Nancy Matthews Elliott begitu kesal dengan sikap kasar Reverend G. B., guru SD anaknya yang tidak bisa diajak berdiskusi. Kemarin sepulang sekolah, anaknya membawa surat dari gurunya bahwa pihak sekolah tidak sanggup lagi mengajari Tommy (panggilan anaknya) karena sangat bodoh dan bebal, padahal Tommy baru 3 bulan bersekolah. Nancy memang menyadari anaknya sulit mendengar sehingga tidak mudah menangkap pelajaran, namun mengeluarkan Tommy dari sekolah dianggapnya bukan keputusan bijak. Akan tetapi, mendapati langsung penolakan pihak sekolah atas anaknya, Nancy hanya bisa berujar, “Anak saya bukanlah anak bodoh. Saya sendiri yang akan mendidik dan mengajarinya”. Nancy yang pernah berprofesi sebagai seorang guru bergegas pulang kemudian berkata kepada anaknya, ”Saya tahu Thomas, kemampuanmu memang buruk hari ini. Tetapi suatu saat nanti, kamu akan menjadi orang yang hebat.”
Mulailah Nancy mengajarkan cara membaca, menulis dan berhitung kepada anaknya. Nancy juga membelikan banyak buku dan selalu mendorong anaknya untuk melakukan apa saja yang disukainya. Setiap kali anaknya mengalami kesulitan, ia berkata, “Thomas, kamu anak hebat, Nak, kamu pasti bisa menemukan jawabannya! Mommy percaya itu sayang!”. Dan setiap kali anaknya berhasil menemukan jawaban dari masalahnya, Nancy selalu menanggapinya dengan antusias, memeluknya sambil berkata, “Kamu memang anak kebanggaan Mommy, Nak!”. Kondisi pendengaran anaknya semakin memburuk di usia 12 tahun namun Nancy tidak putus asa mendidiknya. Nancy bahkan mendorong Tommy untuk berjualan surat kabar, buah apel, dan permen di sebuah jalur kereta api. Selain mendapat penghasilan tambahan untuk proses belajarnya, Tommy juga memperoleh pengetahuan praktis yang membantunya kelak di kehidupan nyata.
Nancy bukanlah seorang ibu yang serba tahu, seiring berjalannya waktu, semakin banyak pertanyaan anaknya yang tidak mampu dijawabnya. Nancy mengakui keterbatasannya, namun berupaya membantu Tommy mencari jawabannya dengan menemui ahlinya atau mencari referensi yang sesuai. Pernah suatu ketika pencariannya selama berbulan-bulan tidak membuahkan hasil, Nancy pun berkata pada anaknya, “Thomas anakku sayang, kita telah buktikan bahwa ternyata tak seorangpun kita temukan bisa menjawab semua ini dan tak satu bukupun pernah ditulis orang tentang hal ini. Thomas sayang, kamu tahu apa artinya, Nak? Ya, itu artinya kamulah yang diminta Tuhan untuk menemukannya bagi orang lain. Ayo, Nak! Kamu coba dan coba terus, mommy yakin suatu saat kamu pasti berhasil”. Waktupun berlalu begitu cepat, sejarah kemudian mencatat sosok Tommy kecil yang sulit mendengar menjadi seorang penemu paling produktif sepanjang masa yang telah menghasilkan 1039 hak paten, termasuk fonograf, kamera film dan bola lampu : Thomas Alfa Edison.
Utamanya Seorang Ibu
Dalam Bahasa Indonesia, ‘ibu’ tidak hanya didefinisikan sebagai wanita yang telah melahirkan seseorang atau panggilan hormat kepada wanita. Kata ‘ibu’ juga diartikan sebagai bagian yang pokok atau utama, karenanya kita mengenal istilah ‘ibu kota’ ataupun ‘ibu pertiwi’. Ibu mewakili sosok yang mengajarkan tentang arti pengorbanan. Ibu digambarkan sebagai manusia dengan kasih sayang yang tidak terbatas, kecintaan yang tulus diberikan kepada anaknya tanpa pamrih. Ibu –dengan berbagai sinonimnya– merupakan nama yang paling sering disebut dan dicari oleh seorang anak. Keberadaannya akan menentramkan, ketiadaannya akan membawa kesedihan mendalam, dan mengenangnya mengantarkan pada kesyahduan.
Ibu juga dikenal sebagai “mahdul hadhoroh” atau buaian peradaban karena dari rahim seorang ibu inilah para pengukir peradaban lahir untuk kemudian tumbuh. Sejarah telah mencatat kehadiran orang-orang besar tidak pernah sendirian, selalu ada orang hebat yang membersamainya, dan figur ibu kerap mengisi posisi ini. Kisah Nancy ibunda Thomas Alfa Edison hanya salah satu contoh bagaimana peran ibu kerap melampaui batas-batas kebiasaan manusia. Optimalisasi peran ini yang membuat seorang ibu menjelma menjadi kunci peradaban, tidak harus langsung menjadi tokoh sentral yang mengguncang dunia, namun menjadi arsitek yang mempersiapkan para tokoh pengguncang peradaban.
Nyatanya, tidak semua ibu mampu dan dipercaya untuk mengemban amanah sebagai ibu yang menggenggam kunci peradaban. Tidak sedikit ibu yang menyia-nyiakan buah hatinya, gagal mendidiknya, menyakitinya, bahkan ada saja ibu yang menyiksa hingga membunuh anaknya. Ada lagi ibu yang justru menjerumuskan anaknya kepada pilihan hidup yang tidak benar. Ya, surga memang ada di bawah telapak kaki ibu, namun ternyata tidak di setiap ibu. Ibu memang menentukan jatuh bangunnya suatu bangsa, namun ternyata tidak sembarang ibu dapat menjadi ibu peradaban. Sebagaimana pahlawan adalah mereka yang terpilih, ibu peradaban juga orang pilihan. Dan pilihannya adalah pilihan sadar untuk menentukan sendiri posisi yang dikehendaki : menjadi tiang penyokong yang kokoh atau menjadi penghancur peradaban.
Menjadi Ibu Peradaban
“Al Ummu madrasatun”, ibu adalah sekolah bagi anak-anaknya, sebuah madrasah peradaban. Bahkan seorang Napoleon Bonaparte mengatakan bahwa ibu yang baik adalah benteng terkuat yang diketahuinya. Seorang bijak berkata, “Seorang ibu adalah lembaga pendidikan yang jika ia benar-benar mempersiapkan dirinya, berarti ia telah mempersiapkan sebuah generasi yang benar-benar digjaya”. Para tokoh dan pahlawan peradaban jumlahnya tidak banyak, demikian pula dengan ibu peradaban. Mempersiapkan diri menjadi seorang ibu peradaban menjadi syarat mutlak untuk melahirkan para pejuang peradaban. Ada beberapa karakter dan mentalitas positif yang tidak bisa tidak harus dimiliki seorang ibu yang mengusung cita-cita mulia sebagai kunci peradaban dunia.
Ibu peradaban terus memberikan yang terbaik tanpa ingin dikenal. Ibu peradaban tidak merasa perlu namanya bersanding dengan kebesaran nama anaknya. Popularitas bahkan menjadi ujian bagi ketulusan pengorbanannya. Segala jerih payah akan terbayar sudah jika melihat prestasi gemilang dan senyum bahagia anak-anaknya. Mungkin sedikit orang yang mengenal R.A. Tuti Marini Puspowardojo, orang yang paling berperan dalam pembentukan karakter B.J Habibie. Ibu dari Presiden RI ke-3 tersebut lah yang menanamkan nilai-nilai ilmu pengetahuan dan perjuangan sejak kecil. Setelah suaminya, Alwi Abdul Jalil Habibie, meninggal karena serangan jantung, Tuti Marini lah yang mengantarkan B.J. Habibie melanjutkan pendidikan ke Bandung, ke luar negeri, hingga meraih banyak kesuksesan. Seperti halnya Nancy Matthews Elliott, nama mereka jauh tertutupi prestasi dan kebesaran nama anaknya. Namun kekurangtenaran tersebut sama sekali tidak mengurangi kehebatan ibu-ibu peradaban tersebut.
Ibu peradaban memiliki visi besar melampaui usianya. Ibu peradaban mampu menemukenali potensi khas anak yang dididiknya, bahkan ketika hampir semua orang berputus asa dengan anaknya. Visi besar itu tertanam dalam sehingga menginspirasinya dalam mendampingi perjalanan hidup sang anak. Bahkan dalam keadaan marah sekalipun, visi itu yang akan terlontar, bukan sumpah serapah. Ada kisah seorang ibu yang sedang menyiapkan jamuan makan untuk tamu suaminya sementara anaknya sedang asyik bermain pasir. Ketika hidangan sudah siap saji, anaknya tiba-tiba masuk dan menaburkan pasir ke dalam hidangan kambing tersebut. Sang ibu yang melihatnya pun memarahinya, “Idzhab, ja’alakallahu imaman lilharamain!” (Pergi kamu, semoga Allah menjadikanmu imam di Haramain!). Visi besar yang tertanam itu terwujud puluhan tahun kemudian, sang anak, Al Hafizh Abdurrahman As-Sudais, menjadi Imam Masjidil Haram dengan suaranya yang sangat menyentuh. Kisah kemarahan visioner ini juga pernah terjadi di bumi Nusantara. Seorang ibu yang tidak tahan dengan kenakalan anaknya berujar, “Pergilah, jangan pulang sampai kamu bisa menggetarkan kerajaan ini!”. Sang anak, Raden Syahid yang lebih dikenal dengan Sunan Kalijaga, puluhan tahun kemudian benar-benar menggetarkan kerajaan sehingga rakyatnya menyembah Allah SWT.
Ibu peradaban akan menerima anaknya apa adanya, kelebihan dan kekurangannya. Ibu peradaban berlapang dada dengan kekurangan dan kesalahan anak yang merupakan keniscayaan dalam belajar, keniscayaan dalam kehidupan. Ibu peradaban akan terus mendukung anak ke arah kebaikan, namun bukan untuk menentukan jalan hidupnya. Ia akan berada pada posisi yang tepat antara memberikan rambu dan batasan dengan memberi kepercayaan dan kebebasan sepenuhnya. Ibu peradaban punya desain namun tidak mengekang, apalagi mengukur baju sang anak dengan bajunya sendiri. Sekedar menemukenali potensi tentu tidak akan banyak bermakna tanpa dapat mengarahkan dan mengoptimalkannya. Sebagaimana Mary Gates yang mengajarkan anaknya mengenai kedisiplinan dan bagaimana harus bersikap di depan publik. Ia tidak menguasai komputer, tidak pula menyangka anaknya, Bill Gates, akan menjadi salah seorang terkaya di dunia. Namun –sebagaimana Nancy—ia mendukung pilihan terbaik yang ditempuh anaknya dengan caranya sendiri, dengan segenap kemampuan yang dimilikinya.
Semua orang punya hak untuk sukses, semua orang bisa menjadi pahlawan dan mengukir tinta emas sejarah, setiap perempuan pun berkesempatan untuk menjadi ibu peradaban. Dunia dengan berbagai problematikanya bahkan membutuhkan banyak sekali ibu-ibu peradaban, yang dari rahimnya lahir para pejuang peradaban. Sepadat apapun kurikulum di sekolah, sepelik apapun dinamika di tengah masyarakat, seorang ibu tetaplah madrasah paling utama bagi anaknya. Wajah peradaban suatu komunitas, suatu bangsa, bahkan dunia akan banyak ditentukan oleh pilihan yang diambil oleh para ibu selaku pemegang kunci perabadan : membangun peradaban yang lebih baik, menghancurkannya, atau bahkan menghapus peradaban dari muka bumi.
“Jika kamu mendidik seorang laki-laki, sesungguhnya engkau hanya mendidik satu dari jutaan penduduk bumi. Tapi jika kamu mendidik seorang perempuan, maka sesungguhnya engkau sedang mendidik sebuah bangsa” (Brigham Young)
Recent Comments