Tag Archives: kontroversi

Buatlah Kegaduhan, Selagi Cari Sensasi Masih Halal

Teko hanya mengeluarkan isi teko. Kata-kata mencerminkan isi hati. Hati yang baik akan mengatakan yang baik, begitu pula sebaliknya.” (Aa Gym)

Penetapan logo halal terbaru yang diterbitkan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kemenag membuat gaduh. Penetapan label halal yang dituangkan dalam Keputusan Kepala BPJPH Nomor 40 Tahun 2022 tentang Penetapan Label Halal dan berlaku secara nasional tersebut menuai kontroversi. Sebenarnya, standardisasi dalam kehidupan bermasyarakat, termasuk sertifikasi halal memang sebaiknya diselenggarakan oleh pemerintah, sementara ini Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang menerbitkan logo halal secara legal formal adalah Organisasi Masyarakat (Ormas), bukan badan atau lembaga pemerintah.

Bukan tanpa alasan penetapan logo halal yang baru ini banyak memperoleh cibiran. Pertama, perubahan logo bukanlah hal yang urgen dan substantif. Tak heran ada meme yang menyindirnya dengan langkanya minyak goreng. Ketika ada isu besar yang menyoroti pemerintah, sudah menjadi lumrah ada kebijakan atau statement remeh tidak popular yang kemudian dikelola menjadi kegaduhan. Perubahan logo juga tidak berkolerasi langsung terhadap persoalan sertifikasi halal, berbeda dengan edukasi dan pendampingan UMKM, misalnya. Intinya, kebijakan ini dianggap sebagai sesuatu hal yang tidak perlu.

Kedua, perubahan logo di tengah kondisi pemerintah yang sedang butuh uang untuk membangun Ibu Kota Negara (IKN) baru justru memunculkan spekulasi baru. Apalagi baru pekan lalu MUI mengingatkan pemerintah agar tidak cap penceramah radikal hanya karena kritik pemerintah. Imbauan ini muncul setelah pada awal bulan Maret ini Presiden Jokowi berpesan kepada TNI-Polri untuk tidak mengundang penceramah radikal dan tidak ikutan debat soal IKN. Coincidence? I think not! Terkesan ada aroma bisnis pula. Bagaimanapun, perubahan administrasi, apalagi skala nasional, adalah proyek besar. Belum lagi dampak mekanisme penerbitan sertifikasi halal ke depannya yang dikelola langsung oleh pemerintah.

Ketiga, tidak sedikit kegaduhan yang dibuat pejabat negara belakangan ini, khususnya ketika ada isu khusus yang sedang disoroti. Kegaduhan yang jika ditanggapi membuang energi, jika dibiarkan semakin menjadi-jadi. Apalagi sosok Menteri Agama bukan kali ini saja membuat gaduh. Belum ada sebulan ketika Gus Yaqut menjadi sorotan publik usai mengeluarkan pernyataan kontroversial seakan membandingkan suara toa masjid dengan gonggongan anjing. Kemudian dalam sebuah webinar yang digelar oleh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) 24 Oktober 2021 lalu, Yaqut mengungkapkan bahwa jabatan Menteri Agama bukan merupakan hadiah negara untuk umat Islam secara keseluruhan, melainkan hanya untuk NU. Pernyataan kontroversial tersebut bahkan membuat beberapa pihak sampai mengusulkan pembubaran Kementerian Agama. 5 April 2021 lalu, Gus Yaqut juga melontarkan pernyataan kontroversi yang berharap semua agama bisa diberi kesempatan untuk memulai doa dalam suatu acara formal. Tahun lalu juga beredar video Gus Yaqut mengucapkan selamat hari raya Naw-Ruz 178 EB ke komunitas Baha’i, sementara Baha’i oleh MUI diangga sebagai aliran sesat. Bahkan sehari usai dilantik menjadi Menteri Agama pada 24 Desember 2020, Gus Yaqut menyebut jika negara harus melindungi semua kaum yang ada termasuk Syiah dan Ahmadiyah.

Keempat, tidak sedikit masyarakat yang skeptis dan kehilangan kepercayaan pada pemerintah, walaupun sudah sewajarnya hal-hal yang menyangkut hajat hidup orang banyak dikelola oleh negara. Hal ini tentunya tidak terlepas dari track record pemerintah, terutama dalam hal penegakan hukum dan pemberantasan korupsi. Ironisnya, Kementerian Agama (Kemenag) termasuk yang terkorup, KPK bahkan pernah menempatkan Kemenag sebagai kementerian dengan indeks integritas terendah. Pada 2005, mencuat kasus korupsi Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) dan Dana Abadi Umat di Departemen Agama tahun 2003-2005 yang melibatkan mantan Menteri Agama, Said Agil Husin al Munawar dan mantan Dirjen Bimas Islam dan Penyelenggara Haji (BIPH), Taufik Kamil yang merugikan negara hingga 719 Miliar rupiah. Said Agil ini sempat tenar ketika menjabat karena memerintakan penggalian ‘harta karun’ di kompleks Prasasti Batutulis. Kemudian pada 2011-2012, sejumlah pejabat anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DR) dan pejabat Kemenag mengorupsi dana untuk pengadaan Alquran dan Laboratorium Madrasah. Kemudian ada kasus Penyalahgunaan Dana Haji dan Biaya Operasional Menteri yang dilakukan oleh mantan Menteri Agama, Suryadharma Ali. Selanjutnya, pada 2019 lalu ramai kasus jual beli jabatan yang melibatkan Ketua Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Romahurmuziy, Kepala Kanwil Kemenag Jawa Timur Haris Hasanuddin, dan Kepala Kanwil Kabupaten Gresik, Muafaq Wirahadi.

Last but not least, desain logo halal baru tak kalah kontroversialnya. Penjelasan panjang dan filosofis terkait makna logo baru jauh dari kata memuaskan. Misalnya sejak kapan warna ungu bermakna keimanan. Logo halal baru memang anti-mainstream, logo halal di banyak negara –baik Islam sebagai agama mayoritas ataupun minoritas—lebih mirip dengan logo halal lama, tanpa lingkaran bertuliskan ‘Majelis Ulama Indonesia’, tentunya. Sederhana, jelas, dan umum. Halal itu jelas. Tidak sedikit pula yang mengkritisi logo baru yang kurang tepat dari perspektif seni kaligrafi. Dan menjadikan gunungan sebagai perwajahan logo halal baru bisa dikatakan sebagai blunder besar. Gunungan wayang identik dengan orang Jawa, tidak mewakili keindonesiaan. Alih-alih menghadirkan nuansa Islam nusantara, kesan yang terasa justru nilai primordialisme dan sukuisme. Alhasil, ramai netizen membuat logo halal baru sesuai kekhasan daerahnya masing-masing, semisal Sumatera Barat dengan rumah gadang-nya, atau Sumatera Selatan dengan jembatan amperanya. Akhirnya, banyak sekali dijumpai logo halal tandingan yang beredar di dunia maya.

Sekontroversial apapun, atau dikritik sebanyak apapun, logo halal baru sudah ditetapkan dan efektif digunakan per 1 Maret 2022 lalu. Belajar dari kasus Roy Suryo yang melaporkan Gus Yaqut terkait penistaan agama bulan lalu, justru balik dilaporkan karena pencemaran nama baik, tampaknya semuanya akan aman ke depannya. Para pendukung pemerintah terjamin keamanannya setidaknya sampai 2024, apalagi kalau Jokowi diperpanjang 3 periode. Karena waktu menuju 2024 semakin sempit, ‘aji mumpung’ harus dioptimalkan. Kebijakan dan legacy perlu segera dibuat mumpung masih punya kewenangan. Seperti yang sudah-sudah, toh nanti isunya akan menguap dan tergantikan. Apalagi publik di Indonesia relatif ‘mudah lupa’. Kegaduhan pun diselesaikan dengan kegaduhan yang lain. Skema ini bisa diulang berkali-kali. Setidaknya selama ‘cari sensasi’ masih halal untuk dilakukan. Hanya butuh waktu kurang dari 15 bulan, seorang Yaqut Cholil Qoumas dikenal di penjuru nusantara. Dan tampaknya masih akan ada rangkaian kegaduhan yang semakin mempopulerkan namanya ke depannya.

Akan datang kepada manusia tahun-tahun yang penuh dengan penipuan. Ketika itu pendusta dibenarkan sedangkan orang yang jujur malah didustakan, pengkhianat dipercaya sedangkan orang yang amanah justru dianggap sebagai pengkhianat. Pada saat itu Ruwaibidhah berbicara.” Ada yang bertanya, “Apa yang dimaksud Ruwaibidhah?”. Beliau menjawab, “Orang bodoh yang turut campur dalam urusan masyarakat luas.” (HR. Ibnu Majah)

Publikasi Karya Ilmiah? Siapa Takut??!!

“Sebagimana kita ketahui pada saat sekarang ini, jumlah karya ilmiah dari Perguruan Tinggi Indonesia secara total masih rendah jika dibandingkan dengan Malaysia, hanya sekitar sepertujuh. Hal ini menjadi tantangan kita bersama untuk meningkatkannya. Sehubungan dengan itu terhitung mulai kelulusan setelah Agustus 2012 diberlakukan ketentuan sebagai berikut. Untuk program S1 harus ada makalah yang terbit di jurnal ilmiah. Untuk program S2 harus ada makalah yang terbit di jurnal ilmiah terakreditasi Dikti. Untuk program S3 harus ada makalah yang terbit di jurnal internasional”

Demikianlah isi dari Surat Edaran No. 152/ E/ T/ 2012 tentang Publikasi Karya Ilmiah yang dikirimkan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan kepada seluruh pimpinan Perguruan Tinggi di Indonesia. Surat tertanggal 27 Januari 2012 tersebut segera saja mengundang pro kontra. Pihak yang mendukung berargumen bahwa sudah sewajarnya mahasiswa didorong untuk lebih produktif dalam menulis dan menghasilkan karya ilmiah. Kebijakan ini juga akan mendorong dosen pembimbing dan pihak perguruan tinggi dalam upayanya untuk menerbitkan karya mahasiswanya dengan kualitas terbaik. Penerbitan jurnal secara massif juga akan memperkaya tradisi ilmiah di kalangan akademisi dan masyarakat sehingga ilmu pengetahuan akan semakin berkembang.

Cukup beralasan juga jika Menikbud M. Nuh menegaskan untuk mendorong kuantitas dulu baru kualitas, karena realitanya kemampuan literasi, budaya menulis dan tradisi ilmiah mahasiswa Indonesia masih memprihatinkan. Itikad baik dari lahirnya kebijakan tersebut sebenarnya tak terbantahkan, karena realitanya publikasi karya ilmiah Indonesia memang jauh tertinggal. Scientific Journal Rankings (SJR) mencatat sepanjang tahun 2011 hanya ada 5 jurnal Indonesia yang masuk peringkat dunia dan menempatkan Indonesia di peringkat 64. Sementara Malaysia dengan 43 jurnalnya ada di peringkat 43. Webometrics juga menunjukkan bahwa tidak ada perguruan tinggi di Indonesia yang masuk 500 besar untuk parameter scholar yang mengukur jumlah publikasi karya ilmiah elektronik, sementara Malaysia menempatkan 5 perguruan tingginya di peringkat 500 besar dunia. Data jurnal Nature beberapa waktu lalu juga menyebutkan, karya ilmiah saintis Indonesia dalam jurnal internasional adalah 0,88 artikel per satu juta penduduk sedangkan Malaysia sebanyak 20,78 sehingga menempatkan Indonesia di posisi 134 dunia sedangkan Malaysia pada posisi 67.

Di sisi lain, pihak yang kontra menilai bahwa kebijakan publikasi karya ilmiah untuk program S3 masih wajar. Namun untuk program S2 ada catatan mengingat masih minimnya jurnal ilmiah terakreditasi di DIKTI, ditambah lagi tidak sedikit mahasiswa S2 yang orientasinya adalah jenjang karir, bukan kompetensi keilmuan. Dan kontroversi yang paling banyak adalah untuk program S1, mengingat banyaknya mahasiswa jenjang S1 dengan ketersediaan jurnal ilmiah yang sangat terbatas, belum lagi saat ini tidak sedikit program yang membuka jalur kelulusan non-skripsi. Apalagi jika memperhitungkan deadline implementasi kebijakan yang tinggal hitungan bulan. Tak heran, beberapa pihak menilai kebijakan ini akan mempersulit mahasiswa untuk lulus. Karenanya Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia menolak kebijakan tersebut dan mengusulkan untuk mempersiapkan daya dukung publikasi karya tulis mahasiswa, menunda pemberlakuannya, atau diterapkan secara bertahap.

Salah satu fungsi kampus, sesuai dengan doktrin yang pernah diterima penulis semasa kuliah, adalah sebagai tempat bersemainya ide dan pemikiran. Ide dan pemikiran itu kemudian diarahkan untuk mewujudkan Tri Dharma Perguruan Tinggi, yaitu pendidikan, penelitian dan kontribusi ke masyarakat. Selama ini ide dan pemikiran tersebut lebih banyak menjadi wacana dalam dinamika kehidupan kampus. Karya tugas akhir mahasiswa hanya menumpuk di arsip perpustakaan kampus yang jarang diakses publik, sehingga tidak mengherankan produknya hanya seadanya dan yang penting lulus. Publikasi karya, mau tidak mau, akan mengembangkan kompetisi produktif di kalangan civitas akademika perguruan tinggi, disamping budaya ilmiah, tentunya. Potensi mahasiswa yang sedang berada di masa puncak produktivitasnya dapat dialihkan dari hal-hal yang tidak bermanfaat semisal tawuran dan seks bebas.

Penulis menilai bentuk penolakan terhadap kebijakan publikasi karya ilmiah mahasiswa yang muatannya adalah kekhawatiran, ketakutan tak beralasan dan motif untuk sekedar tidak mau repot tidak selayaknya diutarakan. Perubahan memang selalu melahirkan resistensi dan perbaikan kadang memang harus dipaksakan. Beberapa SMA di Indonesia sudah mewajibkan siswanya membuat karya ilmiah sebagai syarat kelulusan. Bahkan ada juga SMP yang mewajibkan siswanya menghasilkan produk (roket, robot, dan sebagainya) sebagai syarat kelulusan. Maka sebenarnya bukan hal yang aneh jika mahasiswa diwajibkan mempublikasikan karya dalam jurnal ilmiah sebagai syarat kelulusan. Apalagi tugas akhir kuliah sebagian besarnya berupa karya ilmiah. Apalagi pedoman penulisan jurnal juga telah tersedia. Apalagi kemudahan untuk penerbitan jurnal online juga sudah dibuka.

Saat menjadi calon sarjana sekitar 5 tahun yang lalu, penulis pun diminta membuat hasil skripsi dalam format jurnal berbahasa Indonesia dan Inggris. Pun tidak terpilih untuk dipublikasikan, hal itu menunjukkan bahwa ternyata membuat karya ilmiah dalam bentuk jurnal bukan hal yang sulit dilakukan, tinggal bagaimana keseriusan penyelenggara pendidikan untuk mempublikasikannya. Dan pengalaman penulis mendaftarkan jurnal ke LIPI untuk memperoleh nomor ISSN plus barcodenya juga ternyata tidak sulit. Karenanya kebijakan ini seharusnya disikapi dengan sikap tidak mempersulit.

Namun argumen pihak yang menolak kebijakan tersebut juga sebaiknya tidak dikesampingkan begitu saja. Jika mengacu ke Malaysia, publikasi karya ilmiah di jurnal internasional memang lebih banyak diperuntukkan bagi jenjang S2 ke atas, namun di Indonesia sepertinya tidak ada salahnya melakukan penataan pubikasi hasil tugas akhir mahasiswa S1. Lebih dini menanamkan nilai produktivitas dan keilmiahan untuk mengejar ketertinggalan. Untuk itu, pemerintah juga harus sigap mempersiapkan infrastruktur penerbitan jurnal dan melakukan sosialisasi yang optimal. Tidak lekas memberi sanksi yang telalu kaku di masa uji coba. Karena merubah kultur tidak semudah membalikkan telapak tangan. Evaluasi paska implementasi mutlak harus dilakukan. Kebijakan ini seharusnya tidak berat karena sejalan dengan visi penyelenggaraan pendidikan tinggi, namun memang butuh keseriusan untuk hasil yang optimal. Semoga saja kebijakan yang terkesan instan ini mampu mengangkat prestasi akademis Indonesia di kancah internasional.

“Vivat academia!
Vivant professores!
Vivat membrum quodlibet!
Vivat membra quaelibet!
Semper sint in flore…”
(Gaudeamus Igitur)