Tag Archives: persiapan

Ramadanmu, Mau Jadi Apa?

Lepaskanlah. Maka besok lusa, jika dia cinta sejatimu, dia pasti akan kembali dengan cara mengagumkan. Ada saja takdir hebat yang tercipta untuk kita. Jika dia tidak kembali, maka sederhana jadinya, itu bukan cinta sejatimu…” (Tere Liye dalam ‘Rindu’)

Apa hal pertama yang terlintas dalam pikiran kita ketika disebutkan kata ‘Ramadan’? Puasa makan dan minum dari fajar hingga petang? Shalat tarawih dan lailatul qadr? Kebisingan bangunin orang untuk sahur? Ngabuburit? Ta’jil dan buka puasa bersama? THR? Mudik lebaran? Atau iklan sirup di TV? Ramadan memang bisa memberikan kesan yang berbeda pada setiap orang. Karenanya, ada yang gembira menyambutnya –dengan beragam alasan masing-masing–, ada yang biasa saja, bahkan (mungkin) ada yang terganggu akan kedatangannya. Barangkali karena shaum atau berpuasa juga bermakna ‘menahan diri’. Ada kebiasaan yang perlu ditahan, nafsu dan keserakahan yang perlu diredam, ataupun kesenangan yang perlu dibatasi.

Bagi banyak orang yang akan kembali bertemu dengan Ramadan, atau dengan kata lain tahun ini bukan Ramadan pertama baginya, tentu Ramadan sebelumnya sudah memberikan kesan tertentu. Kesan inilah yang turut menentukan apa yang dirindukan dari Ramadan. Ibarat ada tamu istimewa yang akan datang setiap tahunnya, tentu ada kesan yang tertinggal. Bisa jadi keramahtamahannya, senyumannya, kecerdasannya, kebijaksanaannya, atau hal lainnya. Kesan itulah yang dirindukan. Jika tanpa kesan, barangkali memang tidak ada kerinduan. Menariknya, kesan yang dirindukan inilah yang nantinya turut menentukan apa yang nanti akan diterima. Besarnya persiapan juga seringkali berbanding lurus dengan besarnya kerinduan. Tidak bersiap-siap untuk menyambut bisa jadi menggambarkan tiada kerinduan.

Lebih jauh lagi, akan seperti apa kesudahan Ramadan, erat kaitannya pula dengan kerinduan ini. Mereka yang benar-benar rindu akan Ramadan bukan hanya akan menyambut kedatangannya dengan suka cita, namun tidak benar-benar meninggalkannya saat Ramadan harus pergi. Buat mereka, Ramadan tidak pernah benar-benar pergi, ia tetap ada disini, menanti kehadirannya kembali, meninggalkan jejak dalam aktivitas sehari-hari. Karenanya, tak perlu ada kerepotan yang luar biasa dalam menyambut kedatangannya, sebab persiapannya sudah dijaga sepanjang tahun. Pembuktian kerinduan seperti inilah yang akan memudahkan proses madrasah Ramadan untuk membentuk insan bertaqwa yang senantiasa bertambah kebaikan setiap tahunnya.

Alumni Ramadan memiliki nilai akhir yang beragam. Ada yang lulus secara memuaskan, ada yang biasa saja, ada juga yang gagal, entah disadari atau tidak. Yang paling merugi adalah mereka yang gagal dan tidak diberikan kesempatan untuk mengulang tahun depan. Karenanya dianjurkan untuk memposisikan bahwa bisa jadi Ramadan ini adalah Ramadan terakhir sehingga kita bisa optimal dalam menjalani prosesnya. Hasil akhir mutlak menjadi kewenangan Allah SWT untuk menilainya, kita hanya bisa berikhtiar dan berdo’a. Ikhtiar itu bisa diawali dengan membangun kesan positif akan kehadiran Ramadan, sehingga ada harapan yang membuncah, disertai dengan mempersiapkan segala sesuatunya seoptimal mungkin, dan membersamainya ketika datang seproduktif mungkin.

Dan tamu itu tak lama lagi akan datang, entah kesan dan hasil seperti apa yang akan ditinggalkannya kali ini. Yang jelas, waktu untuk melakukan persiapan tidak banyak, bahkan kunjungannya pun sebenarnya teramat singkat. Perlu perencanaan matang agar tiap jenak waktu berharga ke depannya bisa dimanfaatkan sesuai dengan yang kita harapkan. Agar Ramadan kita penuh makna, tidak hanya mendapat lapar dan dahaga. Agar di akhir nanti kita bisa melepas kepergiannya dengan air mata kebahagiaan, bukan penyesalan. Agar kebaikan dan keberkahannya senantiasa terus mengalir, bahkan setelah kepergiannya.

Ramadanmu, mau jadi apa? Tentunya #jadimanfaat. Bismillah…

Keunggulan kita atas orang lain tidak ditentukan oleh kenyataan bahwa kita lebih berkuasa, lebih pandai atau lebih kaya. Melainkan ditentukan oleh tingkat manfaat kita atas orang banyak.” (Cak Nun)

Ahlan Wa Sahlan Ya Sya’ban

Bulan Rajab adalah bulan menanam. Bulan Sya’ban adalah bulan menyirami tanaman. Dan bulan Ramadhan adalah bulan memanen hasil tanaman” (Abu Bakar al Balkhi)

Tak terasa, bulan Sya’ban 1442 H telah tiba. Artinya, dalam waktu kurang dari sebulan lagi, bulan Ramadhan akan kembali menghampiri. Kata sya’ban diambil dari kata sya’bun yang artinya kelompok atau golongan. Dinamakan Sya’ban karena pada bulan tersebut masyarakat jahiliyah berpencar mencari air. Ada juga yang mengatakan, mereka berpencar menjadi beberapa kelompok untuk melakukan peperangan. Al Munawi mengatakan, “Bulan Rajab menurut masyarakat jahiliyah adalah bulan mulia, sehingga mereka tak melakukan peperangan. Ketika masuk bulan Sya’ban, mereka berpencar ke berbagai medan peperangan”.

Bulan Sya’ban ialah bulan dimana Rasulullah SAW paling sering berpuasa sunnah. Banyak dalil yang menjelaskan mengenai hal ini, di antaranya dari Aisyah r.a. yang meriwayatkan, “Aku tidak pernah melihat Rasulullah SAW melakukan puasa satu bulan penuh kecuali puasa bulan Ramadhan. Dan aku tidak pernah melihat beliau lebih banyak berpuasa sunnah melebihi (puasa sunnah) di bulan Sya’ban.” (HR.  Bukhari). Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Usamah bin Zaid r.a. bertanya, “Wahai Rasulullah, saya belum pernah melihat Anda berpuasa dalam satu bulan sebagaimana Anda berpuasa di bulan Sya’ban”. Rasulullah SAW bersabda, “Ini adalah bulan yang seringkali dilalaikan oleh banyak orang. Keberadaannya antara Rajab dan Ramadhan. Pada bulan ini amal-amal diangkat menuju Rabb semesta alam. Dan, saya ingin sekali ketika amal saya diangkat, saya dalam kondisi berpuasa” (HR. An Nasa’i).

Bulan Sya’ban memang seakan ‘kalah pamor’ dibandingkan bulan Rajab dan Ramadhan. Bulan Rajab termasuk salah satu dari empat syahrul haram (bulan yang dimuliakan). Letaknya terpisah dari tiga syahrul haram lainnya yang dekat dengan pelaksanaan haji. Bulan Rajab pun memiliki momentum Isra Mi’raj yang di Indonesia banyak diperingati sebagai salah satu hari libur nasional. Sementara Ramadhan adalah Sayyidusy Syuhur (penghulunya para bulan) yang nama bulannya disebutkan langsung dalam Al Qur’an. Ramadhan juga memiliki banyak julukan, di antaranya Syahrul Qur’an, bulan dimana Al Qur’an pertama kali diturunkan. Kemudian syahrush shiyam, bulan dimana umat Islam diwajibkan berpuasa selama sebulan penuh. Bahkan di bulan Ramadhan ada lailatul qadar, dimana satu malamnya lebih baik daripada seribu bulan.

Pun tidak sepopuler bulan Rajab dan Ramadhan, bulan Sya’ban sebenarnya memegang peran vital dalam memastikan kesuksesan menjalani ibadah Ramadhan. Ibarat akan bertanding, porsi latihan harus optimal jelang menghadapi pertandingan. Ibarat akan menyelenggarakan kegiatan, gladi resik event Ramadhan sudah harus mantap di bulan Sya’ban. Ibarat akan memanen ketakwaan di bulan Ramadhan, bulan Sya’ban adalah momen penting dalam memelihara pohon ketakwaan yang bibitnya telah ditanam sejak bulan Rajab. Bagaimana mungkin panennya akan berhasil jika pemeliharaannya dilupakan? Berbagai kegiatan Tarhib Ramadhan pun banyak digelar di bulan Sya’ban ini. Pun sebenarnya Tarhib Ramadhan yang bersifat ilmu dan pengingatan lebih tepat dikondisikan sejak bulan Rajab, sehingga di bulan Sya’ban ini umat Islam bisa langsung latihan dalam menyambut Ramadhan.

Persiapan iman, ilmu, fisik, dan mental sudah benar-benar dimatangkan di bulan Sya’ban ini. Persiapan diri dan keluarga untuk menyambut Ramadhan juga harus benar-benar siap. Dengan latihan dan pemanasan yang cukup, seharusnya pertandingan dapat dijalani dengan baik. Tidak perlu khawatir ‘telat panas’ ataupun cedera. Dan bulan Sya’ban belum lama masuk, ada cukup banyak waktu untuk menguatkan bekal dan persiapan. Apalagi kondisi pandemi tidak se’mencekam’ tahun lalu. Berbagai persiapan seharusnya bisa lebih optimal. Semoga dengan pembiasaan yang baik di bulan Sya’ban ini dapat mengantarkan kita untuk bisa lebih produktif di bulan Ramadhan. Pembiasaan positif yang semoga saja dapat istiqomah dilakukan di luar Ramadhan.

Ya Allah, berkahilah kami pada bulan Rajab dan Sya’ban, dan pertemukanlah kami dengan bulan Ramadhan” (HR. Al Baihaqi dalam kitab Syu’abul Iman. Syaikh Ahmad Syakir berkata dalam takhrij Musnad Imam Ahmad: sanad hadits ini dhaif)