Tag Archives: konspirasi

Propaganda dan Standar Ganda Konflik Ukraina

Perang perang lagi, semakin menjadi. Berita ini hari, berita jerit pengungsi. Lidah anjing kerempeng, berdecak keras beringas. Melihat tulang belulang, serdadu boneka yang malang. Tuan, tolonglah tuan, perang dihentikan. Lihatlah di tanah yang basah, air mata bercampur darah…” (‘Puing II’, Iwan Fals)

Sudah dua pekan ini media nasional dan internasional banyak menyoroti Ukraina, apalagi setelah invasi militer Rusia ke Ukraina 12 hari lalu. Berbagai macam informasi pun mengalir melalui beragam media. Berita, video dan gambar pun tersebar, dimana tidak sedikit di antaranya yang ternyata hoax. Konflik Rusia – Ukraina memang menjadi medan proxy war, berbagai macam propaganda dilakukan oleh kedua belah pihak. Di masyarakat dunia pada umumnya, simpati atas Ukraina begitu besar, apalagi ditambah sosok Presiden Ukraina, Volodymyr Zelensky, yang digambarkan begitu berani, heroik, dan merakyat. Dalam hal membentuk opini publik, Rusia tampaknya masih kalah dibandingkan ‘Barat’ yang memiliki daya dukung luar biasa terhadap arus informasi dan pembentukan opini dunia.

Blok Barat dengan Blok Timur semestinya sudah tidak ada lagi setelah berakhirnya perang dingin antara keduanya yang ditandai dengan bersatunya Jerman Barat dan Jerman Timur dan runtuhnya Uni Soviet sebagai pemimpin Blok Timur. Namun nyatanya, konflik Rusia – Ukraina kali ini –setelah sebelumnya juga terjadi sewindu yang lalu—tidak lepas dari keterlibatan NATO (North Atlantic Treaty Organization) atau Pakta Pertahanan Atlantik Utara. NATO adalah organisasi aliansi militer antar negara yang dibuat negara-negara Blok Barat pada 1949. Sekitar 6 tahun kemudian, negara-negara Blok Timur mendirikan Pakta Warsawa untuk menghadapi kemungkinan ancaman dari aliansi NATO. Ketika Pakta Warsawa dibubarkan pada 1991, NATO tetap eksis bahkan terlibat dalam berbagai perang terbuka, misalnya dalam Perang Bosnia, Invasi Militer ke Afghanistan, hingga Perang di Libya. Padahal selama masa perang dingin, NATO tidak terlibat dalam perang terbuka.

Tak heran, Rusia yang (dipersepsikan) menyerang Ukraina, masih mendapat dukungan dari negara lain. Beberapa di antaranya adalah sekutu Rusia seperti Belarusia, Venezuela, Korea Selatan, dan Myanmar. Namun beberapa di antaranya yang lain adalah ‘korban’ Blok Barat semisal Iran dan Suriah. Bagaimana dengan Indonesia? Secara politis, Indonesia termasuk 1 dari 141 negara pendukung resolusi yang mengecam agresi Rusia ke Ukraina. Namun dengan tidak menyampaikan kata ‘invasi’ ataupun ‘Rusia’ dalam pernyataannya, Indonesia relatif masih berhati-hati dengan mengedepankan isu kemanusiaan dan keamanan. Namun cengkraman Blok Barat sepertinya masih sedemikian kuat sehingga Indonesia dengan politik bebas aktifnya malah mendukung salah satu pilihan dan bukannya abstain, apalagi mengingat intervensi Barat ke Ukraina seperti halnya intervensi Barat dalam lepasnya Timor Timur.

Sementara itu, netizen Indonesia malah tidak banyak yang pro Barat. Bagaimanapun, isu agama (Islam) dan isu ‘anti-Barat’ cukup sukses diangkat. Belum lagi kedekatan Indonesia dengan Rusia dan Cina, secara sejarah ataupun aktual. Netizen Indonesia ‘kanan’ ataupun ‘kiri’ yang biasanya berseberangan, dalam hal ini mendapati kesimpulan yang sama pun alasannya berbeda. Ditambah lagi standar ganda yang dilakukan Amerika dan sekutunya dalam menyikapi konflik Rusia-Ukraina ini menjadi tambahan amunisi untuk memposisikan ‘kejahatan’ Barat. Penerapan standar ganda inilah yang akhirnya menjadi anti-propaganda.

Seorang Osama bin Laden yang dianggap sebagai dalang peristiwa 11 September 2001 dijadikan alasan bagi Amerika dan sekutunya untuk menyerang Afghanistan. Terlepas dari berbagai teori konspirasi seputar peristiwa 9/11, Osama bukanlah pribadi yang mewakili negara, apakah layak negaranya dibombardir? Sementara ada negara yang berulang kali menyerang negara lain, namun jangankan dibombardir, negara tersebut bahkan dielu-elukan layaknya pahlawan. Bayangkan saja seandainya Indonesia kena sanksi internasional atas aksi Reynhard Sinaga yang telah memperkosa ratusan pria di Inggris. Atau bagaimana operasi militer Amerika di Irak selama bertahun-tahun hanya karena ‘dugaan’ adanya senjata pemusnah massal, sementara negara-negara yang terbukti memiliki ratusan bahkan ribuan senjata nuklir aman-aman saja. Bahkan untuk menggertak Rusia, NATO ‘meminjam tangan’ Ukraina. Atau bagaimana Rusia diberikan berbagai sanksi ekonomi dan sosial terkait invasi ke Ukraina, sementara tak ada sanksi apapun bagi Amerika menginvasi banyak negara lain, ataupun Israel yang menginvasi Palestina. Sementara dalam perspektif Rusia, yang dilakukannya hanyalah menerima kembali wilayah yang pernah dilepas karena ingin kembali bergabung, menindak tegas bekas wilayah jajahan yang mengingkari kesepakatan, dan mempertahankan wilayahnya dari campur tangan pihak asing yang bahkan sampai mendirikan pangkalan militer dilengkapi dengan berbagai persenjataan di perbatasan negaranya. Ditambah bumbu-bumbu lain seperti jalur minyak dan gas di Ukraina.

Hanya saja argumentasi ‘standar ganda’ ini tidak popular ketika dibawa ke media internasional, dimana propaganda Barat sudah begitu lekat. Klaim tentang ‘standar ganda’ ini memang tidak lantas membenarkan peperangan dan tragedi kemanusiaan yang terjadi. Belum lagi ada perspektif isu berbeda yang dimunculkan antara perang di Timur Tengah (dan Afrika) dengan perang di Eropa. Ditambah lagi, ‘kejahatan’ Amerika sudah jadi rahasia umum yang tidak bisa diapa-apakan. Amerika ibarat anak Kepala Sekolah yang suka mem-bully temannya. Tidak ada siswa yang berani melaporkan, dilaporkan pun tidak ada guru yang berani bertindak. Mengangkat argumentasi ini hanya akan berujung pada perdebatan diskriminatif kontraprduktif yang akan jauh keluar dari konteks win-win solution.

Pada akhirnya, tidak mengambil keputusan atas sesuatu yang belum benar-benar diketahui bisa jadi merupakan langkah bijak. Bukan berarti menutup mata atas tragedi kemanusiaan yang terjadi, namun tidak perlu sok tahu, sok pahlawan, dan terjun lebih dalam di pusaran konflik. Bersiap akan kemungkinan terburuk akan jauh lebih baik dibandingkan turut memperburuk keadaan. Sudah cukup banyak ‘provokator’ dan ‘sengkuni’ dalam berbagai konflik bersenjata di penjuru dunia ini. Bagaimanapun, industri pertahanan perlu konsumen, sebagaimana industri kesehatan dan farmasi butuh penyakit. Lebih baik bersiap untuk beradaptasi ‘new normal’, tidak terjebak pada isu propaganda, apalagi sampai menerapkan standar ganda. Tetap optimis bahwa dunia akan kembali aman dan damai. Tapi mungkinkah keamanan dan kedamaian dapat dicapai dengan konflik dan peperangan? Wallahu a’lam

…Perang perang lagi, mungkinkah berhenti. Bila setiap negara, berlomba dekap senjata. Dengan nafsu yang makin menggila, nuklir pun tercipta (nuklir bagai dewa). Tampaknya sang jenderal bangga, di mimbar dia berkata: Untuk perdamaian (bohong), demi perdamaian (bohong), guna perdamaian (bohong), dalih perdamaian (bohong). Mana mungkin, bisa terwujudkan. Semua hanya alasan, semua hanya bohong besar” (‘Puing II’, Iwan Fals)

New Normal, Ilusi Penuh Harapan

Normal is an illusion. What is normal for the spider is chaos for the fly.” (Charles Addams)

Alhamdulillah, setelah dua setengah bulan mengganti shalat Jum’at dengan shalat zhuhur akibat pandemi Covid-19, akhirnya saya berkesempatan melaksanakan shalat Jum’at di masjid secara berjama’ah. Itupun karena memang sedang ada agenda rapat offline. Karena masjid perumahan juga belum menyelenggarakan shalat Jum’at berjama’ah. Tidak ada yang terlalu berbeda dari Jum’atan sebelum virus corona menyerang, kecuali tersedianya hand sanitizer dan bilik disinfektan untuk jama’ah, dan sebagian besar jama’ah menggunakan masker. Ya, tidak semua jama’ah mengikuti protokol cegah corona dengan menggunakan masker ketika beraktivitas di luar rumah. Social distancing antar jama’ah juga hanya terjadi di awal ketika jama’ah belum banyak yang datang. Ketika jama’ah sudah membludak, apalagi pas pelaksanaan shalat, jarak antar jama’ah hanya sekadar ‘tidak menempel’. Saya tidak akan membahas lebih baik mana shalat Jum’at di masjid atau shalat zhuhur di rumah ketika terjadi wabah. Yang ingin saya soroti adalah betapa banyak masyarakat kita yang bosan #dirumahaja dan ingin segera dapat beraktivitas di luar rumah, seperti sediakala. Apalagi saat ini pemerintah sudah membuka ruang itu dengan terminologi “new normal” atau kenormalan baru. Pun baru akan dimulai Juni mendatang, masyarakat awam sudah banyak yang ‘berani beraktivitas normal’ hanya berbekal masker.

Kenormalan baru yang dikehendaki pemerintah adalah kehidupan seperti biasanya ditambah dengan protokoler kesehatan, seperti menjaga jarak, menggunakan masker, mencuci tangan, dan tidak berkerumun. Karena obat atau vaksin corona belum pasti kapan akan ditemukan, sementara virus corona takkan hilang dalam waktu dekat, pemerintah berharap masyarakat Indonesia bisa berdamai dengan corona. Panduan menghadapi kenormalan baru pun sudah disiapkan. Kebijakan ini diharapkan menjadi solusi terbaik dalam menghadapi pandemi Covid 19 yang dampaknya bukan hanya terlihat dari perspektif dunia kesehatan, namun sektor-sektor kehidupan lainnya juga sangat terdampak, termasuk sektor ekonomi. Kenormalan baru diharapkan mampu menggeliatkan kembali perekonomian nasional yang sempat ‘mati suri’.

Kebijakan kenormalan baru ini banyak menuai kritik. Ketua DPR RI, Puan Maharani meminta pemerintah tidak terburu-buru menerapkan new normal tanpa kajian mendalam, termasuk harus ada langkah antisipasi seandainya terjadi gelombang baru penyebaran virus corona setelah penerapan new normal. Sementara itu, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal menolak istilah new normal yang dinilainya tidak akan efektif. Sudah banyak buruh yang PHK, sebagian lainnya tidak ada yang bisa dikerjakan karena ketiadaan bahan baku, sebagiannya lagi tetap bekerja walau tanpa new normal. Sementara Relawan Laporcovid-19 yang juga Ketua Jurnalis Bencana dan Krisis Indonesia, Ahmad Arif menilai kondisi ke depan adalah kondisi tidak normal. Pemerintah harus mampu mengendalikan pandemi dan menurunkan penyebaran virus corona, atau alih-alih new normal, yang terjadi justru bencana baru. Organisasi Muhammadiyah juga mengkritik dan skeptis dengan kebijakan ini. Data primer dari ratusan jaringan Rumah Sakit Muhammadiyah menunjukkan tren Covid 19 di Indonesia belum melandai. Berdamai dengan Covid 19 bukanlah sikap yang tepat, apalagi akan banyak nyawa masyarakat Indonesia yang dipertaruhkan. Dan masih banyak lagi kritik terhadap kebijakan kenormalan baru yang pada intinya dianggap tidak tepat waktunya karena belum memenuhi syarat untuk menerapkannya.

Sebagai catatan, ada beberapa syarat yang direkomendasikan WHO bagi negara yang hendak menerapkan new normal. Pertama, transmisi atau penularan Covid-19 terbukti sudah dapat dikendalikan. Indikator yang biasa digunakan adalah basic reproduction number (biasa dilambangkan dengan R0/ R naught) yaitu angka yang menunjukkan daya tular virus dari seseorang ke orang lain. Nilai R0 pada suatu waktu (t) atau biasa disebut effective reproduction number (Rt) haruslah lebih kecil dari 1 (satu) sehingga pelonggaran atau new normal dapat diterapkan. Bahkan idealnya, nilai Rt kurang dari 1 ini harus konsisten di bawah 1 (satu) selama dua pekan (14 hari) untuk memastikan transmisi Covid 19 sudah dapat dikendalikan. Kedua, sistem kesehatan terbukti memiliki kapasitas dalam merespon pelayanan Covid-19, mulai dari mengidentifikasi, mengisolasi, menguji, melacak kontak, hingga mengkarantina. Jangan sampai ketika terjadi gelombang baru akibat pelonggaran, Rumah Sakit dan fasilitas kesehatan menjadi overload. Ketiga, adanya mitigasi risiko pandemi khususnya untuk wilayah dan kelompok orang yang rentan terjangkit Covid-19, misalnya di panti jompo, fasilitas kesehatan termasuk Rumah Sakit Jiwa, ataupun pemukiman padat penduduk. Keempat, implementasi pencegahan penularan Covid-19 di tempat kerja dan tempat umum dengan penyediaan fasilitas fisik dan penerapan prosedur kesehatan. Kelima, risiko penyebaran imported case dapat dikendalikan. Keenam, adanya keterlibatan aktif masyarakat dalam pengelolaan masa transisi kenormalan baru.

Faktanya, berbagai persyaratan tersebut memang belum terpenuhi. Nilai Rt di beberapa wilayah Indonesia yang akan diterapkan new normal, termasuk DKI Jakarta, masih di atas 1 (satu). Penambahan jumlah kasus baru corona pun masih ratusan setiap harinya, lebih tinggi dibandingkan penambahan jumlah pasien yang sembuh. Kurva penyebaran virus corona pun relatif masih terus meningkat dan belum menunjukkan tanda-tanda akan melandai dalam waktu singkat. Belum lagi, rasio jumlah tes corona dibandingkan dengan populasi penduduk Indonesia tergolong paling rendah di antara negara-negara dengan jumlah kasus corona minimal lima digit. Artinya, bisa jadi jumlah kasus positif corona (termasuk jumlah korban jiwa akibat corona) di Indonesia jauh lebih besar dibandingkan data yang selama ini dipublikasikan. Singkatnya, new normal hanyalah ilusi sebab syarat dan ketentuannya belum terpenuhi, namun tetap akan diimplementasi.

Pun demikian, kenormalan baru adalah ilusi yang bisa dipahami. Ketika masyarakat lebih takut mati karena kelaparan dibandingkan mati karena virus. Ketika pemerintah sudah tidak lagi mampu membiayai. Ketika berbagai wacana dan teori konspirasi virus corona semakin ramai dan tidak dihalangi. Ketika pemimpin bukan hanya membiarkan, namun mencontohkan untuk tidak patuh prosedur. Ketika ekonomi menjadi panglima, yang siap menumbalkan sektor lainnya termasuk kesehatan dan pendidikan. Se-absurd apapun, kenormalan baru akan mentolerir dan menjadi solusi atas itu semua.

Masyarakat tak perlu takut menghadapi virus corona, toh berbagai virus mulai dari influenza hingga HIV bisa jadi ada setiap saat di semua tempat. Karenanya sebagian masyarakat menyambut kenormalan baru dengan euforia. Tidak perlu khawatir berlebihan dalam beraktivitas, harapan hidupnya pun semakin tinggi. Ketika Covid-19 diposisikan sebagai ilusi yang menebar ancaman dan ketakutan, new normal adalah ilusi yang memberikan harapan. Harapan untuk kembali menjalani hari-hari tanpa ketakutan. Harapan berdamai dengan virus dan membentuk sistem imun. Harapan kesejahteraan ekonomi semakin membaik. Dan berbagai harapan yang bisa jadi hanya sebatas angan. Entah sekadar harapan semu atau harapan yang akan mewujud biarlah imunitas dan waktu yang menjawabnya.

Akhirnya, masyarakat termasuk garda terdepan Covid-19 hanya bisa berdamai dengan kebijakan new normal. Ya, berdamai dengan kebijakan, bukan dengan virus yang tidak mengenal negosiasi. Tak bisa melawan. Tak punya posisi tawar. Apalagi bagi mereka yang tak punya pilihan dalam menentukan aktivitas pekerjaannya. Semuanya hanya bisa bekerja sesuai dengan tupoksinya, dan biarkan kenormalan baru menjadi tanggung jawab pribadi masing-masing. Hidup mati adalah takdir yang tak perlu ditakuti, apalagi hanya dari virus yang terlihatpun tidak. Dalam ketidakjelasan, bukankah lebih baik hidup dengan harapan dibandingkan hidup dengan ketakutan?

Karena beban tanggung jawab dipindahkan ke individu masyarakat, maka pemerintah bisa beralih fokus untuk mengerjakan proyek selanjutnya. Apalagi keberadaan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) nomor 1 tahun 2020 terkait penanganan pandemi Covid 19 sangat berpihak kepada pemerintah. Mulai dari keleluasaan menggunakan anggaran dengan dalih penanganan pandemi, hingga kekebalan hukum untuk disalahkan dalam upayanya mengatasi pandemi Covid 19. Proyek-proyek bisa kembali dijalankan, termasuk proyek pilkada. Biarlah rakyat mengais recehan untuk dapat meneruskan kehidupan. Biarlah para pengangguran dan pulahan juta korban PHK mati-matian untuk survival di tengah pandemi Covid-19. Semoga saja kebijakan new normal ini sudah direncanakan dengan matang dan tidak didasari pada kepentingan pragmatis golongan. Sehingga ribuan korban jiwa, termasuk puluhan tenaga medis tidaklah mati sia-sia. Untuk kemudian menuntut haknya di akhirat. Sehingga semua pihak bertanggung jawab terhadap pilihan yang diambil. Tidak kemudian lepas tangan ketika kondisi memburuk. Sehingga harapan baik bukan sebatas ilusi, namun menjadi impian yang akan diperjuangkan, dan do’a yang akan terwujud. Tetap normal dalam new normal.

“Hope and fear cannot occupy the same space. Invite one to stay.” (Maya Angelau)

Flat Earth, Rotasi Bumi dan Egosentris (1/2)

Entah mengapa tiba-tiba belakangan ini marak diskusi tentang bumi bulat vs bumi datar. Saya yang tidak tahu apa-apa mendadak dimintai pendapatnya. Flat Earth Theory yang diisi dengan bumbu konspirasi tentu menjadi daya tarik tersendiri untuk dibahas. Tidak sedikit orang melakukan debat kusir mempertahankan pendapatnya. Tidak jarang dengan kata-kata yang kurang pantas. Ada juga yang ikutan sok tahu kayak saya ^_^. Tidak sedikit juga orang yang tidak mau ambil pusing untuk membahasnya. Lebih baik berbekal untuk kehidupan akhirat dengan iman, ilmu dan amal shalih. Memang benar sih, debat tentang bentuk bumi cenderung tidak produktif, namun sesekali bolehlah saya ikut meramaikan pendapat yang belum tentu teruji kebenarannya. Ya, karena yang benar tentu datangnya dari Allah SWT.

Kontroversi teori bumi datar memang bukan hal baru, ratusan bahkan ribuan tahun yang lalu juga sudah menjadi perdebatan tak berujung. Diskusinya mungkin bisa saja langsung selesai jika pihak pendukung flat earth bisa memberikan pembuktian nyata, bukan sekedar pembuktian terbalik. Misalnya foto bumi datar dilihat dari luar angkasa bukan sekadar kritik terhadap foto buatan komputer atau Computer Generated Imaginary (CGI) yang diterbitkan NASA. Atau foto dinding es di antartika ketimbang sibuk menganalisa kebenaran tentang peluncuran satelit atau pendaratan di bulan. Jika dilihat dari berbagai video dan penjelasan yang banyak tersebar di dunia maya, argumentasi pendukung flat earth memang seakan-akan ilmiah, penuh asumsi dan cocokologi yang seolah merupakan suatu kebenaran.

Ya, saya pribadi cenderung mengambil pendapat bahwa bumi ellipsoid, bulat dengan sedikit pemampatan di kedua kutubnya, sampai ada pembuktian nyata yang benar-benar memperlihatkan bentuk lain dari bumi. Adapun berbagai peta bumi datar yang salah satu di antaranya ada dalam bendera PBB adalah untuk memudahkan gambaran keseluruhan negara. Gambar globe dua dimensi tidak akan memperlihatkan gambar di sisi sebaliknya, masak iya bendera gambarnya harus dibuat bolak-balik agar tidak ada negara yang merasa dianaktirikan. Tapi bukankah dalam Al Qur’an banyak disebutkan bahwa bumi dihamparkan? Ayolah, hamparan itu bukan berarti datar tetapi luas membentang. Tersedia, siap untuk diapa-apain. Lagipula penjelasan lebih lengkap bisa dilihat dalam tafsirnya, tanpa harus cocokologi. Setahu saya sih tidak ada ayat dalam Al Qur’an yang secara eksplisit menyebutkan bentuk bumi bulat atau datar. CMIIW.

Saya bukan pakar astronomi, apalagi ahli astrologi ^_^. Sebagai orang awam, saya beranggapan bahwa satu kebohongan akan mendatangkan kebohongan yang lain. Bisa dibayangkan betapa banyaknya kebohongan yang harus ditutupi jika ternyata bumi benar-benar datar. Bukan hanya membohongi tentara yang menjaga antartika dan keluarganya, juga harus membohongi semua ilmuwan, pekerja yang bergerak di bidang teknologi satelit dan keantariksaan, dan banyak lagi kebohongan yang harus dibuat dan disembunyikan rapat. Lebih jauh lagi, saya malah melihat teori bumi datar ini masih memiliki banyak celah. Misalnya, rasi bintang pari/ layang-layang yang selalu terlihat di selatan. Jika bumi datar dan bintang ada dalam kubah bumi, rasi bintang selatan di Indonesia seharusnya terlihat di barat atau timur dari wilayah yang berbeda 90 derajat dari Indonesia, atau bahkan terlihat di ujung utara dari wilayah yang berseberangan dengan Indonesia. Itu baru bicara tentang rasi bintang, belum lagi penjelasan tentang aurora dan efek Coriolis yang sulit dijelaskan dengan teori bumi datar.

Selanjutnya mengenai perbedaan waktu. Semakin jauh dari kutub utara bumi datar, perbedaan waktunya akan semakin kecil untuk jarak yang sama, namun kenyataannya tidaklah demikian. Teori bumi datar juga akan kesulitan untuk menjelaskan mengenai tahun syamsiyah dan tahun qomariyah sebab kecepatan revolusi matahari sama dengan revolusi bulan. Fenomena gerhana dalam teori bumi datar cuma bisa dijelaskan sebatas asumsi adanya antimoon, padahal gerhana sudah ada sejak zaman dahulu, jauh sebelum freemason –apalagi NASA—yang dituding sebagai konspirator didirikan. Selain itu jika matahari tetap ada di atas mengapa es di kutub utara tidak mencair? Atau mungkin ada konspirasi berupa freezer raksasa di kutub utara? :D

Pun demikian, teori bumi datar sukses membuat saya kembali mempertanyakan tentang kebenaran akan rotasi bumi. Jika memang bumi bergerak mengitari matahari (heliosentris) ataupun sebaliknya (geosentris), tanpa rotasi bumi pun sudah akan terjadi siang dan malam, hanya lamanya siang dan malam saja yang mungkin berubah. Tapi waktu itu pun relatif, karena sebenarnya lamanya waktu satu harilah yang dipakai untuk menentukan kala rotasi, bukan sebaliknya. Sulit membayangkan bumi bergerak dengan kecepatan lebih dari 1600 km/jam tapi kita sama sekali tidak merasakannya. Penjelasan yang ada hanyalah bahwa kita berada dalam sistem yang bergerak dengan percepatan nol sehingga tidak merasakan putaran yang begitu cepat. Lalu mengapa jika kita naik mobil atau kereta dengan kecepatan konstan (percepatan nol), kita tetap merasa bergerak? Karena kita terpengaruh dengan gerak semu di sekeliling kita, konon jika kita naik komedi putar dalam kotak tertutup raksasa, kita pun tidak akan merasakan putaran komedi putar. Benarkah?

–bersambung–

Pancasila dan Pendidikan Karakter (2/3)

Pancasila untuk Semua
Jika kemudian ada hal yang mengganggu dalam pelatihan karakter pancasila, itu adalah ketika pembahasan dikaitkan dengan Pancasila. Antara Ketuhanan Yang Maha Esa dengan belief dan berdo’a mungkin masih ada korelasinya. Namun korelasi antara kemanusiaan yang adil dan beradab dengan awareness dan bercita-cita mulai susah dipahami. Apalagi persatuan Indonesia dengan attitude dan bekerja keras, korelasinya semakin terlihat dipaksakan. Keterkaitan action dan bekerja sama juga terasa berjarak dengan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Demikian pula korelasi antara result dan berhijrah dengan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Fatalnya lagi, Pancasila dihubungkan dengan rukun Islam: sila ke-1, belief dan berdo’a dengan syahadat; sila ke-2, awareness dan bercita-cita dengan shalat; sila ke-3, attitude dan bekerja keras dengan puasa; sila ke-4, action dan bekerja sama dengan zakat; sila ke-5, result dan berhijrah dengan haji. Jadi tampak semakin dipaksakan. Bukankah berdoa seharusnya dekat dengan sholat? Bukankah zakat seharusnya identik dengan keadilan sosial? Dan semakin banyak pertanyaan lain.

Aku kemudian teringat dengan artikel beberapa tahun lalu bahwa Pancasila ternyata terkait dengan zionisme. Dalam artikel tersebut disampaikan bahwa gerakan Zionisme dan Freemasonry di seluruh dunia memiliki asas yang sama, hanya urutannya saja yang berbeda. Keduanya diilhami oleh “Khams Qanun” atau lima asas dalam Syer Talmud Qaballa, kitab suci agama Yahudi yaitu: Monotheisme (Ketuhanan Yang Maha Esa), nasionalisme (berbangsa, berbahasa, dan bertanah air satu Yahudi), humanisme (kemanusiaan yang adil dan beradab bagi Yahudi), demokrasi (dengan cahaya Talmud suara terbanyak adalah suara Tuhan), dan sosialisme (keadilan sosial bagi setiap orang Yahudi). Terlihat relevan sekali bukan dengan Pancasila? Dan ternyata tidak sedikit negara di berbagai belahan dunia yang memiliki asas yang mirip dengan Khams Qanun.

Tidak berhenti sampai disitu, artikel tersebut juga menyebutkan bahwa dalam simbol Garuda Pancasila sebenarnya terselip ajaran Paganisme Hindu yang jika ditarik kebelakang berasal dari ajaran Mesir Kuno yaitu Dewa Horus dan dibawa keseluruh dunia oleh para Freemason/ Zionisme. Karenanya simbol berbentuk burung ini banyak ditemukan, termasuk Amerika Serikat. Kemudian meskipun rupanya agak berbeda, tetapi ide dan konsep burung Garuda dianggap sama dengan mitos burung Phoenix yang menjadi salah satu dari sekian banyak simbol Freemasonry. Tidak hanya itu, perisai pada dada Garuda serupa dengan perisai-perisai di beberapa negara yang dikendalikan oleh Freemason, misalnya Inggris, dan perisai ini sama dengan lambang Ksatria Templar yang kerap diasosiasikan dengan pemuja setan yang menyembah Dajjal.

Lebih jauh lagi, lambang kelima sila Pancasila diidentikkan dengan simbol illuminati. Bintang lima adalah simbol pentagram terbalik yang serupa dengan kepala Baphomet, kambing jantan jelmaan iblis. Rantai merupakan simbol untuk garis darah (bloodline) kelompok illuminati atau sejenisnya yang menjaga (gatekeeper) keberlangsungan gerakan Freemason. Pohon beringin adalah simbol pohon Sephiroth dalam tradisi mistik Kabbalah. Kepala Banteng adalah simbol sapi Samiri yang menjadi sesembahan orang Yahudi ketika Moses/ Musa meninggalkan mereka. Dan lambang padi dan kapas tidak beda dengan zaitun dan gandum yang digenggam Elang Amerika Serikat, simbol kesuburan atau sumber kehidupan utama kehidupan manusia yang dijadikan lahan perah, atau sumber daya yang harus dihisap dan dikendalikan oleh Freemason. Intinya, Garuda Pancasila dianggap representasi simbol-simbol Freemason, Knight Templar, Illuminati, dan sebagainya yang dianggap sebagai pengikut Dajjal.

Tanpa mencoba berpikir ‘macam-macam’, Pancasila sebagai falsafah atau dasar negara sebenarnya seperti value dalam suatu perusahaan atau organisasi. Sah-sah saja, bahkan perlu. Bukan untuk dikultuskan, namun menjadi identitas khas yang baik. Tidak perlu heran jika ada kesamaan antara Pancasila dengan falsafah freemason, karena bagaimanapun gagasan sistem pendidikan, hukum dan pemerintahan di Indonesia masih banyak mengacu pada pemikiran Barat. Jadi tidak perlu dilebih-lebihkan, apalagi sampai mendramatisir simbol. Apa iya semua simbol bintang lima berarti kepala Baphomet? Antara burung Garuda dengan Phoenix sebenarnya tidak mirip, rantai dengan bloodline juga tidak mirip, demikian pula pohon beringin dengan Sephiroth yang kemiripannya terlihat dipaksakan, apalagi banteng dengan sapi yang jelas berbeda. Perlu kehati-hatian dalam pemaknaan simbol. Alih-alih waspada terhadap konspirasi zionisme, malah termakan konspirasi dari teori konspirasi itu sendiri. Hidup jadi suram karena simbol Freemason (ternyata) dimana-mana.

Pancasila untuk semua, itulah yang terbayangkan ketika lima sila yang ada dalam Pancasila diolah dengan metode ngepas-pasin. Lembaga tempatku beraktivitas memiliki lima value, yaitu amanah (trustworthy), teladan/ model, profesional, inovatif, dan persaudaraan (brotherhood). Nilai amanah atau bisa dipercaya akan menumbuhkan keyakinan (belief) dan erat kaitannya dengan unsur ketuhanan. Inovasi jelas berhubungan dengan kesadaran (awareness) dan cita-cita. Persaudaraan identik dengan bekerja sama dan persatuan. Profesionalitas terlihat dalam tindakan (action) dan menunjukkan semangat bekerja keras. Keteladanan memuat unsur hijrahnya manusia ke arah yang lebih baik. Kelima value tersebut mirip dengan spiral karakter dan karakter 5B yang berarti sejalan dengan karakter Pancasila. Jadi, jangankan rukun Islam dan Khams Qanun, dengan metode ngepas-pasin, Pancasila akan sejalan dengan banyak lima hal yang lain, mungkin termasuk 5K (kebersihan, keamanan, ketertiban, keindahan dan kekeluargaan) atau 5R (Ringkas, Rapi, Resik, Rawat dan Rajin).

Mempersoalkan Pendidikan Karakter Pancasila
70% Pelajar di Depok Tidak Hafal Pancasila”, begitu bunyi salah satu berita yang kubaca beberapa bulan lalu, bahkan di artikel lain terungkap bahwa beberapa pejabat dan calon pejabat di Indonesia juga ternyata tidak hafal Pancasila. Tidak hafal Pancasila memang tidak dosa dan belum tentu menunjukkan kualitas seseorang, namun bagaimana mungkin nilai luhur Pancasila hendak diinternalisasi dan diamalkan jika sekedar menghafalkannya pun tidak dapat dilakukan. Kondisi ini sekaligus menunjukkan bahwa Pancasila sebagai jati diri bangsa Indonesia sudah mulai kehilangan pesonanya dan ditinggalkan. Sebagai sebuah ideologi, Pancasila saat ini memang terasa kurang greget. Hampir tidak ada orang atau organisasi yang benar-benar fanatik memperjuangkan ideologi Pancasila, sebagaimana ideologi-ideologi lainnya.

(bersambung)

Pendidikan Karakter, Buat Apa?

“Most people say that is it is the intellect which makes a great scientist. They are wrong: it is character.” (Albert Einstein)

Beberapa tahun belakangan istilah ‘karakter’ menjadi populer di dunia pendidikan. Berbagai permasalahan bangsa yang kompleks disinyalir bersumber dari krisis karakter. Alhasil, pendidikan karakter kebangsaan dipandang sebagai solusi penting untuk mengatasi kompleksitas permasalahan pendidikan nasional, mulai dari kecurangan dalam ujian, maraknya hubungan seks pra nikah, kasus aborsi, pornografi dan pornoaksi, meningkatnya penderita HIV/ AIDS di kalangan remaja, penyalahgunaan narkotika dan obat-obat terlarang, tawuran dan kenakalan pelajar, minuman keras, hingga kekerasan dan bullying. Pendidikan karakter kebangsaan ini diharapkan mampu menciptakan SDM yang unggul karena berbagai hasil penelitian juga mendukung bahwa faktor terbesar penentu kesuksesan seseorang adalah karakter atau kepribadiannya.

Gagalnya Pendidikan Karakter
Mungkin tidak banyak yang mengenal Lawrence Kohlberg, seorang profesor Psikologi Pendidikan dan Sosial di Harvard University yang mengunjungi Kibbutz, pemukiman kolektif di Israel dengan sistem kepemilikan bersama dan dengan struktur-struktur dasar demokratis yang berdampak positif terhadap perkembangan moral anak-anak muda disana. Aktivis Yahudi ini kemudian membangun sekolah-sekolah cluster yang menerapkan sistem yang sama sehingga melengkapi penelitiannya mengenai Teori Tahapan Perkembangan Moral yang kemudian menjadi cikal bakal pendidikan karakter. Mungkin tidak banyak juga yang mengetahui bahwa pelopor pendidikan karakter ini menutup usianya dengan menenggelamkan dirinya ke Samudera Atlantik akibat depresi berkepanjangan atas penyakit yang dideritanya. Ironis, segudang teori tentang moralitas yang dikembangkannya dikalahkan oleh parasit bernama Giardia Lamblia. Tragis, mengapa semangat pendidikan karakternya tidak menjadikan dirinya cukup tangguh dan mampu bersabar?

Pada tanggal 23 Januari 1997, Presiden AS Bill Clinton meminta para guru memasukkan Pendidikan Karakter sebagai kurikulum pengajaran. Namun ternyata moralitas remaja Amerika relatif tidak banyak mengalami kemajuan, angka kehamilan remaja, pemakaian obat-obat terlarang, kekerasan di sekolah, dan kriminalitas jalanan terus meningkat. Edward Wyne and Kevin Ryan, dua tokoh pendidikan ternama di Amerika sudah memperkirakan kegagalan ini karena model pendidikan karakter telah gagal untuk menjawab nilai-nilai apa yang harus diajarkan dalam pendidikan karakter. Pendidikan karakter sebenarnya juga bukan hal baru bagi pendidikan Indonesia. Pendidikan budi pekerti yang diajarkan dalam Pendidikan Moral Pancasila ataupun berbagai penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) sejatinya adalah model Pendidikan Karakter. Nilai-nilai yang diajarkan sudah jelas terkait ke-Pancasila-an, namun mengapa krisis moral dan krisis karakter tetap melanda bangsa ini?

Menurut hemat penulis, ada dua hal mendasar yang menyebabkan pendidikan karakter menemui kegagalan. Pertama, pengajaran pendidikan karakter cenderung bersifat kognitif dan menambah pengetahuan. Padahal esensi pendidikan karakter ada pada keteladanan dan pembiasaan. Harus ada pemahaman yang implementatif. Mungkin beberapa di antara kita masih ingat betapa pendidikan moral di Indonesia seolah diarahkan untuk menghapal pada sila dan butir Pancasila keberapa suatu nilai atau karakter sesuai. Bagaimana implementasinya dan sudahkah terimplementasi tidak menjadi hal yang diperhatikan. Segudang teori pun berbenturan dengan realita. Pengetahuan tentang karakter tidak lantas membuat orang tersebut menjadi berkarakter. Tahu bahwa berzina itu haram namun tetap pergi ke tempat prostitusi, tahu jujur itu baik namun tetap korupsi, tahu ketangguhan moral harus dijunjung namun tetap bunuh diri, tahu karakter ini baik dan itu buruk namun tidak terimplementasi dalam tingkah laku sehari-hari. Pendidikan karakterpun gagal.

Kedua, pengajaran pendidikan karakter cenderung indoktrinasi, tidak mencerdaskan dan tidak membuat peserta didik berkembang. Butir-butir Pancasila menjadi sabda dewa, nilai baik-buruk menjadi fatwa tanpa ada pemahaman dalam akan makna dan ruang diskusi yang terbuka. Akhirnya, pendidikan karakter justru menggiring seseorang yang mempelajarinya menjadi karakter lain. Untuk dunia militer yang banyak mencetak ‘robot’ mungkin pendidikan ini berhasil, namun tidak untuk dunia pendidikan yang memanusiakan manusia. Belum lagi sebuah fakta bahwa karakter dasar seseorang tidaklah dapat dipaksakan sama. Pendidikan karakter seharusnya bukan mengubah karakter, melainkan mengarahkannya. Abu Bakar r.a. yang lemah lembut dapat bersikap tegas dalam memerangi mereka yang tidak mau membayar zakat. Umar bin Khattab r.a. yang keras kerap menangis dalam shalatnya dan seperti anak kecil di hadapan istrinya. Karakter lemah lembut dan keras tersebut tidak berubah, namun terarah dan terimplementasi tepat pada porsinya. Pemaksaan dalam pendidikan karakter, pada suatu titik akan mengalami penolakan. Pendidikan karakterpun gagal.

Jangan Terjebak Label
Sebelum membahas lebih jauh lagi, apa sih karakter itu? Menarik, penulis tidak menemukan definisi karakter dalam ‘Kamus Besar Bahasa Indonesia’. Adapun dalam bahasa Inggris, character memiliki beragam makna, mulai dari watak dan sifat, peran, hingga huruf. Dari sini sudah terlihat bahwa Bahasa Indonesia lebih kaya karena definisi watak berbeda dengan sifat, apalagi dengan peran dan huruf. Ketika kita berbicara tentang ‘karakter utama’ misalnya, pembicaraan akan mengarah ke seni peran, bukan terkait tingkah laku dan kebiasaan yang utama. Lalu mengapa harus menggunakan istilah karakter? Sekedar ikut tren? Padahal karakter bangsa takkan terbentuk dengan sikap ikut-ikutan, bahkan identitas bangsa bisa tergadaikan.

Jika kita telaah lebih jauh, istilah pendidikan karakter sebenarnya mereduksi makna dari pendidikan itu sendiri. Dalam KBBI, pendidikan didefinisikan sebagai proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan. Selain itu, pendidikan juga didefinisikan sebagai proses, cara, perbuatan mendidik. Definisi mendidik adalah memelihara dan memberi latihan (ajaran, tuntunan, pimpinan) mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran. Sikap dan tata laku adalah buah dari karakter dan akhlak yang merupakan kata serapan dari Bahasa Arab adalah apa yang disebut karakter di dunia barat. Jika mau berprasangka, sudah terjadi sekulerisasi pendidikan di Indonesia sehingga istilah akhlak, iman dan takwa pun harus diganti dengan karakter dan religius yang mengacu ke dunia Barat. Intinya, jelas sudah tanpa embel-embel karakter, pendidikan sudah seharusnya menyentuh aspek sikap, tingkah laku dan akhlak, bukan sebatas kecerdasan pikiran.

Sekali lagi, bahasa Indonesia lebih kaya. Untuk karakter dengan makna positif sudah tersedia kata-kata seperti akhlak dan budi pekerti, sedangkan untuk yang berkonotasi negatif ada kata-kata seperti tabiat dan perangai. Religius, jujur, toleransi, disiplin, dan seterusnya yang termasuk nilai-nilai karakter berlandaskan budaya bangsa sejatinya adalah akhlak dan budi pekerti. Demikian pula dengan karakter pokok, karakter pilihan, dan berbagai istilah karakter lainnya, merupakan bagian dari akhlak dan budi pekerti. Krisis karakter adalah krisis akhlak, membangun karakter adalah membangun budi pekerti. Karenanya, pendidikan karakter bukanlah hal baru, karena kita sebelumnya sudah mengenal pendidikan akhlak, pendidikan budi pekerti ataupun pendidikan moral yang gagal diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.

Namun perlu ditegaskan, yang menjadi fokus bukanlah pergantian nama pendidikan karakter menjadi pendidikan akhlak atau pendidikan budi pekerti, karena semuanya itu hanyalah label. Esensi pendidikan sudah mencakup itu semua. Yang perlu dikuatkan adalah landasan kemunculan pendidikan karakter, jangan sampai hanya sekedar ikut-ikutan. Yang perlu dikritisi adalah muatan pendidikan karakter, jangan sampai ada agenda tersembunyi yang merusak di dalamnya. Yang perlu dicermati adalah implementasi pendidikan karakter, jangan sampai cuma sebatas jargon dan label. Yang perlu dipastikan adalah bagaimana esensi pendidikan benar-benar dapat tersampaikan, jangan sampai tereduksi dengan berbagai istilah baru dalam kebijakan baru.

Pendidikan Karakter, Perlukah?
Pertanyaan retoris. Dalam konteks membina aspek sikap, tingkah laku dan akhlak, pendidikan karakter jelas perlu dan penting, bahkan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari pendidikan itu sendiri. Institusi pendidikan didorong untuk menghasilkan lulusan yang memenuhi standar kompetensi. Ketika berbicara tentang kompetensi, bukan hanya kompetensi pengetahuan (knowledge) yang disyaratkan, namun juga kompetensi keterampilan (skill) dan sikap (attitude). Pendidikan teoritis akan menyokong kompetensi pengetahuan, pendidikan praktek akan memenuhi kompetensi keterampilan dan pendidikan karakter akan melengkapi kompetensi sikap. Sekali lagi, pendidikan karakter sejalan dengan hakikat dan tujuan pendidikan.

Permasalahan kecilnya adalah jebakan label dan istilah yang kerap mengganggu hal yang lebih fundamental. Perbedaan antara karakter, moral, akhlak, sikap, watak, budi pekerti, perangai dan sebagainya bukanlah hal yang penting. Penggunaan istilah karakter pokok, karakter pilihan, karakter unggul dan sebagainya bukanlah hal yang esensi, demikian pula dengan istilah character building atau character education. Permasalahan lainnya yang sempat ditemukan dalam penerapan pendidikan karakter di Amerika adalah mengenai karakter apa yang seharusnya diajarkan. Jika hendak dipersoalkan, 18 karakter bangsa bisa jadi terlalu banyak. Jangankan untuk diinternalisasi dan diimplementasi, dihapalkan saja tidak mudah. Fokus pendidikan pada pemenuhan karakter-karakter dasar yang paling diperlukan adalah penting. Karakter baik, sebagaimana karakter buruk, sifatnya menular, mengantarkan pada karakter lain dengan karakteristik yang sejenis (karakter dan karakteristik, satu lagi jejak ambiguitas penggunaan istilah karakter yang juga memuat definisi kekhasan). Religius misalnya, akan mendorong seseorang untuk lebih jujur, disiplin dan bertanggung jawab.

Namun, permasalahan yang lebih mendasar adalah bagaimana agar pendidikan karakter tidak sia-sia dan gagal. Secara normatif jelas dapat disimpulkan bahwa keteladanan adalah kunci keberhasilan pendidikan karakter. Sayangnya, bangsa ini sekarang masih krisis keteladanan. Bagaimana peserta didik akan berlalu jujur jika guru mendukung kecurangan dalam penyelenggaraan UN. Bagaimana sarjana akan memiliki integritas jika dosen yang mengajarnya kerap melakukan plagiat. Bagaimana seorang anak dapat mengimplementasi nilai-nilai karakter bangsa sementara dalam kesehariannya nilai-nilai yang dijumpainya berseberangan dengan karakter yang diajarkan. Disinilah diperlukan adanya sinergi antar setiap komponen pendidikan (keluarga, institusi pendidikan dan masyarakat) dalam membangun karakter seorang anak. Kesuksesan pendidikan karakter menjadi kompleks karena juga melibatkan sinergi peran dari keluarga, sekolah dan masyarakat.

Di samping sinergi tersebut, secara lebih taktis, perlu ada perubahan paradigma pendidikan karakter dari menjawab apa, siapa, kapan dan dimana yang cenderung satu arah memenuhi sisi kognitif, menjadi menjawab mengapa dan bagaimana yang juga menyentuh sisi afektif dan psikomotorik. Jawaban atas pertanyaan apa, siapa, kapan dan dimana hanya akan menambah pengetahuan tanpa mengarahkannya pada makna yang lebih dalam: pengamalan. Pertanyaan mengapa akan menggugah daya cipta untuk menginternalisasi karakter menjadi pemahaman, bukan sekedar pengetahuan. Pertanyaan bagaimana akan menggugah daya gerak untuk menginternalisasi karakter menjadi pengamalan dan pengalaman. Daya cipta dan daya gerak untuk menginternalisasi karakter ini tinggal dibiasakan dan diarahkan untuk membangun karakter seseorang. Sifatnya lebih mengalir, tidak dipaksakan.

Setiap manusia lahir dengan kondisi sosio-geografis yang berbeda, karakternyapun beragam. Tidak ada yang buruk, yang ada hanya porsi yang belum seimbang dan kurang diarahkan. Seseorang yang jahat pasti masih ada yang dikhawatirkannya, masih ada yang diperjuangkannya, masih punya nilai kebaikan dalam dirinya. Iblis sekalipun masih memiliki karakter kerja keras dan kreativitas yang dapat ditiru, sayangnya porsi percaya dirinya terlalu besar sekali menjadi kesombongan dan mengantarkannya pada banyak perangai buruk lainnya. Potensi kebaikan yang tidak terarah jelas berpotensi salah arah. Disitulah pendidikan karakter memegang peran. Generasi muda penuh gairah, energi dan vitalitas, namun ketika porsinya kurang tepat dan tidak terarah, kenakalan remaja yang menjadi hasilnya. Pendidikan karakter tidak dalam posisi mematikan energi dan kreativitas tersebut, tetapi dengan pemberian pemahaman yang baik disertai dengan contoh dapat mengarahkan karakter remaja menjadi keunggulan, dengan berbagai macam bentuknya yang tidak perlu dipaksakan sama. Mungkin ada yang porsi dan arahnya sesuai untuk menekuni seni, ada yang olah raga, ada yang organisasi dan lain sebagainya.

Menyoal pendidikan karakter di sekolah, selain penyajian yang lebih praktis dan sarat contoh, ada faktor lain yang perlu mendapat perhatian khusus: guru. Ya, guru sangat menentukan efektifitas pendidikan karakter di sekolah, sebagaimana orang tua di rumah. Bukan hanya dari segi cara menyampaikan, integritas guru yang bersangkutan sangat menentukan. Guru juga harus mengajarkan pendidikan karakter secara sederhana dan relevan sehingga mudah dipahami dan diaplikasikan oleh peserta didik. Guru juga harus mampu menjaga semangat perbaikan peserta didik karena pendidikan karakter berproses, tidak serta merta selesai dalam waktu singkat. Sederhananya, untuk efektivitas pendidikan karakter di sekolah, seorang guru harus memenuhi karakter pendidik yang digambarkan Ki Hajar Dewantara: Ing ngarso sung tulodho, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani. Namun berapa banyak guru yang memenuhi kualifikasi tersebut?

Pendidikan (karakter) memang tidak lantas menjamin terselesaikannya berbagai masalah yang kompleks di Indonesia, namun menjadi upaya strategis untuk mencegah timbulnya berbagai masalah sosial di kemudian hari. Ketidaksempurnaan dalam implementasi pendidikan karakter bukan berarti konsep tersebut salah dan harus ditinggalkan. Karena memang mewujudkannya secara sempurna tidaklah mudah, banyak tantangan yang harus dihadapi. Dan perlu disadari juga bahwa buah pendidikan (karakter) tidak dapat dirasakan instan, semuanya berproses, karenanya kontinyuitasnya harus terjaga dengan melibatkan seluruh pihak yang terkait. Mungkin terdengar terlalu absurd, namun upaya menyelamatkan suatu bangsa bisa jadi dimulai dengan penerapan pendidikan (karakter) yang baik, dalam keluarga, sekolah, masyarakat, bangsa dan negara.

The function of education is to teach one to think intensively and to think critically. Intelligence plus character – that is the goal of true education.” (Martin Luther King Jr.)

Facebook Biayai Perang Gaza?

Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.” (QS. AtTaubah : 122)

* * *

Beberapa hari terakhir, seiring menghangatnya isu Israel – Palestina, beberapa kali penulis mendapatkan jarkom SMS untuk (kembali) memboikot facebook yang ditenggarai turut membiayai Israel. Ayat Al Qur’an tersebut di atas adalah ayat pembuka pemberitaan di salah satu halaman web anti facebook yang sebenarnya sudah berkembang lebih dari setahun yang lalu. Tahun lalu, di beberapa milis dan blog muncul diskusi panjang terkait hal ini, hingga ada jawabannya, jawaban dari jawabannya dan seterusnya.

Sekilas tentang Pendiri Facebook
Salah satu fakta yang disampaikan dalam berbagai pemberitaan anti facebook tersebut adalah mengenai pendiri facebook yang keturunan Yahudi. Mark Elliot Zuckerberg yang lahir pada 14 Mei 1984 merupakan anak dari Edward dan Karen Zuckerberg. Ia adalah seorang programer komputer dan pengusaha asal Amerika Serikat. Menjadi kaya di umurnya yang relatif muda karena berhasil mendirikan dan mengembangkan situs jaringan sosial Facebook di saat masih kuliah dengan bantuan teman Harvardnya Andrew McCollum dan teman sekamarnya Dustin Moskovitz dan Crish Hughes. Saat ini ia menjabat sebagai CEO Facebook. Forbes mencatatnya sebagai milyarder termuda –atas usaha sendiri dan bukan karena warisan– yang pernah tercatat dalam sejarah. Kekayaannya ditaksir sekitar US$ 1,5 miliar. Zuckenberg adalah anggota Alpha Epsilon Pi (ΑΕΠ atau AEPi), yaitu satu-satunya perkumpulan perguruan tinggi Yahudi internasional di Amerika Utara yang didirikan pada tahun 1913 oleh Charles C. Moskowitz dan 10 orang Yahudi lainnya. Alpha Epsilon Pi adalah perkumpulan kaderisasi Yahudi, meskipun mengklaim tidak diskriminasi dan terbuka untuk semua.

Konspirasi Yahudi melalui Media
Dalam teori komunikasi, terdapat istilah yang sangat populer, “Siapa yang menguasai informasi, dialah yang akan menguasai dunia” Istilah tersebut sangat dipahami oleh Yahudi yang bahkan dalam Protokol Zionisme XII sudah menyebutkan bahwa ’Pers adalah kekuatan yang amat berpengaruh’. Tidak heran bertebaran surat kabar yang dikuasai mereka seperti The New York Times, The New York Post atau The Washington Post. Tidak ketinggalan majalah seperti Times, Newsweek, US News dan World Report. Di media elektonik juga dikenal TV ABC, CBS, NBC, CNN, dan sebagainya. Demikian pula dengan kantor berita Reuters. Di dunia maya selain jejaring sosial facebook, beberapa situs popular termasuk google, yahoo dan youtube juga dimiliki mereka. Dan tidak sedikit fakta yang menunjukkan keberpihakan media – media tersebut di atas untuk kepentingan konspirasi Yahudi.

Perang Pemikiran di Dunia Maya
Salah satu jawaban dari aksi pemboikotan media milik Yahudi adalah gagasan untuk menggunakan media mereka untuk menyerang balik mereka, menjadikan ’senjata makan tuan’, istilahnya. Pemboikotan dianggap tidak menyelesaikan masalah, malah membuang potensi media untuk mendukung perjuangan Islam. Produk israel seperti HP Nokia jika sudah dimiliki bukan seharusnya dihancurkan, tetapi digunakan untuk sebaik – baiknya kebermanfaatan. Lihat saja bagaimana youtube dan twitter langsung dioptimalkan Israel untuk mengembalikan ’reputasi’ mereka paska penyerangan tentara Israel ke Mavi Marmara. Jika tidak ada yang berjuang disitu lalu siapa yang akan meng-counter attack dan meluruskan propaganda tersebut? Karenanya sebatas aksi ’mematikan TV’ dianggap tidak lantas menjamin ’tontonan’ menjadi semakin baik. Berpotensi lebih parah malah jika tidak ada yang mewarnai. Peluang ’konfrontasi’ di dunia mayapun semakin besar mengingat Yahudipun kadang membuat blunder dengan medianya. Di antara yang menarik adalah pembatalan serangan militer Israel ke Palestina karena rencana serangan itu sudah bocor melaui Facebook. Bahkan beredar kabar bahwa pihak barat mulai kewalahan menghadapi ’jihad’ yang dilancarkan lewat internet, termasuk melalui media yang dimiliki oleh mereka

Perlunya media alternatif
Salah satu sanggahan pemberitaan anti facebook disajikan dengan paparan teknis yang terlihat ilmiah tapi tidak cukup masuk logika saya. Jika dikatakan ajak teman dan upload foto sebanyak – banyaknya tanpa meng-klik iklan dapat membuat server farm dan harddisk mereka penuh, saya tidak yakin. Logikanya, semakin laris, harganya semakin mahal dan keuntungannya semakin besar. Itu sama artinya dengan membesarkan facebook. Jika dikatakan sistem pembayarannya per klik iklan, saya rasa tidak sesederhana itu. Toh iklan di koran atau reklame di jalan harganya tidak (hanya) dihitung dari berapa orang yang membacanya, tetapi juga dari ukuran, berapa kali tampil, dan sebagainya. Karenanya secara logika metode yang lebih efektif untuk ’menghancurkan’ facebook adalah mengalihkan sumber daya penyokongnya ke ranah lain.

Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan membangun media alternatif sebagaimana TV Al Jazeera menyaingi BBC. Saat ini sudah mulai berkembang jejaring sosial semacam facebook yang berafiliasi pada umat islam seperti www.muxlim.com, www.madina.com ataupun yang terbaru www.millatfacebook.com yang dibuat muslim Pakistan. Atau bagi para pencinta produk tanah air juga sudah ada beberapa jejaring sosial yang dibuat putra Indonesia misalnya www.koprol.com (pun sepertinya belum benar – benar terlepas dari situs Yahudi). Jika akun facebook masih bermanfaat untuk membangun social power, menyampaikan kebaikan, silaturahim dan sebagainya, maka kebermanfaatannya tentu akan lebih besar ketika digunakan untuk mengembangkan ’media sendiri’. Ya, jadi yang dilakukan bukan sebatas ’mematikan TV’, tapi mengoptimalkan channel baru yang kontennya lebih bermanfaat.

* * *

Seperti dalam tulisan sebelumnya, saya masih memandang bahwa Facebook hanyalah alat yang tergantung penggunaannya. Penggunaan facebook tetap bisa menjadi sarana silaturahim, memperkaya jaringan yang akan berguna untuk masa depan hingga menjadi sarana penyebar kebaikan dan kebermanfaatan. Namun jika tidak digunakan untuk hal yang bermanfaat, sepertinya memang lebih bijak untuk tidak menggunakannya. Apalagi saat ini sudah ada media lain yang dapat melipatgandakan kebermanfaatan. Jadi, bagaimana menurut Anda?

Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu. Dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya sedang Allah mengetahuinya. Dan apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalasi dengan cukup kepadamu dan kamu takkan dianiaya (dirugikan)” (QS. Al Anfal : 60)

Wallahu a’lam bishawwab