Tag Archives: menulis

Menulis Itu Mudah, Yang Susah Adalah Istiqomah

Orang-orang yang istiqomah lebih bersemangat ada masa-masa akhir mereka, dibandingkan ada masa-masa awalnya” (Ibnul Qayyim)

‘Pojok Pagi Ekselensia Indonesia’, begitu tagline tulisan salah seorang rekan menandai perpindahan amanah yang diembannya. Tak terasa, sudah 18 tulisan yang dibuatnya dalam kurun waktu 5 pekan ini. Terbilang sangat produktif jika melihat dalam 10 tahun sebelumnya bisa dihitung tulisan yang dibuatnya. Walaupun tantangan konsistensi mulai terlihat, dimana di awal tulisan rutin setiap harinya, namun belakangan sudah mulai per tiga hari. Keistimewaan tulisannya barangkali relatif, saya menyukai beberapa tulisannya yang sederhana dan mengalir misalnya ketika mengambil hikmah dari ‘upo’, butiran nasi yang tertinggal dan menempel. Namun barangkali yang lebih istimewa adalah tekadnya untuk lebih produktif menulis yang tentunya tidak mudah. Ada juga seorang rekan lain yang telah menerbitkan lebih dari 50 buku. Setiap harinya ada target untuk menulis minimal satu halaman, dan hal ini bisa istiqomah dilakukannya. Beratkah?

Istiqomah itu berat, yang ringan namanya istirahat”, demikian ungkap sebuah kutipan. Ya, banyak sekali godaan dan alasan untuk memilih ‘istirahat’ dibandingkan istiqomah. Tak perlu berbicara tentang orang lain, saya sendiri mengalaminya dan website ini menjadi contohnya. Sudah cukup lama website ini kembali vakum tanpa tulisan terbaru. Bukan karena kekurangan ide dalam membuat tulisan, setiap harinya ada banyak hal yang bisa diceritakan ataupun gagasan yang bisa dituliskan. Bukan juga karena terlalu sibuk, setiap harinya selalu waktu yang bisa lebih produktif jika dialokasikan untuk memproduksi tulisan. Sebenarnya tidak ada alasan yang dapat dipertanggungjawabkan untuk tidak produktif dalam menulis, namun realitanya selalu ada saja excuse ataupun pembenaran untuk tidak melakukan. Itulah ujian konsistensi dalam produktifitas.

Berapologi dan membuat alasan itu mudah, apalagi banyak hal produktif yang sebenarnya tidak butuh alasan, lillahi ta’ala. Repotnya, sebagaimana kebohongan, satu alasan akan membawa alasan yang lain, dan ada akhirnya menjadi kebiasaan banyak alasan. Ketika sudah jadi kebiasaan maka alasan berubah menjadi sesuatu yang lumrah. Butuh tekad yang kuat dan titik tolak yang kokoh untuk kembali ke jalan penuh produktivitas. Kadang butuh motivasi eksternal. Bahkan kadang butuh mekanisme reward and punishment dan pengorbanan besar untuk kembali meniti jalan istiqomah.

The first step is always the hardest”, begitu pepatah mengatakan. Ibarat mengayuh sepeda, yang paling berat adalah kayuhan di awal, selanjutnya akan lebih ringan. Bahkan bisa jadi kayuhan awal tidaklah seberat yang dikhawatirkan. Tulisan ini misalnya, ternyata bisa diselesaikan dalam waktu sekitar satu jam. Waktu yang terbilang sangat singkat jika dibandingkan dengan waktu yang saya habiskan buat menghapus lebih dari 8000 pesan spam yang masuk ke inbox website karena sudah berbulan-bulan tidak diupdate. Namun berpikir bahwa kayuhan selanjutnya akan selalu lebih mudah tidaklah tepat juga, karena jalurnya naik turun, disitulah ujian istiqomah. Akan ada masanya dimana kayuhan akan kembali berat, dan ada waktunya juga betapa kayuhan terasa dimudahkan.

Dan istiqomah menulis ini hanyalah satu dari banyak ujian keistiqomahan lain. Begitu banyak amal kebaikan yang mudah dilakukan, namun begitu mudah pula untuk ditinggalkan. Padahal amalan yang paling disukai Allah SWT adalah yang kontinyu walaupun sedikit. Semuanya diawali dengan niat dan memulainya secara bertahap, tidak perlu terlalu dipikirkan, cukup dilakukan. Bisa dikuatkan dengan keteladanan dari berbagai tokoh inspiratif dan lingkungan yang turut mendukung. Dan semakin sempurna dengan berdo’a kepada Allah SWT yang membolak-balikan hati. Dan sebagaimana kemalasan, keistiqomahan akan membawa pada konsistensi dalam hal yang lain sehingga pada akhirnya bisa membentuk pribadi yang istiqomah. Semoga Allah SWT menganugerahkan kita sikap istiqomah dalam ketaatan dan kebaikan. Fastaqim kama umirta! Bismillah…

Ya Rabb kami, janganlah Engkau condongkan hati kami kepada kesesatan setelah Engkau berikan petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi-Mu, sesungguhnya Engkau Maha Pemberi.” (QS. Ali Imran: 8 )

Menulis yang Disampaikan, Menyampaikan yang Ditulis

Tell your story. Shout it. Write it. Whisper it if you have to. But tell it. Some won’t understand it. Some will outright reject it. But many will thank you for it. And then the most magical thing will happen. One by one, voices will start whispering, ‘Me, too.’ And your tribe will gather. And you will never feel alone again.
(L.R. Knost)

Write what you do and do what you write” barangkali merupakan jargon yang banyak dikenal terutama mereka yang terlibat dalam urusan Quality Management. Harus ada bukti tertulis dari apa yang telah kita kerjakan, dan pekerjaan yang dilakukan harus didukung oleh dokumen tertulis sebagai dasar pedoman pelaksanaan. Jika kita tidak bisa membuktikan bahwa kita telah bekerja, berarti kita tidak bekerja. Dan jika kita bekerja tidak sesuai dengan dokumen tertulis, berarti ada kesalahan dalam pekerjaan kita. Penyampaian tanpa bukti tertulis juga belum bisa dianggap kebenaran. Di sisi lain, melakukan apa yang disampaikan dapat menunjukkan integritas seseorang, namun menyampaikan apa yang dilakukan tidak selamanya dinilai positif. Bisa saja justru dianggap sombong, ujub, ataupun riya’. Tulisan ini tidak hendak menyoroti relevansi dari jargon tersebut, namun coba menghubungkan menulis dengan berbicara sebagai sesama aktivitas penyampaian pesan.

Menulis dan berbicara merupakan keterampilan berbahasa yang bersifat aktif-produktif. Penulis dan pembicara berperan sebagai penyampai atau pengirim pesan kepada pihak lain. Keduanya harus mengambil sejumlah keputusan berkaitan dengan topik, tujuan, jenis informasi yang akan disampaikan, serta cara penyampaiannya sesuai dengan kondisi sasaran (pembaca atau pendengar) dan corak teksnya (eksposisi, deskripsi, narasi, argumentasi, dan persuasi). Perbedaan antara keduanya hanya dalam hal kecaraan dan medianya. Komunikasi dalam berbicara terjadi secara langsung dan respon pendengar juga dapat langsung ditangkap. Pembicara menyampaikan pesan secara lisan, sementara penulis menyampaikan pesan secara tertulis, termasuk gambar dan ilustrasi.

Menulis dan berbicara punya teknik dan tantangannya sendiri. Tidak semua orang yang hebat dalam menulis, mampu berbicara dengan fasih. Dan tidak semua orang yang hebat dalam berbicara, cakap menuangkan gagasannya dalam bentuk tulisan. Dalam berbicara, ada unsur nonverbal seperti suara, mimik, pandangan, dan gerak dapat secara langsung digunakan untuk memperjelas, mempertegas, dan menarik perhatian pendengar. Respon pendengar yang bisa langsung ditangkap juga memungkinkan pembicara untuk menyesuaikan, mengubah, atau memperbaiki apa yang disampaikannya. Namun implementasinya tak sesederhana itu, butuh banyak latihan dan ‘jam terbang’. Pembicara bukan hanya butuh persiapan materi atau konten pembicaraan, namun juga kesiapan mental. Asal berbicara memang mudah, namun berbicara yang baik, mencerahkan, dan menginspirasi tentu butuh pembiasaan.

Menulis tidak lebih mudah. Karena tidak langsung berhadapan dengan pembaca, dan tidak langsung mendapatkan responnya, persiapan penulis bisa lebih matang. Penulis bisa melakukan review tulisannya sebanyak yang dibutuhkan agar benar-benar siap, sebelum dipublikasikan. Namun jika pembicaraan dapat cepat diralat atas respon yang diberikan, klarifikasi tertulis butuh waktu. Ada berbagai teknik penulisan, termasuk penggunaan gaya bahasa, penambahan ilustrasi dan gambar untuk memperkuat tulisan. Namun implementasinya tak sesederhana itu, butuh banyak latihan dan ‘jam terbang’. Dan menjadi penulis butuh keberanian. Asal menulis memang mudah, namun perlu diingat bahwa ‘masa hidup’ sebuah tulisan jauh lebih lama dibandingkan pembicaraan. Apalagi di era digital seperti sekarang ini. Jejak digital tulisan mudah diakses siapa saja, dan penulislah yang harus mempertanggungjawabkan tulisannya. Belum lagi dengan UU ITE, tantangan menjadi penulis lebih besar. Pastikan menulis yang baik atau lebih baik diam.

Dengan berbagai tantangan dan keunggulan masing-masing, idealnya setiap diri kita mampu menjadi pembicara dan penulis yang baik. Seorang da’i atau motivator yang sering berbicara di ruang publik tentu akan mengalami batasan ruang dan waktu dalam menginspirasi. Akan berbeda jika apa yang disampaikan juga dituliskan. Inspirasinya dapat terus terjaga menembus zaman. Di sisi lain, seorang penulis produktif akan mengalami batasan dalam kolaborasi gagasan. Penulis butuh menyampaikan langsung apa yang dituliskan sehingga ada respon langsung yang dapat memperkaya gagasan. Bukankah dua kepala lebih baik daripada satu kepala? Apalagi banyak kepala. Dalam dunia akademik, keseimbangan antara menulis dengan berbicara ini sudah lama dikenal. Misalnya tugas akhir tertulis yang dibuat harus dipresentasikan dalam sidang tugas akhir. Menulis dan berbicara, tanpa kecuali. Sayangnya, momentum seperti ini kurang dibiasakan. Akhirnya, aktivitas menulis dan berbicara dilakukan ala kadarnya. Itupun masih lebih baik dibandingkan mereka yang asal menulis dan asal berbicara, tanpa manfaat, tanpa berani mempertanggungjawabkan apa yang ditulis dan diucapkannya.

Keberadaan kita di dunia ini harus memberi manfaat. Namun setiap diri kita punya keterbatasan dalam melakukan beragam kebermanfaatan tanpa melibatkan orang lain. Batas sempit itu dapat diperluas dengan aktivitas menyampaikan inspiratif, baik lisan maupun tulisan. Dan batas itu akan semakin luas jika kita optimal melakukan keduanya, berbicara dan menulis. Dengan tetap memperhatikan keteladanan perilaku atas apa yang dibicarakan ataupun ditulis, tentunya. Tidak ada dikotomi antara keduanya, semuanya bisa dilatih dan dibiasakan. Dan karena keduanya bersifat aktif-produktif, satu-satunya cara paling efektif untuk menguasai keterampilan berbicara dan menulis adalah dengan langsung mengimplementasikannya. Khazanah ilmu dapat terus berkembang dengan penyampaian secara lisan dan tulisan, dan seharusnya kita berupaya menjadi bagian darinya. Memiliki keterampilan berbicara dan menulis, dan mencerminkannya dalam keteladanan perilaku. Bismillah… Komisaris… eh bukan… Bismillah, saya siap. Bagaimana dengan Anda?

I love writing for kids. I love talking to children about what I’d written. I don’t want to leave that behind.” (J.K. Rowling)

Tulisan 8 Bulan Kemudian

Tulisan ini dibuat di Hotel Grasia – Semarang, di malam pertama kegiatan Future Leaders Camp (FLC) Beasiswa Aktivis Nusantara, tanggal 28 Maret 2019. Ya, 8 bulan berselang dari waktu posting tulisan ini. Semacam tulisan dari masa depan.

Tentu bukan tanpa sebab, tulisan ini dimunculkan. Website ini sempat hiatus selama 8 bulan terhitung sejak akhir Juli 2018 hingga akhir Maret 2019. Hingga tidak sedikit pihak yang bertanya-tanya mengapa tidak ada update tulisan lagi. Kesibukan merupakan alasan klasik. Nyatanya banyak orang yang lebih sibuk masih bisa rutin menyampaikan gagasannya lewat tulisan. Dan faktanya, gagasan itu banyak berseliweran, sehingga dalih tidak ada ide untuk ditulis jelas tidak relevan.

Lantas mengapa bisa berbulan-bulan vakum membuat tulisan? Pertama adalah faktor kesungguhan yang kurang. Kedua adalah cara berpikir yang terlalu rumit, tidak sederhana. Faktor pertama sudah melanggar kiat produktif menulis: teruslah menulis. Sementara faktor kedua menabrak kaidah menulis, bahwa menulis itu mudah, dan menulis bukanlah beban.

Karenanya dengan adanya tulisan 8 bulan kemudian ini, semoga muncul motivasi baru dalam menulis, setidaknya agar tulisan ini tidak terbaca karena tertutup oleh tulisan-tulisan yang lebih anyar. Dalam rentang 8 bulan hiatus ataupun setelahnya. Ya, tulisan 8 bulan setelah ini kemungkinan besar tidak ditulis pada waktu yang benar, melainkan (lagi-lagi) merupakan ‘tulisan dari masa depan’.

Jika dalam sepekan bisa diselesaikan sebuah tulisan, maka dalam 8 bulan setidaknya sudah ada 32 tulisan yang akan menutup tulisan ini. Jika dalam sepekan bisa ada lebih dari 1 tulisan, tentu lebih banyak lagi tulisan yang akan menutup tulisan ini. Barangkali secara kualitas tulisan tidak sepanjang dan semendalam sebelumnya, namun tulisan ini semoga menjadi salah satu ikhtiar untuk kembali menggiatkan menulis, pun hanya beberapa paragraf atau kalimat.

Jika semuanya berjalan sesuai dengan perencanaan, barangkali butuh beberapa waktu sebelum tulisan ini ‘tenggelam’ oleh tulisan lain yang lebih baru. Dan semoga saja semua berjalan sesuai rencana. Atau harus ada cara lain untuk revitalisasi aktivitas menulis yang berbulan-bulan lamanya kurang diprioritaskan. Semoga hanya mereka yang ‘setia’ dengan website ini yang sempat membaca tulisan ini. Artinya, tidak butuh waktu lama untuk ‘menenggelamkan’ tulisan ini dengan tulisan-tulisan yang lebih baru.

Bismillah… Memulai lembaran baru untuk kembali produktif menulis… Semoga bisa terus menebar kebermanfaatan…

Mau Eksis? Yuk Menulis!

“Bila umurmu tak sepanjang umur dunia, maka sambunglah dengan tulisan”
(Pramoedya Ananta Toer)

Apa yang menjadi persamaan Soekarno, Tan Malaka, Adolf Hitler dan Sayyid Qutb? Mereka adalah beberapa dari tokoh besar yang menulis di dalam penjara. Mereka menulis tentunya bukan sekedar mengisi waktu luang selama di penjara. Dalam keterbatasan gerak, menulis menjadi pilihan jalan juang mereka untuk mengubah dunia. Hasilnya, tentu tulisan yang menginspirasi. Pledoi ‘Indonesia Menggugat’ Soekarno yang penuh semangat, buku ‘Dari Penjara ke Penjara’ Tan Malaka yang sarat makna, Adolf Hitler dengan Mein Kampf-nya yang mengguncang dunia hingga Sayyid Qutb dengan Tafsir Fi Zhilalil Qur’an yang menentramkan. Selain mereka tentunya masih banyak sederetan nama yang produktif menulis di penjara, sebutlah Ibnu Taimiyah, Ho Chi Minh, Buya Hamka dan Aidh Al Qarni. Memang dalam suatu kondisi ekstrem, tak jarang menulis menunjukkan pengharapan untuk dapat bertahan hidup. Raga mereka terpenjara, pikiran mereka bebas dan mencerahkan. Raga mereka bolehlah mati, namun pemikiran yang terejawantahkan dalam tulisan kan tetap abadi. Tidak berlebihan kiranya jika Pramoedya Ananta Toer (yang juga produktif menulis selama di penjara) mengatakan bahwa menulis adalah bekerja untuk keabadian.

Menulis memang dapat menunjukkan eksistensi diri, sebagaimana diakuinya eksistensi mereka yang dipenjara melalui karya tulisan mereka. Eksistensi ini pula yang ditunjukkan Helen Adams Keller, seorang penulis, aktivis politik dan dosen yang tuli dan bisu. Berada dalam kegelapan sejak usia 19 bulan, tidak menyurutkan langkahnya untuk mengukir sejarah. Selain menulis 12 buku yang diterbitkan dan berbagai artikel, Keller juga menjuarai Honorary University Degrees Women’s Hall of Fame, The Presidential Medal of Freedom, The Lions Humanitarian Award, bahkan kisah hidupnya meraih 2 piala Oscar. Bukunya ‘The World I Live In’ dan ‘The Story of My Life’ (diketik dengan huruf biasa dan Braille) menjadi literatur klasik di Amerika dan telah diterjemahkan sedikitnya ke dalam 50 bahasa. Keterbatasan fisik ternyata tidak menjadi alasan baginya untuk menurunkan produktivitas menulis. Tulisannya pula yang mengantarkannya keliling dunia.

Semangat yang sama juga ditunjukkan Jhamak Kumari Ghimire, seorang juara puisi di Nepal dengan judul bukunya ‘Is life a thorn or a flower’ yang menceritakan perjalanan hidupnya yang kehilangan kemampuan bicara dan menggunakan kedua tangannya. Karena dianggap sebagai beban keluarga, pada usia tujuh tahun, tetangganya meminta ayahnya, Krisna Prasad Ghimire, untuk membunuhnya dengan menenggelamkannya di sungai. Perempuan penderita cerebral palsy ini mampu menulis dengan kakinya dan dengan bangga mengatakan bahwa dia dapat melafalnya dalam hati. Ketika mulut tak dapat terucap, tulisannyalah yang menunjukkan bahwa ia ada dan dapat melakukan sesuatu yang membanggakan dalam keterbatasan. Dunia pun mengenalnya dari karyanya.

Jika mereka yang memiliki keterbatasan saja dapat menghasilkan karya tulisan yang berkualitas, apalagi (seharusnya) kita yang normal. Menulis sebenarnya mudah, tinggal bagaimana memiliki kemauan, keberanian dan komitmen dalam menghadapi berbagai macam penyakit menulis. Kemauan untuk merangkai gagasan yang sebenarnya beserakan, keberanian untuk tidak malas dan suka menunda dan komitmen untuk mengatasi berbagai keterbatasan, mulai dari fisik, waktu hingga sarana prasarana. Perlu diingat bahwa menulis bukan sekedar mengikat ilmu, namun juga mengukir sejarah dengan tebaran kebermanfaatan yang berlipat. Tetap eksis pun putaran zaman terus berputar. Seperti yang dituliskan Mas Pram, “orang boleh pintar setinggi langit, tapi kalau tidak menulis ia akan hilang ditelan zaman”.

Jean-Dominique Bauby adalah seorang jurnalis Perancis terkenal dan pemimpin redaksi majalah fashion Elle. Pada saat dia terbaring sakit setelah mengalami serangan stroke hebat, dia hanya dapat berpikir tetapi tidak bisa berbicara. Dia ingin menulis tapi tidak mampu menggunakan tangannya. Menelan ludahpun ia tak sanggup. Satu – satunya anggota tubuh yang bisa digerakkannya hanya kelopak mata kiri yang dapat dikedipkannya. Asistennya menunjukkan padanya alfabet dan dia akan berkedip pada huruf yang dipilihnya. Setelah huruf menjadi kata, kemudian menjadi kalimat dan paragraf – paragraf, akhirnya hanya dengan berkedip, dia mampu ‘menulis’ sebuah buku memoar hidup 173 halaman berjudul ‘Le Scaphandre et le Papillon’ yang menjadi best seller dan akhirnya diangkat ke layar lebar. Bauby meninggal dua hari setelah bukunya terbit, mahakarya yang membuatnya tetap dikenang, seolah kematiannya menunggu terselesaikannya karyanya. Tidak salah nasihat Mas Pram, “bila umurmu tak sepanjang umur dunia, maka sambunglah dengan tulisan”.

Menulis sesuatu yang menginspirasi adalah aktivitas mulia, apalagi akan ada saatnya apa yang kita ucapkan akan dilupakan, apa yang kita sampaikan hilang ditelan zaman. Menulis sesuatu yang bermanfaat bagi orang lain adalah kebaikan yang tahan lama, apalagi akan ada masanya tak ada amal yang dapat dilakukan, tak ada lagi kesempatan untuk melakukan kebaikan. Salah satu peluang menjaga eksistensi kebermanfaatan adalah dengan tulisan. Membangun eksistensi dengan tulisan bukan berarti arogan jika didedikasikan untuk memberikan sumbangsih pikiran yang dapat mencerahkan, jika diniatkan untuk menebar kebermanfaatan. Dan tentunya tak perlu menunggu keterbatasan tiba untuk memompa semangat berkarya. Baik di masa lapang maupun penuh kendala, produktivitas seyogyanya tetap terjaga. Mulailah dari karya kecil yang membantu memberikan solusi bagi permasalahan teman dekat, dan terus berkembang hingga menjadi kumpulan masterpiece yang menginspirasi dunia. Mau eksis yang gak narsis? Yuk menulis!

“Orang yang terpenjara ialah yang dipenjara syaitan, orang yang terkurung ialah orang yang dikurung syaitan. Dan dipenjara yang sebenarnya ialah yang dipenjarakan hawa nafsunya. Bila orang-orang yang memenjarakan saya ini tahu bahwa saya dalam penjara ini merasa bahagia dan merasa merdeka, maka merekapun akan dengki atas kemerdekaan saya ini, dan akhirnya mereka tentulah mengeluarkan saya dari penjara ini.” (Ibnu Taimiyah)