Tag Archives: covid 19

Covid: Antara Konspirasi, Bisnis, dan Kemanusiaan (2/2)

Barangkali benar ada berbagai kebijakan pemerintah yang lamban ataupun keliru dalam penanganan Covid-19 di Indonesia. Namun hal itu bukan berarti sikap cerdas adalah membangkang terhadap kebijakan pemerintah, misalnya dengan tidak patuh terhadap protokol kesehatan. Berpikir kritis berbeda dengan naif, apalagi malas berpikir. Barangkali benar bahwa tingkat kesembuhan akibat Covid-19 lebih tinggi daripada tingkat kematiannya. Namun bukan berarti para korban Covid-19 ini tak ada artinya. Satu nyawa saja begitu berharga, apalagi ini sampai puluhan ribu nyawa. Itu pun baru yang terdata. Bahkan jika benar bahwa ada faktor kesengajaan dalam penyebaran virus corona, atau kalaupun memang benar ada kepentingan bisnis di balik pandemi Covid-19, penyikapan seperti yang dilakukan para covidiot tetaplah tidak menyelesaikan masalah apapun.

Karenanya, tidak perlu terjebak pada teori konspirasi yang belum jelas kebenarannya, dan tidak jelas kebermanfaatannya. Tidak perlu juga terlalu pusing dengan berbagai isu kepentingan yang ada di luar kendali kita. Cukup lakukan yang terbaik untuk menyelamatkan dan membantu diri, keluarga, dan lingkungan sekitar kita. Disinilah kemanusiaan mengambil peran dalam pandemi ini. Percaya atau tidak dengan adanya virus corona bisa jadi tergantung keyakinan seseorang, tetapi meyakini bahwa setiap diri kita perlu menjaga keselamatan orang lain adalah sisi kemanusiaan. Seseorang memiliki hak untuk tidak percaya dengan berita yang disampaikan media, namun secara manusiawi seseorang perlu menjaga hak orang lain untuk merasa aman dari lisan dan perbuatannya. Setiap kita boleh saja meyakini tentang adanya konspirasi global, namun bukan berarti mematikan rasa empati dan simpati dengan memaksakan keyakinannya pada orang lain, yang bahkan tidak sedikit dari mereka, keluarga mereka, atau rekan-rekan mereka yang telah menjadi korban pandemi ini.

Untungnya, aksi nyata kedermawanan sosial atas nama kemanusiaan terus hadir sejak awal masa pandemi. Mulai dari pembagian masker, penyemprotan disinfektan, paket bantuan isolasi mandiri, hingga pengadaan tabung oksigen dan rumah sakit darurat. Para pejuang kemanusiaan inilah yang menjadi secercah asa di tengah himpitan hidup. Di saat para covidiot hanya berkoar tentang konspirasi tanpa kontribusi, tanpa solusi. Bahkan di saat pemerintah tidak bisa diandalkan dalam melindungi segenap bangsa Indonesia. Inisiatif membantu ini muncul dan menyelesaikan berbagai persoalan akibat pandemi, pun barangkali skalanya terbatas. Pendekatan kemanusiaan inilah yang berperan besar dalam memelihara kehidupan, tidak memilih untuk menyerah dengan keadaan. Pejuang Covid-19 di garda terdepan, mulai dari tenaga kesehatan, relawan, hingga tukang gali kubur, mampu bertahan dan terus berjuang atas nama kemanusiaan. Sebab jika ukurannya adalah materi, sungguh nyawa lebih berharga.

Di hadapan pendekatan kemanusiaan, pendekatan konspiratif sudah tak lagi relevan, tidak simpatik sama sekali. Apalah artinya seseorang yang pandai bercakap tentang konspirasi elit global, sementara tetangganya sendiri tidak ia pedulikan. Tidak percaya adanya Covid, tidak membantu tim Satgas Covid, namun gemar membuat gaduh dengan informasi ‘kacamata kuda’ yang diyakininya. Menghabiskan energinya dengan segudang teori nirfaedah, sementara kebermanfaatannya tidak dirasakan bagi lingkungan sekitarnya. Permasalahan dalam kondisi kritis bukan persoalan apa yang benar, tetapi apa yang dibutuhkan. Karenanya, pendekatan kemanusiaan yang membawa cahaya, lebih tepat untuk diperjuangkan dibandingkan pendekatan bisnis yang oportunis ataupun pendekatan konspiratif yang hanya mengutuk kegelapan.

Dan diakui atau tidak, pandemi ini masih dan akan terus berlangsung hingga batasan takdirnya. Butuh kolaborasi dari banyak elemen sebab krisis tidak akan mampu dihadapi sendirian. Kesampingkan sejenak berbagai pendekatan konspiratif yang bisa jadi ada benarnya, untuk membantu meringankan beban banyak manusia terdampak pandemi yang sudah nyata adanya. Tidak terlalu serakah mengambil peluang dalam kesempitan orang lain. Tidak untuk suku, agama, ras, atau golongan tertentu. Tetapi atas nama kemanusiaan. Memanusiakan manusia. Dan kelak saat semua krisis ini berlalu, kita bisa tetap bergandengan tangan sebagai manusia yang memiliki hati nurani. Setiap penyakit ada obatnya, setiap permasalahan ada jalan keluarnya. Menjadi ‘obat’ atau ‘racun’, menjadi ‘solusi’ atau ‘masalah’, semuanya tergantung bagaimana peran yang kita ambil.

We think too much and feel too little. More than machinery, we need humanity; more than cleverness, we need kindness and gentleness. Without these qualities, life will be violent and all will be lost.
(Charlie Chaplin)

Covid: Antara Konspirasi, Bisnis, dan Kemanusiaan (1/2)

Only two things are infinite, the universe and human stupidity; and I’m not sure about the former (universe)” (Albert Einstein)

Pandemi virus corona memang kejadian luar biasa. Berdasarkan data yang rutin diupdate worldometers, hingga 7 Juli 2021 ini telah ada lebih dari 185 juta kasus Covid-19 di seluruh dunia, dengan korban jiwa lebih dari 4 juta orang. Indonesia sendiri ada di urutan ke-16 dengan jumlah kasus Covid-19 lebih dari 2,3 juta kasus dan korban jiwa lebih dari 61 ribu orang. Dalam beberapa pekan terakhir, jumlah kasus harian Covid-19 di Indonesia berkali-kali mencatatkan rekor terbanyak, dan trennya masih terus meningkat. Jumlah kasus harian Covid-19 di Indonesia hanya kalah oleh Brazil dan India. Jumlah kematian pun sepekan terakhir berkali-kali mencatatkan rekor terbanyak dengan tren yang juga meningkat. Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat sudah dilakukan di Jawa – Bali. Rumah Sakit mulai kehabisan tempat, tenaga medis bertumbangan, ketersediaan oksigen pun menipis. Indonesia dapat dikatakan tengah menghadapi krisis Covid-19.

Dan setiap kejadian luar biasa sudah biasa ada teori konspirasi yang menyertainya. Teori konspirasi terkait virus corona ini sudah aja sejak kehadirannya mulai ramai disoroti di awal tahun lalu. Kejelasan mengenai asal munculnya virus tersebut sampai saat ini tidak ada penjelasan yang memuaskan dari WHO. Dugaan mengenai kebocoran laboratorium di Institut Virologi Wuhan, atau dari hewan yang dijual di Pasar Makanan Laut Huanan yang berulang kali dibantah Pemerintah Cina tidak dapat dibuktikan kebenarannya. Teori konspirasi lainnya yang menuding bahwa virus corona adalah senjata biologis buatan Amerika Serikat juga tidak dapat dibuktikan secara nyata. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa virus corona sudah diketahui keberadaannya puluhan tahun lalu, termasuk bahaya mutasi virusnya seperti dalam wabah Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS) dan Middle East Respiratory Syndrome (MERS). Namun memang masih banyak yang belum terjawab termasuk pertanyaan bagaimana virus menular dari kelelawar ataupun mengapa virusnya baru ‘meledak’ sekarang.

Beberapa penganut teori konspirasi lain melihat kejadian ini dari pertanyaan sederhana: siapa yang paling diuntungkan dengan pandemi ini? Memang ternyata ada berbagai pihak yang ‘diuntungkan’ dengan adanya Covid-19 ini. Perusahaan farmasi yang memproduksi vaksin, disinfektan, obat dan vitamin, misalnya. Kemudian perusahaan yang memproduksi Alat Pelindung Diri (APD) dan masker. Kemudian perusahaan berbasis teknologi, informasi, dan komunikasi. Bahkan perusahaan penyedia games pun diuntungkan. Disinilah dunia bisnis mengambil kesempatan dalam ‘kesempitan’ pandemi. Ketika produk tertentu seketika ramai diborong dan habis di pasaran, tentu ada kepentingan bisnis yang bermain. Ketika ketersediaan masker atau oksigen begitu terbatas, boleh jadi ada yang mengambil peluang bisnis. Dan karena keseimbangan dunia ini, jika ada yang diuntungkan, tentu ada yang dirugikan. Walaupun bisa mengancam siapa saja, nyatanya pandemi ini kian memperlebar gap antara yang miskin dengan yang kaya. Dalam perspektif bisnis yang berorientasi profit, kondisi ini bukanlah salah pihak yang diuntungkan. Mereka yang mengambil peluang untuk meraup keuntungan tidak serta merta menjadi pihak yang paling bertanggung jawab terhadap berbagai permasalahan yang terjadi.

Lantas, apakah ada hubungannya dengan dunia politik? Pemilihan Kepala Negara misalnya? Boleh jadi. Yang jelas, pemegang kebijakan juga memiliki ruang besar untuk memanfaatkan pandemi ini. Korupsi dan kolusi semakin marak di masa pandemi. Bagaimana tidak, ada kucuran dana yang sangat besar yang bisa diselewengkan untuk kepentingan pribadi ataupun golongan. Pandemi ini adalah ujian kepemimpinan. Mereka yang suka meremehkan masalah, plin plan dalam mengambil keputusan, mengambil muka pimpinan, asal bicara tanpa data, mencari aman, berpikir pragmatis, hingga mereka yang mencari kesempatan dalam kesempitan semakin mudah terlihat. Konspirasi dapat diartikan sebagai persengkokolan jahat. Dan ruang persengkokolan semacam ini makin terbuka di masa pandemi.

Persoalannya, sekadar berpikir konspiratif bukan hanya tidak memecahkan masalah, bahkan tidak jarang justru memperkeruh permasalahan. Tidak sedikit mereka yang sekadar ikut-ikutan berpikir konspiratif, justru kebablasan. Istilah tren yang menggambarkan orang-orang ini adalah ‘covidiot’. Ada beberapa indikasi dan levelisasi para covidiot ini. Mulai dari menyangkal eksistensi dari virus corona dan penyakit yang diakibatkan oleh virus tersebut (Covid-19). Ada pula yang menganggapnya ada, namun menyangkal bahwa dampaknya sebesar yang diberitakan media. Ada yang merasa kebal virus sampai mencoba membuktikan kekebalannya dengan tidak mematuhi protokol kesehatan, mulai dari tidak menggunakan masker, sengaja bikin acara kumpul bareng, sampai menyengaja berinteraksi erat dengan penderita Covid-19. Ada juga covidiot yang berlebihan dalam menyikapi pandemi, misalnya dengan memborong tisu, hand sanitizer, ataupun masker.

Parahnya lagi, sebagaimana Covid, covidiot ini juga menular. Opini menyesatkan dan berita hoax juga banyak dan terus diproduksi untuk semakin mendangkalkan paradigma berpikir para covidiot yang kerap sharing tanpa saring informasi yang sejalan dengan pemikirannya. Informasi yang kadang dibungkus dengan bumbu religius dan (pseudo)ilmiah semakin sulit untuk bisa diluruskan, apalagi jika ditambah benih ego dan kesombongan. Berpikir kritis terhadap kondisi di sekitar kita sebenarnya merupakan hal yang lebih baik dibandingkan berpikir naif dan terlalu polos. Hanya saja terlalu berpikir konspiratif justru sama sekali tidak memberi manfaat. Siapa yang paling diuntungkan jika alih-alih terbangun ‘herd immunity’ malah terbentuk ‘herd stupidity’ akibat masyarakat kian abai terhadap protokol kesehatan? Siapa yang paling diuntungkan dengan menuduh tenaga medis hingga pemerintah sebagai kaki tangan elit global? Kasus Covid semakin tinggi, korban semakin banyak, teori konspirasi tak kunjung terbukti. Para covidiot pun juga sama sekali tidak dapat untung.

(bersambung)

Semoga Kalian Syahid Akhirat

Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepada kalian dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan, “Inna lillahi wainna ilaihi raji’un.” Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhannya, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. Al Baqarah: 155-157)

Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un… Kabar duka itu kembali tiba. Tadi siang jam 10.40, Om Wagiman meninggal di RSUD Wonosari setelah 2 pekan dirawat akibat Covid. Om Wagiman adalah suami dari adik bungsu ibu saya yang tinggal berdampingan dengan rumah kakek dan nenek saya. Beliau berhenti dari pekerjaannya di Kota Yogyakarta dan memilih buka usaha di kampung seraya memperdalam agama. Istrinya pun berhenti bekerja dari salah satu bank konvensional terbesar di Wonosari untuk lebih fokus ke keluarga. Cepat sekali kabar duka itu tiba sebab baru malam Jum’at pekan lalu (17/6), Mbah Akung (ayahnya Ibu) meninggal dan dicovidkan. Dan baru seminggu sebelumnya, pada 11 Juni 2021, Bude Rani (istri dari kakak sulung Ibu) meninggal di RS. PON.

Bulan ini baru berjalan tiga pekan namun sudah banyak sekali kabar duka dari orang-orang yang saya kenal. Baru 3 hari lalu, Pak Yuli Pujihardi, salah seorang pimpinan Dompet Dhuafa meninggal di RS. Kartika Pulomas setelah terpapar Covid. Di awal bulan ini pada 4 Juni 2021, Mas Jojo, salah seorang tim IT senior di Dompet Dhuafa berpulang ke rahmatullah, juga terjangkit Covid. Belum lagi jika ditambah wafatnya orang tua dari teman-teman, rekan kerja di wilayah, tetangga di perumahan, hingga orang-orang yang banyak dikenal, tentu daftarnya akan semakin banyak lagi. Apalagi jika ditambahkan informasi tentang kenalan saya yang terpapar Covid di bulan ini. Tampaknya gelombang Covid bulan ini memang tidak main-main.

Salah satu hikmah dari kematian adalah pengingatan bagi mereka yang masih hidup untuk lebih siap dalam menghadapi kematian. Mendengar bagaimana testimoni orang-orang atas kebaikan mereka yang telah mendahului kita, membuat kita benar-benar merenung tentang bagaimana akhir hidup kita kelak dan akan dikenang seperti apa. Apalagi mendengar cerita tentang husnul khatimah beberapa rekan, kian membuat takut akan kesudahan su’ul khatimah. Kabar ‘bahagia’nya, orang beriman yang meninggal karena wabah akan memperoleh predikat syahid akhirat, Insya Allah. Ada ganjaran kebaikan yang menyertainya. Syahid dunia adalah seseorang yang berjuang seakan-akan di jalan Allah, akan tetapi niatnya hanya karena ingin dapat nama, ada pamrih, dan bukan karena Allah semata. Sementara mereka yang wafat karena berperang di jalan Allah akan memperoleh predikat syahid dunia akhirat, mendapat kebaikan di dunia dan akhirat, serta jaminan masuk surga.

Dari Aisyah r.a., istri Nabi Muhammad SAW, ia berkata, “Aku bertanya kepada Rasulullah SAW tentang tho’un. Rasulullah SAW lalu menjawab: Sesungguhnya wabah tho’un (penyakit menular dan mematikan) itu adalah ujian yang Allah kirimkan kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya dan Allah juga menjadikannya sebagai rahmat (bentuk kasih sayang) bagi orang-orang beriman. Tidaklah seorang hamba yang ketika di negerinya itu terjadi tho’un lalu tetap tinggal disana dengan sabar (doa dan ikhtiar) dan mengharap pahala di sisi Allah, dan pada saat yang sama ia sadar tak akan ada yang menimpanya selain telah digariskan-Nya, maka tidak ada balasan lain kecuali baginya pahala seperti pahala syahid.” (HR. Bukhari).

Dalam riwayat lain, Abu Hurairah r.a. berkata, “Rasulullah SAW bertanya (kepada sahabatnya), “Siapakah orang yang mati syahid di antara kalian?” Mereka menjawab, “Orang yang gugur di medan perang itulah syahid, Ya Rasulullah’’. Rasulullah SAW bersabda, “Kalau begitu, alangkah sedikit umatku yang syahid”. Para sahabat bertanya, “Mereka itu siapa ya Rasul?” Rasulullah SAW menjawab, “Orang yang gugur di medan perang itu syahid, orang yang mati di jalan Allah (bukan karena perang) juga syahid, orang yang tertimpa tha’un (wabah) pun syahid, dan orang yang mati karena sakit perut juga syahid.” (HR. Muslim).

Hal ini bukan berarti kita cukup mengharap kematian akibat Covid saja agar dapat predikat syahid akhirat. Apalagi ada prasyarat keimanan, kesabaran, keikhlasan, dan tawakkal untuk meraih predikat tersebut. Namun hal ini bisa jadi penguat optimisme dalam do’a-do’a kita. Semoga penyakit yang diderita orang yang mendahului kita dapat menggugurkan dosa-dosanya. Semoga kesabaran dalam menghadapi wabahnya dapat mendatangkan keridhaan Allah SWT. Sementara bagi kita yang masih hidup, cukuplah kematian sebagai pengingat. Bahwa kematian bisa datang kapanpun, dimanapun, dan dengan cara apapun. Bahwa ada perjalanan panjang nan kekal setelah kehidupan di dunia fana ini. Bahwa harus ada bekal yang cukup untuk menjalaninya. Maka berbekallah, sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa.

Allahummaghfirlahum warhamhum wa’afihim wa’fu ‘anhum. Allahumma la tahrimna ajrahum wala taftinna ba’dahum waghfirlana wa lahum wali ikhwaninalladzina sabaquna bil iman wala taj’al fi qulubina ghillal lilladzina amanu Rabbana innaka ra’ufurrahim (Ya Allah, ampunilah mereka, rahmatilah mereka, bebaskanlah dan maafkanlah mereka. Ya Allah, janganlah kiranya pahala mereka tidak sampai kepada kami dan janganlah Engkau memberi kami fitnah sepeninggal mereka. Ampunilah kami dan mereka, dan juga kepada saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami. Dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman, Ya Rabb kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang)

Orang-orang yang mati syahid yang selain terbunuh di jalan Allah ada tujuh orang, yaitu korban ath-tha’un (wabah) adalah syahid; mati tenggelam (ketika melakukan safar dalam rangka ketaatan) adalah syahid; yang punya luka pada lambung lalu mati, matinya adalah syahid; mati karena penyakit perut adalah syahid; korban kebakaran adalah syahid; yang mati tertimpa reruntuhan adalah syahid; dan seorang wanita yang meninggal karena melahirkan adalah syahid.” (HR. Abu Daud)

Tembus Sejuta Kasus Positif Covid, Prestasi Siapa?

“...Sepanjang tahun 2020 dan memasuki tahun 2021, kita menghadapi beberapa ujian, beberapa cobaan yang sangat berat. Pandemi Covid-19 yang melanda dunia, 215 negara dan Indonesia, telah mengakibatkan krisis kesehatan dan krisis ekonomi. Kita bersyukur, Indonesia termasuk negara yang bisa mengendalikan dua krisis tersebut dengan baik, tetapi permasalahan belum sepenuhnya selesai. Pandemi masih berlangsung dan kita harus waspada dan siaga…

Pernyataan tersebut disampaikan Presiden Joko Widodo dalam sambutan virtualnya pada Sidang Majelis Pekerja Lengkap Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (MPL-PGI) 25 Januari lalu. Entah statement yang optimis atau gegabah mengingat kala itu kasus positif Covid-19 di Indonesia hampir menyentuh angka sejuta kasus, dengan jumlah pasien Covid-19 yang meninggal lebih dari 28 ribu jiwa. Dan benar saja, selang sehari kemudian, berdasarkan laporan Gugus Tugas Percepatan Penanangan Covid-19, per 26 Januari 2021, Indonesia mencatatkan penambahan 13.094 kasus baru Covid-19 yang membuat Indonesia menembus jumlah 1 juta dengan total 1.012.350 kasus. Jumlah kasus ini bahkan lebih tinggi dari penggabungan jumlah kasus dari 9 negara ASEAN lainnya yang berjumlah 920.797 kasus. Filipina yang per 6 Agustus 2020 lalu sempat memuncaki kasus Covid-19 di wilayah Asia Tenggara, saat ini kurvanya sudah mulai menurun dengan 516.166 kasus, jauh tertinggal dari Indonesia. Dengan total tes per populasi penduduk yang kurang dari setengahnya dibandingkan Filipina, kasus riil Covid-19 di Indonesia kemungkinan jauh lebih besar dari data yang dilaporkan.

Ungkapan syukur bahwa Indonesia mampu mengelola Covid-19 bukan kali itu saja disampaikan Jokowi. “…Pemerintah telah mengambil langkah untuk mengurangi dampak dari krisis ini. Walau pandemik belum berlalu tapi kita bersyukur bahwa kita termasuk negara yang mampu mengelola tantangan ini. Penanganan kesehatan yang bisa dikendalikan dengan terus meningkatkan kewaspadaan dan pertumbuhan ekonomi yang sudah naik kembali sejak kuartal 3 lalu meski dalam kondisi minus…”, ucap Jokowi dalam acara HUT PDIP ke-48 10 Januari lalu. Ungkapan syukur tidak salah, namun beberapa pihak menganggapnya kurang tepat. Apalagi hingga kini belum ada permintaan maaf dari pemerintah atas penanganan pendemi Covid-19 yang terbilang sangat lamban. Belum lagi kasus korupsi dana bansos yang terkuak ke publik, pemerintah sepertinya lebih tepat untuk banyak istighfar dan meminta maaf, daripada memberikan ketenangan semu dengan prestasi semu.

Hari ini, Perdana Menteri Inggris Boris Johnson, menyampaikan permintaan maaf atas kasus dan kematian akibat virus corona yang terus bertambah. “Saya sangat menyesal atas setiap nyawa yang telah meninggal dan tentu saja, sebagai perdana menteri saya bertanggung jawab penuh atas semua yang telah dilakukan pemerintah…” ujar Johnson ketika angka kematian akibat Covid-19 di Inggris melampaui 100 ribu jiwa. September tahun lalu, Presiden Israel Reuven Rivlin, menyatakan permintaan maaf terhadap warga Israel akibat kegagalan pemerintah membendung pandemi virus corona. “Saya menyadari bahwa kami belum banyak melakukan apa-apa sebagai pemimpin yang pantas mendapat perhatian Anda. Anda percaya kami, dan kami mengecewakan Anda…”, ujar Rivlin ketika Israel menerapkan penguncian wilayah (lockdown) akibat lonjakan penularan dan kematian akibat Covid-19. Kanselir Jerman, Angela Merker pada 9 Desember lalu juga meminta maaf kepada publik atas peningkatan kematian harian akibat virus seraya menjura, membungkuk dengan menangkupkan kedua tangan. “Saya benar-benar minta maaf… tetapi jika kita membayar harga korban tewas pada 590 orang setiap hari maka itu menurut saya, tidak dapat diterima…” ujarnya dalam pidato emosional di depan parlemen.

Sikap berbeda ditunjukkan Pemerintah Indonesia. Memang berbagai upaya telah dilakukan pemerintah untuk mengendalikan virus, mulai dari penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), PSBB proporsional, hingga pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM). Presiden Jokowi juga sempat menunjuk Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan untuk menekan lonjakan kasus di beberapa daerah, namun upaya itu belum juga membuahkan hasil. Walau dianggap terlambat, Jokowi juga memecat Terawan Agus Putranto dan menunjuk Budi Gunadi Sadikin untuk menjadi Menteri Kesehatan, pun hasilnya juga belum terlihat.

Merespon data kasus Covid-19 yang sudah menembus 1 juta kasus, Menkes Budi Gunadi Sadikin berjanji akan lebih menggencarkan program 3T, yaitu testing, tracing, dan treatment untuk mengurangi laju penularan virus. “Angka ini membuat kita harus merenung dan ada dua momen penting yang harus kita sadari. Saatnya Indonesia untuk berduka. Sebab, dengan terus meningkatnya kasus, banyak sekali pasien yang meninggal dunia. Bahkan, sudah lebih dari 600 tenaga kesehatan gugur dalam menghadapi pandemi ini. Dan mungkin sebagian dari keluarga dekat dan teman dekat sudah meninggalkan kita. Itu momen pertama yang harus kita lalui bahwa ada rasa duka yang mendalam dari pemerintah, dari seluruh rakyat Indonesia atas angka ini… Angka 1 juta ini memberikan satu indikasi bahwa seluruh rakyat Indonesia harus bersama dengan pemerintah bekerja bersama untuk atasi pandemi ini dengan lebih keras lagi. Kita teruskan kerja keras kita…” ujar Menkes dalam tayangan YouTube Sekretariat Presiden. Bukan permintaan maaf, namun mengajak masyarakat untuk merenung. Dalam kesempatan yang berbeda, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mengatakan, dibutuhkan percepatan dan keserempakan program vaksinasi Covid-19 untuk membangun kekebalan kelompok atau herd immunity. Semakin cepat herd immunity terbentuk, semakin cepat pula pandemi berakhir. “Perlu ada kecepatan. Itu kuncinya kenapa perlu cepat dilakukan vaksinasi kepada dua pertiga populasi agar memiliki antibodi,” kata Tito saat Rapat Monitoring dan Evaluasi Pelaksanaan Vaksinasi Covid-19, Senin lalu.

Semuanya baik-baik saja. Barangkali itu pesan yang disampaikan Pemerintah Indonesia dalam menghadapi Covid-19. Tanpa kesedihan dan kecemasan pun korban terus bertambah. Jika kita telusuri rekam perjalanan pandemi Covid-19 di negara ini, kita akan mendapati banyak pernyataan kontroversial dari para pejabat tinggi yang sebenarnya justru kontraproduktif dalam upaya penanganan Covid-19. Misalnya Menkes Terawan yang mengatakan tidak ada masyarakat Indonesia yang terkena virus corona karena do’a. Atau Menhub Budi Karya yang sebelum positif Covid-19 pernah berkelakar bahwa masyarakat Indonesia memiliki kekebalan tubuh dari virus corona karena gemar makan nasi kucing. Bukan sebatas pernyataan, kebijakan kontroversial juga kerap dibuat. Misalnya pemberian diskon bagi wisatawan untuk menggenjor sektor pariwisata, atau anggaran untuk influencer yang mencapai 90,45 miliar rupiah. Dan pada akhirnya, kita tidak bisa terus mengutuk kegelapan. Berusaha menjadi bagian dari solusi pun keberhasilannya akan diklaim pemerintah. Apalagi menghadapi rezim yang anti kritik, yang dapat dilakukan hanya senantiasa menjaga diri, keluarga, dan lingkungan sekitar kita agar tetap baik-baik saja. Mematuhi protokol kesehatan karena kesadaran, bukan sekadar ikut kebijakan pemerintah yang seringkali tak tentu arah. Karena solusi mengatasi pandemi ini ada di setiap diri kita.

Alhamdulillah 243 WNI yang pulang dari Wuhan dan diobservasi 14 hari di Natuna dinyatakan bersih dari Corona. Dalam kelakarnya, Menko Perekonomian Airlangga bilang: Karena perizinan di Indonesia berbelit-belit maka virus corona tak bisa masuk. Tapi omnibus law tentang perizinan lapangan kerja jalan terus” (Mahfud MD)

Untuk Kita Renungkan

Kita mesti telanjang dan benar-benar bersih
Suci lahir dan di dalam batin
Tengoklah ke dalam sebelum bicara
Singkirkan debu yang masih melekat…

Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 2003 menetapkan 9 Desember sebagai Hari Antikorupsi Sedunia. Tema Hari Antikorupsi tahun ini adalah “Recover with Integrity to Build Forward Better”. Tema ini erat kaitannya dengan mitigasi korupsi dan pemulihan Covid-19, sesuatu yang menjadi ironi di Indonesia. Baru beberapa hari yang lalu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap Menteri Sosial, Juliari P. Batubara terkait korupsi Bantuan Sosial (Bansos) Covid-19. Ironisnya lagi, Wakil Bendahara Umum PDIP ini kerap terlibat aktif dalam kampanye antikorupsi. Dalam posternya sebagai Caleg DPR RI Dapil Jateng 1 pada Pemilu 2019 lalu, ditampilkan slogan besar “Korupsi dibabat pasti Indonesia Hebat!”. Dalam cuplikan wawancara setelah diangkat Jokowi sebagai Mensos akhir tahun lalu, Pak Juliari sempat mengatakan “…Jadi pengendalian korupsi itu ya diri sendiri, nggak ada orang lain. Inget lho, kalau kamu korupsi kasihan anak istrimu, kasihan anak suamimu. Mereka pasti keluar malu!”. Bahkan pada peringatan Hari Antikorupsi tahun ini beredar banyak spanduk yang memuat fotonya dengan tulisan “Membangun Kesadaran Seluruh Elemen Bangsa dalam Budaya Anti Korupsi: Kemensos RI Hadir Tanpa Korupsi Wujudkan Indonesia Sejahtera”. Gambaran lengkap pribadi tanpa integritas. Apa yang diucapkan berbeda dengan yang dilakukan. Masih ingat dengan slogan “Katakan Tidak! pada Korupsi” dimana tiga bintang utama iklan tersebut malah didakwa sebagai koruptor? Demikianlah politik pencitraan. Ringan dalam berkata, namun karena tak bersumber dari bersihnya jiwa, perilaku yang ditampilkan jadi jauh berbeda.

Anugrah dan bencana adalah kehendak-Nya
Kita mesti tabah menjalani
Hanya cam
buk kecil agar kita sadar
Adalah Dia diatas segalanya…

Dua pekan lalu, KPK menetapkan Menteri Kelautan dan Perikanan, Edhy Prabowo sebagai tersangka kasus korupsi ekspor benih lobster (benur). Pada peringatan Hari Antikorupsi tahun lalu, Pak Edhy sempat mengunggah cuitan di laman twitternya, “Korupsi adalah musuh utama yang harus kita perangi. Bersama-sama membangun komitmen KKP menjadi birokrat yang bersih dan melayani untuk mewujudkan masyarakat kelautan dan perikanan yang sejahtera. Selamat Hari Antikorupsi Sedunia!”. Lagi-lagi perkataan yang tidak sesuai dengan perbuatan. Entah sekadar tuntutan jabatan atau memang terlalu jumawa, kesudahan mereka yang berteriak lantang antikorupsi justru tidak sedikit yang berakhir di jeruji besi. Bisa jadi batas benci dan cinta memang sedemikian tipis. Bisa jadi pula manusia diuji dengan sisi terlemahnya. Yang pasti, semangat antikorupsi memang bukan sebatas kata dan narasi. Tetapi sikap aktif untuk tetap jujur dan amanah dalam menghadapi segala godaan dunia.

…Ini bukan hukuman hanya satu isyarat
Bahwa kit
a mesti banyak berbenah
Memang bila kita kaji lebih jauh
Dalam kekalutan, masih banyak tangan yang tega berbuat nista…

Tanpa bermaksud mengecilkan, jika ekspor benur adalah urusan bisnis, korupsi bansos Covid-19 adalah urusan hajat hidup orang banyak. Jahat sekali rasanya, mengambil hak mereka yang terdampak bencana. Tak heran wacana hukuman mati mengemuka sesuai Undang-undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) pasal 2. Dalam UU Tipikor disebutkan, hukuman mati bisa dijatuhkan jika korupsi dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak pidana korupsi. Pun sepertinya hukuman mati bagi koruptor hanyalah wacana. Mantan Bupati Nias, Binahati Benedictus Baeha yang pernah terlibat dalam kasus korupsi dana bantuan bencana tsunami Nias divonis 5 tahun penjara. Mantan Anggota DPRD Mataram, Muhir terjaring OTT Kejari Mataram terkait kasus pungli bencana alam divonis 2 tahun penjara. Korupsi penyediaan air bersih di wilayah bencana oleh para pejabat Kementerian PUPR dan korupsi rehab masjid di NTB oleh para ASN Kanwil Kemenag juga tidak ada yang dihukum mati. Jangankan hukuman mati untuk kasus korupsi, hukuman potong tangan tampaknya takkan terjadi di negara ini. Dan akhirnya, rakyatlah yang paling menderita.

Tuhan pasti telah memperhitungkan amal dan dosa yang kita perbuat
Kemanakah lagi kita ‘kan sembunyi, hanya kepada-Nya kita kembali
Tak ada yang bakal bisa menjawab
Mari hanya runduk sujud pada-Nya…

Dalam perspektif manusia, korupsi tidak dapat dibenarkan. Dalam perspektif Islam apalagi, korupsi adalah tindak kriminal yang masuk konteks suap (risywah), pencurian, penipuan, dan pengkhianatan. Harta hasil korupsi tidaklah berkah, do’a dan shadaqoh koruptor tidak diterima, dan korupsi bukan hanya menjadi penghalang untuk masuk surga, namun akan memberi penghinaan bagi pelakunya dan menyeretnya ke neraka. Dalam sebuah hadits yang panjang, Rasulullah SAW bersabda, “…Sesungguhnya saya mempekerjakan salah seorang di antara kalian untuk mengumpulkan zakat yang telah Allah kuasakan kepadaku, lantas ia datang dan mengatakan, “Ini hartamu dan ini hadiah yang diberikan kepadaku”. Kenapa dia tidak duduk-duduk saja di rumah ayahnya atau ibunya sampai hadiahnya datang kepadanya? Demi Allah, tidaklah salah seorang diantara kalian mengambil sesuatu yang bukan haknya, selain ia menjumpai Allah pada hari kiamat dengan memikul hak itu, aku tahu salah seorang di antara kalian menjumpai Allah dengan memikul unta yang mendengus, atau sapi yang melenguh, atau kambing yang mengembik…” (HR. Bukhari).

Kita mesti berjuang memerangi diri
Bercermin dan banyaklah bercermin
Tuhan ada dis
ini, di dalam jiwa ini
Berusahalah agar Dia tersenyum…

Dan akhirnya, biarkanlah hukum berjalan, bukan kuasa kita untuk memvonis dan menetapkan hukuman. Persoalannya sekarang, ini bukan tentang orang lain, tetapi ini tentang kita. Mengambil pelajaran memang lebih mudah dibandingkan bercermin. Padahal tidak ada jaminan kita benar-benar terbebas dari dosa korupsi. Dosa ini bisa dimulai dari perkara remeh seperti mencontek, plagiat, tidak jujur dalam mengisi presensi kehadiran, mengurangi timbangan, mengambil keuntungan secara tidak jujur, dan sebagainya. ‘Tidak korupsi’ butuh pembuktian, bukan sebatas omongan. Benteng kokohnya adalah keikhlashan, kesabaran, dan rasa syukur yang mendalam. Dan biasanya, korupsi tidaklah sendirian. Karenanya butuh lingkungan yang dapat berani menegur dan saling mengingatkan untuk menjaga idealisme antikorupsi. Dan jangan lupa, perkuat hubungan dengan Sang Pemilik Jiwa yang Maha Mengawasi Hamba-Nya. Semoga Allah SWT senantiasa memelihara kita dari aksi korupsi yang tercela. Selamat Hari Antikorupsi Sedunia!

“Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil, dan (janganlah) kamu membawa (urusan) hartamu itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian dari pada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.” (QS. Al Baqarah: 188)

*judul dan quote diambil dari lirik lagu “Untuk Kita Renungkan”, Ebiet G. Ade

Tidak Ada Corona Disini…

You wouldn’t worry so much about what others think of you if you realized how seldom they do
(Eleanor Roosevelt)

Tidak ada corona disini… Santai sajalah…”, ujar seorang guru mendapati saya masih memakai masker di sebuah rumah makan seraya membawa tumbler sendiri. Hari ini adalah hari ketigaku di Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB). Suasananya memang jauh berbeda dengan Jakarta. Tidak semua –bahkan tidak banyak—orang yang mengikuti protokol kesehatan, pun sebatas menggunakan masker ataupun menjaga jarak di tempat umum. Tempat makan ini cukup ramai, tanpa ada tanda silang di meja ataupun di kursinya. Ketika Shalat Jum’at tadi siang pun, saya yang membawa sajadah sendiri termasuk jama’ah yang langka. Orang-orang sini mengatakan bahwa mereka sudah bosan dengan berbagai pembatasan akibat virus corona. Toh setelah sekolah dibuka tidak terjadi lonjakan drastis kasus positif corona. Entah karena imunitas penduduknya tinggi, atau karena pengetesan corona tidak dilakukan. Yang jelas menurut mereka, kunci sehat adalah berbahagia, tidak cemas berlebihan.

Perjalanan kali ini adalah pertama kalinya saya ke luar kota, setelah terakhir ke Pekanbaru awal Maret lalu tepat ketika diumumkannya kasus pertama positif corona di Indonesia. Sehingga menjadi kali pertama juga merasakan administrasi ala new normal untuk bepergian ke luar kota. Dimulai dari rapid test mandiri (sebelumnya sudah pernah rapid dan SWAB test difasilitasi kantor). Ternyata semuanya berbasis aplikasi, tidak semudah sekadar datang ke klinik penyedia jasa rapid test untuk memperoleh layanan. Setidaknya dengan cara ‘konvensional’, sudah dua klinik yang menolak saya untuk rapid test dikarenakan alatnya habis. Di tempat selanjutnya yang alatnya tersedia, saya diminta surat pengantar dari dokter untuk melakukan rapid test. Cara lainnya adalah mendaftar melalui aplikasi, namun hasilnya baru akan keluar esok hari jam 9 pagi. Padahal jadwal penerbangan saya jam 8 pagi. Akhirnya, atas bantuan teman melalui aplikasi, berhasil juga melakukan drive thru rapid test di daerah Cilandak. Praktis dan terbilang murah (ehm, malah promosi). Tidak perlu menunggu hasilnya keluar karena hasilnya akan langsung dikirim melalui aplikasi. Cukup efektif dan efisien buat mereka yang sibuk (ciee…).

Singkat cerita, esok paginya tiba di bandara yang cukup lenggang. Pintu masuk untuk pemeriksaan hasil rapid test ternyata hanya satu arah, dimana juga terdapat pemeriksaan suhu tubuh, sehingga saya harus berjalan memutar cukup jauh (maklum newbie). Dan karena hasil rapid testnya hanya ditunjukkan via ponsel, saya harus mengisi form verifikasi yang hanya berlaku sekali jalan. Jadi pelajaran bahwa sebaiknya hasil rapid testnya dicetak. Pengecekan suhu tubuh dan verifikasi rapid test sebelum check-in inilah yang barangkali membedakan dengan prosedur keberangkatan biasanya. Yah, ditambah tanda silang di bangku ruang tunggu untuk social distancing lah. Uniknya, social distancing ini tidak berlaku di kabin pesawat. Memang kabarnya, pesawat merupakan moda transportasi yang paling aman terhadap penyebaran virus corona. Filter udaranya efektif dalam menyaring kotoran dan mikroorganisme. Sirkulasi udara dalam kabin pesawat juga baik. Walaupun jika melihat kronologi Covid-19, bandaralah yang menjadi salah satu tempat paling rawan dalam penyebaran virus corona. Bedanya lagi di masa pandemi ini, awak kabin menggunakan face shield dan sarung tangan. Kemudian dalam aturan keselamatan penerbangan ada beberapa tambahan terkait protokol kesehatan. Terakhir, di bandara tujuan ada pemeriksaan Health Alert Card (HAC). Sebaiknya e-HAC diisi sebelum melakukan perjalanan melalui aplikasi, sebab pemeriksaan yang dilakukan hanyalah scan barcode e-HAC di terminal kedatangan. Akan lebih merepotkan dan menyebabkan antrean jika baru mengisi e-HAC di pintu bandara kedatangan. Jangan lupa memastikan HP cukup daya dan bisa menampilkan barcode e-HAC.

* * *

Santai saja, corona ga punya harga diri disini…”, timpal guru lain. Saya hanya tersenyum dibalik masker. Berharap sikap yang muncul bukanlah karena abai apalagi menantang, namun sebuah bentuk optimisme menatap masa depan. Per 27 November ini, Covid-19 mencetak dua rekor sekaligus. Jumlah kasus baru positif corona hari ini yang mencapai 5.828 kasus adalah rekor tertinggi kasus harian Covid-19 di Indonesia sejauh ini. Sementara 169 korban jiwa akibat Covid-19 hari ini sejauh ini juga merupakan rekor tertinggi kematian harian akibat Covid-19 di Indonesia. Alhamdulillah, saya dan guru-guru disini baik-baik saja, tanpa gejala. Beberapa hari ini via grup WA, beberapa rekan saya terkonfirmasi positif Covid-19. Saya membayangkan di berbagai pelosok tanah air, bahkan di penjuru dunia, semakin banyak orang yang menganggap Covid-19 biasa saja. Lebih dari 60 juta kasus corona di dunia dengan lebih dari 1,43 juta korban jiwa kian dianggap lumrah. Toh lebih dari 65% pasien bisa sembuh. Belum lagi, ada berbagai bumbu teori konspirasi yang membuat pendemi ini semakin diremehkan.

Corona tak ada disini? Who knows? Sebab ukurannya tak kasat mata. Kalaupun tak ada disini bukan berarti tak ada dimana-mana. Jikalau tak ada saat ini disini, bukan berarti takkan ada disini selamanya. Saya barangkali termasuk orang yang beranggapan bahwa ada campur tangan manusia yang merusak keseimbangan dalam ekskalasi pandemi ini, bukan karena faktor alam ataupun ketidaksengajaan. Namun bukan berarti Covid-19 adalah hoax dan virus corona hanyalah sebuah kebohongan. Lantas apa susahnya menjaga diri dan orang lain dengan mematuhi protokol kesehatan yang sederhana? Toh yang diminta sebatas menggunakan masker bukan memakai APD lengkap yang merepotkan. Toh yang dianjurkan sekadar rajin cuci tangan dan berperilaku hidup bersih dan sehat, bukan harus rajin rapid dan SWAB test yang akan memberatkan. Toh yang disarankan adalah menjaga jarak bukan meniadakan interaksi sosial dengan orang lain yang tidak manusiawi. Sehingga pada akhirnya bukan ada atau tidaknya corona disini, tetapi ada atau tidaknya manusia disini. Manusia yang baik adalah manusia yang dapat menghadirkan rasa aman bagi manusia lainnya. Manusia yang memberikan kebermanfaatan, bukan malah berpotensi mencelakakan. Dan menjadi baik itu mudah. Terapkan protokol kesehatan. Sesederhana itu. Sehingga ada atau tidaknya corona tak menjadi pembatas untuk menunaikan hak dan kewajiban sebagai manusia untuk saling menjaga. Semoga Allah SWT senantiasa menjaga kita semua.

Tidak sepatutnya seseorang merasa aman tentang dua hal: kesehatan dan kekayaan
(Ali bin Abi Thalib)

Iman Dulu Baru Imun

Dari Abdullah bin Abbas r.a., bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Jagalah Allah, niscaya Dia menjagamu. Jagalah Allah, niscaya kamu mendapati-Nya bersamamu. Jika kamu mempunyai permintaan, mintalah kepada Allah. Jika kamu membutuhkan pertolongan, minta tolonglah kepada Allah. Ketahuilah, seandainya seluruh manusia bersatu untuk memberi manfaat dengan sesuatu, mereka tidak akan dapat melakukannya kecuali dengan sesuatu yang telah Allah tetapkan untukmu. Dan jika mereka bersatu untuk mencelakakanmu dengan sesuatu, mereka tidak akan dapat melakukannya kecuali dengan sesuatu yang telah Allah tetapkan untukmu. Pena telah diangkat dan lembaran-lembaran telah mengering.
(HR. At Tirmidzi)

Rekor kasus harian Covid-19 di Indonesia tercipta per 8 Oktober lalu yaitu penambahan sebesar 4.850 kasus baru. Angka ini melampaui rekor harian sebelumnya sebesar 4.823 kasus baru per 25 September 2020. Penambahan kasus Covid-19 ini terjadi di seluruh provinsi di Indonesia, dimana DKI Jakarta menjadi penyumbang terbesar dengan 1.182 kasus baru. Ricuhnya demonstrasi Omnibus Law melengkapi kabar duka dari negeri ini.

Ada yang unik dari pandemi Covid-19 ini, pola serangannya acak, mempersulit proses tracing nya. Tidak sedikit olahragawan yang fisiknya sehat ternyata terjangkit, namun rekan-rekan yang berlatih bersamanya ternyata negatif. Dalam sebuah ruangan dimana terdapat orang yang positif corona, tidak semua orang di ruangan tersebut tertular virus corona, dan belum tentu mereka yang tertular adalah yang dekat jaraknya dengan pembawa virus. Ada yang sembuh cepat pun dengan penyakit penyerta (komorbid), ada yang lama sembuhnya walau tanpa komorbid. Ada yang abai namun selamat dari pandemi, ada yang ketat menerapkan protokol kesehatan namun masih terpapar virus.

Selama ini, sistem imun yang dimiliki seseorang lah yang dijadikan jawaban ilmiahnya. Walau sebenarnya tak bisa menjawab penyebaran virus yang memilih korbannya secara acak, termasuk mereka yang punya pola hidup sehat. Karenanya, kita perlu mengembalikan jawabannya kepada perkara yang lebih esensi, yaitu keimanan. Dalam konteks iman, keselamatan dan kecelakaan adalah hak prerogratif Allah SWT. Sakit, sembuh, dan sehat merupakan ketetapan dari Allah SWT. Sehingga kita mampu bersyukur dan tidak lalai terhadap kesehatan yang menyertai. Juga mampu bersabar, tidak berputus asa, serta senantiasa mengambil pelajaran dari setiap musibah yang melanda. Ya, jawaban mengapa ada yang positif atau negatif Covid-19 dengan beragam kondisinya dalam perspektif keimanan adalah semata karena takdir Allah SWT. Jadi bukan imun yang menentukan.

Iman adalah sesuatu yang tidak hanya diyakini dalam hati, namun juga diucapkan dengan lisan, dan diamalkan dengan perbuatan. Dalam aspek spiritual, keimanan ini akan menghadirkan ketenangan jiwa dalam kondisi apapun. Perasaan tenteram dari stres, cemas, dan takut berlebihan akan menguatkan sistem imun tubuh, sehingga lebih tangguh menghadapi penyakit yang menyelinap ke dalam tubuh. Pada titik inilah iman akan berdampak positif terhadap imun. Bahkan dalam kondisi terserang penyakit pun, orang dengan iman yang kuat akan tetap bisa berpikir dan bersikap positif. Alhasil, keimanannya akan kian bertambah dengan penyakitnya. Nabi Ayub a.s. ketika ditimpa ujian hidup hingga 18 tahun hanya berdo’a, “(Ya Rabbku), sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Rabb Yang Maha Penyayang di antara semua penyayang.” (QS. Al Anbiya: 83). Hanya mengadu, tanpa mengeluh, menuntut, ataupun menyalahkan. Kalaupun ada kesembuhan yang diharapkan, itupun dalam rangka keta’atan karena penyakitnya menghambatnya dalam beribadah. “Sesungguhnya aku diganggu setan dengan kepayahan dan siksaan.” (QS. Shad: 41). Hal ini menguatkan bahwa bagaimanapun, iman harus didahulukan daripada imun.

Lantas apakah mereka yang merasa aman dari virus Corona membuktikan bahwa keimanan mereka kuat? Hati-hati, dalam hal ini ‘rasa aman’ bak pisau bermata dua. Bisa hadir dari manifestasi iman dan kekuatan tawakkal. Bisa juga indikasi dari sifat ujub dan takabbur. Indikator pembedanya hanya amal shalih dan kesombongan. Raja’ dan rasa aman harus disertai amal shalih. Kisah perjalanan khalifah Umar bin Khattab r.a. ke Negeri Syam yang masyhur di masa pandemi ini dapat menjadi i’tibar. Di wilayah Saragh, Abu Ubaidah bin Al Jarrah r.a. memberitahu bahwa Negeri Syam tengah dilanda wabah tha’un. Dalam musyawarah dadakan yang digelar, para shahabat berbeda pendapat antara melanjutkan perjalanan ke Syam atau kembali ke Madinah. Akhirnya Amirul Mukminin mengikuti saran dari sesepuh Quraisy yang hijrah sebelum fathu Makkah untuk kembali ke Madinah. Beberapa shahabat tidak puas, termasuk Abu Ubaidah r.a. yang lantas bertanya, “Wahai Amirul Mukminin, apakah kita hendak lari dari takdir Allah?”. “Ya, kita lari dari takdir Allah kepada takdir Allah yang lain”, jawab Umar r.a. dengan tegas seraya memberikan analogi seseorang yang memiliki seekor unta lalu turun ke lembah yang mempunyai dua sisi, yang satu subur dan yang lain tandus. “Jika engkau menggembalakan untamu di tempat tandus adalah takdir Allah, maka bukankah jika engkau menggembalakannya di tempat yang subur, berarti engkau menggembala dengan takdir Allah juga?”, jelas Umar r.a. Keputusan ini dikuatkan oleh Abdurrahman bin ‘Auf r.a. yang datang terlambat dan menyampaikan bahwa ia pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Apabila kamu mendengar wabah berjangkit di suatu negeri, janganlah kamu datangi negeri itu. Dan apabila wabah itu berjangkit di negeri tempat kamu berada, maka janganlah keluar dari negeri itu karena hendak melarikan diri” (HR. Bukhari – Muslim).

Iman perlu disertai dengan amal, tawakkal perlu diiringi dengan ikhtiar. Mereka yang abai terhadap protokol kesehatan namun ‘merasa aman’ dengan hanya mengonsumsi madu dan habbatussauda misalnya, tidaklah sempurna ikhtiar dan keimanannya. Apalagi jika sampai bersikap keras kepala ketika ditegur, bahkan merendahkan orang lain. Bisa jadi ‘rasa aman’nya justru muncul dari goda’an setan. Sebab sebagaimana penyakit, kesehatan dan ‘rasa aman’ juga sejatinya merupakan ujian keimanan. Iman adalah kunci untuk memproduksi sistem imun dan rasa aman. Sebagaimana iman, imun dan aman juga merupakan nikmat Allah yang perlu dijaga. Ar-Razi berkata, “Sebagian ulama ditanya, apakah rasa aman lebih baik dari kesehatan? Maka jawabannya rasa aman labih baik. Dalilnya adalah seandainya kambing kakiknya patah maka akan sembuh beberapa waktu lagi. Kemudian seandainya kambing diikat pada suatu tempat dekat dengan serigala, maka ia tidak akan makan sampai mati. Hal ini menunjukkah bahwa bahaya yang akibat rasa takut lebih besar daripada rasa sakit di badan”. Dan dari semuanya, nikmat iman adalah nikmat yang paling besar. Ibnu Taimiyah berkata, “Nikmat Allah yang paling besar terhadap hamba-Nya adalah nikmat iman. Dia adalah ucapan dan perbuatan, bertambah dan berkurang, bertambah dengan taat dan kebaikan, berkurang dengan kefasikan dan kemaksiatan”. Mari kita rawat iman untuk juga merawat imun.

Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.
(QS. Al-An’am: 82)

Dan FPL (Musim Ini) Pun Usai… (2/2)

Sudah banyak situs hingga akun youtube yang menjelaskan mengenai aturan main, tips & trick, hingga rekomendasi pemain terkait FPL, pun sebenarnya menganalisis dan memilih sendiri tim FPL merupakan suatu keasyikan tersendiri. Dengan poin dan peringkat yang biasa saja tentunya tidak layak bagi saya untuk banyak berkoar-koar tentang strategi dalam bermain FPL. Namun di sisi lain barangkali ada analisis dari catatan pengalaman newbie yang bisa dijadikan salah satu referensi untuk optimalisasi mendulang poin FPL.

Pertama, manajer FPL baru perlu memahami aturan main dan istilah FPL. Misalnya bench boost, free hit, wild card, blank game week, double game week, dan sebagainya. Ketentuan bagaimana poin diberikan ataupun potensi pengurangan poin juga perlu dipahami. Anggaplah sebagai bekal awal sehingga tidak terlalu coba-coba. Kedua, pastikan availability pemain. Poin FPL memang banyak ditentukan dari keterlibatan pemain terhadap gol, misalnya mencetak gol atau assist, atau melakukan aksi penyelamatan dan cleansheet. Namun memastikan pemain ikut bertanding adalah lebih mendasar. Pertandingan FPL perdana saya di pekan 1 musim 2018/2019 berantakan karena ada empat pemain yang tidak bermain atau cidera, termasuk Son Heung-Min yang ikut Asian Games 2018. Pekan berikutnya tidak lebih baik karena keempat pemain tersebut diganti (poin minus 12) namun mubazir tidak semuanya dimainkan. Di pekan-pekan berikutnya juga kurang diuntungkan ketika mengganti pemain yang ditandai cedera namun ternyata dimainkan, dengan pemain yang tidak ditandai cidera namun ternyata tidak main atau bahkan cedera. Bagaimanapun, pemain yang ikut bertanding walaupun kalah masih berpotensi mendapat poin selama tidak banyak mendapat pengurangan poin.

Ambil contoh untuk pemain musim 2019/2020 ini. Untuk posisi kiper, banyak yang bermain penuh di 38 pertandingan. Kiper Liverpool, Alisson, yang sempat cedera di awal musim hanya ada di urutan ke-12 untuk posisi goalkeepers FPL dengan 122 poin, jauh di bawah kiper Burnley, Nick Pope (170 poin). Bahkan Alisson yang mencatatkan 13 cleansheet dan hanya kebobolan 24 gol, masih kalah jumlah poinnya dibandingkan Foster, kiper Watford (137 poin) yang bermain penuh dan hanya mencatatkan 9 cleansheet, kebobolan 64 gol, dan timnya pun terdegradasi. Di posisi defenders Liverpool, van Dijk (178 poin) memang ada di bawah Trent (210 poin) dan Robertson (181 poin) yang assistnya dua digit. Namun bermodalkan bermain penuh, 5 gol dan 2 assist, van Dijk ada di atas Doherty (Wolves, 167 poin, 4 gol, 8 assist) dan Lundstram (Sheffield United, 144 poin, 5 gol, 4 assist) yang tidak selalu menjadi pilihan utama. Pun demikian dengan Tarkowski (Burnley, 143 poin, 2 gol, 3 assist) yang bermain full, total poinnya di atas beberapa pemain yang lebih banyak terlibat dalam gol namun tak bermain penuh, misalnya Azpilicueta (Chelsea, 130 poin, 2 gol, 6 assist).

Kemudian ada Ward-Prowse, midfielder yang bermain penuh untuk Southampton, mencetak 5 gol dan 4 assist dengan total poin 117. Poin ini sama dengan Bruno Fernandes (MU, 8 gol, 8 assist), dan Dele Alli (Spurs, 8 gol, 6 assist) yang waktu bermainnya jauh lebih sedikit. Antonio yang dimainkan West Ham dengan waktu bermain hanya setengah dari Ward-Prowse, walau berhasil mencetak 10 gol dan 4 assist, total poinnya hanya 111. Untuk posisi striker, ada Jimenez (194 poin) yang bermain penuh untuk Wolves. Dengan sama-sama mencetak 17 gol, Jimenez dengan 7 assistnya mengungguli Rashford (MU, 177 poin) yang memberikan 8 assist.

Hal lain yang perlu diperhatikan adalah tidak perlu terlalu sering melakukan transfer pemain, kecuali kondisi urgen akibat cedera, suspensi, dan sebagainya. Atau mempertimbangkan jadwal pertandingan ke depan. Bukan hanya transfer berlebih akan ada konsekuensi pengurangan 4 poin (-4) untuk setiap kelebihan pemain, namun tidak ada jaminan pemain yang menggantikan akan lebih baik dari yang digantikan. Apalagi bola itu bulat dan konsisten bermain baik juga tidak mudah. Belum lagi jika poin akhir perolehan sama, manajer FPL yang lebih sedikit melakukan transfer akan menempati peringkat yang lebih tinggi. Selain itu, semakin banyak transfer, semakin banyak opsi, semakin membuat pusing. Hal ini terkait dengan catatan berikutnya yaitu jangan terlalu serius dalam bermain FPL. Alih-alih menjadi hiburan, yang ada malah stres. Tak perlu dipikirkan berlarut-larut, seringkali lintasan pikiran yang muncul di awal adalah intuisi yang benar. Salah pilih starter, salah pilih kapten, hingga salah transfer adalah hall umrah dalam FPL. Selanjutnya, kecermatan dalam memanfaatkan chips, DGW, dan BGW juga menjadi seni tersendiri dalam bermain FPL.

Kiper yang paling potensial biasanya bukan yang paling mahal, namun yang paling tangguh. Banyak bermain, banyak cleansheet, banyak penyelamatan, termasuk dari titik putih. Pemain defender yang paling potensial biasanya bek sayap yang kerap memberi assist, atau bek yang diandalkan dalam situasi set piece. Posisi midfielder yang paling potensial biasanya gelandang serang yang banyak terlibat dalam gol, serta eksekusi bola mati. Gelandang serang ini sangat diuntungkan dalam mendulang poin. Di satu sisi bisa berperan sebagai striker, misalnya Martial di MU dan Antonio di West Ham. Di sisi lain dapat poin dari cleansheet. Tak heran pemain dengan poin tertinggi ada di posisi ini. Musim 2018/2019 lalu ada Salah (poin 259), Hazard (238), Sterling (234), dan Mane (231). Di musim 2019/2020 ini ada De Bruyne (poin 251), Salah (233), dan Mane (221). Sementara untuk posisi striker yang paling potensial adalah yang paling produktif mencetak gol, kemudian memberikan assist. Musim lalu ada Aubameyang (23 gol) dan Aguero (22 gol), di musim ini ada Vardy (23 gol), Aubameyang (22 gol) dan Ings (22 gol). Dan yang terbaik belum tentu yang paling mahal. Pope, De Bruyne, dan Vardy bukanlah yang paling mahal di posisinya. Hanya Trent Alexander-Arnold, bek terbaik sekaligus termahal harganya di FPL.

Dan FPL musim ini akhirnya usai. Pandemi Covid-19 membuat musim ini terasa berbeda. Head to head leagues yang cukup menarik dalam bragging rights kehilangan keseruannya justru di masa-masa krusial. Namun di sisi lain, wildcard di musim ini dapat jatah tiga kali. Dan waktu jeda antar musim pun lebih singkat. Liga Inggris 2020/2021 akan dimulai kembali 12 September 2020, hanya berjarak delapan pekan dari berakhirnya musim 2019/2020. Dan hanya berselang tiga pekan dari final Liga Champions 2020. Dan karena FPL semakin dikenal luas, bahkan ternyata di kantor dan lingkungan perumahan ada mini liga FPL, manajer FPL musim depan sepertinya akan semakin meningkat. Apalagi pandemi Covid-19 belum benar-benar berakhir sehingga games online juga semakin diminati. Belum lagi realita persaingan Liga Inggris 2020/2021 tampaknya kian sengit. Dominasi Liverpool dan Manchester City terancam dengan menanjaknya performa tim lain semisal Chelsea dan Manchester United. Hal ini tentu akan menjadi daya tarik tersendiri. Dan FPL musim ini akhirnya usai, sampai jumpa di FPL musim depan. Jika ada mini liga FPL bolehlah saya ikutan. Atau jangan-jangan ada rekomendasi fantasy football lain yang cukup menarik? Saya sudah coba UCL Fantasy, masih kalah seru lah dibandingkan FPL. Salam panah hijau!

“Football is a game of mistakes. Whoever makes the fewest mistakes wins.” (Johan Cruyff)

Dan FPL (Musim Ini) Pun Usai… (1/2)

Football is a game about feelings and intelligence” (Jose Mourinho)

Berbagai liga sepakbola Eropa telah selesai. Beberapa liga bahkan selesai lebih awal akibat pandemi Covid-19. Liga Perancis (Ligue 1) selesai di pekan ke-28 dengan pertandingan Lille vs Lyon pada 8 Maret 2020 sebagai pertandingan pamungkas. PSG ditetapkan sebagai juara Ligue 1 setelah memuncaki klasemen dengan selisih 12 poin plus satu pertandingan lebih banyak dibandingkan Marseille di posisi runner-up. Hingga saat ini kasus positif corona di Perancis masih terus bertambah pun sudah melewati puncaknya. Perancis ada di urutan ke-19 dengan lebih dari 180 ribu kasus corona dan fatality rate mencapai 16,7%. Liga Belgia (Jupiler League) juga dihentikan lebih awal menyisakan satu pertandingan di babak reguler. Club Brugge yang memimpin klasemen babak reguler dengan selisih 15 poin dinobatkan sebagai juara. Biasanya setelah babak reguler, Jupiler League dilanjutkan dengan babak play-off yang mempertemukan tim 6 besar untuk menentukan juara. Kurva Covid-19 Belgia juga serupa dengan Perancis namun dengan jumlah kasus corona 65 ribuan. Liga Belanda (Eredivisie) juga berakhir lebih awal. Pertandingan FC Groningen vs PSV Eindhoven pada 8 Maret 2020 (pekan ke-26) menjadi pertandingan terakhir musim ini. Dan tidak ada juara Eredivisie musim ini.

Beberapa liga lain yang lanjut setelah sempat dihentikan akibat Covid-19 juga telah selesai. Liga Jerman (Bundesliga) yang mulai kembali bergulir 16 Mei 2020 telah selesai pada 27 Juni 2020 dengan Bayern Munchen sebagai juaranya, selisih 13 poin dari Borussia Dortmund di posisi runner-up. Kemenangan atas tuan rumah Werder Bremen 0-1 pada 16 Juni 2020 sudah memastikan gelar juara Bayern Munchen untuk delapan musim secara berturut-turut. Liga Spanyol (La Liga) yang mulai kembali bergulir 11 Juni 2020 telah selesai pada 19 Juli 2020 dengan Real Madrid sebagai jawaranya, terpaut lima poin dengan Barcelona di posisi kedua. Kemenangan 2-1 atas Villareal pada 16 Juli 2020 telah memastikan gelar La Liga ke-34 bagi Real Madrid. Liga NOS Portugal yang dimulai kembali 3 Juni 2020 baru saja berakhir kemarin dengan FC Porto sebagai juara, unggul lima poin dari Benfica di posisi kedua. Kemenangan 2-0 atas Sporting CP pada 15 Juli 2020 sudah cukup untuk memastikan gelar liga ke-29 kali bagi FC Porto. Kemenangan 2-4 atas tuan rumah Krasnodar pada 5 Juli 2020 sudah cukup mengantarkan Zenit St. Petersburg menjuarai Premier League Rusia untuk keenam kalinya pun liga baru berakhir pada 22 Juli 2020. Di klasemen akhir, Zenit unggul 15 poin atas Lokomotiv Moskow di posisi kedua.

Liga Italia (Serie A) yang baru kembali bergulir 20 Juni 2020, baru akan selesai pada 2 Agustus 2020. Namun kemenangan 2-0 Juventus atas Sampdoria tadi malam sudah cukup mengantarkan La Vecchia Signora menjadi juara Serie A untuk sembilan musim secara beruntun. Klub-klub yang mendominasi masih itu-itu saja, tidak ada kejutan berarti. Satu-satunya klub kejutan adalah Istanbul Basaksehir yang menjuarai Liga Turki (Super Lig) untuk pertama kalinya, mengalahkan dominasi Galatasaray, Fenerbahce, dan Besiktas. Kemenangan tipis 1-0 atas Kayserispor yang diperkuat dengan kekalahan Trabzonspor 3-4 oleh Konyaspor pada 19 Juli 2020 sudah cukup mengunci gelar juara. Pun di pertandingan terakhir tadi malam Basaksehir kalah 3-2 dari tuan rumah Kasimpasa, selisih poin akhir dengan runner-up Trabzonspor masih empat poin.

Beralih ke Liga Inggris (Premier League/ EPL) yang ada kaitannya dengan judul tulisan ini, kemenangan Chelsea 2-1 atas Manchester City pada 25 Juni 2020 mengakhiri puasa gelar liga Inggris selama 30 tahun bagi Liverpool. Walaupun perebutan tiket ke kompetisi Eropa masih sengit hingga akhir, Liverpool sudah mengunci gelar juara liga Inggris yang ke-19 pada pekan ke-31. Di klasemen akhir, Liverpool unggul selisih 18 poin dari Manchester City di posisi runner-up. Liverpool merupakan tim yang paling sedikit kebobolan (33 gol) dan hanya kalah oleh Manchester City (102 gol) dalam urusan membobol gawang lawan (85 gol). Kedua bek sayap Liverpol, Trent Alexander-Arnold (13 assist) dan Andrew Robertson (12 assist), hanya kalah jumlah assistnya oleh Kevin de Bruyne (20 assist). Namun top skor Liverpool dua musim terakhir, M. Salah (19 gol) dan Sadio Mane (18 gol), kalah produktif dibandingkan Jamie Vardy (Leicester City – 23 gol), Danny Ings (Southampton – 22 gol), Aubameyang (Arsenal – 22 gol), dan Raheem Sterling (Manchester City – 20 gol).

Fantasy Premier League (FPL) adalah sebuah permainan resmi yang diselenggarakan oleh The Football Association, asosiasi sepakbola Inggris, sebagai ajang promosi Liga Primer Inggris. FPL dimainkan dengan cara memilih 15 pemain sepakbola yang bermain di Liga Primer Inggris setiap pekannya dengan aturan tertentu, untuk memaksimalkan poin sesuai dengan kontribusinya pada pertandingan sebenarnya di Liga Primer Inggris. Pada permainan ini, para pemain FPL, yang selanjutnya disebut sebagai manajer FPL, diuji kemampuan analisisnya dalam menentukan pemain-pemain yang diharapkan meraih poin tinggi di setiap pertandingan. Musim ini adalah musim kedua saya bermain FPL. Total poin yang terkumpul sebesar 2136, menempati peringkat 644.200 dari 7.628.968 pemain FPL di seluruh dunia dan peringkat 10.617 di Indonesia. Bisa dikatakan mengalami peningkatan dibandingkan musim lalu dengan 2086 poin dan hanya menempati peringkat 967.881 dari 6.324.237 pemain FPL dunia dan peringkat 22.008 di Indonesia. Tujuh jutaan manajer FPL barangkali tidak semuanya aktif dan tidak sedikit juga yang membuat lebih dari satu akun. Namun game online dengan jutaan pemain tentu dapat dikatakan populer. Apalagi FPL adalah permainan strategi yang dinamikanya sangat ditentukan oleh realitas EPL, hal ini tentu sangat menarik.

Ada berbagai publikasi baik berupa tugas akhir, hasil penelitian, hingga buku yang mengangkat tema tentang FPL. Beberapa hasilnya pun menarik. Bermain FPL ternyata membuat manajer FPL untuk menonton lebih banyak pertandingan EPL. Hal ini tentu menjadi sarana promosi EPL yang sangat efektif. 84% manajer FPL menonton pertandingan EPL lain yang bukan pertandingan tim favoritnya. 47.5% manajer FPL akan membeli pemain dari tim rival jika dinilainya menguntungkan, bahkan 41.4% manajer FPL lebih menginginkan tim fantasinya menang dibandingkan tim favoritnya. Penghianatkah? Ternyata hasil riset menyebutkan bahwa loyalitas pada tim favorit dengan loyalitas terhadap tim fantasi adalah dua hal yang berbeda. Karenanya tidak ada penurunan loyalitas fans secara nyata seperti menurunnya penjualan tiket atau merchandise dikarenakan FPL.

Pihak penyelenggara resmi FPL menyediakan hadiah utama hingga hadiah setiap pekannya. Ada juga yang menjadikan FPL sebagai sarana taruhan. Namun penelitian menyebutkan bahwa motivasi utama untuk bermain FPL adalah bragging rights. Gengsi dan pamer. Membuktikan diri lebih bisa menganalisis pemain sepakbola, lebih memahami sepakbola, lebih beruntung, dan sebagainya. Rata-rata manajer FPL menghabiskan waktu 6.9 jam per pekan untuk keperluan FPL, dimana 96.6% waktu tersebut dihabiskan ketika jam kantor/ sekolah. Namun bukan berarti FPL menurunkan produktivitas kerja karyawan. 49% manajer FPL mengatakan bahwa FPL membantu mengeratkan hubungan dengan rekan kantor atau teman sekolah. Bahkan 62% manajer FPL mengatakan bahwa kompetisi di FPL mampu meningkatkan moral mereka.

(bersambung)

Corona, Emang Gue Pikirin?!

“My head says, “Who’s cares?” But then my heart whispers, You do, stupid!”

Hebat sekali virus corona ini, setiap bulan selalu saja mencatatkan rekor baru. Tiga bulan lalu, per 9 April 2020, kasus harian corona menembus angka 300 untuk pertama kalinya, tepatnya 337 kasus baru. Padahal sebelumnya sejak awal munculnya virus corona di Indonesia ini, belum pernah sekalipun kasus harian corona menembus 250 kasus baru. Masyarakat pun menyikapinya dengan ketar-ketir. Sudah beberapa pekan sekolah diliburkan dan banyak instansi yang menerapkan bekerja dari rumah (work from home), namun kasus positif corona terus bertambah. Pemberian bantuan sosial berupa paket sembako mulai dilakukan untuk meringankan beban masyarakat. Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) diberlakukan dan terlepas dari beberapa kasus pelanggaran, masyarakat relatif mematuhi protokol PSBB. Semua pihak bekerja sama berharap pandemi Covid-19 segera berakhir.

Dan sebulan pun berlalu. Dua bulan lalu, per 9 Mei 2020 rekor baru tercipta. Kali ini untuk pertama kalinya kasus harian corona menembus angka 500, tepatnya 533 kasus baru. Namun penyikapannya tidak sedramatis sebulan sebelumnya. Masyarakat sudah mulai bosan di rumah. Ada juga sebagian masyarakat yang lebih takut mati kelaparan dibanding meninggal dunia akibat corona. Kurva Covid-19 di berbagai negara sudah mulai menurun, bahkan beberapa negara sudah berhasil lepas dari pandemi Covid-19. Lockdown sudah terbukti berhasil di beberapa negara. Namun tidak demikian dengan Indonesia, kurvanya masih terus naik. Jumlah kasus menembus 5 digit dan korban jiwa menembus 4 digit. Namun pemerintah dan masyarakat menanggapinya santai. Beberapa ruang publik semakin ramai. Salah seorang pejabat negara pun mengatakan kondisi Indonesia masih aman, bahkan penanganan Covid-19 dianggapnya masih lebih baik dibandingkan beberapa negara dengan kasus positif corona yang jauh lebih besar.

Lantas sebulan pun berlalu. Bulan lalu, per 9 Juni 2020 virus corona kembali menorehkan rekor. Kasus harian corona akhirnya menembus 4 digit untuk pertama kalinya, tepatnya 1.043 kasus baru. Hanya beberapa hari setelah diterapkan istilah “new normal”. Kekhawatiran berbagai pihak yang mempertanyakan kelayakan “new normal” menguap begitu saja. Sebab sebagian besar masyarakat sudah tidak lagi menahan diri, pemerintah pun membiarkan masyarakat untuk berdamai dengan virus corona. Beraktivitas biasa dengan tetap mengikuti protokol kesehatan. Akhirnya, ketika berbagai negara telah berhasil menanggulangi penyebaran virus corona, ketika liga-liga sepakbola terbaik di dunia sudah kembali bergulir, penyebaran virus corona di Indonesia semakin menjadi-jadi. Sejak itu kasus harian corona tidak pernah kurang dari 850 kasus baru, korban jiwa harian tidak pernah kurang dari 30 orang. Pun demikian, banyak masyarakat menikmati kebebasan “new normal” tanpa ada kekhawatiran.

Akhirnya, per 9 Juli 2020 kemarin rekor baru terukir. Tidak tanggung-tanggung, kasus harian corona mencapai 2.657 kasus baru, meningkat 143.4% dibandingkan sehari sebelumnya yang sempat menjadi rekor tertinggi juga (1.853 kasus baru). Lonjakan 254.7% kasus harian corona dalam kurun waktu sebulan ini cukup mengerikan, namun ternyata tanggapan publik semakin biasa dan memaklumi. Masyarakat sudah maklum jika kasus positif Covid-19 terus bertambah. Bagaimana tidak, keseharian sudah berjalan normal. Tempat umum kembali ramai, jalanan mulai kembali macet. Yang membedakan hanya saat ini banyak orang yang menggunakan masker. Dan semakin banyak yang hobi bersepeda. Pemerintah pun biasa saja, seolah menutup mata. Tak ada rapat darurat dan sebagainya. Yang ada malah seorang Menteri mempromosikan kalung antivirus corona.

Artinya kehebatan virus corona dalam mencetak rekor semakin tidak berarti apa-apa. Tidak ada yang peduli. Jika dulu masyarakat sempat begitu berhati-hati, aktivitas #dirumahaja dijalani, kini tidak lagi. Padahal deret angka 337 – 533 – 1.043 – 2.657 bukanlah deret linier, melainkan eksponensial. Padahal puluhan korban jiwa setiap harinya sejak dua bulan lalu adalah manusia, bukan helai daun. Bukan berarti menjalani kehidupan dengan penuh kecemasan adalah lebih baik, namun ketidakpedulian terhadap kondisi diri, keluarga, dan lingkungan menjadi virus baru yang harus diwaspadai. Bahkan harus diberantas karena mematikan hati nurani.

Sempat ada pikiran liar, barangkali jika Presiden beserta beberapa ajudannya positif Covid-19 seperti terjadi di Brazil, penanganan Covid-19 di Indonesia bisa lebih serius. Bukan mendo’akan keburukan, namun gregetan saja dengan respon dan kebijakan pemerintah yang tidak memperlihatkan kesungguhan dalam menghadapi pandemi ini. Belum lagi banyaknya pernyataan kontroversial dari para pejabat di negara ini. Namun bisa jadi ga ngaruh juga sebagaimana Presiden Brazil merasa baik-baik saja dan cukup mengonsumsi obat malaria. Sudah empat bulan lalu beberapa pejabat Brazil dinyatakan positif corona, toh penanganan Covid-19 masih main-main. Status runner-up dengan lebih dari 1,8 juta kasus corona dan lebih dari 70 ribu korban jiwa akibat corona di Brazil juga tidak berarti apa-apa. Apalagi Indonesia yang jumlah kasus positif corona dan korban jiwanya hanya sepersekiannya. Belum lagi pandemi Covid-19 di Indonesia rentan dijadikan proyek. Atau bahkan dipolitisasi. Jadi ‘teguran keras’ semacam itupun bisa jadi tidak mempan di Indonesia yang dalam beberapa hal 11-12 dengan Brazil.

Atau barangkali segelintir masyarakat negara +62 yang selama ini meremehkan virus corona baru bisa insaf jika ada keluarga, kerabat, atau tetangga dekatnya yang positif terpapar Covid-19. Atau mungkin tidak juga, malah jumawa dengan imunitas tubuhnya yang sehat-sehat saja. Pun bisa jadi dirinya termasuk Orang Tanpa Gejala (OTG) yang menjadi carrier virus corona bagi sekitarnya. Orang-orang semacam ini bahkan ketika dinyatakan positif Covid-19 pun kemungkinan bukannya introspeksi malahan menyalahkan pihak lain atas segala kelalaiannya. Baru tahu rasa nanti ketika ketidakpeduliannya selama ini akan kembali kepada dirinya. Saat keluarganya, kerabatnya, tetangganya dan orang-orang yang mengenalnya membiarkannya, tidak peduli terhadapnya, hingga meninggalkannya.

Semoga titik balik kepedulian itu segera tercipta, sehingga kita semua bisa menjalani new normal yang sebenarnya. Bukan kondisi kritis yang dicitrakan baik-baik saja. Semoga bulan depan, per 9 Agustus 2020, kurva penyebaran Covid-19 sudah turun dan melandai, bukan kembali berlipat mencetak rekor baru di atas 4.000 kasus baru misalnya. Tidak ada yang bisa dibanggakan dengan serangkaian rekor yang ditorehkan virus corona. Itu hanya menunjukkan kebodohan dan kekalahan semata. Barangkali memang ada pihak tertentu yang diuntungkan dengan pandemi Covid-19 ini, tetapi itu bukan kita. Karenanya sudah sewajarnya setiap kita meningkatkan kedisiplinan dan kepedulian dalam menjaga diri kita, keluarga kita, dan lingkungan sekitar kita untuk memenangkan pertarungan dengan virus corona. Bukan bersikap lemah dan lalai dengan dalih berdamai. Karena kemenangan hanya dapat dicapai dengan kesungguhan. Stay healthy and keep caring!

“Ketika saya berhenti peduli, saat itulah kamu seharusnya mulai khawatir”