Tag Archives: Hijrah

Selamat Tahun Baru 1444 Hijriyah

Sesungguhnya jumlah bulan menurut Allah ialah dua belas bulan, (sebagaimana) dalam ketetapan Allah pada waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya ada empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menzalimi dirimu dalam (bulan yang empat) itu, dan perangilah kaum musyrikin semuanya sebagaimana mereka pun memerangi kamu semuanya. Dan ketahuilah bahwa Allah beserta orang-orang yang takwa.” (QS. At Taubah: 36)

Tidak seperti gegap gempita peringatan tahun baru masehi, pergantian tahun hijriyah relatif disambut ‘dingin’. Tidak seperti penetapan waktu dua hari raya yang sidang itsbatnya ramai diberitakan dan hasilnya pun dinantikan. Apalagi jika terjadi perbedaan dalam penentuan waktu Idul Fitri atau Idul Adha. Pergantian bulan Muharram berlangsung senyap. Angka ‘cantik’ 1444 juga tidak cukup mendongkrak syiar Tahun Baru Islam. Apalagi tahun ini 1 Muharram bertepatan dengan hari Sabtu, dimana banyak sekolah dan perkantoran juga libur, sehingga libur 1 Muharram semakin tidak terasa.

Memang pergantian waktu –detik, menit, jam, hari, bulan, dan tahun—sebenarnya  bukan sesuatu yang begitu spesial sehingga harus dirayakan secara spesial. Apa pula yang perlu dirayakan dari berkurangnya usia dan semakin dekatnya kita dengan kiamat, baik kiamat sughra maupun kiamat kubra. Pun demikian momentum syiar Islam seharusnya bisa dimanfaatkan. Jauh lebih banyaknya orang-orang yang hapal bulan dari Januari sampai Desember, dibandingkan hapal bulan dari Muharram sampai Dzulhijjah, menjadi gambaran betapa kurang tersyiarkannya kalender hijriyah ini. Padahal landasan penetapan kalender hijriyah beserta nama-nama bulannya lebih beralasan dibandingkan landasan penetapan kalender masehi beserta nama-nama bulannya. Dan ketika pergantian tahun masehi banyak diisi dengan perbuatan sia-sia, bahkan perbuatan dosa, momentum pergantian tahun hijriyah semestinya dapat diisi dengan ibadah dan perbuatan baik, serta menjadi momentum hijrah ke arah yang lebih baik.

Muharram, yang merupakan bulan pertama dalam penanggalan hijriyah sekaligus salah satu dari empat bulan haram (suci), sejatinya memiliki banyak keutamaan. Tidak seperti bulan lainnya, Al Muharram adalah nama pemberian Allah SWT setelah sebelumnya bulan ini dikenal sebagai Shafar Awwal. Tak heran, Muharram dijuluki Syahrullah (Bulan Allah) sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits dari Abu Hurairah r.a., Rasulullah SAW bersabda, “Sebaik-baik puasa setelah Ramadhan adalah puasa di bulan Allah, bulan Muharram.” (HR. Muslim). Tidak hanya disebut sebagai Syahrullah, dalam hadits ini juga disebutkan keutamaan puasa (sunnah) di bulan Muharram. Imam Hasan Al Bashri berkata, “Sesungguhnya Allah membuka awal tahun dengan bulan haram (Muharram) dan menjadikan akhir tahun dengan bulan haram (Dzulhijjah). Tidak ada bulan dalam setahun, setelah bulan Ramadhan, yang lebih mulia di sisi Allah dari pada bulan Muharram. Dulu bulan ini dinamakan Syahrullah Al-Asham (bulan Allah yang sunyi), karena sangat mulianya bulan ini.”.

Di bulan Muharram juga terdapat satu hari yang mulia, yaitu hari Asyura’ tanggal 10 Muharram. Dari Ibnu Abbas r.a., beliau menceritakan, “Ketika Rasulullah SAW tiba di Madinah, beliau melihat orang-orang Yahudi berpuasa di hari Asyura’. Beliau bertanya, “Hari apa ini?” Mereka menjawab, “Hari yang baik, hari di mana Allah menyelamatkan Bani Israil dari musuhnya, sehingga Musa-pun berpuasa pada hari ini sebagai bentuk syukur kepada Allah. Akhirnya Rasulullah SAW bersabda, “Kami (kaum muslimin) lebih layak menghormati Musa dari pada kalian.” kemudian beliau berpuasa dan memerintahkan para sahabat untuk puasa.” (HR. Al Bukhari). Dalam riwayat Imam Muslim, Rasulullah SAW mengatakan bahwa puasa Asyura’ dapat menghapus dosa setahun yang telah berlalu. Banyak peristiwa penting yang terjadi di bulan ini di antaranya diterimanya taubat Nabi Adam a.s., diselamatkannya Nabi Nuh a.s. dari banjir besar dan Nabi Yunus a.s. dari perut ikan. Namun tulisan ini tidak akan membahas detailnya, termasuk terkait puasa Tasu’a untuk menyelisihi puasanya orang Yahudi.

Berbagai keutamaan itu sebenarnya cukup untuk syi’ar Muharram sebagai momentum memperbaiki diri dan berbuat baik. Apalagi ada tradisi Idul Yatama (Hari Raya Anak Yatim) di bulan Muharram ini –terlepas dari anjuran menyantuni anak yatim adalah sepanjang tahun tidak hanya di bulan Muharram—semakin menambah banyak amunisi syi’ar kebaikan. Sayangnya, syi’ar Muharram ini masih relatif senyap. Jangankan dibandingkan dengan gegap gempita pergantian Tahun Baru Masehi yang biasanya sudah digaungkan sebelum libur Natal, bahkan dibandingkan isu ‘ga penting’ semisal perceraian artis, ulah para ABG mencari sensasi, atau kriminalitas oleh oknum aparat, syi’ar Muharram masih kalah viral. Sekadar ucapan Selamat Tahun Baru 1444 Hijriyah di media sosial saja tidak ramai. So, Happy Islamic New Year 1444 Hijriyah! Keep Spirit and do the best for the world and hereafter. May all our wishes come true and become a better person.

Tuhanku, Kau yang Abadi, Qadim, dan Awal. Atas karunia-Mu yang besar dan kemurahan-Mu yang mulia, Kau menjadi pintu harapan. Tahun baru ini sudah tiba. Aku berlindung kepada-Mu dari bujukan Iblis dan para walinya di tahun ini. Aku pun mengharap pertolongan-Mu dalam mengatasi nafsu yang kerap mendorongku berlaku jahat. Kepada-Mu, aku memohon bimbingan agar aktivitas keseharian mendekatkanku pada rahmat-Mu. Wahai Tuhan Pemilik Kebesaran dan Kemuliaan…

Dari Niatlah Semua Berawal

Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat, dan yang demikian itulah agama yang lurus.” (QS. Al Bayyinah: 5)

Semua berawal dari niat. Salah satu hadits masyhur tentang niat adalah hadits pertama dalam Hadits Arbain An Nawawi. Dari Amirul Mukminin, Abu Hafsh ‘Umar bin Al-Khattab r.a, ia berkata bahwa ia mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya. Dan setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan. Siapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya untuk Allah dan Rasul-Nya. Siapa yang hijrahnya karena mencari dunia atau karena wanita yang dinikahinya, maka hijrahnya kepada yang ia tuju.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Hadits ini menjelaskan bahwa setiap amalan benar-benar tergantung pada niat. Dan setiap orang akan mendapatkan balasan dari apa yang ia niatkan. Balasannya sangat mulia ketika seseorang berniat ikhlas karena Allah SWT. Berbeda dengan seseorang yang berniat beramal hanya karena mengejar dunia, misalnya karena mengejar wanita. Dalam hadits tersebut amalan yang dicontohkan adalah hijrah. Ada yang berhijrah karena Allah dan ada yang berhijrah karena mengejar dunia. Setiap amal yang dilakukan seorang muslim harus dilandasi niat yang ikhlas agar amal tersebut diterima. Imam Ahmad dan Imam Syafii mengatakan bahwa hadits di atas mencakup sepertiga ilmu. Selain itu, Imam Syafii juga menambahkan bahwa makna hadits tentang niat ini mencakup 70 bab fiqh. Bahkan tidak sedikit ulama yang mengatakan bahwa hadits di atas merupakan sepertiga bagian dari Islam. Karena itulah setiap orang yang menuntut ilmu wajib meluruskan kembali niat yang dimilikinya.

Suatu amal perbuatan akan diterima Allah SWT ketika niatnya benar dan caranya benar. Saat suatu ibadah atau amalan baik dilakukan karena niat selain Allah, maka ibadah atau amalan tersebut akan tertolak. Termasuk niat yang tidak ikhlas adalah berharap pujian, ketenaran, ataupun harta dunia. Di sisi lain, seseorang yang berniat melakukan amal kebaikan bisa dihitung sudah melakukan kebaikan jika niatnya ikhlas karena Allah. Misalnya saja orang yang berniat shalat malam lalu ketiduran, atau orang yang berniat shalat jamaah kemudian ketika ia sampai masjid jama’ah sudah selesai. Orang tersebut tetap mendapatkan pahala sebagaimana orang yang telah melakukannya, Insya Allah.

Secara bahasa, niat artinya keinginan atau tujuan. Sedangkan makna secara istilah, niat adalah keinginan seseorang untuk melakukan suatu perbuatan. Syaikhul Islam, Ibnu Taimiyah mengatakan, “Niat itu letaknya di hati berdasarkan kesepakatan ulama. Jika seseorang berniat di hatinya tanpa ia lafazkan dengan lisannya, maka niatnya sudah dianggap sah berdasarkan kesepakatan para ulama.”. Bagaimanapun, amal perbuatan menyangkut tiga hal, yaitu hati, lisan, dan anggota badan. Sehingga niat dalam hati pun sudah merupakan salah satu dari ketiga hal tersebut. Ibnu Taimiyah menjelaskan, “Siapa saja yang ingin melakukan sesuatu, maka secara pasti ia telah berniat. Semisal di hadapannya disodorkan makanan, lalu ia punya keinginan untuk menyantapnya, maka ketika itu pasti ia telah berniat. Demikian pula ketika ia ingin berkendaraan atau melakukan perbuatan lainnya. Bahkan jika seseorang dibebani suatu amalan lantas dikatakan tidak berniat, maka sungguh ini adalah pembebanan yang mustahil dilakukan. Karena setiap orang yang hendak melakukan suatu amalan yang disyariatkan atau tidak disyariatkan pasti ilmunya telah mendahuluinya dalam hatinya, inilah yang namanya niat.”.

Dalam sebuah hadits disebutkan. ‘Aisyah r.a. berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Akan ada satu kelompok pasukan yang hendak menyerang Ka’bah, kemudian setelah mereka berada di suatu tanah lapang, mereka semuanya dibenamkan ke dalam perut bumi dari orang yang pertama hingga orang yang terakhir.” ‘Aisyah r.a. berkata, saya pun bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimanakah semuanya dibenamkan dari yang pertama sampai yang terakhir, sedangkan di tengah-tengah mereka terdapat para pedagang serta orang-orang yang bukan termasuk golongan mereka (yakni tidak berniat ikut menyerang Ka’bah)?” Rasulullah SAW menjawab, “Mereka semuanya akan dibenamkan dari yang pertama sampai yang terakhir, kemudian nantinya mereka akan dibangkitkan sesuai dengan niat mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim). Berawal dari niat, dan akhirnya pun akan ditentukan oleh niat. Dalam hadits lain, dari Abu Hurairah r.a., ia berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak melihat pada bentuk rupa dan harta kalian. Akan tetapi, Allah hanyalah melihat pada hati dan amalan kalian.” (HR. Muslim).

Menurut jumhur (mayoritas) ulama, niat itu wajib dalam ibadah. Niat merupakan syarat sah suatu ibadah. Sedangkan, dalam masalah muamalah dan adat kebiasaan, jika bermaksud untuk mendapatkan keridhaan dan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, diharuskan memakai niat. Misalnya saat seseorang berpuasa di hari Senin, ada beberapa kemungkinan puasa yang dilakukannya. Bisa puasa Senin Kamis, puasa Ayamul Bidh, puasa Daud, membayar hutang puasa, dan sebagainya. Dan puasa apa yang sejatinya orang itu lakukan adalah sesuai dengan apa yang ia niatkan. Kemudian dengan niat pula suatu perbuatan biasa bisa bernilai pahala, misalnya makan, minum, tidur, dan sebagainya. Ketika seseorang meniatkan semua perbuatan tersebut sebagai bentuk ibadah karena Allah SWT, maka perbuatan tersebut akan bernilai ibadah. Karenanya, mari penuhi aktivitas harian kita dengan niat beribadah, senantiasa berhati-hati atas rusaknya niat, dan terus berupaya meluruskan niat karena Allah SWT semata. Dari niatlah semua berawal dan kita akan memperoleh apa yang kita niatkan.

Betapa banyak amalan yang kecil menjadi besar (pahalanya) karena sebab niat. Dan betapa banyak amalan yang besar menjadi kecil (pahalanya) karena sebab niat.” (Ibnul Mubarak)

Ramadhan, Musim Berbuat Baik

Jika telah tiba bulan Ramadhan, dibukalah pintu-pintu syurga, ditutuplah pintu-pintu neraka, dan dibelenggulah syaitan-syaitan” (HR. Bukhari – Muslim)

Ramadhan memang membawa pengaruh yang luar biasa. Kapan lagi merasakan masjid & mushalla penuh ketika shalat isya dan shubuh selain di bulan Ramadhan? Kapan lagi televisi berlomba-lomba menampilkan ‘sisi islami’nya? Artis-artispun ‘hijrah’ dan dengan ‘bangga’nya berbusana islami? Ya, kapan lagi? Ketika manusia berlomba-lomba melakukan infaq & sedekah, ketika senantiasa terdengar tilawah setelah selesai shalat fardhu, ketika berbagai penyakit lisan mendapatkan kontrol sosial… “Puasa, ga boleh bohong! Eh, jangan nggosip, lagi puasa!… Ketika tempat-tempat penyalur syahwat ditutup, Ketika ramai manusia mengisi siang harinya dengan berpuasa dan malam harinya dengan shalat… Ya, hanya ada di bulan Ramadhan!

Membahagiakan, suasana religius yang mendukung tentunya akan sangat membantu peningkatan kualitas dan kuantitas ibadah. Membanggakan, ternyata izzah keislaman itu masih ada, ternyata fitrah kebaikan itu masih nampak, ternyata kekuatan ummat itu sedemikian besar. Mengharukan, ketika inisiatif beramal begitu tinggi, bahkan oleh mereka yang sebelumnya tidak memperlihatkan kepeduliannya terhadap kondisi keislamannya. Sekaligus menyedihkan, karena hal ini hanya terjadi di (awal) bulan Ramadhan saja…

Padahal Allah menyukai amal yang berkesinambungan walaupun sedikit, padahal nikmat Allah tidak hanya diberikan-Nya di bulan Ramadhan, padahal kewajiban beribadah adalah setiap saat, padahal berbuat kebaikan tak perlu menunggu orang lain, padahal Allah membenci orang yang munafik, banyak melakukan riya’ & sum’ah, padahal belum tentu kita mati di bulan ini! Dan Islam bukanlah hanya ada di bulan Ramadhan!

Kenyataannya, hanya mereka yang sudah menciptakan suasana Ramadhan di setiap bulannyalah yang akan mampu bertahan. Mereka yang terjaga puasanya adalah mereka yang biasa berpuasa di luar Ramadhan, mereka yang terjaga tilawahnya adalah mereka yang biasa bertilawah di luar Ramadhan, mereka yang tetap terjaga tarawihnya adalah mereka yang bisa tahajud di luar Ramadhan… Merekalah orang-orang yang istiqomah, Insya Allah… Orang-orang yang amal kebaikan dan ibadahnyanya tidak menyurut karena waktu, tidak pula tergantung dari ada tidaknya orang lain yang melakukan hal serupa…

Akhirnya dapat dipahami mengapa tempat-tempat ibadah semakin sepi dari tilawah dan dzikir, shaf-shaf shalat kian menyusut seiring berlalunya Ramadhan. Karena banyak orang hanya menjadikan Ramadhan sebagai trend. Ya, “Ramadhan (maupun bukan Ramadhan adalah), musim berbuat baik”. Slogan yang sering didengungkan salah satu stasiun TV itu nampaknya perlu diartikan sebagai ironi. Akhirnya, kita perlu berintrospeksi dan berharap semoga Allah menjaga kita dari sifat munafiq dan ikut-ikutan, semoga Allah memelihara ibadah kita dari riya’ dan sum’ah, semoga madrasah Ramadhan dapat menjadikan kita lulusan Ramadhan yang dapat menjaga kualitas amalnya di luar Ramadhan…