“Most people say that is it is the intellect which makes a great scientist. They are wrong: it is character.” (Albert Einstein)
Beberapa tahun belakangan istilah ‘karakter’ menjadi populer di dunia pendidikan. Berbagai permasalahan bangsa yang kompleks disinyalir bersumber dari krisis karakter. Alhasil, pendidikan karakter kebangsaan dipandang sebagai solusi penting untuk mengatasi kompleksitas permasalahan pendidikan nasional, mulai dari kecurangan dalam ujian, maraknya hubungan seks pra nikah, kasus aborsi, pornografi dan pornoaksi, meningkatnya penderita HIV/ AIDS di kalangan remaja, penyalahgunaan narkotika dan obat-obat terlarang, tawuran dan kenakalan pelajar, minuman keras, hingga kekerasan dan bullying. Pendidikan karakter kebangsaan ini diharapkan mampu menciptakan SDM yang unggul karena berbagai hasil penelitian juga mendukung bahwa faktor terbesar penentu kesuksesan seseorang adalah karakter atau kepribadiannya.
Gagalnya Pendidikan Karakter
Mungkin tidak banyak yang mengenal Lawrence Kohlberg, seorang profesor Psikologi Pendidikan dan Sosial di Harvard University yang mengunjungi Kibbutz, pemukiman kolektif di Israel dengan sistem kepemilikan bersama dan dengan struktur-struktur dasar demokratis yang berdampak positif terhadap perkembangan moral anak-anak muda disana. Aktivis Yahudi ini kemudian membangun sekolah-sekolah cluster yang menerapkan sistem yang sama sehingga melengkapi penelitiannya mengenai Teori Tahapan Perkembangan Moral yang kemudian menjadi cikal bakal pendidikan karakter. Mungkin tidak banyak juga yang mengetahui bahwa pelopor pendidikan karakter ini menutup usianya dengan menenggelamkan dirinya ke Samudera Atlantik akibat depresi berkepanjangan atas penyakit yang dideritanya. Ironis, segudang teori tentang moralitas yang dikembangkannya dikalahkan oleh parasit bernama Giardia Lamblia. Tragis, mengapa semangat pendidikan karakternya tidak menjadikan dirinya cukup tangguh dan mampu bersabar?
Pada tanggal 23 Januari 1997, Presiden AS Bill Clinton meminta para guru memasukkan Pendidikan Karakter sebagai kurikulum pengajaran. Namun ternyata moralitas remaja Amerika relatif tidak banyak mengalami kemajuan, angka kehamilan remaja, pemakaian obat-obat terlarang, kekerasan di sekolah, dan kriminalitas jalanan terus meningkat. Edward Wyne and Kevin Ryan, dua tokoh pendidikan ternama di Amerika sudah memperkirakan kegagalan ini karena model pendidikan karakter telah gagal untuk menjawab nilai-nilai apa yang harus diajarkan dalam pendidikan karakter. Pendidikan karakter sebenarnya juga bukan hal baru bagi pendidikan Indonesia. Pendidikan budi pekerti yang diajarkan dalam Pendidikan Moral Pancasila ataupun berbagai penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) sejatinya adalah model Pendidikan Karakter. Nilai-nilai yang diajarkan sudah jelas terkait ke-Pancasila-an, namun mengapa krisis moral dan krisis karakter tetap melanda bangsa ini?
Menurut hemat penulis, ada dua hal mendasar yang menyebabkan pendidikan karakter menemui kegagalan. Pertama, pengajaran pendidikan karakter cenderung bersifat kognitif dan menambah pengetahuan. Padahal esensi pendidikan karakter ada pada keteladanan dan pembiasaan. Harus ada pemahaman yang implementatif. Mungkin beberapa di antara kita masih ingat betapa pendidikan moral di Indonesia seolah diarahkan untuk menghapal pada sila dan butir Pancasila keberapa suatu nilai atau karakter sesuai. Bagaimana implementasinya dan sudahkah terimplementasi tidak menjadi hal yang diperhatikan. Segudang teori pun berbenturan dengan realita. Pengetahuan tentang karakter tidak lantas membuat orang tersebut menjadi berkarakter. Tahu bahwa berzina itu haram namun tetap pergi ke tempat prostitusi, tahu jujur itu baik namun tetap korupsi, tahu ketangguhan moral harus dijunjung namun tetap bunuh diri, tahu karakter ini baik dan itu buruk namun tidak terimplementasi dalam tingkah laku sehari-hari. Pendidikan karakterpun gagal.
Kedua, pengajaran pendidikan karakter cenderung indoktrinasi, tidak mencerdaskan dan tidak membuat peserta didik berkembang. Butir-butir Pancasila menjadi sabda dewa, nilai baik-buruk menjadi fatwa tanpa ada pemahaman dalam akan makna dan ruang diskusi yang terbuka. Akhirnya, pendidikan karakter justru menggiring seseorang yang mempelajarinya menjadi karakter lain. Untuk dunia militer yang banyak mencetak ‘robot’ mungkin pendidikan ini berhasil, namun tidak untuk dunia pendidikan yang memanusiakan manusia. Belum lagi sebuah fakta bahwa karakter dasar seseorang tidaklah dapat dipaksakan sama. Pendidikan karakter seharusnya bukan mengubah karakter, melainkan mengarahkannya. Abu Bakar r.a. yang lemah lembut dapat bersikap tegas dalam memerangi mereka yang tidak mau membayar zakat. Umar bin Khattab r.a. yang keras kerap menangis dalam shalatnya dan seperti anak kecil di hadapan istrinya. Karakter lemah lembut dan keras tersebut tidak berubah, namun terarah dan terimplementasi tepat pada porsinya. Pemaksaan dalam pendidikan karakter, pada suatu titik akan mengalami penolakan. Pendidikan karakterpun gagal.
Jangan Terjebak Label
Sebelum membahas lebih jauh lagi, apa sih karakter itu? Menarik, penulis tidak menemukan definisi karakter dalam ‘Kamus Besar Bahasa Indonesia’. Adapun dalam bahasa Inggris, character memiliki beragam makna, mulai dari watak dan sifat, peran, hingga huruf. Dari sini sudah terlihat bahwa Bahasa Indonesia lebih kaya karena definisi watak berbeda dengan sifat, apalagi dengan peran dan huruf. Ketika kita berbicara tentang ‘karakter utama’ misalnya, pembicaraan akan mengarah ke seni peran, bukan terkait tingkah laku dan kebiasaan yang utama. Lalu mengapa harus menggunakan istilah karakter? Sekedar ikut tren? Padahal karakter bangsa takkan terbentuk dengan sikap ikut-ikutan, bahkan identitas bangsa bisa tergadaikan.
Jika kita telaah lebih jauh, istilah pendidikan karakter sebenarnya mereduksi makna dari pendidikan itu sendiri. Dalam KBBI, pendidikan didefinisikan sebagai proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan. Selain itu, pendidikan juga didefinisikan sebagai proses, cara, perbuatan mendidik. Definisi mendidik adalah memelihara dan memberi latihan (ajaran, tuntunan, pimpinan) mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran. Sikap dan tata laku adalah buah dari karakter dan akhlak yang merupakan kata serapan dari Bahasa Arab adalah apa yang disebut karakter di dunia barat. Jika mau berprasangka, sudah terjadi sekulerisasi pendidikan di Indonesia sehingga istilah akhlak, iman dan takwa pun harus diganti dengan karakter dan religius yang mengacu ke dunia Barat. Intinya, jelas sudah tanpa embel-embel karakter, pendidikan sudah seharusnya menyentuh aspek sikap, tingkah laku dan akhlak, bukan sebatas kecerdasan pikiran.
Sekali lagi, bahasa Indonesia lebih kaya. Untuk karakter dengan makna positif sudah tersedia kata-kata seperti akhlak dan budi pekerti, sedangkan untuk yang berkonotasi negatif ada kata-kata seperti tabiat dan perangai. Religius, jujur, toleransi, disiplin, dan seterusnya yang termasuk nilai-nilai karakter berlandaskan budaya bangsa sejatinya adalah akhlak dan budi pekerti. Demikian pula dengan karakter pokok, karakter pilihan, dan berbagai istilah karakter lainnya, merupakan bagian dari akhlak dan budi pekerti. Krisis karakter adalah krisis akhlak, membangun karakter adalah membangun budi pekerti. Karenanya, pendidikan karakter bukanlah hal baru, karena kita sebelumnya sudah mengenal pendidikan akhlak, pendidikan budi pekerti ataupun pendidikan moral yang gagal diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Namun perlu ditegaskan, yang menjadi fokus bukanlah pergantian nama pendidikan karakter menjadi pendidikan akhlak atau pendidikan budi pekerti, karena semuanya itu hanyalah label. Esensi pendidikan sudah mencakup itu semua. Yang perlu dikuatkan adalah landasan kemunculan pendidikan karakter, jangan sampai hanya sekedar ikut-ikutan. Yang perlu dikritisi adalah muatan pendidikan karakter, jangan sampai ada agenda tersembunyi yang merusak di dalamnya. Yang perlu dicermati adalah implementasi pendidikan karakter, jangan sampai cuma sebatas jargon dan label. Yang perlu dipastikan adalah bagaimana esensi pendidikan benar-benar dapat tersampaikan, jangan sampai tereduksi dengan berbagai istilah baru dalam kebijakan baru.
Pendidikan Karakter, Perlukah?
Pertanyaan retoris. Dalam konteks membina aspek sikap, tingkah laku dan akhlak, pendidikan karakter jelas perlu dan penting, bahkan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari pendidikan itu sendiri. Institusi pendidikan didorong untuk menghasilkan lulusan yang memenuhi standar kompetensi. Ketika berbicara tentang kompetensi, bukan hanya kompetensi pengetahuan (knowledge) yang disyaratkan, namun juga kompetensi keterampilan (skill) dan sikap (attitude). Pendidikan teoritis akan menyokong kompetensi pengetahuan, pendidikan praktek akan memenuhi kompetensi keterampilan dan pendidikan karakter akan melengkapi kompetensi sikap. Sekali lagi, pendidikan karakter sejalan dengan hakikat dan tujuan pendidikan.
Permasalahan kecilnya adalah jebakan label dan istilah yang kerap mengganggu hal yang lebih fundamental. Perbedaan antara karakter, moral, akhlak, sikap, watak, budi pekerti, perangai dan sebagainya bukanlah hal yang penting. Penggunaan istilah karakter pokok, karakter pilihan, karakter unggul dan sebagainya bukanlah hal yang esensi, demikian pula dengan istilah character building atau character education. Permasalahan lainnya yang sempat ditemukan dalam penerapan pendidikan karakter di Amerika adalah mengenai karakter apa yang seharusnya diajarkan. Jika hendak dipersoalkan, 18 karakter bangsa bisa jadi terlalu banyak. Jangankan untuk diinternalisasi dan diimplementasi, dihapalkan saja tidak mudah. Fokus pendidikan pada pemenuhan karakter-karakter dasar yang paling diperlukan adalah penting. Karakter baik, sebagaimana karakter buruk, sifatnya menular, mengantarkan pada karakter lain dengan karakteristik yang sejenis (karakter dan karakteristik, satu lagi jejak ambiguitas penggunaan istilah karakter yang juga memuat definisi kekhasan). Religius misalnya, akan mendorong seseorang untuk lebih jujur, disiplin dan bertanggung jawab. 
Namun, permasalahan yang lebih mendasar adalah bagaimana agar pendidikan karakter tidak sia-sia dan gagal. Secara normatif jelas dapat disimpulkan bahwa keteladanan adalah kunci keberhasilan pendidikan karakter. Sayangnya, bangsa ini sekarang masih krisis keteladanan. Bagaimana peserta didik akan berlalu jujur jika guru mendukung kecurangan dalam penyelenggaraan UN. Bagaimana sarjana akan memiliki integritas jika dosen yang mengajarnya kerap melakukan plagiat. Bagaimana seorang anak dapat mengimplementasi nilai-nilai karakter bangsa sementara dalam kesehariannya nilai-nilai yang dijumpainya berseberangan dengan karakter yang diajarkan. Disinilah diperlukan adanya sinergi antar setiap komponen pendidikan (keluarga, institusi pendidikan dan masyarakat) dalam membangun karakter seorang anak. Kesuksesan pendidikan karakter menjadi kompleks karena juga melibatkan sinergi peran dari keluarga, sekolah dan masyarakat.
Di samping sinergi tersebut, secara lebih taktis, perlu ada perubahan paradigma pendidikan karakter dari menjawab apa, siapa, kapan dan dimana yang cenderung satu arah memenuhi sisi kognitif, menjadi menjawab mengapa dan bagaimana yang juga menyentuh sisi afektif dan psikomotorik. Jawaban atas pertanyaan apa, siapa, kapan dan dimana hanya akan menambah pengetahuan tanpa mengarahkannya pada makna yang lebih dalam: pengamalan. Pertanyaan mengapa akan menggugah daya cipta untuk menginternalisasi karakter menjadi pemahaman, bukan sekedar pengetahuan. Pertanyaan bagaimana akan menggugah daya gerak untuk menginternalisasi karakter menjadi pengamalan dan pengalaman. Daya cipta dan daya gerak untuk menginternalisasi karakter ini tinggal dibiasakan dan diarahkan untuk membangun karakter seseorang. Sifatnya lebih mengalir, tidak dipaksakan.
Setiap manusia lahir dengan kondisi sosio-geografis yang berbeda, karakternyapun beragam. Tidak ada yang buruk, yang ada hanya porsi yang belum seimbang dan kurang diarahkan. Seseorang yang jahat pasti masih ada yang dikhawatirkannya, masih ada yang diperjuangkannya, masih punya nilai kebaikan dalam dirinya. Iblis sekalipun masih memiliki karakter kerja keras dan kreativitas yang dapat ditiru, sayangnya porsi percaya dirinya terlalu besar sekali menjadi kesombongan dan mengantarkannya pada banyak perangai buruk lainnya. Potensi kebaikan yang tidak terarah jelas berpotensi salah arah. Disitulah pendidikan karakter memegang peran. Generasi muda penuh gairah, energi dan vitalitas, namun ketika porsinya kurang tepat dan tidak terarah, kenakalan remaja yang menjadi hasilnya. Pendidikan karakter tidak dalam posisi mematikan energi dan kreativitas tersebut, tetapi dengan pemberian pemahaman yang baik disertai dengan contoh dapat mengarahkan karakter remaja menjadi keunggulan, dengan berbagai macam bentuknya yang tidak perlu dipaksakan sama. Mungkin ada yang porsi dan arahnya sesuai untuk menekuni seni, ada yang olah raga, ada yang organisasi dan lain sebagainya.
Menyoal pendidikan karakter di sekolah, selain penyajian yang lebih praktis dan sarat contoh, ada faktor lain yang perlu mendapat perhatian khusus: guru. Ya, guru sangat menentukan efektifitas pendidikan karakter di sekolah, sebagaimana orang tua di rumah. Bukan hanya dari segi cara menyampaikan, integritas guru yang bersangkutan sangat menentukan. Guru juga harus mengajarkan pendidikan karakter secara sederhana dan relevan sehingga mudah dipahami dan diaplikasikan oleh peserta didik. Guru juga harus mampu menjaga semangat perbaikan peserta didik karena pendidikan karakter berproses, tidak serta merta selesai dalam waktu singkat. Sederhananya, untuk efektivitas pendidikan karakter di sekolah, seorang guru harus memenuhi karakter pendidik yang digambarkan Ki Hajar Dewantara: Ing ngarso sung tulodho, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani. Namun berapa banyak guru yang memenuhi kualifikasi tersebut?
Pendidikan (karakter) memang tidak lantas menjamin terselesaikannya berbagai masalah yang kompleks di Indonesia, namun menjadi upaya strategis untuk mencegah timbulnya berbagai masalah sosial di kemudian hari. Ketidaksempurnaan dalam implementasi pendidikan karakter bukan berarti konsep tersebut salah dan harus ditinggalkan. Karena memang mewujudkannya secara sempurna tidaklah mudah, banyak tantangan yang harus dihadapi. Dan perlu disadari juga bahwa buah pendidikan (karakter) tidak dapat dirasakan instan, semuanya berproses, karenanya kontinyuitasnya harus terjaga dengan melibatkan seluruh pihak yang terkait. Mungkin terdengar terlalu absurd, namun upaya menyelamatkan suatu bangsa bisa jadi dimulai dengan penerapan pendidikan (karakter) yang baik, dalam keluarga, sekolah, masyarakat, bangsa dan negara.
“The function of education is to teach one to think intensively and to think critically. Intelligence plus character – that is the goal of true education.” (Martin Luther King Jr.)
Recent Comments