Tag Archives: ikhtiar

Antara Do’a dan Perjuangan

Berakit-rakit ke hulu, berenang ke tepian. Sakit-sakit dahulu, susah-susah dahulu, baru kemudian bersenang-senang. Pahit rasanya empedu, manis rasanya gula. Sakit-sakit dahulu, susah-susah dahulu, baru kemudian berbahagia. Berjuang (berjuang), berjuang sekuat tenaga. Tetapi jangan lupa perjuangan harus pula disertai doa. Rintangan (rintangan), rintangan sudah pasti ada. Hadapilah semua dengan tabah juga dengan kebesaran jiwa” (‘Perjuangan dan Do’a’, Rhoma Irama)

Do’a tanpa berjuang adalah kosong, berjuang tanpa do’a adalah sombong’, demikianlah hubungan erat antara do’a dan perjuangan. Sejak zaman dahulu, do’a memang senantiasa mengiringi perjuangan. Dalam Al Qur’an banyak sekali lantunan do’a yang mengiringi perjuangan para Nabi. “Dan betapa banyak nabi yang berperang didampingi sejumlah besar dari pengikut(nya) yang bertakwa. Mereka tidak (menjadi) lemah karena bencana yang menimpanya di jalan Allah, tidak patah semangat dan tidak (pula) menyerah (kepada musuh). Dan Allah mencintai orang-orang yang sabar. Dan tidak lain ucapan mereka hanyalah doa, “Ya Tuhan kami, ampunilah dosa-dosa kami dan tindakan-tindakan kami yang berlebihan (dalam) urusan kami dan tetapkanlah pendirian kami, dan tolonglah kami terhadap orang-orang kafir.” (QS. Ali ‘Imran: 146-147). Salah satu do’a yang mengiringi perjuangan adalah do’a pasukan Thalut ketika menghadapi pasukan Jalut yang jauh lebih banyak, mereka berdo’a, “Ya Tuhan kami, limpahkanlah kesabaran kepada kami, kokohkanlah langkah kami dan tolonglah kami menghadapi orang-orang kafir.” (QS. Al-Baqarah: 250).

Dalam hadits juga banyak ditemukan riwayat mengenai do’a-do’a yang mengiringi perjuangan Rasulullah SAW dan kaum muslimin. Salah satu do’a Rasulullah SAW yang dikenal adalah ketika perang Badar, beliau menghadap kiblat, menengadahkan kedua belah tangannya dan berdoa, “Ya Allah, wujudkanlah apa yang telah Engkau janjikan kepadaku… Ya Allah, berikanlah apa yang telah Engkau janjikan kepadaku… Ya Allah, jika Engkau binasakan tentara Islam ini, Engkau tidak akan diibadahi di muka bumi ini…” Hadits yang cukup panjang ini dimuat dalam Shahih Muslim dari Umar bin Khattab r.a, dan ditutup dengan turunnya ayat Al Qur’an sebagai pertanda diijabahnya do’a Rasulullah SAW. “(Ingatlah), ketika kamu memohon pertolongan kepada Rabbmu, lalu diperkenankan-Nya bagimu. Sesungguhnya Aku akan mendatangkan bala bantuan kepada kamu dengan seribu malaikat yang datang berturut-turut.” (QS. Al Anfal: 9).

Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya’, demikian kalimat pembuka alinea ketiga Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Hasil akhir suatu perjuangan memang menjadi ketentuan yang Allah SWT tetapkan. Manusia hanya bisa berjuang dengan segenap kemampuan, namun Allah SWT jua yang menentukan. Do’a adalah senjata penguat perjuangan yang dapat memengaruhi hasil akhir. Karena do’a sebegitu dahsyatnya sampai bisa mengubah takdir yang masih bisa diubah. Do’a merupakan komponen penting yang menentukan keberhasilan.

Dengan mengesampingkan para materialis yang tidak meyakini do’a dan hal-hal yang sifatnya spiritual, terkait hubungan do’a dengan perjuangan ini masih ada beberapa kekeliruan dalam implementasinya. Pertama, mereka yang tidak banyak berjuang atau belum optimal dalam berjuang, namun meyakini do’a akan menutupinya sehingga kemenangan pun sudah tinggal menunggu waktunya. Mereka lupa bahwa diijabahnya suatu do’a ada serangkaian prasyaratnya, salah satunya adalah sudah maksimalnya ikhtiar. Kedua, mereka yang memandang do’a sebatas pelengkap perjuangan, hanya ada di akhir setelah lelah berjuang. Ini juga tidak tepat, sebab do’a sejatinya mengiringi perjuangan sejak awal hingga akhir. Bahkan do’a akan memperkuat langkah seseorang untuk mulai menapaki medan juang.

Ada juga mereka yang beranggapan tujuan akhir perjuangan adalah kemudahan, sehingga do’anya adalah keberhasilan yang menjanjikan kenyamanan tanpa proses yang menyulitkan. Sejatinya kehidupan adalah sekumpulan ujian, sekumpulan perjuangan. Kehidupan tidak pernah menjanjikan kemudahan, apalagi perjuangan. Alih-alih berdo’a untuk diringankan beban perjuangan, akan lebih baik untuk memohon bahu yang lebih kokoh untuk memikul beban perjuangan. Sebab besarnya ujian dan tingginya pengorbanan dalam berjuang, akan seiring dengan meningkatnya kualitas seseorang. Semoga kita diberikan kemampuan untuk terus ada di medan juang, terus berjuang, meningkat kualitasnya dengan gemblengan perjuangan, dan akhirnya dapat menikmati akhir dari kenikmatan berjuang. Di dunia. Dan di akhirat kelak. Aamiiin…

Tuhanku, bentuklah puteraku menjadi manusia yang cukup kuat untuk menyadari manakala ia lemah. Dan cukup berani untuk menghadapi dirinya sendiri manakala ia takut. Manusia yang memiliki rasa bangga dan keteguhan dalam kekalahan, rendah hati dan jujur dalam kemenangan. Bentuklah puteraku menjadi seorang yang kuat dan mengerti, bahwa mengetahui serta mengenal diri sendiri adalah dasar dari segala ilmu yang benar. Tuhanku, janganlah puteraku Kau bimbing pada jalan yang mudah dan lunak. Biarlah Kau bawa dia ke dalam gelombang dan desak kesulitan tantangan hidup. Bimbinglah puteraku supaya dia mampu tegak berdiri di tengah badai serta berwelas asih kepada mereka yang jatuh. Bentuklah puteraku menjadi manusia berhati bening dengan cita-cita setinggi langit. Seorang manusia yang sanggup memimpin dirinya sendiri sebelum memimpin orang lain. Seorang manusia yang mampu meraih hari depan tapi tak melupakan masa lampau. Dan setelah segala menjadi miliknya semoga puteraku dilengkapi hati yang ringan untuk bergembira serta selalu bersungguh-sungguh namun jangan sekali-kali berlebihan. Berikan kepadanya kerendahan hati, kesederhanaan dan keagungan yang hakiki, pikiran cerah dan terbuka bagi sumber kearifan dan kelembutan dari kekuatan yang sebenarnya sehingga aku, orang tuanya, akan berani berkata: ’hidupku tidaklah sia-sia’.” (Do’a Douglas Mac Arthur* kepada puteranya, ditulis pada masa-masa paling sulit di awal Perang Pasifik)

*Douglas Mac Arthur merupakan salah satu perwira perang dunia II dari Amerika Serikat yang akhirnya dianugerahi Jenderal Bintang Lima, dan turut berjasa merebut Papua dari cengkraman Jepang

Iman Dulu Baru Imun

Dari Abdullah bin Abbas r.a., bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Jagalah Allah, niscaya Dia menjagamu. Jagalah Allah, niscaya kamu mendapati-Nya bersamamu. Jika kamu mempunyai permintaan, mintalah kepada Allah. Jika kamu membutuhkan pertolongan, minta tolonglah kepada Allah. Ketahuilah, seandainya seluruh manusia bersatu untuk memberi manfaat dengan sesuatu, mereka tidak akan dapat melakukannya kecuali dengan sesuatu yang telah Allah tetapkan untukmu. Dan jika mereka bersatu untuk mencelakakanmu dengan sesuatu, mereka tidak akan dapat melakukannya kecuali dengan sesuatu yang telah Allah tetapkan untukmu. Pena telah diangkat dan lembaran-lembaran telah mengering.
(HR. At Tirmidzi)

Rekor kasus harian Covid-19 di Indonesia tercipta per 8 Oktober lalu yaitu penambahan sebesar 4.850 kasus baru. Angka ini melampaui rekor harian sebelumnya sebesar 4.823 kasus baru per 25 September 2020. Penambahan kasus Covid-19 ini terjadi di seluruh provinsi di Indonesia, dimana DKI Jakarta menjadi penyumbang terbesar dengan 1.182 kasus baru. Ricuhnya demonstrasi Omnibus Law melengkapi kabar duka dari negeri ini.

Ada yang unik dari pandemi Covid-19 ini, pola serangannya acak, mempersulit proses tracing nya. Tidak sedikit olahragawan yang fisiknya sehat ternyata terjangkit, namun rekan-rekan yang berlatih bersamanya ternyata negatif. Dalam sebuah ruangan dimana terdapat orang yang positif corona, tidak semua orang di ruangan tersebut tertular virus corona, dan belum tentu mereka yang tertular adalah yang dekat jaraknya dengan pembawa virus. Ada yang sembuh cepat pun dengan penyakit penyerta (komorbid), ada yang lama sembuhnya walau tanpa komorbid. Ada yang abai namun selamat dari pandemi, ada yang ketat menerapkan protokol kesehatan namun masih terpapar virus.

Selama ini, sistem imun yang dimiliki seseorang lah yang dijadikan jawaban ilmiahnya. Walau sebenarnya tak bisa menjawab penyebaran virus yang memilih korbannya secara acak, termasuk mereka yang punya pola hidup sehat. Karenanya, kita perlu mengembalikan jawabannya kepada perkara yang lebih esensi, yaitu keimanan. Dalam konteks iman, keselamatan dan kecelakaan adalah hak prerogratif Allah SWT. Sakit, sembuh, dan sehat merupakan ketetapan dari Allah SWT. Sehingga kita mampu bersyukur dan tidak lalai terhadap kesehatan yang menyertai. Juga mampu bersabar, tidak berputus asa, serta senantiasa mengambil pelajaran dari setiap musibah yang melanda. Ya, jawaban mengapa ada yang positif atau negatif Covid-19 dengan beragam kondisinya dalam perspektif keimanan adalah semata karena takdir Allah SWT. Jadi bukan imun yang menentukan.

Iman adalah sesuatu yang tidak hanya diyakini dalam hati, namun juga diucapkan dengan lisan, dan diamalkan dengan perbuatan. Dalam aspek spiritual, keimanan ini akan menghadirkan ketenangan jiwa dalam kondisi apapun. Perasaan tenteram dari stres, cemas, dan takut berlebihan akan menguatkan sistem imun tubuh, sehingga lebih tangguh menghadapi penyakit yang menyelinap ke dalam tubuh. Pada titik inilah iman akan berdampak positif terhadap imun. Bahkan dalam kondisi terserang penyakit pun, orang dengan iman yang kuat akan tetap bisa berpikir dan bersikap positif. Alhasil, keimanannya akan kian bertambah dengan penyakitnya. Nabi Ayub a.s. ketika ditimpa ujian hidup hingga 18 tahun hanya berdo’a, “(Ya Rabbku), sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Rabb Yang Maha Penyayang di antara semua penyayang.” (QS. Al Anbiya: 83). Hanya mengadu, tanpa mengeluh, menuntut, ataupun menyalahkan. Kalaupun ada kesembuhan yang diharapkan, itupun dalam rangka keta’atan karena penyakitnya menghambatnya dalam beribadah. “Sesungguhnya aku diganggu setan dengan kepayahan dan siksaan.” (QS. Shad: 41). Hal ini menguatkan bahwa bagaimanapun, iman harus didahulukan daripada imun.

Lantas apakah mereka yang merasa aman dari virus Corona membuktikan bahwa keimanan mereka kuat? Hati-hati, dalam hal ini ‘rasa aman’ bak pisau bermata dua. Bisa hadir dari manifestasi iman dan kekuatan tawakkal. Bisa juga indikasi dari sifat ujub dan takabbur. Indikator pembedanya hanya amal shalih dan kesombongan. Raja’ dan rasa aman harus disertai amal shalih. Kisah perjalanan khalifah Umar bin Khattab r.a. ke Negeri Syam yang masyhur di masa pandemi ini dapat menjadi i’tibar. Di wilayah Saragh, Abu Ubaidah bin Al Jarrah r.a. memberitahu bahwa Negeri Syam tengah dilanda wabah tha’un. Dalam musyawarah dadakan yang digelar, para shahabat berbeda pendapat antara melanjutkan perjalanan ke Syam atau kembali ke Madinah. Akhirnya Amirul Mukminin mengikuti saran dari sesepuh Quraisy yang hijrah sebelum fathu Makkah untuk kembali ke Madinah. Beberapa shahabat tidak puas, termasuk Abu Ubaidah r.a. yang lantas bertanya, “Wahai Amirul Mukminin, apakah kita hendak lari dari takdir Allah?”. “Ya, kita lari dari takdir Allah kepada takdir Allah yang lain”, jawab Umar r.a. dengan tegas seraya memberikan analogi seseorang yang memiliki seekor unta lalu turun ke lembah yang mempunyai dua sisi, yang satu subur dan yang lain tandus. “Jika engkau menggembalakan untamu di tempat tandus adalah takdir Allah, maka bukankah jika engkau menggembalakannya di tempat yang subur, berarti engkau menggembala dengan takdir Allah juga?”, jelas Umar r.a. Keputusan ini dikuatkan oleh Abdurrahman bin ‘Auf r.a. yang datang terlambat dan menyampaikan bahwa ia pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Apabila kamu mendengar wabah berjangkit di suatu negeri, janganlah kamu datangi negeri itu. Dan apabila wabah itu berjangkit di negeri tempat kamu berada, maka janganlah keluar dari negeri itu karena hendak melarikan diri” (HR. Bukhari – Muslim).

Iman perlu disertai dengan amal, tawakkal perlu diiringi dengan ikhtiar. Mereka yang abai terhadap protokol kesehatan namun ‘merasa aman’ dengan hanya mengonsumsi madu dan habbatussauda misalnya, tidaklah sempurna ikhtiar dan keimanannya. Apalagi jika sampai bersikap keras kepala ketika ditegur, bahkan merendahkan orang lain. Bisa jadi ‘rasa aman’nya justru muncul dari goda’an setan. Sebab sebagaimana penyakit, kesehatan dan ‘rasa aman’ juga sejatinya merupakan ujian keimanan. Iman adalah kunci untuk memproduksi sistem imun dan rasa aman. Sebagaimana iman, imun dan aman juga merupakan nikmat Allah yang perlu dijaga. Ar-Razi berkata, “Sebagian ulama ditanya, apakah rasa aman lebih baik dari kesehatan? Maka jawabannya rasa aman labih baik. Dalilnya adalah seandainya kambing kakiknya patah maka akan sembuh beberapa waktu lagi. Kemudian seandainya kambing diikat pada suatu tempat dekat dengan serigala, maka ia tidak akan makan sampai mati. Hal ini menunjukkah bahwa bahaya yang akibat rasa takut lebih besar daripada rasa sakit di badan”. Dan dari semuanya, nikmat iman adalah nikmat yang paling besar. Ibnu Taimiyah berkata, “Nikmat Allah yang paling besar terhadap hamba-Nya adalah nikmat iman. Dia adalah ucapan dan perbuatan, bertambah dan berkurang, bertambah dengan taat dan kebaikan, berkurang dengan kefasikan dan kemaksiatan”. Mari kita rawat iman untuk juga merawat imun.

Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.
(QS. Al-An’am: 82)

Jodoh yang Sempurna

“Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji dan laki-laki yang keji adalah untuk wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula)…” (QS. An Nur : 26)

* * *

 

Beberapa tahun lalu, seorang ’adik’ bertanya kepadaku tentang maksud ayat di atas. Apakah menutup kemungkinan seseorang yang belum baik memperoleh seseorang yang jauh lebih baik (untuk kemudian membantunya menjadi lebih baik)? Lalu bagaimana dengan realita bahwa juga tidak sedikit laki – laki ’hebat’ yang menikah dengan wanita yang ’biasa – biasa saja’, dan sebaliknya? Bagaimana pula penjelasan tentang pernikahan antara dua orang yang tidak ’sekufu’ karena perjodohan? Lalu,apakah jodoh itu proses atau hasil? Sejujurnya, aku kesulitan menanggapinya, yang dapat kusampaikan hanyalah asbabun nuzul ayat di atas yang terkait fitnah besar yang menimpa pernikahan Rasulullah SAW. Sedangkan untuk jodoh sendiri, entahlah, aku merasakan banyak rahasia di dalamnya dan ada dominasi kehendak Allah dalam hal ini, termasuk tentang kesesuaian dalam perspektif kita yang mungkin berbeda dalam perspektif Allah.

Ada satu cerpen yang kuingat dalam buku paket Bahasa Indonesia SMA terbitan Depdiknas, judulnya ”Jodoh yang Sempurna”. Dalam cerpen yang pernah masuk menjadi salah satu soal Ebtanas ini diceritakan tentang seorang laki-laki yang mencari pasangan hidup yang sempurna baginya ke biro jodoh. Dari 110 juta wanita, komputerpun memilihkan seorang wanita yang sangat cocok dengan dirinya. Mereka memiliki banyak kesamaan, mulai dari hobi, karakter, jumlah anak yang diinginkan, pendidikan untuk anak, pakaian, tempat tinggal, makanan dan jenis musik favorit, dan berbagai kesamaan lainnya. Merekapun menikah dan sepertinya semuanya akan berakhir bahagia. Namun di akhir cerpen terjemahan karya Stephen Makler dengan judul asli ’The Perfect Match’ tersebut, dikisahkan ternyata mereka bercerai karena pernikahannya telalu ’sempurna’, tidak ada perbedaan pendapat apalagi pertengkaran karena banyaknya kesamaan mereka. Pernikahanpun jadi membosankan dan tidak dapat dipertahankan.

Mencari yang Sempurna?
Penulis pernah membaca sebuah artikel yang bercerita tentang seorang lelaki yang sedang berusaha mencari pasangan hidup yang sempurna, kesempurnaan yang mungkin dapat direpresentasikan sebagai cantik, cerdas, kaya, keturunan ningrat dan berakhlak mulia. Beberapa wanita sudah coba didekatinya, namun belum ada yang sesuai dengan kriterianya karena selalu ada kekurangannya. Suatu ketika, ia menemukan wanita idamannya yang memiliki syarat kesempurnaan yang didambakan. Lelaki itupun mengutarakan isi hatinya, termasuk upayanya mencari wanita yang sempurna. Namun, apa jawaban dari wanita tersebut? ”Mohon maaf, saya tidak dapat menerima permintaan Anda, karena saya juga sedang mengidam-idamkan seorang lelaki yang sempurna”.

Ada artikel serupa yang sempat penulis muat dalam tulisan ’Berikan Aku yang Terbaik’, tentang seseorang yang berdo’a kepada Tuhan untuk memberikannya pasangan. Tuhan menjawab, ”Engkau tidak memiliki pasangan karena kau tidak memintanya”. Kemudian orang itu tidak hanya berdo’a, tetapi juga menjelaskan kriteria pasangan yang diinginkan : baik hati, lembut, pemaaf, hangat, jujur, penuh dengan damai dan sukacita, murah hati, penuh perhatian dan pengertian, pintar, humoris hingga kriteria fisik. Seiring berjalannya waktu, daftar kriteria itupun bertambah. Hingga suatu malam ketika ia berdo’a, dalam hatinya Tuhan berkata, ”Hamba-Ku, Aku tak dapat memberikan apa yang kau inginkan karena Aku adalah Tuhan Yang Maha Adil. Aku adalah Kebenaran dan segala yang Aku lakukan adalah benar. Adalah suatu ketidakadilan dan ketidakbenaran bagi-Ku untuk memenuhi keinginanmu karena Aku tak dapat memberikan sesuatu yang bukan seperti engkau. Tidaklah adil bagi-Ku untuk memberikan seseorang yang penuh cinta kasih kepadamu padahal terkadang engkau masih kasar, atau memberikan seseorang yang pemurah tetapi engkau masih kejam, atau seseorang yang pemaaf tetapi engkau sendiri masih suka menyimpan dendam…”.

Tuhan melanjutkan, ”Adalah lebih baik jika Aku memberikan kepadamu seseorang yang Aku tahu dapat menumbuhkan segala kualitas yang kau cari selama ini daripada membuat kau membuang waktu mencari seseorang yang sudah mempunyai semua itu. Pasanganmu akan berasal dari tulang dan dagingmu, dan kau akan melihat dirimu sendiri di dalam dirinya dan kalian berdua akan menjadi satu. Pernikahan adalah seperti sekolah, suatu pendidikan jangka panjang. Pernikahan adalah tempat dimana kau dan pasanganmu akan saling menyesuaikan diri dan tidak hanya bertujuan untuk menyenangkan hati satu sama lain, tetapi untuk menjadikan kalian manusia yang lebih baik, dan membuat suatu kerjasama yang solid. Aku tidak memberikan pasangan yang sempurna karena engkau tidak sempurna. Aku memberikanmu seseorang yang dapat bertumbuh bersamamu. Boleh jadi kamu membenci dan tidak suka sesuatu, padahal ia amat baik bagimu. Boleh jadi kamu mencintai dan sangat mendambakan sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Aku Maha Mengetahui sedangkan kau tidak mengetahui. Sabarlah, Aku Maha Tahu apa yang terbaik untuk hamba-Ku”

Sempurna dalam Ketidaksempurnaan
Berbicara tentang kesempurnaan, sebenarnya Allah telah menciptakan manusia dengan sempurna dan memuliakannya dibandingkan dengan makhluk-Nya yang lain. Namun, nafsu yang menggiring kepada kemaksiatan dan pemahaman yang keliru tentang kesempurnaan itulah yang membuat manusia tak lagi sempurna. Dan karena tidak ada manusia yang tak pernah berdosa maka tidak ada manusia yang sempurna. Jika ada seseorang yang merasa dirinya sudah sempurna, disitu saja ia sejatinya sudah menunjukkan ketidaksempurnaannya. Karenanya pula, memutuskan untuk mencari pasangan yang sempurna sama halnya dengan memutuskan untuk tidak menikah sama sekali.

Ketidaksempurnan kondisi ini bukan berarti manusia hanya cukup mencari pasangan yang jauh dari sempurna atau bahkan sekedar pasrah menunggu jodoh seadanya. Tidak mencari yang sempurna, bukan berarti tidak mencari yang baik dan tepat. Dalam do’a istikharah, Rasulullah SAW telah mengajarkan untuk memohon kepada Allah agar memilihkan yang terbaik untuk diri, agama dan urusan kita ke depannya, bukan memilihkan yang sempurna. Baik bukan berarti sempurna, namun sempurnapun belum tentu baik. Ketika sesuatu yang sempurna sangat sulit ditemukan, sesuatu yang baik biasanya dapat ditemukan di tempat yang baik dengan cara yang baik pula. Ketika kesempurnaan hanya layak disandang oleh Yang Maha Sempurna, sesuatu yang baikpun layak diperoleh mereka yang baik.

Manusia memang memiliki hasrat dan penuh keinginan. Bagi dirinya sendiri, tentu yang terbaiklah yang diharapkan, termasuk dalam hal jodoh. Allah menghendaki kita untuk mencari dan menemukan jodoh terbaik dengan usaha terbaik. Dan hal yang tidak boleh dilupakan untuk mendapatkan yang terbaik adalah dengan terus memperbaiki diri. Tawakkal setelah berikhtiar yang terbaik, akan menghasilkan keikhlashan sehingga apapun hasilnya akan dipandang sebagai yang terbaik. Prasangka baik kepada Allah atas segala ketetapan-Nya, akan membuka pintu kebaikan selanjutnya. Hasil dari proses itu kemudian disikapi dengan baik, limpahan kebaikanpun akan terus mengalir.

Kehidupan hakikatnya adalah serangkaian proses pendewasaan, berbagai ketidaksempurnaan sejatinya merupakan pembelajaran. Kekurangan, kesalahan, kelemahan dan berbagai ketidaksempurnaan memang perlu ada untuk kehidupan yang lebih baik. Apa lagi yang dapat diperbaiki dari sesuatu yang sempurna? Karenanya, penyikapan yang baik terhadap ketidaksempurnaan, dibantu oleh sesuatu (atau seseorang) yang baik dan tepat –pun mungkin tidak sempurna– akan terus mengarahkan proses perbaikan menuju kesempurnaan. Hingga pada masanya nanti, kesempurnaan dapat tercipta melalui proses yang baik dari komponen – komponen penyusunnya yang tidak sempurna…

* * *

“Ya Allah… Aku tidak meminta seseorang yang sempurna namun aku meminta seseorang yang tidak sempurna sehingga aku dapat membuatnya sempurna di mata-Mu…”

Wallahu a’lam bishawwab
Ps. Mari bertumbuh bersama… ^_^