Tag Archives: sinergi

Membina Pejuang Ekonomi Syariah

Supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya.”
(
QS. Al Hasyr: 7)

Dalam satu dasawarsa terakhir, angka indikator kesenjangan (koefisien gini) Indonesia meningkat tajam dari sekitar 0,3 menjadi 0,4. Bahkan berdasarkan survei lembaga keuangan Swiss, Credit Suisse, Indonesia menempati posisi ke-4 negara dengan disparitas kekayaan tertinggi. Dengan kondisi 1% orang terkaya menguasai 49,3% kekayaan nasional, Indonesia hanya lebih baik dari Rusia, India dan Thailand. Total dana bank di Indonesia didominasi oleh pemilik rekening di atas Rp 2 miliar yang tersebar dalam 0.12% jumlah rekening. Sementara hampir 98% jumlah rekening di bank dimiliki oleh nasabah dengan jumlah tabungan di bawah Rp 100 juta. Ketimpangan ini sulit diurai karena banyak ditentukan oleh hal-hal yang di luar kendali pihak yang lemah secara ekonomi. Jadi bukan sekadar butuh kerja keras untuk mengatasi kesenjangan pendapatan, namun juga perlu upaya untuk mengatasi ketimpangan peluang. Berdasarkan penelitian Bank Dunia, sepertiga dari ketimpangan di Indonesia disebabkan oleh empat faktor pada saat seseorang lahir, yaitu provinsi tempat lahir, tempat lahir di desa atau di kota, peranan kepala keluarga, dan tingkat pendidikan orang tua.

Data BPS menunjukkan bahwa Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia meningkat lebih dari kali lipat dalam rentang tahun 2004 – 2013 dan jumlahnya lebih dari sepertiga total PDB Negara-negara ASEAN. Ekonomi Indonesia terus tumbuh tidak merata. Sekitar 10% masyarakat terkaya di Indonesia menambah konsumsi mereka sebesar 6% per tahun, setelah disesuaikan dengan inflasi. Sementara 40% masyarakat termiskin, tingkat konsumsi mereka tumbuh kurang dari 2% per tahun. Di tengah peliknya permasalahan kesenjangan inilah, ekonomi Islam –yang di Indonesia lebih populer dengan istilah ekonomi syariah– mulai bangkit menjadi solusi pengganti atas kebobrokan sistem kapitalisme yang mendukung monopoli termasuk dalam pemilikan umum (public property) seperti sumber daya alam dan komoditas strategis sehingga akumulasi kekayaan hanya bertumpuk di segelintir orang.

Dalam pandangan Ekonomi Islam, negara harus menjamin pemenuhan kebutuhan pokok (pangan, papan, sandang, kesehatan, pendidikan, dan keamanan). Jika seseorang tidak mampu memenuhi kebutuhan pokoknya dan keluarganya, kewajiban itu beralih kepada kerabatnya mulai yang terdekat. Jika tidak mencukupi, diambilkan dari harta zakat. Jika belum mencukupi, kewajiban itu beralih ke negara, yakni wajib atas Baitul Maal memenuhinya. Negara bisa memberikannya dalam bentuk harta secara langsung maupun dengan memberi pekerjaan. Sederhananya lagi, ekonomi Islam membolehkan transaksi dalam muamalah selama tidak dilarang. Pelarangan ini sebenarnya merupakan upaya menjaga keadilan. Perkara yang dilarang di antaranya transaksi barang haram, penipuan, ketidakpastian (pada hal yang seharusnya bisa dipastikan), manipulasi, riba, suap, judi, tidak terpenuhinya rukun dan syarat sahnya akad, zalim, dan maksiat. Lebih manusiawi dan beradab.

Sejak geliat kebangkitannya di penghujung abad ke-20, Ekonomi Syariah di Indonesia menghadapi banyak tantangan, baik dari dalam maupun dari luar, dan belum jua berhasil mengalahkan sistem konvensional yang beraroma kapitalis, menyamainya pun bahkan belum. Lembaga keuangan syariah terus berkembang, namun belum sepenuhnya bisa terlepas dari cengkeraman sistem perekonomian ‘campuran’ yang ada di Indonesia. Ada sebagian yang idealis namun tidak realistis, ada pula yang skeptis namun tidak memberikan solusi. Sebagian lainnya masih meyakini potensi besar kejayaan ekonomi Islam di Indonesia berdasarkan pertimbangan dalil agama ataupun sudut pandang manajemen. Sosialisasi, promosi, permodalan dan pengelolaan aset, perluasan wilayah, hingga variasi dan inovasi produk menjadi evaluasi atas lambatnya laju pertumbuhan ekonomi syariah di Indonesia.

Sayangnya, tidak banyak yang mencermati bahwa faktor penentu maju mundurnya suatu peradaban adalah manusianya. Mungkin ada yang menyadari bahwa SDM pengusung kebangkitan ekonomi syariah perlu dipersiapkan lebih baik lagi, namun tak banyak yang serius mempersiapkannya. Pendidikan dan pembinaan adalah instrumen utama untuk membentuk para pejuang ekonomi syariah di masa depan. Ya, visinya harus jauh ke depan sebab peradaban tidaklah dibangun dalam hitungan tahun. Pemerataan kesejahteraan juga menjadi masalah jangka panjang. Dan artinya, yang perlu dipersiapkan adalah sekelompok pemuda yang kelak akan menjadi pemimpin umat dan dunia di masa mendatang.

Pembinaan para pejuang ekonomi syariah harus dilakukan dengan serius sebab upaya untuk menghancurkan bangunan ekonomi Islam juga telah lama dilakukan dengan serius. Apalagi target pembinaannya bukan sekadar kepakaran, tetapi kepemimpinan yang akan mengusung penerapan ekonomi Islam sebagai jalan kesejahteraan dan keberkahan bagi seluruh manusia. Hanya pembinaan yang berkualitas lah yang dapat menghasilkan sosok-sosok seperti Utsman bin Affan r.a., Abdurrahman bin Auf r.a. atau Umar bin Abdul Aziz yang terus menginspirasi. Butuh pembinaan yang komprehensif untuk menghasilkan tokoh-tokoh seperti Abu Ubaid, Abu Yusuf, Ibnu Taimiyah atau Ibnu Khaldun beserta pemikirannya. Para pelopor ekonomi syariah seperti Umer Chapra, Adiwarman Azwar Karim, Ma’ruf Amin atau M. Syafi’i Antonio juga tidak muncul tiba-tiba, ada proses panjang yang menyertainya.

Materi pokok dalam pembinaan pejuang ekonomi syariah justru terletak pada aspek non keuangan. Penanaman nilai tentang kejujuran dan kedermawanan misalnya, jauh lebih penting dibanding sebatas pengetahuan akan strategi dan inovasi produk perbankan syariah. Adab dan akhlak menjadi fondasi yang akan mengokohkan pengetahuan dan keterampilan mereka. Syarat lain yang diperlukan untuk menyongsong kebangkitan ekonomi Islam adalah dengan satu strategi kunci: sinergi. Potensi umat Islam di Indonesia sangatlah berlimpah namun belum bisa menjadi kekuatan dan keunggulan ketika masih terserak. Merajut sinergi menjadi sangat fundamental, dimana setiap komponen dapat memberikan sumbangsih terbaiknya untuk mewujudkan cita bersama. Dalam sinergi saling melengkapi, ada optimalisasi potensi kebaikan yang dapat dilipatgandakan.

Pernah ada suatu masa, kas di baitul maal berlimpah, tidak ada masyarakat yang mau dan layak menerima zakat hingga harus didistribusikan ke negeri tetangga. Utang pribadi dan biaya pernikahan pun ditanggung kas Negara. Bahkan dikisahkan serigala dan domba dapat hidup berdampingan kala itu. Ya, sebuah potret kesejahteraan yang merata pernah hadir di masa kekhalifahan Umar bin Abdul Aziz. Jika sejarah memang berulang, bukan sebuah utopis masa itu akan kembali hadir, dengan sosok pahlawan yang berbeda tentunya. Asa kebangkitan (Ekonomi) Islam itu selalu ada. Sekarang tinggal bagaimana kita mengambil sikap dan peran. Ketidakpedulian dan ikut-ikutan tentu bukan pilihan bijak. Pilihannya tinggal: akankah kita ada di barisan pejuang, atau ada di barisan pembina para pejuang, atau keduanya? Apapun pilihannya, semoga Allah SWT senantiasa membimbing langkah kita tetap pada jalan perjuangan yang diridhai-Nya.

…Dan masa (kejadian dan kehancuran) itu, Kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran); dan supaya Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir) dan supaya sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada. Dan Allah tidak menyukai orang-orang yang zalim.” (QS. Ali Imran: 140)

Ketika Negara Mengais Recehan Uang Umat

“Bappenas Incar Zakat untuk Danai Pengentasan Kemiskinan”, begitu salah satu judul berita yang dimuat di CNN Indonesia (14/9). Eramuslim.com (15/9) bahkan memberi judul lebih provokatif: “Bangkrut, Jokowi Lirik Uang di Baznas Buat Dipakai”. Inti beritanya sih Menteri Perencanaan Pembangunan/ Kepala Bappenas, Bambang P.S. Brodjonegoro, menyatakan bahwa dana yang terhimpun di Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) dapat digunakan untuk memperkuat program pengentasan kemiskinan yang telah dibuat pemerintah. Masih sebatas rencana. Namun di tengah momentum ‘penghematan’ yang sedang dilakukan pemerintah di semua lini ditambah kebijakan tax amnesty yang dinilai belum optimal, wacana ini seakan bermakna pemerintah meminta dana zakat digunakan untuk membiayai program pengentasan kemiskinan pemerintah. Keliru kah?

Zakat memang bukan sekadar untuk membersihkan harta dan menyucikan jiwa, ada fungsi ekonomi dan sosial kemasyarakatan yang menyertainya, termasuk peran zakat dalam pengentasan kemiskinan. Sejalan dengan salah satu tujuan Negara: memajukan kesejahteraan umum. Tantangannya adalah pengelolaan zakat yang belum terpusat membuat sinergi dengan program pemerintah bertujuan serupa tidak mudah terwujud. Wacana pengelolaan zakat satu pintu bukan hal baru, apalagi setelah lahirnya UU Pengelolaan Zakat nomor 23 tahun 2011. Benturan pendapat pun terjadi antara pihak yang menjadikan zakat sebagai model kebijakan fiskal –yang menghendaki pemerintah sebagai operator dengan alasan utama optimalisasi potensi zakat—dengan model partisipatif yang menghendaki pemerintah cukup sebagai regulator, motivator dan pengayom lembaga zakat yang dibentuk masyarakat dengan pertimbangan utama pada aspek kepercayaan dan partisipasi masyarakat.

Faktor Trust dan Logika Terbalik
Apakah upaya pengentasan kemiskinan akan lebih efektif jika zakat yang terhimpun digunakan untuk membiayai program eksisting pemerintah? Jawabannya mungkin akan ada kesamaan dengan pertanyaan: apakah penghimpunan zakat akan lebih optimal jika dikelola oleh pemerintah? Pemerintah mungkin bisa membuat kebijakan yang mengikat dan memaksa, namun ada faktor trust yang turut menentukan keberhasilan implementasinya. Faktor trust ini yang menjelaskan mengapa sampai ada petisi tolak tax amnesty dan tagar #TolakBayarPajak pun sosialisasi tax amnesty banyak dilakukan. Ada yang tidak melakukan sesuatu karena tidak tahu, sebagian lagi karena tidak mampu, namun tidak sedikit karena tidak mau. Negara sejatinya adalah sebuah organisasi nonprofit super besar, dimana faktor trust menjadi hal penting dalam penyelenggaraannya.

Sekarang bagaimana jika pertanyaannya dibalik, apakah upaya pengentasan kemiskinan akan lebih efektif jika anggaran yang ada di pemerintah digunakan untuk membiayai program eksisting lembaga zakat? Menariknya, berbagai penelitian justru menunjukkan bahwa program pengentasan kemiskinan yang diinisiasi lembaga zakat lebih efektif dibandingkan program yang diinisiasi perusahaan ataupun pemerintah. Persentase masyarakat miskin yang terentaskan dari total penerima manfaat program lebih besar. Memang sampelnya lembaga zakat yang sudah establish seperti Dompet Dhuafa, PKPU atau Rumah Zakat. Dan memang secara total penerima manfaat tidak sebesar pemerintah yang support anggarannya juga jauh lebih besar. Namun hal ini memberi sinyal kuat bahwa lembaga zakat sudah nyata berkontribusi dalam mengentaskan kemiskinan, dan sudah selayaknya memperoleh dukungan pemerintah. Bukan malah sebaliknya. Dengan logika serupa, bukan tidak mungkin penghimpunan zakat justru akan lebih optimal jika dilakukan oleh masyarakat dengan memperoleh dukungan regulasi dan pengawasan dari pemerintah.

Sebenarnya, pengelolaan ZISWAF terpusat sebagaimana pengelolaan baitul maal pada masa kekhalifahan adalah lebih ideal. Namun Indonesia tidaklah dalam kondisi ideal. Ada banyak Pe-eR dan pembuktian yang terlebih dahulu perlu diselesaikan. Masih ingat kasus korupsi pengadaan Al Qur’an? Atau kasus korupsi dana haji? Sebelum zakat menjadi instrumen kebijakan keuangan negara, penyelenggara negara perlu memantapkan performanya sebagai clean government dengan menuntaskan berbagai kasus keuangan negara. Jangan sampai pengelolaan zakat justru terjerat birokrasi, budaya ABS, atau bahkan kepentingan politis. Membangun trust merupakan syarat harmonisasi saling menguntungkan.

Negara juga perlu memahami hakikatnya sebagai organisasi nonprofit. Bukan malah mendorong lembaga zakat berubah dari lembaga sosial keagamaan menjadi lembaga keuangan keagamaan. Tidak semua potensi perlu dikapitalisasi. Lihat saja bagaimana penolakan publik atas wacana pengelolaan umroh oleh pemerintah. Adalah paradoks mendapati organisasi nonprofit yang berorientasi bisnis. Sebagaimana amil zakat mengelola amanah muzakki, kepercayaan masyarakat akan terbangun dengan kerja yang amanah dan profesional. Bukan aji mumpung atau sekadar rebutan proyek. Jika pemerintah hanya berpikir profit, bisa-bisa ke depan kotak amal masjid juga wajib setor ke pemerintah. Sinergi itu bukan mengakuisisi. Berbagai program sektor ketiga yang menunjang ketercapaian cita-cita Negara adalah sinergi. Kebijakan pemerintah yang mendukung partisipasi masyarakat dalam mengatasi permasalahan bangsa juga merupakan sinergi. Sinergi adalah saling memperkuat, bukan memanfaatkan salah satu pihak. Dan problematika kemiskinan sebagai simpul terlemah bangsa ini takkan terurai tanpa peran serta aktif dan produktif dari setiap elemen bangsa. Zakat mungkin recehan, namun jika dikelola dengan baik, akan mencapai satu titik dimana amil akan kesulitan mencari mustahik. Karena masyarakat sudah sejahtera. Semoga saja akan terjadi di negeri ini, di masa mendatang…

Berkolaborasi dalam Kompetisi, Berkompetisi untuk Kolaborasi

Alkisah di sebuah desa, ada seorang petani yang menanam jagung kualitas terbaik. Panennya selalu berhasil dan ia kerap memperoleh penghargaan sebagai petani dengan jagung terbaik sepanjang musim. Seorang wartawan lokal tertarik untuk mewawancara petani tersebut. Ia datang ke rumah petani kemudian disambut dengan ramah dan dijamu dengan baik. Dalam suasana wawancara yang hangat, ia menanyakan rahasia kesuksesan petani tersebut.

“Mudah saja, saya selalu membagi-bagikan benih terbaik yang saya miliki kepada para tetanggga”, jawab si petani. “Lho, kok bisa begitu? Apa hubungannya? Bukannya itu justru akan membuat Anda rugi dan kalah bersaing?”, tanya wartawan itu penuh keheranan. Sejenak petani itu terdiam kemudian menjelaskan, “Kami para petani ini telah diajarkan oleh alam. Angin yang berhembus menerbangkan serbuk sari dari jagung yang akan berbuah dan membawanya dari satu ladang ke ladang yang lain. Jika tetangga saya menanam jagung yang jelek, maka kualitas jagung saya akan menurun ketika terjadi serbuk silang. Jadi, jika saya ingin menghasilkan jagung kualitas unggul, maka saya harus membantu tetangga saya untuk menanam jagung yang bagus pula”.

* * *

Pilih mana kompetisi atau kolaborasi? Tidak sedikit orang yang mendikotomikan antara keduanya. Kompetisi yang bersinonim dengan persaingan kemudian diidentikkan dengan saling menjatuhkan, tingkat stres tinggi, hingga menghalalkan segala cara. Sementara kolaborasi yang bermakna kerja sama dipahami sebagai aktivitas saling membangun dan saling menguntungkan. Ibarat baik dan buruk, tentu tidak sulit menentukan pilihan. Bahkan ada yang ‘mengharamkan’ kompetisi, terutama di dunia pendidikan, karena hanya mengedepankan ego yang berbuah kerusakan, sementara setiap individu punya keunikan yang tidak bisa dan tidak seharusnya dikompetisikan.

Pembunuhan pertama oleh manusia juga didorong oleh menang – kalah dalam kompetisi. Namun bukan kompetisinya yang salah, melainkan bagaimana menyikapi kompetisi tesebut. Habil mempersembahkan kurban ternak terbaik sementara Qabil memberikan kurban hasil tani terburuk. Jika ditelaah lebih dalam, ternyata orientasi, cara berkompetisi dan bagaimana menyikapi hasil kompetisilah yang menentukan dampak dari kompetisi. Sementara kompetisi adalah bagian dari kehidupan itu sendiri. Kompetisi sudah dimulai sejak pembuahan sel telur oleh satu dari jutaan sperma, hingga perjalanan hidup yang hakikatnya adalah kompetisi dengan waktu. Karenanya tidak heran jika Allah memerintahkan manusia untuk berlomba-lomba dalam kebaikan, berkompetisi menuju Ridha dan Jannah-Nya.

Kompetisi akan mendorong kreativitas dan inovasi, bersungguh-sunguh untuk terus menjadi lebih baik. Hidup tanpa kompetisi adalah stagnasi di zona nyaman. Meniadakan keindahan akan dinamika hidup. Coba saja bayangkan tiada kompetisi dalam memasuki jenjang pendidikan baru, atau dalam rekrutmen karyawan, atau bahkan dalam memilih pasangan. Meniadakan kompetisi sama saja mengingkari hakikat hidup manusia. Dan jika tidak didikotomikan, kompetisi sesungguhnya membuka ruang besar untuk tercipta kolaborasi. Ya, berkolaborasi dalam kompetisi.

Dunia semakin kompetitif dan kian menyempitkan makna kompetisi. Hanya ada satu juara, yang kalah akan tergilas zaman. Paradigma kompetisi untuk ‘saling membunuh’ mendorong manusia untuk melakukan apa saja untuk dapat bertahan hidup. Ketika manusia menyadari bahwa tidak semua hal dapat dilakukan sendirian, kolaborasi menjadi opsi strategis untuk dapat terus eksis. Sayangnya, kolaborasi yang dihasilkan dari paradigma seperti ini sifatnya transaksional. Ada selama masih ada kepentingan. Untuk berkolaborasi dengan benar, perlu paradigma kompetisi yang benar. Bukan untuk mengalahkan, melainkan untuk terus berkembang. Bukan untuk memperoleh pengakuan, tetapi untuk memberikan kebermanfaatan yang lebih luas. Mengubah mindset dari win-lose menjadi win-win.

Kolaborasi adalah berbagi peran dan potensi untuk mencapai tujuan bersama tanpa harus mengeliminasi jati diri. Perbedaan adalah hal yang perlu ada dalam sebuah kolaborasi, hal itulah yang membedakannya dengan sebatas koordinasi. Kolaborasi akan memperbesar peluang pengembangan dan keberhasilan. Kemenangan milik bersama. Kolaborasi adalah berbagi untuk bisa saling melengkapi. Berbagi dan memberi, itulah makna strategis kolaborasi yang tidak dimiliki oleh kompetisi.Kolaborasi akan meredam syahwat kompetisi yang takkan pernah terpuaskan, menyeimbangkan sisi manusia sebagai makhluk sosial tidak hanya sebagai makhluk individu. Realitanya, kolaborasi mungkin tidak bisa membahagiakan dan menguntungkan semua orang, namun setidaknya tidak perlu hasil akhir yang mencelakakan atau menghancurkan pihak lain.

Hidup penuh dengan kompetisi sehingga terlibat dalam kompetisi seringkali bukan pilihan. Namun membangun paradigma kompetisi yang sehat adalah pilihan. Menggunakan cara-cara yang baik dalam berkompetisi adalah pilihan. Menyikapi kemenangan dan kekalahan dengan benar adalah pilihan yang mendewasakan. Mempersiapkan diri untuk bijak dalam menghadapi kompetisi dan hasilnya lebih realistis dibandingkan menghindari kompetisi dan berharap semua akan jadi pemenang. Namun jika kompetisi adalah keniscayaan, kolaborasi adalah pilihan. Pilihan para pemenang sejati. Betapa banyak orang yang menginjak-injak orang lain untuk mencapai puncak, dibandingkan mereka yang bergandengan tangan bersama mencapai puncak. Hampir semua manusia tengah berkompetisi, namun sedikit di antaranya yang berkolaborasi. Padahal kebermanfaatan adalah ukuran keberhasilan. Mari berlomba berkolaborasi dalam kebaikan. Berkompetisi untuk kolaborasi.

Competition make us faster, collaboration make us better

Kegelisahan Pribadi Efektif

You have to decide what your highest priorities are and have the courage—pleasantly, smilingly, nonapologetically, to say “no” to other things. And the way you do that is by having a bigger “yes” burning inside. The enemy of the “best” is often the “good”.” (Stephen R. Covey)

Beberapa hari lalu saya mengikuti Training Pribadi Efektif “Seni Mengelola Diri Sendiri dan Memimpin Orang Lain” yang diselenggarakan oleh tim Human Capital Dompet Dhuafa di Universitas Terbuka. Judul pelatihannya yang terdengar familiar ternyata memang diambil dari buku “The 7 Habits of Highly Effective People”nya Stephen R. Covey. Saya pernah membaca buku tersebut belasan tahun lalu saat masih SMA, cukup aplikatif dan inspiratif. Pelatihan yang diselenggarakan pun berisi intisari dari hal-hal yang tertuang dalam buku best seller tersebut.

Ulasan mengenai training pribadi efektif apalagi resensi terhadap bukunya sudah banyak beredar. Apresiasi, modifikasi, hingga kritik terhadap materi yang tertuang dalam buku tersebut juga tidak sedikit. Ada yang coba mengaitkan gagasan dalam buku tersebut dalam perspektif Islam, bahkan ada yang mengkritisi habis konsep yang dikatakan oleh Stephen Covey terinspirasi dari ajaran Mormon, yang dianggap sesat oleh umat Nasrani. Tulisan ini akan lebih banyak mengulas tentang kegelisahan saya akan adanya paradigma yang keliru dalam memaknai tujuh kebiasaan yang efektif. Pelatihan lima hari yang dipadatkan menjadi dua hari tentu memungkinkan terlewatkannya beberapa materi yang sebenarnya penting untuk membentuk paradigma yang benar.

Berkenaan dengan konsep diri, paradigma dan prinsip, konsep agama (Islam) adalah sesuatu yang seharusnya mendasari. Prinsip ‘tanam – tuai’ misalnya, jika dipahami hanya sebatas hukum kausalitas maka akan kontraproduktif ketika dibenturkan dengan takdir dan kehidupan setelah mati. Fenomena banyaknya orang baik yang hidup sengsara atau orang jahat yang hidup sejahtera menjadi sulit dijelaskan. Contoh lain prinsip ‘dari luar ke dalam’ yang jika dipahami sebagai kebertahapan mutlak akan mendorong seseorang untuk tidak membuat perubahan di luar sebab perbaikan diri sendiri sejatinya tidak akan pernah selesai. Bingkai agama akan membuat semuanya lebih jelas dan terarah.

Kebiasaan efektif pertama adalah proaktif (proactive). Proaktif dicirikan dengan sikap pantang menyerah dan pantang penyerang, bertanggung jawab dan tidak mencari kambing hitam, optimis serta fokus pada lingkaran kendali bukan lingkaran kekhawatiran. Lingkaran kendali adalah hal-hal yang bisa kita ubah sementara lingkaran kekhawatiran adalah hal-hal yang ingin kita ubah. Disinilah kemudian timbul dikotomi antara reaktif yang fokus pada lingkaran kekhawatiran dengan proaktif yang fokus pada lingkaran kendali. Padahal lingkaran kekhawatiran sejatinya adalah mimpi dan kepedulian, mereka yang hanya fokus pada lingkaran kendali hanya akan sibuk pada dirinya. Lingkaran kekhawatiran ada bukan untuk diminimalisir oleh lingkaran kendali, tetapi justru untuk diperluas, sehingga lingkaran kendali dapat terus berkembang. Disinilah seharusnya dipersepsikan bahwa proaktif adalah sikap reaktif yang produktif, fokus pada lingkaran kendali untuk mengubah hal-hal yang ingin kita ubah, bukan sekadar mengubah hal-hal yang bisa kita ubah.

Kebiasaan efektif kedua adalah mulai dari tujuan akhir (begin with the end in mind) yang ditandai dengan menuliskan mimpi dan pernyataan misi (mission statement). Menuliskan ‘terminal tujuan’ dan ‘halte-halte’ dalam hidup sudah banyak dipahami sebagai salah satu upaya penting dan serius dalam menggapai impian. Namun ada dua catatan disini. Pertama, ‘terminal tujuan’ memang sebaiknya lebih fundamental dan jangka panjang, tidak melulu ukuran materi. Namun bagaimanapun, target dan tujuan hidup yang terukur tetaplah diperlukan sebagai indikator keberhasilan, yang terkadang bersifat materi. Esensinya adalah kejelasan arah dan keterhubungan dengan ‘terminal tujuan’ bukan sebatas materi atau nonmateri, terukur atau tidak terukur. Kedua, fleksibilitas dan agility dalam mencapai ‘terminal tujuan’ tetap diperlukan di tengah arus perubahan dan ketidakpastian. Menambah halte, mengubah rute, bahkan membuat terminal bayangan tidak masalah jika memang diperlukan.

Kebiasaan efektif ketiga adalah dahulukan yang utama (put first things first). Sudah sejak SMA saya punya perspektif bahwa prioritas baru akan muncul jika ada benturan. Jadi selama semua masih bisa dikelola tanpa ada benturan, semua hal masih bisa dilakukan. Memprioritaskan kuadran penting dan tidak mendesak justru akan kontraproduktif jika tidak banyak hal yang perlu dilakukan. Belum lagi berbicara fakta bahwa banyak hal yang tidak bisa dikatakan penting namun tidak pula tepat disebut tidak penting, atau berbagai hal yang rasanya tidak pas dikatakan mendesak tapi tidak dapat pula dibilang tidak mendesak. Menariknya, adanya aktivitas di seluruh kuadran justru kerapkali membuat hidup lebih seimbang dan optimal, selama bisa dikelola dengan baik. Menyusun skala prioritas memang baik, namun mewaspadai penyakit malas dan suka menunda (prokrastinasi) tidak kalah baik.

Ketiga kebiasaan efektif pertama berbicara tentang sukses pribadi, sementara ketiga kebiasaan efektif berikutnya fokus pada sukses bersama yang memang lebih dapat dipahami dengan simulasi dan implementasi. Kebiasaan efektif keempat adalah berpikir menang – menang (think win – win). Faktanya, kita tidak bisa memuaskan semua orang, selalu ada pihak yang merasa tidak menang atau tidak diuntungkan. Sehingga jika win-win solution tidak mungkin dihasilkan, paradigma yang bisa dimunculkan adalah tidak boleh menzhalimi, tidak merugikan dan meminimalisir kemudhorotan. Akhirnya, tidak mendapat apa-apa atau bahkan menerima kekalahan dengan sikap positif bisa jadi merupakan sebuah kemenangan.

Kebiasaan efektif kelima adalah komunikasi empatik (seek first to understand, then to be understood). Mungkin karena keterbatasan waktu penjelasannya tidak menyeluruh. Komunikasi empatik tidak sesederhana yang dijelaskan. Mengulang dengan singkat apa yang dikatakan, membahasakan kembali dan merefleksikan perasaan hanyalah bagian kecil dari komunikasi empatik. Pun demikian dengan kebiasaan efektif keenam yaitu sinergi (synergize). Sinergi tidak melulu berbicara tentang perbedaan, tetapi justru kuat dengan berbagai kesamaan, sinergi juga tidak semata ada dalam ranah komunikasi namun banyak bermain dalam ranah aksi. Adapun kebiasaan efektif ketujuh adalah mengasah gergaji (sharpen the saw) yang melingkupi semua kebiasaan. Sayangnya fokus pembahasan lebih banyak menyoal mengapa dan apa, bukan bagaimana.

Kesuksesan bersumber dari rangkaian kebiasaan yang efektif sebenarnya mudah dipahami, banyak kisah yang dapat menjadi contoh. Akan lebih baik lagi jika kesuksesan tersebut dihubungkan dengan visi jangka panjang dalam bingkai keimanan dan ketakwaan. Jika sukses pribadi adalah menjadi hamba Allah yang beribadah dan sukses bersama adalah menjadi khalifah yang memakmurkan bumi, maka mengasah gergaji adalah keistiqomahan dalam menjalankannya. Semoga kita bisa menjadi pribadi efektif yang sukses pribadi dan sukses bersama, yang sukses dunia dan akhirat. Aamiiin…

Dan di antara mereka ada orang yang berdo’a, “Ya Rabb kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka”. Mereka itulah orang-orang yang mendapat bagian dari (amal) yang mereka usahakan; dan Allâh sangat cepat perhitungan-Nya.” (QS. Al-Baqarah : 201-202)

SuperMan dalam SuperTeam

Sebuah tim adalah lebih dari sekedar sekumpulan orang. Ini adalah proses memberi dan menerima.” (Barbara Glacel & Emile Robert Jr)

Di sebuah hutan, ada seekor Rusa yang bersahabat dengan seekor Monyet. Suatu ketika, mereka hendak menentukan siapa yang lebih unggul di antara mereka. Ketika mereka sedang berdiskusi, tampak seekor Tupai mengamati mereka. Mereka pun meminta pandangan dari Tupai tersebut untuk menentukan siapa yang lebih unggul di antara mereka. Si Tupai kemudian menyampaikan bahwa siapa yang paling cepat dapat mengumpulkan 10 buah kenari adalah yang lebih unggul. Tanpa dikomando, Rusa dan Monyet segera meluncur ke pohon kenari terdekat. Rusa tiba lebih dulu namun terpaku bingung bagaimana caranya mengambil buah kenari. Tak lama kemudian, Monyet datang menyusul dengan bergelayutan dari pohon ke pohon. Dalam waktu singkat, Si Monyet sudah ada di atas pohon kenari dan mulai memetik buahnya. Setelah terkumpul 10 buah, Si Monyet tersenyum pada Rusa di bawah pohon dan segera kembali ke tempat Tupai. Merasa kalah, sambil menggerutu Rusa pun kembali ke tempat Tupai.

Di tempat Tupai, Rusa bertemu dengan seekor Jerapah, sementara Si Monyet masih hanyut dalam kemenangan. Rusa protes karena kompetisi yang adil seharusnya memungkinkan setiap pesertanya meraih kemenangan, sementara kompetisi yang diajukan Si Tupai takkan mungkin dimenangkannya karena tidak dapat memanjat. Jerapah coba menengahi, dengan leher panjangnya ia melihat ada batu besar di puncak bukit. Rusa mengetahui batu yang dimaksud, dari atas pohon Si Monyet pun dapat melihatnya. Jerapah mengusulkan siapa yang lebih dulu mencapainya dialah yang lebih unggul. Rusa dan Monyet mengangguk dan langsung meluncur ke batu tersebut. Rusa lewat jalur darat, Monyet melompat-lompat dari pohon ke pohon. Ternyata untuk mencapai bukit tersebut harus melewati padang rumput luas. Rusa semakin mempercepat larinya sementara Monyet kian terengah-engah apalagi rumput yang cukup tinggi cukup menyulitkannya mengejar Rusa. Baru sampai tengah padang rumput, Rusa sudah berdiri tegak di atas batu besar di puncak bukit seraya tersenyum penuh kemenangan. Kali ini Si Monyet merasa diperlakukan tidak adil karena tidak mungkin mengalahkan kecepatan lari Rusa di padang rumput, apalagi sambil merangkak.

Rusa segera turun untuk menyapa Monyet yang masih menggerutu, tiba-tiba muncul Kancil yang dikenal cerdik dan bijak di padang rumput tersebut. Mereka pun sepakat menjadikan Kancil sebagai juri dan menceritakan perihal pertandingan yang sudah mereka lalui kepada Si Kancil. Sambil tersenyum, Si Kancil mengatakan bahwa kompetisi menentukan keunggulan haruslah yang menantang. Kancil menceritakan bahwa di seberang sungai ada pohon besar yang buahnya rendah dan berwarna-warni. Siapa yang bisa mengambil buah tersebut dialah yang lebih unggul. Rusa dan Monyet pun kembali saling berlomba. Rusa tiba lebih dulu di tepi sungai, dengan sigap ia mampu menyeberangi sungai yang cukup lebar dengan air yang cukup berlimpah. Tiba di seberang sungai, ia langsung menuju pohon besar itu dan melihat buah yang dimaksud. Buah tersebut memang cukup rendah, namun seberapa keras Rusa berusaha menggapainya, ia tetap tidak mampu. Di seberang sana, Monyet tidak mampu menyeberangi sungai yang tidak ada jembatan, bebatuan ataupun pohon yang dapat dipijaknya. Sungai yang lebar dan cukup dalam baginya, membuat Monyet hanya dapat memandangi Rusa yang kesulitan untuk mengambil buah beraneka warna. Lama tidak ada pemenang, Monyet pun menyerah, ia meminta Rusa menjemputnya dan ia akan mengambilkan buah tersebut untuk Rusa. Rusa juga mulai putus asa, akhirnya ia menyeberangi sungai untuk menjemput Monyet yang kemudian naik di atas punggungnya dan mengantarnya ke pohon besar tersebut. Tanpa kesulitan, Si Monyet mengambil buah tersebut dan memberikannya kepada Rusa. Kancil yang sudah ada di seberang sungai tersenyum dan mengatakan bahwa mereka berdua adalah pemenangnya.

* * *

Seekor kelinci, sedang bermain dan mencari makan di mulut gua. Tiba-tiba dari balik semak-semak muncul seekor rubah yang hendak memangsanya. Kelinci tersebut langsung lari ke dalam gua dikejar oleh Si Rubah. Terdengar perkelahian sengit di dalam gua. Lima menit kemudian, Kelinci keluar gua dengan membawa tulang paha Rubah. Beberapa waktu kemudian, tampak seekor Serigala yang kelaparan dan tengah mencari mangsa. Kelinci pun lari ke dalam gua dan dikejar Serigala. Perkelahian sengit kembali terdengar dari dalam gua. Lima belas menit kemudian, Kelinci keluar gua dengan membawa tulang kaki Serigala. Beberapa jam kemudian, muncul seekor Beruang yang tengah mencari makan. Melihat Kelinci yang melarikan diri ke dalam gua, Beruang tersebut mengejarnya. Terdengar kembali perkelahian yang sengit dari dalam gua. Setengah jam kemudian, Kelinci keluar gua dengan membawa potongan jari beruang. Tak terasa waktu berlalu, Kelinci pun mendekati mulut gua dan berkata, “Sudah petang, kita lanjutkan esok lagi!”. Tak lama kemudian dari dalam gua keluar seekor Singa bertubuh besar. “Baik, terima kasih. Besok kita lanjutkan lagi”, jawab Sang Raja Hutan yang tampak kenyang tersebut.

* * *

Berbicara tentang membangun tim, secara sederhana ada dua alasan mendasar mengapa kita perlu bekerja sama. Pertama, setiap diri kita punya keterbatasan sehingga ada hal-hal yang tidak dapat diselesaikan sendirian tanpa bantuan orang lain. Dari fakta mendasar inilah manusia diidentifikasi sebagai makhluk sosial yang tidak dapat hidup tanpa manusia lainnya. Kedua, ada hal-hal yang akan lebih cepat terselesaikan atau hasilnya akan lebih optimal ketika tidak dikerjakan sendirian. Disinilah optimalisasi dari zoon politikon, dimana kecenderungan manusia untuk bergaul dan bermasyarakat dapat dioptimalkan untuk meningkatkan produktivitas atau saling memberikan keuntungan.

Rusa punya keterbatasan karena tidak dapat memanjat, Monyet punya keterbatasan karena tidak dapat menyeberangi sungai. Karenanya usaha untuk dapat memetik buah di seberang sungai hanya dapat dilakukan jika Rusa dan Monyet bekerja sama. Disinilah kerja sama akan saling melengkapi karakteristik komponen-komponennya. Kelinci butuh rasa aman ketika bermain dan mencari makan, Singa butuh makan dan karena untuk mengejar mangsa membutuhkan energi besar bahkan taruhan nyawa, maka mangsa yang siap santap tentu akan lebih menguntungkan. Keduanya dapat memenuhi kebutuhannya secara optimal ketika bersinergi. Disinilah kerja sama akan mengikis perbedaan demi hasil yang saling menguntungkan.

Namun ada hal lain yang harus dicermati dalam kedua kisah di atas terkait upaya untuk membangun kerja sama. Ternyata untuk membangun tim yang kokoh, ada satu tabiat yang harus diminimalisir yaitu kesombongan. Kerja sama tidak akan terbangun dari komponen-komponen yang penuh kesombongan. Jika Rusa dan Monyet sama-sama merasa lebih unggul dari lainnya, buah di seberang sungai takkan dapat diperoleh. Butuh itikad baik dan kelapangan hati untuk memulai bangunan kerja tim yang kokoh. Jika Singa merasa besar dan hebat tentu ia tidak akan butuh kerja sama dengan Kelinci yang kecil. Butuh kebesaran jiwa dan kecerdasan emosional yang tinggi untuk mencapai hasil yang lebih besar buah dari kerja sama. Disinilah kerja sama tidak menuntut adanya SuperMan, melainkan potensi komponen-komponennya berpadu menjadi SuperTeam.

SuperMan vs SuperTeam
Perhatikan tim sepakbola yang hebat, kemampuan di setiap lininya hampir merata. Tidak hanya produktif menyerang dan kokoh bertahan, bola terus mengalir cerdas membangun penyerangan sekaligus pertahanan, dan semua komponen terlibat. Bedakan dengan tim sepakbola bertabur bintang yang tiap komponennya hendak unjuk kebolehan. Permainan kolektif tidak terjadi, kerja sama tidak terbangun, lini bertahan rapuh dan lini serang pun tumpul. Tak heran tim Indonesia All Star sering kalah ketika bertanding. Apa yang membedakan antara tim sepakbola yang hebat dengan tim bertabur bintang? Ya, dalam membangun tim, SuperTeam lebih dibutuhkan daripada SuperMan. Apalagi jika ada tim yang hanya mengandalkan seorang SuperMan dalam timnya untuk meraih kemenangan, sudah pasti akan lebih banyak kekecewaan yang diperoleh.

Ada berbagai perbedaan mendasar antara SuperMan dengan SuperTeam. SuperMan akan unjuk kebolehan diri sementara SuperTeam akan mengoptimalisasi peran komponen-komponennya. SuperMan akan fokus pada dirinya sendiri dan tidak peduli yang lain sementara SuperTeam akan memberikan perhatian pada seluruh anggota di setiap lini. Jika meraih keberhasilan, SuperMan akan menepuk dada seraya membanggakan kontribusi besarnya. Sementara itu SuperTeam akan lebih tahu diri jika meraih kesusksesan. Mereka sadar keberhasilan terwujud karena kontribusi setiap anggotanya. SuperMan akan menggerakkan orang lain untuk mengikutinya sedangkan SuperTeam akan membangun sistem yang mendorong anggotanya untuk mengikuti aturan main. Semakin jelas bahwa keunggulan SuperMan sifatnya lebih temporer dengan benefit yang terbatas, sementara SuperTeam akan membangun keunggulan jangka panjang dengan kebermanfaatan yang lebih luas dan merata.

Lalu mungkinkah ada SuperMan dalam SuperTeam? Tidak. Karena syarat utama membentuk SuperTeam adalah tiap anggotanya, sehebat apapun, harus menanggalkan jubah SuperMan-nya. Tiap personal tetap memiliki keunggulan namun tanpa embel-embel SuperMan. Tetap akan ada komponen dengan potensi di atas rata-rata timnya namun tetap dalam kerangka SuperTeam. Tetap akan ada anggota dengan karakter kepemimpinan yang menonjol namun perannya tetap terbingkai dalam tujuan bersama. Untuk mengoptimalkan peran masing-masing, tiap komponen SuperTeam bahkan harus membangun keunggulan pribadi, dan hal ini tidaklah kontraproduktif dengan aturan main SuperTeam. Bahkan mungkin saja ada suatu titik dimana pribadi yang penuh keunggulan tersebut meninggalkan SuperTeam untuk kemudian membentuk atau bergabung dengan SuperTeam lain dengan visi yang lebih besar dan sejalan. Intinya, SuperTeam tidaklah mengekang kelebihan yang dimiliki anggotanya, bahkan dapat terus mengembangkannya tanpa harus bersifat individualis.

Sebagai makhluk individu yang bertanggung jawab terhadap dirinya dan tentunya memiliki target hidup masing-masing, setiap kita tentunya perlu untuk terus mengembangkan kualitas diri. Menjadi manusia yang memiliki banyak keunggulan bukanlah suatu kesalahan. Menjadi SuperMan tidaklah keliru. Hanya saja dalam konteks bekerja sama, ada tujuan yang lebih besar yang diperjuangkan sehingga tidaklah perlu label SuperMan pun upaya pengembangan kualitas diri terus dilakukan. Superman –dalam film—pun tidak unjuk kemampuan dalam bermasyarakat, tidak sombong dalam interaksi dengan rekan kerjanya. Karena ia pun sadar bukan Superman yang dibutuhkan dalam membangun kerja tim, kelebihan yang diumbar hanya akan membuat batasan, mengekang optimalisasi potensi seluruh personil tim. Yuk, jadi manusia hebat yang rendah hati dan terhimpun dalam SuperTeam sehingga manfaatnya dapat lebih luas dirasakan.

Apa yang perlu kita lakukan adalah belajar untuk bekerja dalam sistem, dan menjadi berarti bagi setiap orang, setiap tim, setiap platform, setiap divisi, setiap komponen yang ada tidak untuk keuntungan kompetitif individu atau pengakuan, tetapi untuk kontribusi terhadap sistem secara keseluruhan atas dasar menang-menang.
(W. Edward Deming)

Pendidikan Karakter, Buat Apa?

“Most people say that is it is the intellect which makes a great scientist. They are wrong: it is character.” (Albert Einstein)

Beberapa tahun belakangan istilah ‘karakter’ menjadi populer di dunia pendidikan. Berbagai permasalahan bangsa yang kompleks disinyalir bersumber dari krisis karakter. Alhasil, pendidikan karakter kebangsaan dipandang sebagai solusi penting untuk mengatasi kompleksitas permasalahan pendidikan nasional, mulai dari kecurangan dalam ujian, maraknya hubungan seks pra nikah, kasus aborsi, pornografi dan pornoaksi, meningkatnya penderita HIV/ AIDS di kalangan remaja, penyalahgunaan narkotika dan obat-obat terlarang, tawuran dan kenakalan pelajar, minuman keras, hingga kekerasan dan bullying. Pendidikan karakter kebangsaan ini diharapkan mampu menciptakan SDM yang unggul karena berbagai hasil penelitian juga mendukung bahwa faktor terbesar penentu kesuksesan seseorang adalah karakter atau kepribadiannya.

Gagalnya Pendidikan Karakter
Mungkin tidak banyak yang mengenal Lawrence Kohlberg, seorang profesor Psikologi Pendidikan dan Sosial di Harvard University yang mengunjungi Kibbutz, pemukiman kolektif di Israel dengan sistem kepemilikan bersama dan dengan struktur-struktur dasar demokratis yang berdampak positif terhadap perkembangan moral anak-anak muda disana. Aktivis Yahudi ini kemudian membangun sekolah-sekolah cluster yang menerapkan sistem yang sama sehingga melengkapi penelitiannya mengenai Teori Tahapan Perkembangan Moral yang kemudian menjadi cikal bakal pendidikan karakter. Mungkin tidak banyak juga yang mengetahui bahwa pelopor pendidikan karakter ini menutup usianya dengan menenggelamkan dirinya ke Samudera Atlantik akibat depresi berkepanjangan atas penyakit yang dideritanya. Ironis, segudang teori tentang moralitas yang dikembangkannya dikalahkan oleh parasit bernama Giardia Lamblia. Tragis, mengapa semangat pendidikan karakternya tidak menjadikan dirinya cukup tangguh dan mampu bersabar?

Pada tanggal 23 Januari 1997, Presiden AS Bill Clinton meminta para guru memasukkan Pendidikan Karakter sebagai kurikulum pengajaran. Namun ternyata moralitas remaja Amerika relatif tidak banyak mengalami kemajuan, angka kehamilan remaja, pemakaian obat-obat terlarang, kekerasan di sekolah, dan kriminalitas jalanan terus meningkat. Edward Wyne and Kevin Ryan, dua tokoh pendidikan ternama di Amerika sudah memperkirakan kegagalan ini karena model pendidikan karakter telah gagal untuk menjawab nilai-nilai apa yang harus diajarkan dalam pendidikan karakter. Pendidikan karakter sebenarnya juga bukan hal baru bagi pendidikan Indonesia. Pendidikan budi pekerti yang diajarkan dalam Pendidikan Moral Pancasila ataupun berbagai penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) sejatinya adalah model Pendidikan Karakter. Nilai-nilai yang diajarkan sudah jelas terkait ke-Pancasila-an, namun mengapa krisis moral dan krisis karakter tetap melanda bangsa ini?

Menurut hemat penulis, ada dua hal mendasar yang menyebabkan pendidikan karakter menemui kegagalan. Pertama, pengajaran pendidikan karakter cenderung bersifat kognitif dan menambah pengetahuan. Padahal esensi pendidikan karakter ada pada keteladanan dan pembiasaan. Harus ada pemahaman yang implementatif. Mungkin beberapa di antara kita masih ingat betapa pendidikan moral di Indonesia seolah diarahkan untuk menghapal pada sila dan butir Pancasila keberapa suatu nilai atau karakter sesuai. Bagaimana implementasinya dan sudahkah terimplementasi tidak menjadi hal yang diperhatikan. Segudang teori pun berbenturan dengan realita. Pengetahuan tentang karakter tidak lantas membuat orang tersebut menjadi berkarakter. Tahu bahwa berzina itu haram namun tetap pergi ke tempat prostitusi, tahu jujur itu baik namun tetap korupsi, tahu ketangguhan moral harus dijunjung namun tetap bunuh diri, tahu karakter ini baik dan itu buruk namun tidak terimplementasi dalam tingkah laku sehari-hari. Pendidikan karakterpun gagal.

Kedua, pengajaran pendidikan karakter cenderung indoktrinasi, tidak mencerdaskan dan tidak membuat peserta didik berkembang. Butir-butir Pancasila menjadi sabda dewa, nilai baik-buruk menjadi fatwa tanpa ada pemahaman dalam akan makna dan ruang diskusi yang terbuka. Akhirnya, pendidikan karakter justru menggiring seseorang yang mempelajarinya menjadi karakter lain. Untuk dunia militer yang banyak mencetak ‘robot’ mungkin pendidikan ini berhasil, namun tidak untuk dunia pendidikan yang memanusiakan manusia. Belum lagi sebuah fakta bahwa karakter dasar seseorang tidaklah dapat dipaksakan sama. Pendidikan karakter seharusnya bukan mengubah karakter, melainkan mengarahkannya. Abu Bakar r.a. yang lemah lembut dapat bersikap tegas dalam memerangi mereka yang tidak mau membayar zakat. Umar bin Khattab r.a. yang keras kerap menangis dalam shalatnya dan seperti anak kecil di hadapan istrinya. Karakter lemah lembut dan keras tersebut tidak berubah, namun terarah dan terimplementasi tepat pada porsinya. Pemaksaan dalam pendidikan karakter, pada suatu titik akan mengalami penolakan. Pendidikan karakterpun gagal.

Jangan Terjebak Label
Sebelum membahas lebih jauh lagi, apa sih karakter itu? Menarik, penulis tidak menemukan definisi karakter dalam ‘Kamus Besar Bahasa Indonesia’. Adapun dalam bahasa Inggris, character memiliki beragam makna, mulai dari watak dan sifat, peran, hingga huruf. Dari sini sudah terlihat bahwa Bahasa Indonesia lebih kaya karena definisi watak berbeda dengan sifat, apalagi dengan peran dan huruf. Ketika kita berbicara tentang ‘karakter utama’ misalnya, pembicaraan akan mengarah ke seni peran, bukan terkait tingkah laku dan kebiasaan yang utama. Lalu mengapa harus menggunakan istilah karakter? Sekedar ikut tren? Padahal karakter bangsa takkan terbentuk dengan sikap ikut-ikutan, bahkan identitas bangsa bisa tergadaikan.

Jika kita telaah lebih jauh, istilah pendidikan karakter sebenarnya mereduksi makna dari pendidikan itu sendiri. Dalam KBBI, pendidikan didefinisikan sebagai proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan. Selain itu, pendidikan juga didefinisikan sebagai proses, cara, perbuatan mendidik. Definisi mendidik adalah memelihara dan memberi latihan (ajaran, tuntunan, pimpinan) mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran. Sikap dan tata laku adalah buah dari karakter dan akhlak yang merupakan kata serapan dari Bahasa Arab adalah apa yang disebut karakter di dunia barat. Jika mau berprasangka, sudah terjadi sekulerisasi pendidikan di Indonesia sehingga istilah akhlak, iman dan takwa pun harus diganti dengan karakter dan religius yang mengacu ke dunia Barat. Intinya, jelas sudah tanpa embel-embel karakter, pendidikan sudah seharusnya menyentuh aspek sikap, tingkah laku dan akhlak, bukan sebatas kecerdasan pikiran.

Sekali lagi, bahasa Indonesia lebih kaya. Untuk karakter dengan makna positif sudah tersedia kata-kata seperti akhlak dan budi pekerti, sedangkan untuk yang berkonotasi negatif ada kata-kata seperti tabiat dan perangai. Religius, jujur, toleransi, disiplin, dan seterusnya yang termasuk nilai-nilai karakter berlandaskan budaya bangsa sejatinya adalah akhlak dan budi pekerti. Demikian pula dengan karakter pokok, karakter pilihan, dan berbagai istilah karakter lainnya, merupakan bagian dari akhlak dan budi pekerti. Krisis karakter adalah krisis akhlak, membangun karakter adalah membangun budi pekerti. Karenanya, pendidikan karakter bukanlah hal baru, karena kita sebelumnya sudah mengenal pendidikan akhlak, pendidikan budi pekerti ataupun pendidikan moral yang gagal diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.

Namun perlu ditegaskan, yang menjadi fokus bukanlah pergantian nama pendidikan karakter menjadi pendidikan akhlak atau pendidikan budi pekerti, karena semuanya itu hanyalah label. Esensi pendidikan sudah mencakup itu semua. Yang perlu dikuatkan adalah landasan kemunculan pendidikan karakter, jangan sampai hanya sekedar ikut-ikutan. Yang perlu dikritisi adalah muatan pendidikan karakter, jangan sampai ada agenda tersembunyi yang merusak di dalamnya. Yang perlu dicermati adalah implementasi pendidikan karakter, jangan sampai cuma sebatas jargon dan label. Yang perlu dipastikan adalah bagaimana esensi pendidikan benar-benar dapat tersampaikan, jangan sampai tereduksi dengan berbagai istilah baru dalam kebijakan baru.

Pendidikan Karakter, Perlukah?
Pertanyaan retoris. Dalam konteks membina aspek sikap, tingkah laku dan akhlak, pendidikan karakter jelas perlu dan penting, bahkan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari pendidikan itu sendiri. Institusi pendidikan didorong untuk menghasilkan lulusan yang memenuhi standar kompetensi. Ketika berbicara tentang kompetensi, bukan hanya kompetensi pengetahuan (knowledge) yang disyaratkan, namun juga kompetensi keterampilan (skill) dan sikap (attitude). Pendidikan teoritis akan menyokong kompetensi pengetahuan, pendidikan praktek akan memenuhi kompetensi keterampilan dan pendidikan karakter akan melengkapi kompetensi sikap. Sekali lagi, pendidikan karakter sejalan dengan hakikat dan tujuan pendidikan.

Permasalahan kecilnya adalah jebakan label dan istilah yang kerap mengganggu hal yang lebih fundamental. Perbedaan antara karakter, moral, akhlak, sikap, watak, budi pekerti, perangai dan sebagainya bukanlah hal yang penting. Penggunaan istilah karakter pokok, karakter pilihan, karakter unggul dan sebagainya bukanlah hal yang esensi, demikian pula dengan istilah character building atau character education. Permasalahan lainnya yang sempat ditemukan dalam penerapan pendidikan karakter di Amerika adalah mengenai karakter apa yang seharusnya diajarkan. Jika hendak dipersoalkan, 18 karakter bangsa bisa jadi terlalu banyak. Jangankan untuk diinternalisasi dan diimplementasi, dihapalkan saja tidak mudah. Fokus pendidikan pada pemenuhan karakter-karakter dasar yang paling diperlukan adalah penting. Karakter baik, sebagaimana karakter buruk, sifatnya menular, mengantarkan pada karakter lain dengan karakteristik yang sejenis (karakter dan karakteristik, satu lagi jejak ambiguitas penggunaan istilah karakter yang juga memuat definisi kekhasan). Religius misalnya, akan mendorong seseorang untuk lebih jujur, disiplin dan bertanggung jawab.

Namun, permasalahan yang lebih mendasar adalah bagaimana agar pendidikan karakter tidak sia-sia dan gagal. Secara normatif jelas dapat disimpulkan bahwa keteladanan adalah kunci keberhasilan pendidikan karakter. Sayangnya, bangsa ini sekarang masih krisis keteladanan. Bagaimana peserta didik akan berlalu jujur jika guru mendukung kecurangan dalam penyelenggaraan UN. Bagaimana sarjana akan memiliki integritas jika dosen yang mengajarnya kerap melakukan plagiat. Bagaimana seorang anak dapat mengimplementasi nilai-nilai karakter bangsa sementara dalam kesehariannya nilai-nilai yang dijumpainya berseberangan dengan karakter yang diajarkan. Disinilah diperlukan adanya sinergi antar setiap komponen pendidikan (keluarga, institusi pendidikan dan masyarakat) dalam membangun karakter seorang anak. Kesuksesan pendidikan karakter menjadi kompleks karena juga melibatkan sinergi peran dari keluarga, sekolah dan masyarakat.

Di samping sinergi tersebut, secara lebih taktis, perlu ada perubahan paradigma pendidikan karakter dari menjawab apa, siapa, kapan dan dimana yang cenderung satu arah memenuhi sisi kognitif, menjadi menjawab mengapa dan bagaimana yang juga menyentuh sisi afektif dan psikomotorik. Jawaban atas pertanyaan apa, siapa, kapan dan dimana hanya akan menambah pengetahuan tanpa mengarahkannya pada makna yang lebih dalam: pengamalan. Pertanyaan mengapa akan menggugah daya cipta untuk menginternalisasi karakter menjadi pemahaman, bukan sekedar pengetahuan. Pertanyaan bagaimana akan menggugah daya gerak untuk menginternalisasi karakter menjadi pengamalan dan pengalaman. Daya cipta dan daya gerak untuk menginternalisasi karakter ini tinggal dibiasakan dan diarahkan untuk membangun karakter seseorang. Sifatnya lebih mengalir, tidak dipaksakan.

Setiap manusia lahir dengan kondisi sosio-geografis yang berbeda, karakternyapun beragam. Tidak ada yang buruk, yang ada hanya porsi yang belum seimbang dan kurang diarahkan. Seseorang yang jahat pasti masih ada yang dikhawatirkannya, masih ada yang diperjuangkannya, masih punya nilai kebaikan dalam dirinya. Iblis sekalipun masih memiliki karakter kerja keras dan kreativitas yang dapat ditiru, sayangnya porsi percaya dirinya terlalu besar sekali menjadi kesombongan dan mengantarkannya pada banyak perangai buruk lainnya. Potensi kebaikan yang tidak terarah jelas berpotensi salah arah. Disitulah pendidikan karakter memegang peran. Generasi muda penuh gairah, energi dan vitalitas, namun ketika porsinya kurang tepat dan tidak terarah, kenakalan remaja yang menjadi hasilnya. Pendidikan karakter tidak dalam posisi mematikan energi dan kreativitas tersebut, tetapi dengan pemberian pemahaman yang baik disertai dengan contoh dapat mengarahkan karakter remaja menjadi keunggulan, dengan berbagai macam bentuknya yang tidak perlu dipaksakan sama. Mungkin ada yang porsi dan arahnya sesuai untuk menekuni seni, ada yang olah raga, ada yang organisasi dan lain sebagainya.

Menyoal pendidikan karakter di sekolah, selain penyajian yang lebih praktis dan sarat contoh, ada faktor lain yang perlu mendapat perhatian khusus: guru. Ya, guru sangat menentukan efektifitas pendidikan karakter di sekolah, sebagaimana orang tua di rumah. Bukan hanya dari segi cara menyampaikan, integritas guru yang bersangkutan sangat menentukan. Guru juga harus mengajarkan pendidikan karakter secara sederhana dan relevan sehingga mudah dipahami dan diaplikasikan oleh peserta didik. Guru juga harus mampu menjaga semangat perbaikan peserta didik karena pendidikan karakter berproses, tidak serta merta selesai dalam waktu singkat. Sederhananya, untuk efektivitas pendidikan karakter di sekolah, seorang guru harus memenuhi karakter pendidik yang digambarkan Ki Hajar Dewantara: Ing ngarso sung tulodho, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani. Namun berapa banyak guru yang memenuhi kualifikasi tersebut?

Pendidikan (karakter) memang tidak lantas menjamin terselesaikannya berbagai masalah yang kompleks di Indonesia, namun menjadi upaya strategis untuk mencegah timbulnya berbagai masalah sosial di kemudian hari. Ketidaksempurnaan dalam implementasi pendidikan karakter bukan berarti konsep tersebut salah dan harus ditinggalkan. Karena memang mewujudkannya secara sempurna tidaklah mudah, banyak tantangan yang harus dihadapi. Dan perlu disadari juga bahwa buah pendidikan (karakter) tidak dapat dirasakan instan, semuanya berproses, karenanya kontinyuitasnya harus terjaga dengan melibatkan seluruh pihak yang terkait. Mungkin terdengar terlalu absurd, namun upaya menyelamatkan suatu bangsa bisa jadi dimulai dengan penerapan pendidikan (karakter) yang baik, dalam keluarga, sekolah, masyarakat, bangsa dan negara.

The function of education is to teach one to think intensively and to think critically. Intelligence plus character – that is the goal of true education.” (Martin Luther King Jr.)

Kisah Latief Bersaudara

Di sebuah desa, tersebutlah dua orang yang bernama Latief, sebutlah Latief A dan Latief B. Keduanya cukup dikenal walau Latief B relatif lebih dikenal hingga ke desa seberang. Keduanyapun bersaudara bahkan tempat tinggal mereka hanya dipisahkan oleh dinding tipis. Secara struktrural di desa tersebut, Latief A lebih memiliki kewenangan. Karenanya dengan pongah ia dapat memerintahkan apapun dan siapapun, tidak terkecuali Latief B. Sementara Latief B tidak terlalu menghiraukan dan lebih asyik pada pekerjaannya yang memang banyak.

Konflik dimulai ketika Latief A menggunakan kewenangannya untuk mencoba mengerjakan tugas Latief B. Latief B merasa Latief A punya tugas sendiri yang lebih prioritas dan sesuai dengan kompetensinya sementara tugas ini memang sudah tradisi dikerjakan oleh Latief B. Awalnya tidak jua tercapai titik temu namun akhirnya Latief A mengalah dengan menyisakan berbagai persoalan. Konflik antara mereka memang bukan hal baru, dan sedihnya, justru banyak dicontoh masyarakat desa tersebut. Tapi seolah mengabaikan visi bersama membangun desa, seolah melupakan bahwa mereka bersaudara, ego lebih banyak bermain. Konflik semakin parah ketika sedikit-sedikit Latief A menggunakan kewenangannya untuk memvonis, menghukum, dsb. Parahnya lagi, Latief B semakin tak peduli, apapun yang dikatakan Latief A tidak digubris olehnya.

Beberapa bulan kemudian Latief A mendapatkan masalah karena kebiasaan debat kusir yang tak jua ditinggalkannya. Jadilah desa tersebut dirundung masalah. Kelalaian dan kepongahan yang harus dibayar mahal. Latief B tidak bisa tertawa karena juga merasakan dampaknya. Tak lama berselang, Latief A memberikan evaluasi dan taushiyah yang cukup panjang kepada Latief B. Latief B hanya memandangnya sebagai celotehan dari orang yang ga bisa berkaca, ga kenal dan ga tau serta ga konkret!

Ya, Latief A dengan kewenangannya dapat memerintahkan warga kampung untuk mengadakan berbagai kegiatan mulai dari rembug desa hingga pemilihan kepala desa. Tapi Latief A sering tidak ada saat dibutuhkan karena berbagai alasan, mulai dari sakit, sibuk belajar atau mencari penghasilan hingga sekedar karena malas. Pekerjaan utamanya, termasuk mengawasi Latief B sering terbengkalai. Akhirnya, warga yang paling merasakan masalah ketika kegiatan yang dilakukan menemui hambatan.

Menjelang tutup usia, dengan penuh kepongahan, lagi-lagi Latief A menegur Latief B. Latief B merasa kasihan, begitu sulit untuk mengingatkan Latief A betapa beratnya beban pekerjaan ini ketika harus ditambah berbagai teguran tanpa pernah sedikitpun diberikan motivasi, apalagi bantuan konkret. Ingin rasanya Latief B memberikan pelajaran tentang tanggung jawab dan kontribusi nyata. Tanggung jawab yang bukan terletak hanya dengan perintah sementara amanah dan dirinya terbengkalai. Kontribusi yang bukan diwujudkan hanya dengan kata-kata, dalam perdebatan panjang yang tidak esensi.

Ah, nampaknya memang seharusnya hanya cukup ada satu Latief. Yang begitu luar biasa seperti Rasulullah, yang begitu peduli sebagaimana Umar bin Khattab, yang begitu tawadhu layaknya Umar bin Abdul Aziz, yang begitu berani & perkasa seperti Shalahuddin Al Ayyubi…

Ps : untuk semua rekan seperjuangan, mari sama-sama berkaca, sudah optimalkah kontribusi kita?

Bayiku Lahir Kembar Siam

Akhirnya, hari yang dinantipun datang. Setelah berpeluh-peluh membasahi seluruh tubuh, diiringi takbir, senyum dan tangisan bayikupun lahir ke dunia. Berbeda dengan sebelumnya, kelahiran kali ini terasa lebih berat, mungkin karena tahun ini Allah membuka beberapa aibku dan akupun sempat beberapa kali menerima tamparan keras yang menyebabkan guncangan dahsyat yang kuyakini akan mempengaruhi kondisi bayiku saat kelahiran dan ke depannya.

Dan ternyata benar, kelahiran kali ini berbeda, dua kepala kurasakan keluar. Aku begitu khawatir, kegundahan jiwaku tak terkendali. Bidan yang membantu persalinanku nampaknya memahami apa yang kurasakan. Setelah kondisiku membaik dan lebih tenang, seraya tersenyum ia berujar, “Selamat Bu, bayi Anda lahir dengan selamat. Namun masih butuh penanganan khusus. Silakan Ibu beristirahat dahulu”. Hmm… Alhamdulillah selamat, namun mengapa butuh penanganan khusus?? Ah, kondisiku masih lemah, setumpuk pekerjaan lain tiba-tiba saja terlintas di pikiranku…

* * *

Kondisi kedua bayiku nampaknya belum stabil. Ya, dua, namun dengan kaki yang saling menyatu seolah mengisyaratkan mereka harus melangkah bersama. Dua kepala yang di awal kelahiran tampak pucat kini sudah semakin berseri, walau aku masih dapat merasakan rasa sakit dan tidak nyaman yang mereka rasakan. Walau tidak gemuk tapi tubuh mereka kelihatan sehat. Ah, sayangnya mereka belum pandai berbicara sehingga aku sulit memahami apa yang mereka rasakan, apa yang mereka butuhkan.

Aku mulai kerepotan ketika harus berbagi… air susu… perhatian. Belum lagi kekhawatiranku ketika ada yang tangannya bergerak kesana kemari dan memukul –kuyakin tidak sengaja— saudaranya sendiri. Kadang kulihat ada sorot mata iri, kadang penuh harapan. Ah, nampaknya aku memang kurang mempersiapkan kejadian ini…

Dokter mengatakan bahwa harus ada yang dikorbankan, baiknya sebelum mereka besar. Tidak mungkin kondisinya akan terus seperti ini hingga akhir, pasti ada yang harus mengalah untuk tidak sesempurna saudara kembarnya ketika tungkai mereka harus dipisahkan. Beberapa orang rekankupun menyarankan hal yang sama dengan alasan penyelamatan. Tapi aku masih belum bergeming, kecenderungan hatiku kepada mereka berdua sama, sulit rasanya untuk memilih. Akupun meminta waktu untuk berpikir.

Sebenarnya ada hal yang tidak menjengkelkanku terkait dengan kelahiran ini. Sikap beberapa rekanku yang mencemooh, memandangku aneh dan berbagai sikap negatif lainnya. Bagaimana aku menjawab jika yang mereka tanyakan adalah : Kenapa sih harus kembar siam? Bahkan di belakangku kudengar ada yang berbisik-bisik, “Mungkin karena banyak makan pisang dempet, kali…”. Ugh, menyakitkan. Mereka kan tidak mengalami prosesnya, banyak sudah yang dikorbankan. Lagipula, apa hubungannya?

Bayiku semakin besar –dan belum menunjukkan gejala yang mengkhawatirkan— walau  belum siap untuk benar-benar disapih. Nampaknya, pun masih kecil, mereka sudah saling memahami bahwa mereka tidak sendiri. Jika ada yang sakit, dia tidak sendirian. Lebih dari itu, mereka seolah mengerti bahwa mereka harus berprestasi, menunjukkan yang terbaik untuk menjadi yang lebih utama. Sedih rasanya harus memilih, apalagi semakin hari semakin nampak bahwa mereka memiliki bakat yang luar biasa…

* * *

Allah, sungguh Engkau Maha Kuasa sedangkan hamba-Mu ini adalah makhluk yang lemah. Berikanlah Kuasa-Mu yang terbaik bagiku, bagi mereka dan bagi diin-Mu, Ya Allah. Selamatkanlah jiwa mereka dari berbagai penyakit hati dan janganlah Kau izinkan benih kebencian dan permusuhan mengisi relung hati mereka. Ya Rahman, Jadikanlah mereka, dengan Rahmat-Mu, menjadi hamba-Mu yang bersaudara, yang saling menguatkan bukan menyakiti, yang saling meningkatkan kapasitas bukan saling bunuh. Ya Rahim, permudahlah segala urusan kami dan mereka dalam menapaki jalan-Mu yang penuh ujian. Berilah kepada kami kekuatan untuk dapat senantiasa taat kepada-Mu, istiqomah dan sabar menghadapi cobaan serta dapat terus menjaga semangat dan keikhlashan. Karuniakanlah kepada kami kemenangan hakiki… ampunilah segala dosa kami baik yang zhahir maupun bathin… limpahkanlah ketenangan pada jiwa-jiwa kami… tunjukilah kami jalan yang lurus… selamatkanlah kami dari azab neraka dan izinkan kami untuk memasuki Jannah-Mu… bersama-sama, Ya Arhamarrahimin…

Ya, sekarang bukan lagi saatnya untuk banyak bertanya, mengeluh dan larut pada masa lalu yang takkan kembali. Buktikan kecintaan kita pada Allah dengan amal nyata. Buktikan komitmen kita kepada Islam dan dakwah ini dengan kontribusi di medan juang. Berbuat optimal sesuai dengan tanggung jawab dan peran yang kita emban. Saling percaya, bantu, mengingatkan dan menguatkan. Cita kita takkan tercapai dengan sendirian. Dan akhirnya hanya kepada Allah-lah segala sesuatu dikembalikan…

Wallahu a’lam bi shawwab

Sekaranglah Saatnya

Saling bertentangan hanya melemahkan
Saling prasangka hanya menambah sengketa
Saling menyalahkan hanya akan menghancurkan
Saling kecewa hanya akan menambah luka

Yang merasa paling berjasa akan ternista
Yang merasa paling pandai akan terkulai
Yang lemah akan terjajah
Yang lalai akan tercerai…

 

Sekaranglah saatnya luruskan kembali niat di hati
Sekaranglah saatnya rapatkan barisan siapkan perbekalan
Sekaranglah saatnya bergerak… serentak!
Sekaranglah saatnya berjuang… dan MENANG!!!
Bersama Sang Pencipta…
Menggapai cita mulia…

Ps. 4 My Brothers&Sisters… Keep on spirit!!!

Dan Mutiara Itu Kembali Berbenturan

Aku adalah sebongkah batu kecil di tengah sekumpulan batu yang tersimpan dalam sebuah wadah. Dan kebetulan batu-batu itu adalah sekumpulan mutiara yang mungkin kerap membuat orang lain takjub dan iri. Di sekelilingku banyak kujumpai mutiara lain yang nampaknya lebih lama terbungkus di dalam kerang daripada diriku yang masih ‘baru’. Dan hari ini kami berkumpul untuk memberikan yang terbaik yang kami miliki bagi pemilik kami…

Awalnya biasa saja hingga ada sebongkah mutiara ‘lama’ yang menawarkan diri untuk dipersembahkan sebagai hadiah terbaik. Segera saja mutiara-mutiara ‘senior’ lainnya melakukan hal yang serupa. Jelas saja situasi mulai ramai karena setiap mutiara punya kelebihan dan kekurangan masing-masing. Suasana semakin ricuh ketika hampir semua mutiara berlomba bersuara dan berpendapat, tidak terkecuali aku. Saling desak sana sini disertai gemuruh suara yang memekakkan telinga makin mengacaukan pertemuan kami…
Dan benturan keraspun terjadi, ada mutiara yang memilih pergi, ada yang retak bahkan ada yang hampir pecah. Aku tergugu… aku malu…

Rasanya tidak ada yang bisa disalahkan, aku tak sepenuhnya salah, ‘kakak-kakakku’pun punya alasan yang cukup untuk melakukan itu atau mungkin semuanya salah? Ah, bodohnya aku, bukan saatnya untuk mencari siapa yang menyebabkan kekacauan ini, tapi seharusnya kucari kedewasaan dan ke’tawadhu’an yang dapat menghentikan semua kebodohan ini…
Akupun membayangkan seandainya kami tidak saling adu tentulah tidak ada yang dirugikan, jika kami memilih untuk saling menggosok tentulah kami akan saling menghasilkan kilau dan dapat menjadi hadiah yang indah…

Aku adalah sebongkah batu kecil yang kini tergores karena benturan. Tapi aku punya tekad untuk menjadi batu terakhir yang harus tergores. Goresan ini akan mengingatkanku untuk memadukan potensi yang kami miliki untuk menghasilkan kontribusi yang lebih besar… dan perjuangan ini belumlah berakhir…

Pusgiwa UI, 28 Juli 2005 pukul 21.33 WIB
Ps. Teman-teman, sekumpulan mutiara itu indah bukan?