, to specify, predict, and evaluate the results to be obtained from such systems. (IISE Official Definition)

Lulusan Teknik Industri kok malah kerja di Dompet Dhuafa?”, begitu pertanyaan yang kerap diterima penulis setelah menyampaikan terkait latar belakang pendidikan. Sebagai manajer program mudah saja menjawab bahwa dalam mengelola program dibutuhkan berbagai keterampilan manajemen, mulai dari manajemen strategis, SDM, produk, keuangan, hingga manajemen pemasaran, dan kesemuanya itu relevan dengan pelajaran pada bangku kuliah. Belum lagi berbagai sistem manajemen yang diterapkan lembaga, mulai dari ISO 9001, Malcolm Baldrige, hingga Knowledge Management sangatlah sesuai dengan keilmuan Teknik Industri. Tapi kok rasanya ada yang kurang lengkap dari jawaban tersebut, setidaknya lulusan Manajemen juga bisa saja menjawab hal serupa. Lalu, apa bedanya dengan lulusan Teknik Industri?

Setelah cukup lama tidak mengkaji lebih dalam mengenai kompetensi keilmuan Teknik Industri, akhir pekan lalu penulis berkesempatan menghadiri Workshop Alumni untuk mengevaluasi kurikulum S1 Teknik Industri UI. Diskusi alumni lintas generasi (dari angkatan 1975 hingga 2016) ini dilakukan untuk melengkapi persyaratan akreditasi internasional ABET (Accreditation Board for Engineering and Technology, Inc.), sesudah akreditasi nasional dan regional ASEAN telah diperoleh. Untuk memperkaya gagasan, peserta pun dipilih lintas industri, dan –seperti perkiraan—hanya penulis yang berasal dari Non-Governmental Organization (NGO) mewakili sektor ketiga.

Ada hal yang cukup ‘menenangkan’ dari hasil diskusi, ternyata hanya sekitar 5 – 10% keilmuan Teknik Industri yang diajarkan di bangku kuliah yang langsung terpakai di dunia kerja. Memang ada bagian spesifik di industri yang bisa meningkatkan kesesuaian ini hingga 50%, misalnya bagian Supply Chain Management (SCM). Pun demikian, kebutuhan akan lulusan Teknik Industri sangatlah tinggi. Bahkan beberapa perusahaan manufaktur lebih mencari HRD yang berlatar belakang Teknik Industri dibandingkan Psikologi, atau beberapa industri keuangan yang justru memilih lulusan Teknik Industri dibandingkan Manajemen. Added value lulusan Teknik Industri terletak pada kemampuan untuk memodelkan permasalahan secara unik dalam kerangka sistem atau sederhananya “kemampuan berpikir sistem”.

Tidak mengherankan Institute of Industrial Engineering (IIE) yang merupakan acuan perekayasa industri resmi berganti nama menjadi Institute of Industrial and Systems Engineering (IISE) sejak April 2016. Teknik Industri pun berkembang menjadi Teknik Sistem dan Industri. Rekayasa sistem mulai dari Man, Material, Machine, Method, Money dan Environment pun menjadi relevan diajarkan secara menyeluruh. Menyoal sistem memang luas, pun tidak dalam. Karenanya di Teknik Industri diajarkan multi disiplin ilmu, termasuk berbagai tantangan masa depan seperti persaingan, inovasi, hingga teknologi digital. Keilmuan yang generalis (tidak spesialis) ini memang merupakan kekurangan yang justru menjadi keunggulan kompetitif lulusan Teknik Industri. Bagaimanapun, lulusan S1 memang harus melalui proses untuk mampu bekerja. Kemampuan melihat lingkup kerja sebagai suatu sistem yang komprehensif dan integral tentu akan mempercepat proses tersebut.

Lalu apa kaitannya Teknik Industri dengan NGO? Sektor ketiga saat ini masih menjadi sektor yang termarjinalkan dibandingkan sektor privat ataupun sektor publik. Beberapa pihak masih memandang sebelah mata tentang penerapan sistem manajemen dalam suatu lembaga non profit yang terkesan kental dengan budaya kekeluargaan, yang seakan berlawanan dengan kultur profesional. Padahal hal mendasar yang membedakan sektor ketiga dengan sektor publik hanya terletak pada sumber dana dan status pengelolanya. Tata kelola yang profesional, transparan dan akuntabel tetap menjadi keharusan. Penguatan sistem manajemen pun perlu dilakukan untuk meningkatkan kepercayaan dan terus melakukan perbaikan yang berkesinambungan. Bisnis proses mulai dari supplier, input, proses, output hingga sampai ke customer pun sama dengan industri jasa ataupun manufaktur. Tahapan pengelolaan program mulai dari perencanaan hingga evaluasi pun sama dengan pengelolaan produk barang ataupun jasa. Singkatnya, NGO pun bergerak dalam kerangka sistem, dan dimana ada sistem, ada peran perekayasa industri yang menyertainya.

Lantas mana yang paling utama dari ketiga sektor tadi? Tidak ada. Semuanya bersinergi untuk saling membangun. Dan semua sektor tersebut butuh pengelolaan sistem yang handal. Ketika pengelolaan sistem ini sudah menjadi keniscayaan di sektor publik, apalagi di sektor privat, maka keberadaan perekayasa sistem di sektor ketiga menjadi sangat penting untuk menghadirkan keseimbangan. Sebab seluruh komponen kemajuan pembangunan di seluruh sektor kehidupan sejatinya terhimpun dalam sebuah sistem yang tidak dapat dipisahkan, pun ditopang oleh berbagai (sub) sistem lainnya. Dan di setiap (sub) sistem itulah perekayasa sistem dapat mengambil peran untuk menghadirkan perbaikan, termasuk di NGO. Untuk masa depan yang lebih baik. There is no best, but better.

Engineers make things, industrial engineers make the things better

Belajar dari Abilitas Penyandang Disabilitas

“Dia yang Mau Menerima Saya Apa Adanya!”, judul tulisan dari salah seorang kawan tiba-tiba terlintas ketika ku menghadiri Grand Launching ThisAble Creative di Unpad Training Center. Tidak mengherankan, karena tulisan tersebut baru dikirim sehari sebelumnya. Tulisan mengenai berbagai penolakan dan pertanyaan sensitif yang mengiringi hidup seorang penyandang disabilitas. Sekaligus ungkapan kesyukuran atas hadirnya pendamping hidup dan keluarganya yang begitu tulus menerimanya. Tulisan dari seorang teman penyandang disabilitas yang begitu produktif menulis. Penulis novel ‘Sepotong Diam’ dan ‘Masih Ada’ sekaligus founder One Day One Post Community.

ThisAble Creative (TAC) merupakan sebuah gerakan sosial yang diinisiasi oleh penerima Beasiswa Aktivis Nusantara – Dompet Dhuafa, Regional Bandung. Gerakan ini bertujuan untuk memfasilitasi masyarakat difabel dalam memunculkan potensinya sehingga lebih mandiri dan dapat menciptakan inklusifitas di tengah masyarakat. Dalam acara grand launching bertemakan “Commemorate the Extraordinary” ini dilakukan penyerahan kaki palsu yang dibuat handmade oleh difabel dan untuk difabel, sharing inspirasi oleh para penyandang disabilitas, serta launching tas TAC yang dibuat langsung oleh para difabel.

diskriminasi difabel

Di tengah hiruk pikuk isu diskriminasi SARA jelang Pilkada DKI yang sepertinya mencoba mengalihkan isu penistaan agama yang dilakukan oleh petahana, diskriminasi terhadap para difabel seolah luput dari hiruk pikuk. Padahal para penyandang disabilitas sangat rentan terhadap tindak diskriminatif, bahkan tindak kriminal. Pelecehan dan diskriminasi yang kadang dirasakan oleh jomblowan dan jomblowati jelas jauh lebih ringan dibandingkan apa yang menimpa para penyandang disabilitas. Lingkaran setan kemiskinan berputar di sebagian besar para difabel. Mencoba memperbaiki nasib, akses terhadap pekerjaan terbatas. Hendak memutus rantai kemiskinan, akses terhadap pendidikan juga terbatas. Belum lagi terbatasnya akses fasilitas dan sarana layanan publik, ditambah berbagai stigma negatif yang dilekatkan kepada para difabel, menambah panjang daftar tindak diskriminasi terhadap para penyandang disabilitas.

Berbeda dengan isu SARA yang kental nuansa keyakinan dan budaya yang dogmatis, diskriminasi terhadap para penyandang disabilitas semestinya tidak perlu terjadi karena disatukan oleh isu kemanusiaan yang universal. Kesetaraan, saling membutuhkan dan saling membantu. Bukankah tidak ada manusia yang sempurna? Artinya ketidaksempurnaan fisik tidak seharusnya menjadi pembeda. Sayangnya keangkuhan acapkali menghijabi kesyukuran, rasa gengsi kerapkali menutupi rasa empati, alhasil diskriminasi terus terjadi. Padahal dari penuturan para penyandang disabilitas, mereka tidak ingin diistimewakan. Mereka hanya ingin dimanusiakan, bukan sebagai orang cacat yang layak dihujat, bukan epidemi yang harus dijauhi, bukan komunitas terzholimi yang minta dikasihani, juga bukan bangsawan yang segala sesuatunya harus disediakan. Mereka hanya ingin diperlakukan sebagai manusia. Peduli dan dipedulikan, mencintai dan dicintai.

Dan hari ini aku belajar banyak akan arti kesempurnaan dari ketidaksempurnaan. Salah seorang penerima kaki palsu sudah hapal lebih dari 5 juz Al Qur’an, ada juga juara paralympic yang sudah mengharumkan nama bangsa. Sementara mereka yang (katanya) ‘sempurna’ justru belum menorehkan karya apa-apa. Sekali lagi aku diingatkan bahwa setiap manusia dikaruniai kelebihan dan kekurangan. Ya, kekurangan hakikatnya adalah karunia jua, bukan aib. The extraordinary people bukanlah mereka yang tidak punya kekurangan, tetapi merekayang memiliki kekurangan namun bukannya menjadi kelemahan, namun justru menjadi kekuatan. Dan ternyata para penyandang disabilitas ini memiliki potensi yang luar biasa, menjadikannya memiliki abilitas yang tidak kalah dari para ‘penyandang non-disabilitas’. Allah Maha Adil, Dia melengkapi segala kekurangan dengan sesuatu yang setimpal…

I firmly believe that the only disability in life is a bad attitude” (Scott Hamilton)

Berkolaborasi dalam Kompetisi, Berkompetisi untuk Kolaborasi

Alkisah di sebuah desa, ada seorang petani yang menanam jagung kualitas terbaik. Panennya selalu berhasil dan ia kerap memperoleh penghargaan sebagai petani dengan jagung terbaik sepanjang musim. Seorang wartawan lokal tertarik untuk mewawancara petani tersebut. Ia datang ke rumah petani kemudian disambut dengan ramah dan dijamu dengan baik. Dalam suasana wawancara yang hangat, ia menanyakan rahasia kesuksesan petani tersebut.

“Mudah saja, saya selalu membagi-bagikan benih terbaik yang saya miliki kepada para tetanggga”, jawab si petani. “Lho, kok bisa begitu? Apa hubungannya? Bukannya itu justru akan membuat Anda rugi dan kalah bersaing?”, tanya wartawan itu penuh keheranan. Sejenak petani itu terdiam kemudian menjelaskan, “Kami para petani ini telah diajarkan oleh alam. Angin yang berhembus menerbangkan serbuk sari dari jagung yang akan berbuah dan membawanya dari satu ladang ke ladang yang lain. Jika tetangga saya menanam jagung yang jelek, maka kualitas jagung saya akan menurun ketika terjadi serbuk silang. Jadi, jika saya ingin menghasilkan jagung kualitas unggul, maka saya harus membantu tetangga saya untuk menanam jagung yang bagus pula”.

* * *

Pilih mana kompetisi atau kolaborasi? Tidak sedikit orang yang mendikotomikan antara keduanya. Kompetisi yang bersinonim dengan persaingan kemudian diidentikkan dengan saling menjatuhkan, tingkat stres tinggi, hingga menghalalkan segala cara. Sementara kolaborasi yang bermakna kerja sama dipahami sebagai aktivitas saling membangun dan saling menguntungkan. Ibarat baik dan buruk, tentu tidak sulit menentukan pilihan. Bahkan ada yang ‘mengharamkan’ kompetisi, terutama di dunia pendidikan, karena hanya mengedepankan ego yang berbuah kerusakan, sementara setiap individu punya keunikan yang tidak bisa dan tidak seharusnya dikompetisikan.

Pembunuhan pertama oleh manusia juga didorong oleh menang – kalah dalam kompetisi. Namun bukan kompetisinya yang salah, melainkan bagaimana menyikapi kompetisi tesebut. Habil mempersembahkan kurban ternak terbaik sementara Qabil memberikan kurban hasil tani terburuk. Jika ditelaah lebih dalam, ternyata orientasi, cara berkompetisi dan bagaimana menyikapi hasil kompetisilah yang menentukan dampak dari kompetisi. Sementara kompetisi adalah bagian dari kehidupan itu sendiri. Kompetisi sudah dimulai sejak pembuahan sel telur oleh satu dari jutaan sperma, hingga perjalanan hidup yang hakikatnya adalah kompetisi dengan waktu. Karenanya tidak heran jika Allah memerintahkan manusia untuk berlomba-lomba dalam kebaikan, berkompetisi menuju Ridha dan Jannah-Nya.

Kompetisi akan mendorong kreativitas dan inovasi, bersungguh-sunguh untuk terus menjadi lebih baik. Hidup tanpa kompetisi adalah stagnasi di zona nyaman. Meniadakan keindahan akan dinamika hidup. Coba saja bayangkan tiada kompetisi dalam memasuki jenjang pendidikan baru, atau dalam rekrutmen karyawan, atau bahkan dalam memilih pasangan. Meniadakan kompetisi sama saja mengingkari hakikat hidup manusia. Dan jika tidak didikotomikan, kompetisi sesungguhnya membuka ruang besar untuk tercipta kolaborasi. Ya, berkolaborasi dalam kompetisi.

Dunia semakin kompetitif dan kian menyempitkan makna kompetisi. Hanya ada satu juara, yang kalah akan tergilas zaman. Paradigma kompetisi untuk ‘saling membunuh’ mendorong manusia untuk melakukan apa saja untuk dapat bertahan hidup. Ketika manusia menyadari bahwa tidak semua hal dapat dilakukan sendirian, kolaborasi menjadi opsi strategis untuk dapat terus eksis. Sayangnya, kolaborasi yang dihasilkan dari paradigma seperti ini sifatnya transaksional. Ada selama masih ada kepentingan. Untuk berkolaborasi dengan benar, perlu paradigma kompetisi yang benar. Bukan untuk mengalahkan, melainkan untuk terus berkembang. Bukan untuk memperoleh pengakuan, tetapi untuk memberikan kebermanfaatan yang lebih luas. Mengubah mindset dari win-lose menjadi win-win.

Kolaborasi adalah berbagi peran dan potensi untuk mencapai tujuan bersama tanpa harus mengeliminasi jati diri. Perbedaan adalah hal yang perlu ada dalam sebuah kolaborasi, hal itulah yang membedakannya dengan sebatas koordinasi. Kolaborasi akan memperbesar peluang pengembangan dan keberhasilan. Kemenangan milik bersama. Kolaborasi adalah berbagi untuk bisa saling melengkapi. Berbagi dan memberi, itulah makna strategis kolaborasi yang tidak dimiliki oleh kompetisi.Kolaborasi akan meredam syahwat kompetisi yang takkan pernah terpuaskan, menyeimbangkan sisi manusia sebagai makhluk sosial tidak hanya sebagai makhluk individu. Realitanya, kolaborasi mungkin tidak bisa membahagiakan dan menguntungkan semua orang, namun setidaknya tidak perlu hasil akhir yang mencelakakan atau menghancurkan pihak lain.

Hidup penuh dengan kompetisi sehingga terlibat dalam kompetisi seringkali bukan pilihan. Namun membangun paradigma kompetisi yang sehat adalah pilihan. Menggunakan cara-cara yang baik dalam berkompetisi adalah pilihan. Menyikapi kemenangan dan kekalahan dengan benar adalah pilihan yang mendewasakan. Mempersiapkan diri untuk bijak dalam menghadapi kompetisi dan hasilnya lebih realistis dibandingkan menghindari kompetisi dan berharap semua akan jadi pemenang. Namun jika kompetisi adalah keniscayaan, kolaborasi adalah pilihan. Pilihan para pemenang sejati. Betapa banyak orang yang menginjak-injak orang lain untuk mencapai puncak, dibandingkan mereka yang bergandengan tangan bersama mencapai puncak. Hampir semua manusia tengah berkompetisi, namun sedikit di antaranya yang berkolaborasi. Padahal kebermanfaatan adalah ukuran keberhasilan. Mari berlomba berkolaborasi dalam kebaikan. Berkompetisi untuk kolaborasi.

Competition make us faster, collaboration make us better

Pemimpin Tepercaya, Pemimpin Memercaya

…Someone you know is on your side can set you free. I can do that for you if you believe in me. Why second-guess? What feels so right? Just trust your heart and you’ll see the light…
(‘True to Your Heart’, 98° feat Stevie Wonder)

Kepercayaan adalah hal penting yang harus ada dalam sebuah tim. Rasa percaya merupakan dasar dari kerja tim, dan sifatnya adalah resiprokal (timbal balik) bukan satu arah. Salah satu kriteria penting seorang pemimpin adalah dapat dipercaya. Kepercayaan kepada seorang pemimpin erat kaitannya dengan integritas, keteladanan, keadilan dan konsistensi. Pemimpin yang dapat dipercaya akan memberikan ketenangan dan kenyamanan bagi mereka yang dipimpinnya. Kepercayaan ini merupakan modal dasar bagi seorang pemimpin untuk membangun dan melejitkan tim atau organisasi yang dipimpinnya.

Kepercayaan adalah hubungan resiprokal, namun bawahan akan lebih mudah memercayai pemimpinnya dibandingkan sebaliknya. Memiliki integritas, sejalan antara perkataan dengan perbuatan, jujur, adil, serta dapat memberi teladan yang baik sudah menjadi syarat cukup bagi seorang pemimpin untuk memperoleh kepercayaan yang dipimpinnya. Apalagi jika pemimpin tersebut memiliki kompetensi dan pengalaman yang mumpuni, tentunya menjadi nilai tambah untuk meningkatkan kepercayaan dari yang dipimpinnya. Belum lagi kekuasaan dan kewenangan seorang pemimpin bisa memperkuat kewajiban untuk percaya kepadanya, pun terpaksa. Ya, dalam titik ekstrim, seorang pemimpin bisa saja hanya memilih mereka yang memercayainya untuk dipimpin.

Persoalan klasik muncul ketika sosok pemimpin tidak lagi bisa dipercaya, terus berdusta, mengingkari janji, tidak adil dan transparan, serta gagal memberikan perasaan tenang pada yang dipimpinnya atas segala tindak tanduknya. Opsi menggulingkan kepemimpinan kerap butuh perjuangan keras dan biaya sosial yang tinggi. Sikap apatis seringkali menjadi opsi yang lebih realistis mengingat keterbatasan kemampuan untuk mengubah karakter kepemimpinan. Akhirnya, tim mungkin tidak hancur, namun tanpa kepercayaan tim sudah kehilangan ruhnya. Rutinitas organisasi mungkin masih bisa berjalan, dengan setiap elemen hanya berupaya menyelamatkan diri mereka sendiri. Kepemimpinan tanpa kepercayaan hanyalah sebuah kehampaan dan omong kosong.

Masalah juga akan muncul ketika kepercayaan tidak menemukan hubungan timbal baliknya. Seorang pemimpin yang memercayai anggota timnya yang ternyata tidak amanah, bisa saja langsung memberikan treatment atau bahkan mengeluarkan ‘penyakit’ tersebut dari tim. Penyakit ini mudah didiagnosa karena pengaruh kekuasaan pemimpin akan terbantu oleh ketidaknyamanan dari anggota tim yang lain. Persoalan yang lebih rumit akan muncul ketika seorang pemimpin tidak atau kurang memercayai mereka yang dipimpinnya. Bisa jadi semua tanggung jawab dan beban kepemimpinan akan sepenuhnya dipikul oleh sang pemimpin. Padahal kepemimpinan bukan hanya seni memengaruhi orang lain, tetapi juga memercayai orang lain.

Tidak sedikit pemimpin dengan potensi yang luar biasa terjebak dalam kondisi ini: gagal sepenuhnya memercayai yang dipimpinnya. Fungsi delegasi hanya jadi formalitas layaknya dalang yang memainkan wayang. Super team tidak terbentuk karena pemimpin mengambil alih seluruh tanggung jawab, toh yang penting tujuan tercapai. Bukannya meringankan kerja anggota tim, pemimpin tanpa sadar justru tengah mengebiri potensi anggota tim. Barangkali tugas memang bisa selesai lebih cepat dan lebih berkualitas jika dikerjakan langsung oleh sang pemimpin, namun ketergantungan besar terhadap sosok pemimpin bukanlah hal ideal dalam kepemimpinan. Dinamika tim, termasuk belajar dari kesalahan, merupakan hal penting untuk terus bisa berkembang dan melakukan perbaikan. Pemimpin kadang lupa bahwa kepercayaan bersifat resiprokal, alih-alih menenangkan anggota tim, memberikan kepercayaan ‘setengah hati’ justru akan berbuah ketidakpercayaan.

Pemimpin sejati bukanlah pemimpin yang hebat, namun juga pemimpin yang menghebatkan mereka yang dipimpinnya. Dan memberikan kepercayaan adalah kunci pengembangan potensi anggota tim. Kepemimpinan ada siklusnya, kaderisasi adalah keniscayaan, membangun kepercayaan yang resiprokal antar anggota tim dan antara pemimpin dengan yang dipimpinnya adalah langkah strategis untuk memastikan kesinambungan suatu organisasi. Menjadi pemimpin yang tepercaya (dapat dipercaya) memang penting, namun menjadi pemimpin yang dapat memercaya (memberikan kepercayaan) tidak kalah penting. Karena kepercayaan adalah hubungan timbal baik, keduanya dapat seiring sejalan.

“Bukankah kepercayaan itu sebuah rasionalitas ilmiah?” (Tere Liye)