Tag Archives: muhasabah

Selamat Tahun Baru 1444 Hijriyah

Sesungguhnya jumlah bulan menurut Allah ialah dua belas bulan, (sebagaimana) dalam ketetapan Allah pada waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya ada empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menzalimi dirimu dalam (bulan yang empat) itu, dan perangilah kaum musyrikin semuanya sebagaimana mereka pun memerangi kamu semuanya. Dan ketahuilah bahwa Allah beserta orang-orang yang takwa.” (QS. At Taubah: 36)

Tidak seperti gegap gempita peringatan tahun baru masehi, pergantian tahun hijriyah relatif disambut ‘dingin’. Tidak seperti penetapan waktu dua hari raya yang sidang itsbatnya ramai diberitakan dan hasilnya pun dinantikan. Apalagi jika terjadi perbedaan dalam penentuan waktu Idul Fitri atau Idul Adha. Pergantian bulan Muharram berlangsung senyap. Angka ‘cantik’ 1444 juga tidak cukup mendongkrak syiar Tahun Baru Islam. Apalagi tahun ini 1 Muharram bertepatan dengan hari Sabtu, dimana banyak sekolah dan perkantoran juga libur, sehingga libur 1 Muharram semakin tidak terasa.

Memang pergantian waktu –detik, menit, jam, hari, bulan, dan tahun—sebenarnya  bukan sesuatu yang begitu spesial sehingga harus dirayakan secara spesial. Apa pula yang perlu dirayakan dari berkurangnya usia dan semakin dekatnya kita dengan kiamat, baik kiamat sughra maupun kiamat kubra. Pun demikian momentum syiar Islam seharusnya bisa dimanfaatkan. Jauh lebih banyaknya orang-orang yang hapal bulan dari Januari sampai Desember, dibandingkan hapal bulan dari Muharram sampai Dzulhijjah, menjadi gambaran betapa kurang tersyiarkannya kalender hijriyah ini. Padahal landasan penetapan kalender hijriyah beserta nama-nama bulannya lebih beralasan dibandingkan landasan penetapan kalender masehi beserta nama-nama bulannya. Dan ketika pergantian tahun masehi banyak diisi dengan perbuatan sia-sia, bahkan perbuatan dosa, momentum pergantian tahun hijriyah semestinya dapat diisi dengan ibadah dan perbuatan baik, serta menjadi momentum hijrah ke arah yang lebih baik.

Muharram, yang merupakan bulan pertama dalam penanggalan hijriyah sekaligus salah satu dari empat bulan haram (suci), sejatinya memiliki banyak keutamaan. Tidak seperti bulan lainnya, Al Muharram adalah nama pemberian Allah SWT setelah sebelumnya bulan ini dikenal sebagai Shafar Awwal. Tak heran, Muharram dijuluki Syahrullah (Bulan Allah) sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits dari Abu Hurairah r.a., Rasulullah SAW bersabda, “Sebaik-baik puasa setelah Ramadhan adalah puasa di bulan Allah, bulan Muharram.” (HR. Muslim). Tidak hanya disebut sebagai Syahrullah, dalam hadits ini juga disebutkan keutamaan puasa (sunnah) di bulan Muharram. Imam Hasan Al Bashri berkata, “Sesungguhnya Allah membuka awal tahun dengan bulan haram (Muharram) dan menjadikan akhir tahun dengan bulan haram (Dzulhijjah). Tidak ada bulan dalam setahun, setelah bulan Ramadhan, yang lebih mulia di sisi Allah dari pada bulan Muharram. Dulu bulan ini dinamakan Syahrullah Al-Asham (bulan Allah yang sunyi), karena sangat mulianya bulan ini.”.

Di bulan Muharram juga terdapat satu hari yang mulia, yaitu hari Asyura’ tanggal 10 Muharram. Dari Ibnu Abbas r.a., beliau menceritakan, “Ketika Rasulullah SAW tiba di Madinah, beliau melihat orang-orang Yahudi berpuasa di hari Asyura’. Beliau bertanya, “Hari apa ini?” Mereka menjawab, “Hari yang baik, hari di mana Allah menyelamatkan Bani Israil dari musuhnya, sehingga Musa-pun berpuasa pada hari ini sebagai bentuk syukur kepada Allah. Akhirnya Rasulullah SAW bersabda, “Kami (kaum muslimin) lebih layak menghormati Musa dari pada kalian.” kemudian beliau berpuasa dan memerintahkan para sahabat untuk puasa.” (HR. Al Bukhari). Dalam riwayat Imam Muslim, Rasulullah SAW mengatakan bahwa puasa Asyura’ dapat menghapus dosa setahun yang telah berlalu. Banyak peristiwa penting yang terjadi di bulan ini di antaranya diterimanya taubat Nabi Adam a.s., diselamatkannya Nabi Nuh a.s. dari banjir besar dan Nabi Yunus a.s. dari perut ikan. Namun tulisan ini tidak akan membahas detailnya, termasuk terkait puasa Tasu’a untuk menyelisihi puasanya orang Yahudi.

Berbagai keutamaan itu sebenarnya cukup untuk syi’ar Muharram sebagai momentum memperbaiki diri dan berbuat baik. Apalagi ada tradisi Idul Yatama (Hari Raya Anak Yatim) di bulan Muharram ini –terlepas dari anjuran menyantuni anak yatim adalah sepanjang tahun tidak hanya di bulan Muharram—semakin menambah banyak amunisi syi’ar kebaikan. Sayangnya, syi’ar Muharram ini masih relatif senyap. Jangankan dibandingkan dengan gegap gempita pergantian Tahun Baru Masehi yang biasanya sudah digaungkan sebelum libur Natal, bahkan dibandingkan isu ‘ga penting’ semisal perceraian artis, ulah para ABG mencari sensasi, atau kriminalitas oleh oknum aparat, syi’ar Muharram masih kalah viral. Sekadar ucapan Selamat Tahun Baru 1444 Hijriyah di media sosial saja tidak ramai. So, Happy Islamic New Year 1444 Hijriyah! Keep Spirit and do the best for the world and hereafter. May all our wishes come true and become a better person.

Tuhanku, Kau yang Abadi, Qadim, dan Awal. Atas karunia-Mu yang besar dan kemurahan-Mu yang mulia, Kau menjadi pintu harapan. Tahun baru ini sudah tiba. Aku berlindung kepada-Mu dari bujukan Iblis dan para walinya di tahun ini. Aku pun mengharap pertolongan-Mu dalam mengatasi nafsu yang kerap mendorongku berlaku jahat. Kepada-Mu, aku memohon bimbingan agar aktivitas keseharian mendekatkanku pada rahmat-Mu. Wahai Tuhan Pemilik Kebesaran dan Kemuliaan…

Dari Karantina ke Karantina

“Menyepi itu penting, supaya kamu benar-benar bisa mendengar apa yang menjadi isi dari keramaian.” (Emha Ainun Nadjib)

Tak terasa, Ramadhan kembali datang menyapa. Kali ini dalam kondisi yang tidak biasa. Sudah enam pekan ini aktivitas kerja dilakukan dari rumah, work from home istilah kekiniannya. Artinya, sudah lebih dari 40 hari aktivitas ke luar rumah dan bersosialisasi secara fisik dibatasi. Social distancing dan physical distancing, istilahnya. Interaksi intensif hanya dengan anggota keluarga. Dan Ramadhan tahun ini kemungkinan akan berjalan dengan pola serupa. Menikmati Ramadhan dari rumah saja. Agak ada aroma romantika libur sekolah selama berpuasa Ramadhan di zaman Gus Dur, tapi ini tidak sama. Ada virus corona yang mengancam di luar sana. Pandemi Covid-19 membuat manusia ‘terkarantina’ di rumahnya. Imbuhan ter- yang lebih bermakna ‘terpaksa’ dibandingkan ‘tidak sengaja’.

Dalam KBBI, karantina didefinisikan sebagai tempat penampungan yang lokasinya terpencil guna mencegah terjadinya penularan (pengaruh dan sebagainya) penyakit dan sebagainya. Dan tempat penampungan untuk mencegah penularan virus corona itu adalah rumah-rumah kita. Wikipedia pun menguatkan bahwa karantina adalah sistem yang mencegah perpindahan orang dan barang selama periode waktu tertentu untuk mencegah penularan penyakit. Kata karantina berasal dari quarantena, yang dalam Bahasa Venesia abad pertengahan berarti “empat puluh hari”, merujuk pada periode yang dipersyaratkan bagi semua kapal untuk diisolasi sebelum penumpang dan kru dapat berlabuh di pantai selama epidemi Maut Hitam (Black Death). Jauh sebelumnya, mekanisme karantina ini sudah dikenal dalam Islam. Rasulullah SAW bersabda, “Jika kamu mendengar wabah di suatu wilayah, maka janganlah kalian memasukinya. Tapi jika terjadi wabah di tempat kamu berada, maka jangan tinggalkan tempat itu.” (HR. Bukhari – Muslim).

Lantas apa pengaruhnya karantina ini dengan ibadah Ramadhan kita? Salah satu pembeda Ramadhan dengan bulan lainnya adalah suasananya yang lebih kondusif untuk beribadah. Dan suasana itu akan terasa dari interaksi dan sosialisasi. Sesuatu yang terbatasi di masa pandemi Covid-19 ini. Shalat wajib berjama’ah dan tarawih dibatasi, bahkan dianjurkan dilakukan di rumah saja. Ifthar jama’i hingga tadarus bersama juga terkendala. Berbagai kegiatan lain yang mengumpulkan banyak orang semisal tabligh akbar, pesantren kilat, hingga pembagian ta’jil gratis pun sulit dilakukan. Alhasil, suasana dan syiar Ramadhan tidak seramai biasanya. Di satu sisi, peluang kebaikan seakan menyempit. Di sisi lain, potensi berbuat dosa terhadap sesama juga mengecil.

Dampak perubahan suasana ini adalah pada perubahan kebiasaan yang akhirnya kembali kepada diri sendiri. Misalnya, di berbagai masjid perkantoran selepas shalat zhuhur di bulan Ramadhan banyak yang berlomba-lomba tilawah Al Qur’an. Namun sekarang, selepas shalat zhuhur di rumah, pilihan untuk tidur siang bisa jadi lebih menarik untuk dilakukan. Atau jika biasanya kajian ada dimana-mana, dengan kondisi saat ini, mencari dan mengikuti kajian lebih dominan ke pilihan pribadi. Beribadah dilakukan atas kesadaran dan kemauan pribadi, bukan terpengaruh suasana apalagi sekadar ikut-ikutan. Manusia sebagai makhluk sosial membutuhkan bantuan orang lain adalah satu hal. Namun hisab di akhirat nanti menjadi tanggung jawab masing-masing adalah hal yang lain.

 

Karenanya, menjadi penting untuk menghidupkan suasana Ramadhan di rumah. Bukan hanya secara konteks dengan berbagai poster dan hiasan Ramadhan. Namun juga perlu dikuatkan dengan konten, aktivitas dan targetan Ramadhan bersama keluarga. Syiar Ramadhannya barangkali lingkupnya dipersempit, tanpa mengurangi esensi dan keutamaannya. Tazkiyatunnafs akan menjadi kunci keberhasilannya. Mulai dari mu’ahadah (mengingat perjanjian dengan Allah SWT), mujahadah (bersungguh-sungguh), muraqabah (merasa selalu diawasi Allah SWT), muhasabah (introspeksi diri), hingga mu’aqabah (memberikan sanksi). Ketika kontrol sosial relatif terbatas, maka cara efektif untuk bisa terus produktif adalah ‘ibda binasfik, memulai dari diri sendiri.

Ramadhan ini bisa dikatakan sebagai karantina lanjutan. Ya, dalam kondisi karantina kita memasuki karantina lainnya. Dengan rumah tetap menjadi tempat penampungannya. Hanya saja virus dalam karantina Ramadhan adalah hawa nafsu, yang jika tidak dikelola dengan baik akan menjerumuskan ke dalam penyakit bernama dosa dan kemaksiatan. Karantina medis meningkatkan imun, karantina Ramadhan meningkatkan iman. Pribadi takwa yang menjadi tujuan karantina Ramadhan hanya bisa terwujud ketika kita sudah mampu menundukkan hawa nafsu. Apalagi dengan berkurangnya interaksi sosial dan syiar Ramadhan di luar sana, faktor individu menjadi penentu keberhasilan mengendalikan hawa nafsu. Tidak bisa bergantung dan mengandalkan orang lain.

Ramadhan tahun ini barangkali akan terasa lebih lama, karena variasi interaksi dan aktivitas tidak sedinamis biasanya. Namun bukan berarti kita tak bisa menikmatinya. Banyak aktivitas dan variasi interaksi yang bisa dilakukan, sebab sekat jarak sudah tidak lagi relevan di masa sekarang. Saling menyapa dan menjaga tak mesti harus bertatap muka. Saling mengingatkan dan menguatkan tidak harus berjabat tangan. Semua kebaikan bisa dilakukan kapan saja dimana saja. Atau jangan-jangan, kondisi ini adalah sebentuk jawaban atas do’a-doa kita sebelumnya, untuk bisa dipertemukan kembali dengan bulan Ramadhan, dan diberikan kesempatan untuk optimal beribadah di dalamnya. Optimal beribadah di rumah. Meningkatkan imun dan iman. Membentuk pribadi yang sehat dan bertakwa.

Puasa itu adalah perisai. Maka, apabila seseorang sedang berpuasa, maka janganlah ia berkata kotor pada hari itu dan jangan pula bertengkar. Apabila ia dimaki oleh orang lain dan diajak berkelahi, hendaklah ia berkata ‘aku sedang berpuasa’.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Ulang Tahun, Ajang Umbar Kebodohan

Tawa teman-teman Sandy mendadak hilang mendapati temannya kejang-kejang setelah diikat dan disiram air di sebuah tiang lampu sebuah tempat futsal di kawasan Serpong, Tangerang. Lewat tengah malam selepas futsal (26/9/16), Sandi yang berulang tahun dikejutkan oleh temannya yang mengikatnya di sebuah tiang lampu yang ternyata berarus listrik karena adanya kabel yang terkelupas. Petugas keamanan langsung menurunkan panel listrik untuk mematikan setrum dan Sandy pun dilarikan ke rumah sakit. Sandy yang rencana menikah bulan depan menghembuskan nafas terakhirnya di ruang perawatan UGD RS. Eka Hospital tepat di hari ulang tahunnya. Ironis.

Kasus ulang tahun berdarah ini bukan kali pertama. Tahun lalu, 5 siswi SD tewas tenggelam saat merayakan ulang tahun di bendungan Tiyuh, Tulang Bawang Barat – Lampung (22/5/15). Sepulang sekolah, Vita bersama 7 merayakan ulang tahun di bendungan. Vita yang diceploki telur ayam kemudian membalas melumuri teman-temannya hingga sama-sama kotor. Gustian, salah seorang temannya yang hendak membersihkan diri, malah terpeleset jatuh ke bagian air yang dalam. Femi, Yulianti, Nurtika dan Vita yang mencoba membantu malah tenggelam. Ketiga temannya yang tidak bisa berenang hanya bisa berteriak histeris dan memanggil bantuan warga. Warga yang datang mengevakuasi sudah terlambat, kelima siswi kelas V SDN 2 Agung Jaya sudah tewas. Setahun sebelumnya, kasus serupa terjadi di Pantai Slamaran, Pekalongan (22/3/14). Kali ini Endang yang membersihkan diri di pantai setelah berlumuran telur dan tepung justru terseret ombak. Teman-temannya dari SMPN 1 Doro yang masih berseragam pramuka langsung menolongnya, dibantu seorang pemancing yang kebetulan ada di lokasi. Endang yang berulang tahun berhasil diselamatkan, namun Arief –salah seorang temannya—dan Fatikhurohman si pemancing justru terseret arus dan jenazah mereka baru ditemukan keesokan harinya.

Tak kalah ironis apa yang menimpa Maizatul Farhanah, siswi kelas VII SMPN 3 Batam yang tewas sia-sia dijahili teman sekelasnya dengan sepengetahuan wali kelasnya. Saat teman-tamannya mengajak Farhanah ke kantin, teman-teman yang lainnya memasukkan uang 300 ribu dan handphone temannya ke dalam tas Farhanah. Wali kelas datang menyampaikan laporan kehilangan dan memerintahkan dilakukan penggeledahan. Barang-barang tersebut ditemukan dalam tas Farhanah kemudian ia diminta berdiri dan diinterogerasi disertai teriakan ‘maling’ dari teman-temannya. Farhanah pingsan seketika. Depresi parah dan menolak makan. Pada 16 Desember 2010, tepat 20 hari setelah ulang tahunnya, gadis berusia 13 tahun yang sebelumnya dikenal ceria tersebut meninggal akibat infeksi jaringan otak dan pendarahan lambung.

Jika dirinci, kasus serupa tentunya banyak, apalagi ditambah yang luput di media. Semua berawal dari kebodohan di hari ulang tahun. Daftar ironi ajang unjuk kebodohan akan semakin banyak jika ditambah berbagai kasus terkait. Misalnya Zsa Zsa Jesica Shienjaya, mahasiswi UK Petra yang tewas gantung diri dengan tali raffia di kamar kosnya hanya karena pacarnya membatalkan perayaan ulang tahun bersamanya (18/6/12). Atau bagaimana Desy, siswi SMA Negeri 3 Tanjungbalai yang dicekoki narkoba dan diperkosa hingga tewas setelah menghadiri pesta uang tahun temannya (6/8/16). Bulan lalu, netizen juga dibuat geram dengan postingan tertanggal 14 Agustus 2016 di laman FB Mim Medan. Foto-foto yang viral di sosial media ini memuat sekelompok siswi berseragam pramuka yang mengikat temannya yang berulang tahun di sebuah tiang, melempari telur ke muka dan mulut sehingga temannya ini menangis dan terlihat sangat tersiksa, sementara mereka tampak bahagia dan berbangga. Jika ditelusuri, ini bukan kali pertama mereka melakukannya dan tampaknya juga bukan kali terakhir.

Tak perlu dalil-dalil agama bahwa tiup lilin adalah prosesi persembahan untuk dewa bulan atau bahwa perayaan ulang tahun merupakan bentuk menyerupai (tasyabuh) orang kafir, akal dan hati nurani sehat pun cukup untuk menolak perayaan ulang tahun sebagai ajang unjuk kebodohan. Apa manfaat yang ingin dicapai? Apakah caranya sudah tepat untuk memperoleh manfaat tersebut? Teman-teman Sandy bukan hanya akan berurusan dengan pihak polisi, tetapi juga merasakan tanggung jawab moral yang berat kepada keluarga Sandy dan akan dihantui penyesalan seumur hidup. Demikian pula dengan teman-teman dan guru Farhanah. Sepadankah dengan tawa dan kegembiraan sesaat? Apakah kebodohan tersebut menjadi satu-satunya cara untuk meraih manfaat?

Enam belas tahun lalu, penulis pernah ‘menceramahi’ teman-teman yang menceburkan penulis yang saat itu berulang tahun ke kolam di sekolah. Bagaimana jika orang yang dilempar ke kolam kepalanya terbentur batu besar yang tidak terlihat dari permukaan? Bagaimana jika ia punya penyakit sehingga langsung kejang-kejang dan tenggelam? Bagaimana basah kuyup akan menampakkan auratnya ketika keluar dari kolam? Siapa yang akan bertanggung jawab? Siapkah? Apakah kejahiliyahan tersembunyi yang mendatangkan tawa sesaat tersebut sebanding dengan keburukan yang menyertainya? Belum lagi jika diingat bahwa Allah mengabulkan do’a mereka yang teraniaya. Alih-alih mempererat persahabatan, umbar kebodohan malah berbuah do’a buruk dari mereka yang teraniaya kepada teman-temannya.

Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Segala musibah memang bisa dilihat dari kacamata takdir. Hanya saja ada hukum kausalitas yang perlu diperhatikan. Tak ada asap kalau tak ada api. Potensi musibah ulang tahun dapat diminimalisir bila tidak disertai aksi umbar kebodohan. Jika kebodohan tidak mungkin dihindari, lebih baik jangan rayakan ulang tahun. Logis. Toh sejatinya setiap harinya usia kita berkurang. Lalu apakah berarti ulang tahun harus dirayakan dengan serius, dengan refleksi diri atau muhasabah misalnya? Mungkin saja, tapi bukan di situ poinnya. Jangan umbar kebodohan dalam menyikapi berulangnya tanggal lahir! Bagi yang ada di level kesadaran akan hakikat waktu dan kefanaan dunia rasanya tidak perlu lagi merayakan ulang tahun. Namun bagi orang awam yang masih sehat akalnya, setidaknya bisa berpikir tentang resiko dan manfaat dari cara yang digunakan dalam merayakan ulang tahun. Bagi orang awam yang masih punya hati nurani, setidaknya bisa berempati maukah dirinya menerima perlakuan yang sama.

Kebodohan dapat dilawan dengan akal sehat dan hati jernih. Dan perlawanan tersebut akan semakin kuat dengan edukasi, aksi dan regulasi yang mendukung. Musibah buah dari umbar kebodohan di hari ulang tahun sebenarnya bisa diantisipasi sebagaimana penyikapan atas berbagai aksi bodoh lainnya, seperti tawuran pelajar, tidak tertib lalu lintas dan coret-coret baju sekolah setelah kelulusan, ataupun perploncoan di masa awal masuk sekolah atau kampus. Namun karena ulang tahun sifatnya personal, perbaikan individu menjadi faktor kunci menjadikan ulang tahun sebagai momentum cerdas dan mencerdaskan. Tak lagi jadi ajang umbar kebodohan, melainkan mengantarkan pada perbaikan dan kebaikan.

Dua hal yang tak terbatas: alam semesta dan kebodohan manusia; tapi saya tidak yakin tentang alam semesta.” (Albert Einstein)

Kami Tak Pernah Tahu – Izzatul Islam

Kami tak pernah tahu… oh, Al Aqsha
Berapa banyak darah harus tertumpah
Untuk membebsakanmu… Al Aqsha
Yang kami tahu hanyalah, belum setetespun darah
Yang telah kami persembahkan untukmu

Kami tak pernah tahu… oh, Al Aqsha
Berapa raga harus meregang nyawa
Agar engkau tak lagi dihina
Yang kami tahu hanyalah, belum setapakpun langkah
Dan kami belum beranjak dari sini

Kami tak pernah tahu, akankah Ia menyerahkan
amanah ini, dengan segala keterbatasan
Yang kami yakin hanyalah
Kuatkan tekad, teguhkan hati
terus berbuat sejauh jangkauan tangan

Kami tak pernah tahu… oh, Al Aqsha
Bilakah Allah kan mempercayakan tugas mulia ini
agar kami bergabung dalam barisan syuhada
Yang kami yakin hanyalah, haruslah tetap menanti
dengan senandung rindu dan airmata

Dan Aku Masih Disini…

Lelah… kuakui jiwa ini lelah menanggung amanah yang terus bertambah. Menapaki jalan kecil dan licin yang sungguh tidak ramah. Kupalingkan pandanganku ke bawah, tampak seruas jalan lain menyusuri lembah. Banyak sekali orang yang melaluinya kerena memang lebih mudah. Jalannya lebih besar dan halus, pemandangannyapun lebih indah.

Beberapa orang di bawah sana menyapaku, mereka mengajakku. Tampak senyum ramah mereka yang membuatku sejenak terpaku. Berbeda sekali dengan teman-teman seperjuanganku di jalan ini yang begitu kaku, beku. Mereka terlalu banyak menuntut tanpa membantu. Terlalu banyak berkeluh kesah seolah merekalah orang yang paling banyak berjibaku. Tidak dewasa dalam berpikir, menyikapi masalah dan berperilaku. Ah, sejujurnya, mereka membuatku jemu! Dan sekarang, begitu saja mereka melewatiku, tanpa sedikitpun salam sapa senyum padaku…

Sejenak kuhentikan perjalanan ini. Pandanganku tertuju pada sepasang manusia yang bergandengan mesra dengan wajah berseri. Laki-laki itu, dia orang yang banyak memberikanku motivasi untuk tetap ada di jalan ini. Memberikanku inspirasi untuk tidak berhenti pun ditinggal seorang diri. Ya, dia temanku yang telah lebih dulu melalui jalan yang kini kutapaki. Namun kini, entah sejak kapan dan mengapa ia memilih jalan yang dulu katanya penuh tipu daya duniawi. Setelah itu, aku dibuat terkejut setengah mati ketika kudapati orang-orang yang mengajakku dan menyertaiku ketika mengawali hari, bahkan tokoh-tokoh besar yang selama ini hanya kudengar lewat kisah pahlawan jalan ini ternyata tidak bersamaku lagi. Mereka pergi, memilih jalan di bawah sana dengan penuh percaya diri…

Ah, mengapa aku tak bersama mereka. Toh tak ada jaminan jalan yang kulalui menyelamatkanku dari neraka. Dan bukan tak mungkin jalan di bawah sana mengantarkanku ke surga. Teman-temanku di jalan inipun tak tahu kemana. Terkenang pengalaman penuh duka bersama mereka. Dan kini jalan menuju ke bawah sana hadir di hadapan mata. Nampak begitu teduh, akupun terpana. Semakin kudekati, semakin sejuk terasa. Teman-teman seperjalananku yang melihatku hendak melangkah turun dengan penuh prasangka hanya mencerca. Hatiku kesal tak terkira, pikirku tanpaku mereka bisa apa. Akupun membuang muka, mulai menuruni tangga, selamat tinggal para pencela, selamat tinggal semuanya…

Kemudian dibelakangku terdengar teriakan, tidak asing, langkahkupun tertahan. Aku menoleh perlahan, tampak teman-teman lamaku melambaikan tangan. Tiba-tiba aku tergelincir, jalan ini ternyata tak seindah yang kubayangkan, akupun kehilangan pegangan. Akupun jatuh, sakit, tulang-tulangku terasa berlepasan, tubuhku terasa berantakan. Gravitasi menyeretku turun, beruntung ku sempat berpegangan pada dahan di sisi jalan. Pandanganku masih kabur saat kurasakan beberapa pasang tangan menarikku kembali ke atas, hawa hangat menjalar ke seluruh badan. Seolah mengobati luka, begitu menyejukkan perasaan…

Kembali di atas jalan licin penuh tantangan, samar kudengar suara isakan. Kudapati di ujung jalan, adik-adikku menatap sedih penuh keheranan. Beberapa diantara mereka menangis pelan. Kupandangi sekelilingku, kawan-kawanku tersenyum menawan. Jelas jejak tangisan dan guratan kekhawatiran. Lukaku dibasuh dan diobati dengan penuh perhatian. Teriring untaian kata yang menyejukkan, sungguh mengharukan…

Kini, ku kembali melangkah, masih di jalan yang penuh mihnah. Sekilas kulihat darah dan nanah yang terus menyusuri jalan ke depan, mewarnai tanah dengan kemilau sejarah. Luka ini belum seberapa parah, ujian ini masih mudah. Tak ada waktu untuk lemah, tiada alasan untuk menyerah. Aku salah, aku harus berubah, lebih sabar dalam berukhuwah, lebih tangguh dalam menahan fitnah. Dan luka yang pernah tertoreh takkan menyurutkan langkah….

Ps : 4All My Friends, Thank’s 4all …