Tag Archives: media

Propaganda dan Standar Ganda Konflik Ukraina

Perang perang lagi, semakin menjadi. Berita ini hari, berita jerit pengungsi. Lidah anjing kerempeng, berdecak keras beringas. Melihat tulang belulang, serdadu boneka yang malang. Tuan, tolonglah tuan, perang dihentikan. Lihatlah di tanah yang basah, air mata bercampur darah…” (‘Puing II’, Iwan Fals)

Sudah dua pekan ini media nasional dan internasional banyak menyoroti Ukraina, apalagi setelah invasi militer Rusia ke Ukraina 12 hari lalu. Berbagai macam informasi pun mengalir melalui beragam media. Berita, video dan gambar pun tersebar, dimana tidak sedikit di antaranya yang ternyata hoax. Konflik Rusia – Ukraina memang menjadi medan proxy war, berbagai macam propaganda dilakukan oleh kedua belah pihak. Di masyarakat dunia pada umumnya, simpati atas Ukraina begitu besar, apalagi ditambah sosok Presiden Ukraina, Volodymyr Zelensky, yang digambarkan begitu berani, heroik, dan merakyat. Dalam hal membentuk opini publik, Rusia tampaknya masih kalah dibandingkan ‘Barat’ yang memiliki daya dukung luar biasa terhadap arus informasi dan pembentukan opini dunia.

Blok Barat dengan Blok Timur semestinya sudah tidak ada lagi setelah berakhirnya perang dingin antara keduanya yang ditandai dengan bersatunya Jerman Barat dan Jerman Timur dan runtuhnya Uni Soviet sebagai pemimpin Blok Timur. Namun nyatanya, konflik Rusia – Ukraina kali ini –setelah sebelumnya juga terjadi sewindu yang lalu—tidak lepas dari keterlibatan NATO (North Atlantic Treaty Organization) atau Pakta Pertahanan Atlantik Utara. NATO adalah organisasi aliansi militer antar negara yang dibuat negara-negara Blok Barat pada 1949. Sekitar 6 tahun kemudian, negara-negara Blok Timur mendirikan Pakta Warsawa untuk menghadapi kemungkinan ancaman dari aliansi NATO. Ketika Pakta Warsawa dibubarkan pada 1991, NATO tetap eksis bahkan terlibat dalam berbagai perang terbuka, misalnya dalam Perang Bosnia, Invasi Militer ke Afghanistan, hingga Perang di Libya. Padahal selama masa perang dingin, NATO tidak terlibat dalam perang terbuka.

Tak heran, Rusia yang (dipersepsikan) menyerang Ukraina, masih mendapat dukungan dari negara lain. Beberapa di antaranya adalah sekutu Rusia seperti Belarusia, Venezuela, Korea Selatan, dan Myanmar. Namun beberapa di antaranya yang lain adalah ‘korban’ Blok Barat semisal Iran dan Suriah. Bagaimana dengan Indonesia? Secara politis, Indonesia termasuk 1 dari 141 negara pendukung resolusi yang mengecam agresi Rusia ke Ukraina. Namun dengan tidak menyampaikan kata ‘invasi’ ataupun ‘Rusia’ dalam pernyataannya, Indonesia relatif masih berhati-hati dengan mengedepankan isu kemanusiaan dan keamanan. Namun cengkraman Blok Barat sepertinya masih sedemikian kuat sehingga Indonesia dengan politik bebas aktifnya malah mendukung salah satu pilihan dan bukannya abstain, apalagi mengingat intervensi Barat ke Ukraina seperti halnya intervensi Barat dalam lepasnya Timor Timur.

Sementara itu, netizen Indonesia malah tidak banyak yang pro Barat. Bagaimanapun, isu agama (Islam) dan isu ‘anti-Barat’ cukup sukses diangkat. Belum lagi kedekatan Indonesia dengan Rusia dan Cina, secara sejarah ataupun aktual. Netizen Indonesia ‘kanan’ ataupun ‘kiri’ yang biasanya berseberangan, dalam hal ini mendapati kesimpulan yang sama pun alasannya berbeda. Ditambah lagi standar ganda yang dilakukan Amerika dan sekutunya dalam menyikapi konflik Rusia-Ukraina ini menjadi tambahan amunisi untuk memposisikan ‘kejahatan’ Barat. Penerapan standar ganda inilah yang akhirnya menjadi anti-propaganda.

Seorang Osama bin Laden yang dianggap sebagai dalang peristiwa 11 September 2001 dijadikan alasan bagi Amerika dan sekutunya untuk menyerang Afghanistan. Terlepas dari berbagai teori konspirasi seputar peristiwa 9/11, Osama bukanlah pribadi yang mewakili negara, apakah layak negaranya dibombardir? Sementara ada negara yang berulang kali menyerang negara lain, namun jangankan dibombardir, negara tersebut bahkan dielu-elukan layaknya pahlawan. Bayangkan saja seandainya Indonesia kena sanksi internasional atas aksi Reynhard Sinaga yang telah memperkosa ratusan pria di Inggris. Atau bagaimana operasi militer Amerika di Irak selama bertahun-tahun hanya karena ‘dugaan’ adanya senjata pemusnah massal, sementara negara-negara yang terbukti memiliki ratusan bahkan ribuan senjata nuklir aman-aman saja. Bahkan untuk menggertak Rusia, NATO ‘meminjam tangan’ Ukraina. Atau bagaimana Rusia diberikan berbagai sanksi ekonomi dan sosial terkait invasi ke Ukraina, sementara tak ada sanksi apapun bagi Amerika menginvasi banyak negara lain, ataupun Israel yang menginvasi Palestina. Sementara dalam perspektif Rusia, yang dilakukannya hanyalah menerima kembali wilayah yang pernah dilepas karena ingin kembali bergabung, menindak tegas bekas wilayah jajahan yang mengingkari kesepakatan, dan mempertahankan wilayahnya dari campur tangan pihak asing yang bahkan sampai mendirikan pangkalan militer dilengkapi dengan berbagai persenjataan di perbatasan negaranya. Ditambah bumbu-bumbu lain seperti jalur minyak dan gas di Ukraina.

Hanya saja argumentasi ‘standar ganda’ ini tidak popular ketika dibawa ke media internasional, dimana propaganda Barat sudah begitu lekat. Klaim tentang ‘standar ganda’ ini memang tidak lantas membenarkan peperangan dan tragedi kemanusiaan yang terjadi. Belum lagi ada perspektif isu berbeda yang dimunculkan antara perang di Timur Tengah (dan Afrika) dengan perang di Eropa. Ditambah lagi, ‘kejahatan’ Amerika sudah jadi rahasia umum yang tidak bisa diapa-apakan. Amerika ibarat anak Kepala Sekolah yang suka mem-bully temannya. Tidak ada siswa yang berani melaporkan, dilaporkan pun tidak ada guru yang berani bertindak. Mengangkat argumentasi ini hanya akan berujung pada perdebatan diskriminatif kontraprduktif yang akan jauh keluar dari konteks win-win solution.

Pada akhirnya, tidak mengambil keputusan atas sesuatu yang belum benar-benar diketahui bisa jadi merupakan langkah bijak. Bukan berarti menutup mata atas tragedi kemanusiaan yang terjadi, namun tidak perlu sok tahu, sok pahlawan, dan terjun lebih dalam di pusaran konflik. Bersiap akan kemungkinan terburuk akan jauh lebih baik dibandingkan turut memperburuk keadaan. Sudah cukup banyak ‘provokator’ dan ‘sengkuni’ dalam berbagai konflik bersenjata di penjuru dunia ini. Bagaimanapun, industri pertahanan perlu konsumen, sebagaimana industri kesehatan dan farmasi butuh penyakit. Lebih baik bersiap untuk beradaptasi ‘new normal’, tidak terjebak pada isu propaganda, apalagi sampai menerapkan standar ganda. Tetap optimis bahwa dunia akan kembali aman dan damai. Tapi mungkinkah keamanan dan kedamaian dapat dicapai dengan konflik dan peperangan? Wallahu a’lam

…Perang perang lagi, mungkinkah berhenti. Bila setiap negara, berlomba dekap senjata. Dengan nafsu yang makin menggila, nuklir pun tercipta (nuklir bagai dewa). Tampaknya sang jenderal bangga, di mimbar dia berkata: Untuk perdamaian (bohong), demi perdamaian (bohong), guna perdamaian (bohong), dalih perdamaian (bohong). Mana mungkin, bisa terwujudkan. Semua hanya alasan, semua hanya bohong besar” (‘Puing II’, Iwan Fals)

Facebook Biayai Perang Gaza?

Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.” (QS. AtTaubah : 122)

* * *

Beberapa hari terakhir, seiring menghangatnya isu Israel – Palestina, beberapa kali penulis mendapatkan jarkom SMS untuk (kembali) memboikot facebook yang ditenggarai turut membiayai Israel. Ayat Al Qur’an tersebut di atas adalah ayat pembuka pemberitaan di salah satu halaman web anti facebook yang sebenarnya sudah berkembang lebih dari setahun yang lalu. Tahun lalu, di beberapa milis dan blog muncul diskusi panjang terkait hal ini, hingga ada jawabannya, jawaban dari jawabannya dan seterusnya.

Sekilas tentang Pendiri Facebook
Salah satu fakta yang disampaikan dalam berbagai pemberitaan anti facebook tersebut adalah mengenai pendiri facebook yang keturunan Yahudi. Mark Elliot Zuckerberg yang lahir pada 14 Mei 1984 merupakan anak dari Edward dan Karen Zuckerberg. Ia adalah seorang programer komputer dan pengusaha asal Amerika Serikat. Menjadi kaya di umurnya yang relatif muda karena berhasil mendirikan dan mengembangkan situs jaringan sosial Facebook di saat masih kuliah dengan bantuan teman Harvardnya Andrew McCollum dan teman sekamarnya Dustin Moskovitz dan Crish Hughes. Saat ini ia menjabat sebagai CEO Facebook. Forbes mencatatnya sebagai milyarder termuda –atas usaha sendiri dan bukan karena warisan– yang pernah tercatat dalam sejarah. Kekayaannya ditaksir sekitar US$ 1,5 miliar. Zuckenberg adalah anggota Alpha Epsilon Pi (ΑΕΠ atau AEPi), yaitu satu-satunya perkumpulan perguruan tinggi Yahudi internasional di Amerika Utara yang didirikan pada tahun 1913 oleh Charles C. Moskowitz dan 10 orang Yahudi lainnya. Alpha Epsilon Pi adalah perkumpulan kaderisasi Yahudi, meskipun mengklaim tidak diskriminasi dan terbuka untuk semua.

Konspirasi Yahudi melalui Media
Dalam teori komunikasi, terdapat istilah yang sangat populer, “Siapa yang menguasai informasi, dialah yang akan menguasai dunia” Istilah tersebut sangat dipahami oleh Yahudi yang bahkan dalam Protokol Zionisme XII sudah menyebutkan bahwa ’Pers adalah kekuatan yang amat berpengaruh’. Tidak heran bertebaran surat kabar yang dikuasai mereka seperti The New York Times, The New York Post atau The Washington Post. Tidak ketinggalan majalah seperti Times, Newsweek, US News dan World Report. Di media elektonik juga dikenal TV ABC, CBS, NBC, CNN, dan sebagainya. Demikian pula dengan kantor berita Reuters. Di dunia maya selain jejaring sosial facebook, beberapa situs popular termasuk google, yahoo dan youtube juga dimiliki mereka. Dan tidak sedikit fakta yang menunjukkan keberpihakan media – media tersebut di atas untuk kepentingan konspirasi Yahudi.

Perang Pemikiran di Dunia Maya
Salah satu jawaban dari aksi pemboikotan media milik Yahudi adalah gagasan untuk menggunakan media mereka untuk menyerang balik mereka, menjadikan ’senjata makan tuan’, istilahnya. Pemboikotan dianggap tidak menyelesaikan masalah, malah membuang potensi media untuk mendukung perjuangan Islam. Produk israel seperti HP Nokia jika sudah dimiliki bukan seharusnya dihancurkan, tetapi digunakan untuk sebaik – baiknya kebermanfaatan. Lihat saja bagaimana youtube dan twitter langsung dioptimalkan Israel untuk mengembalikan ’reputasi’ mereka paska penyerangan tentara Israel ke Mavi Marmara. Jika tidak ada yang berjuang disitu lalu siapa yang akan meng-counter attack dan meluruskan propaganda tersebut? Karenanya sebatas aksi ’mematikan TV’ dianggap tidak lantas menjamin ’tontonan’ menjadi semakin baik. Berpotensi lebih parah malah jika tidak ada yang mewarnai. Peluang ’konfrontasi’ di dunia mayapun semakin besar mengingat Yahudipun kadang membuat blunder dengan medianya. Di antara yang menarik adalah pembatalan serangan militer Israel ke Palestina karena rencana serangan itu sudah bocor melaui Facebook. Bahkan beredar kabar bahwa pihak barat mulai kewalahan menghadapi ’jihad’ yang dilancarkan lewat internet, termasuk melalui media yang dimiliki oleh mereka

Perlunya media alternatif
Salah satu sanggahan pemberitaan anti facebook disajikan dengan paparan teknis yang terlihat ilmiah tapi tidak cukup masuk logika saya. Jika dikatakan ajak teman dan upload foto sebanyak – banyaknya tanpa meng-klik iklan dapat membuat server farm dan harddisk mereka penuh, saya tidak yakin. Logikanya, semakin laris, harganya semakin mahal dan keuntungannya semakin besar. Itu sama artinya dengan membesarkan facebook. Jika dikatakan sistem pembayarannya per klik iklan, saya rasa tidak sesederhana itu. Toh iklan di koran atau reklame di jalan harganya tidak (hanya) dihitung dari berapa orang yang membacanya, tetapi juga dari ukuran, berapa kali tampil, dan sebagainya. Karenanya secara logika metode yang lebih efektif untuk ’menghancurkan’ facebook adalah mengalihkan sumber daya penyokongnya ke ranah lain.

Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan membangun media alternatif sebagaimana TV Al Jazeera menyaingi BBC. Saat ini sudah mulai berkembang jejaring sosial semacam facebook yang berafiliasi pada umat islam seperti www.muxlim.com, www.madina.com ataupun yang terbaru www.millatfacebook.com yang dibuat muslim Pakistan. Atau bagi para pencinta produk tanah air juga sudah ada beberapa jejaring sosial yang dibuat putra Indonesia misalnya www.koprol.com (pun sepertinya belum benar – benar terlepas dari situs Yahudi). Jika akun facebook masih bermanfaat untuk membangun social power, menyampaikan kebaikan, silaturahim dan sebagainya, maka kebermanfaatannya tentu akan lebih besar ketika digunakan untuk mengembangkan ’media sendiri’. Ya, jadi yang dilakukan bukan sebatas ’mematikan TV’, tapi mengoptimalkan channel baru yang kontennya lebih bermanfaat.

* * *

Seperti dalam tulisan sebelumnya, saya masih memandang bahwa Facebook hanyalah alat yang tergantung penggunaannya. Penggunaan facebook tetap bisa menjadi sarana silaturahim, memperkaya jaringan yang akan berguna untuk masa depan hingga menjadi sarana penyebar kebaikan dan kebermanfaatan. Namun jika tidak digunakan untuk hal yang bermanfaat, sepertinya memang lebih bijak untuk tidak menggunakannya. Apalagi saat ini sudah ada media lain yang dapat melipatgandakan kebermanfaatan. Jadi, bagaimana menurut Anda?

Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu. Dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya sedang Allah mengetahuinya. Dan apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalasi dengan cukup kepadamu dan kamu takkan dianiaya (dirugikan)” (QS. Al Anfal : 60)

Wallahu a’lam bishawwab