Tag Archives: sunnah

Akhirnya, Shaf Rapat Kembali

“Luruskanlah shaf kalian. Sejajarkanlah pundak-pundak kalian. Tutuplah celah. Janganlah kalian membiarkan ada celah untuk syaitan. Barangsiapa yang menyambung shaf, maka Allah akan menyambung hubungan dengannya dan barangsiapa memutus shaf maka Allah akan memutuskan hubungan dengannya.” (HR. Abu Dawud)

Ada yang berbeda dari Jum’atan di Masjid Perumahan Muslim The Orchid Green Park siang ini. Imam masjid sudah memerintahkan jama’ah Jum’at untuk merapatkan pundak, dilanjutkan dengan rapatnya kaki. Hal ini lumrah di masa sebelum pandemi Covid-19. Namun sejak virus corona mewabah sekitar satu setengah tahun lalu, shaf-shaf jama’ah direnggangkan untuk menjaga protokol kesehatan. Bahkan kehadiran dalam shalat berjama’ah sempat dibatasi kala pandemi sempat mencapai puncaknya, shalat Jum’at pun sempat tidak diselenggarakan.

Keputusan untuk merenggangkan shaf tentunya bukan keputusan sepihak, ada fatwa MUI nomor 14 tahun 2020 tentang penyelenggaraan ibadah dalam situasi terjadi wabah Covid-19 yang mendasarinya. Ditambah dengan fatwa MUI nomor 30 tahun 2020 tentang penyelenggaraan shalat Jum’at dan jama’ah untuk mencegah penularan wabah Covid-19. Mengikuti fatwa MUI yang dikeluarkan di masa awal pandemi tersebut tentu menjadi ijtihad yang dapat dipertanggungjawabkan, sebab MUI pastinya sudah mengkajinya secara mendalam. Pun demikian keputusan untuk kembali merapatkan shaf. Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), KH Cholil Nafis pada 29 September lalu telah mempersilakan umat Muslim yang berada di wilayah PPKM level 1 atau zona hijau untuk merapatkan kembali shaf saat melaksanakan sholat berjamaah di masjid dengan tetap memperhatikan protokol kesehatan.

Kota Depok sejatinya masih masuk Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) level 3, namun pembolehan kembali untuk merapatkan shaf ini menjadi angin segar bagi masyarakat yang merindukan suasana normal tanpa kekhawatiran berlebihan mengenai pandemi Covid-19. Beberapa masjid lain sudah lebih dulu merapatkan shaf semenjak kasus Covid-19 mulai menurun dan aktivitas masyarakat berangsur berjalan seperti sediakala. Bahkan ada masjid-masjid yang sejak awal pandemi tidak merenggangkan shafnya. Masjid-masjid ini umumnya lebih mengutamakan keutamaan akan rapatnya shaf shalat berjama’ah dibandingkan kekhawatiran penularan virus corona. Apalagi masjid dianggap sebagai tempat yang terjaga kesucian dan kebersihannya. Jika pasar saja dibuka dan masyarakat ramai berbelanja, mengapa masjid harus tutup dan merenggangkan shaf ketika shalat?

Memang tidak sedikit hadits yang menyampaikan tentang keutamaan meluruskan shaf. Di antaranya hadits dari Ibnu Mas’ud r.a yang berkata, “Dahulu Rasulullah SAW memegang pundak-pundak kami sebelum shalat, dan beliau bersabda: ‘Luruskan (shaf) dan jangan bengkok, sehingga hati-hati kalian nantinya akan bengkok (berselisih) pula’” (HR. Muslim). Atau hadits muttafaqun ‘alaih yang masyhur, “Luruskanlah shaf-shaf kalian karena lurusnya shaf termasuk kesempurnaan sholat”. Adapun dalil merapatkan shaf umumnya juga terkait dengan dalil meluruskan shaf tersebut, sehingga jumhur ulama berpendapat bahwa hukum meluruskan dan merapatkan shaf shalat berjama’ah adalah sunnah.

Namun pandemi adalah kondisi darurat yang membuat aktivitas tidak dapat berjalan normal. Sebagai masyarakat awam ada baiknya mengikuti fatwa dari lembaga yang berkompeten dan berwenang, tidak egois dengan ijtihadnya sendiri. Bagaimanapun, pandemi ini banyak mengajarkan tentang kesabaran dan lapang dada. Ulama Saudi yang biasanya ‘keras’ sekalipun pada akhirnya mengalah untuk merenggangkan shaf di Masjidil Haram ketika pandemi tengah benar-benar mewabah. Beribadah sesuai dengan keyakinan memang merupakan hak individu, namun tidak perlu merasa paling benar dan sesuai sunnah hanya karena ‘berani’ merapatkan shaf di saat yang lain merenggangkan shaf. Semoga saja rapatnya kembali shaf shalat akan berdampak positif pada kuatnya kebersamaan dan toleransi terhadap perbedaan di antara umat Islam.

Bagaimanapun, pembolehan untuk kembali merapatkan shaf ini membawa optimisme baru. Bahwa kondisi kenormalan baru akan segera terbentuk. Vaksinasi semakin marak, persentase penduduk yang sudah divaksin semakin tinggi. Jumlah kasus harian ataupun kematian harian akibat Covid-19 di Indonesia sudah jauh menurun dibandingkan 2-3 bulan lalu. Bahkan tingkat kesembuhan (recovery rate) saat ini sudah lebih tinggi dibandingkan kasus baru yang muncul, kurva Covid pun kian melandai. Optimisme ini semoga tidak membuat lengah karena varian Covid baru dan gelombang Covid baru bisa muncul kapan saja. Namun semoga saja penyikapan positif ini menjadi pertanda baik bahwa berangsur dunia sudah beradaptasi dengan pandemi Covid. Sehingga tidak ada lagi kendala dan berbagai keterbatasan dalam beribadah dan beraktivitas.

Nu’man bin Basyir r.a. berkata, “Dulu Rasulullah SAW meluruskan shaf kami sehingga seakan beliau meluruskan anak panah, sampai beliau menganggap kami telah memahaminya. Beliau pernah keluar pada suatu hari, lalu berdiri sampai beliau hampir bertakbir, tiba-tiba beliau melihat seseorang yang membusungkan dadanya dari shaf. Beliau bersabda, ‘Wahai para hamba Allah, kalian akan benar-benar meluruskan shaf kalian atau Allah akan membuat wajah-wajah kalian berselisih’” (HR. Muslim)

Ghozwul Fikri itu Bernama Menikah

“…Berbahagialah manusia yang tlah menemukan fitrahnya, untuk membentuk keluarga yang sakinah. Menikahlah engkau segera bila saatnya telah tiba, jangan carikan alasan untuk menunda… Menikah, mengurangi dosa dan maksiat. Menikah, menyatukan bahagia dan nikmat. Rezeki manusia Allah mengaturnya, jangan takut bila kau niat untuk menikah…” (“Ayo Menikah”, Ar Royyan)

Beberapa saat yang lalu aku dikejutkan dengan pertanyaan salah seorang ‘adik’ku tentang pernikahan dini. Ia hendak menyegerakan menikah karena khawatir tidak mampu menjaga syahwatnya. Bingung juga menjawabnya, bukan hanya karena yang ditanya juga belum menikah, tapi mendapati dia lulus SMApun belum… hmm… Beda kasus, keesokan harinya tiba-tiba saja ada SMS masuk dari seorang teman minta tolong dicarikan akhwat. Dengan ‘polos’ kutanya ‘buat apa?’ dan dengan simplenya dijawab ‘Ya, buat nikah lah! Kalo bisa anak UI…’ Argh… Kondisi ini memang bukan pertama kalinya, tapi tetap saja ‘bikin males’, apalagi aku bertekad untuk tidak ‘merekomendasikan seseorang’ sebelum aku menikah dan tidak akan meminta rekomendasi dari seseorang yang belum menikah. Kayaknya tidak ada landasan syar’inya sih, tapi begitulah…

Pembicaraan seputar pernikahan belakangan ini semakin menghangat di sekitarku. Banyak yang bilang, mungkin memang sudah masanya. Beberapa bulan yang lalu, aku termasuk orang yang tidak tertarik untuk membahasnya, bahkan terasa menjadi ‘ghazwul fikri’ baru di kalangan ikhwah. Iya, melalaikan. Membuang banyak energi padahal banyak isu keumatan yang lebih penting untuk dibahas. Tapi sekarang, pertanyaan ‘antum kapan?’ begitu sering sehingga sudah jengah kudengar, pembicaraan seriuspun kerap diselingi dengan hal-hal yang menjurus kesana. Hingga beberapa hari lalu ketika seorang teman yang serius menawarkan akhwat dengan bertanya ‘antum siap nggak?’, kuanggap sebagai candaan… ‘Serius, akhwatnya ana yakin lebih baik tingkat ekonominya dari antum, dia siap membiayai semuanya…’, lanjutnya. Allah…

Secara pribadi, aku sebenarnya sudah punya perencanaan hidup sehingga tidak perlu ‘panas’ dan mudah terprovokasi, tidak perlu terburu-buru mencari ‘bidadari’. Semua ada waktunya lah. Tapi belakangan nampaknya kecenderungan untuk ‘mancing’ dan memprovokasi (serta ‘terpancing’) semakin besar seiring dengan masuknya diri ini ke area paska kampus. Satu-persatu teman seangkatan mendahului, bahkan adik kelas. Bebanpun semakin berat ditanggung sendirian. Entah sampai kapan masih dapat bertahan. Belum lama ini bahkan sempat juga tuh tertarik untuk nemenin teman yang lagi ‘ta’aruf’. Belajar ga ada salahnya kan? Tapi yah, kalo mau jujur sih emang menikah tuh nampaknya begitu indah…

“Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian (belum menikah) diantara kamu, dan orang-orang yang layak menikah dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah maha luas (pemberian-Nya) lagi maha mengetahui.” (QS. An-Nur: 32)

“Ada tiga kelompok manusia yang pasti ditolong Allah: pemuda yang menikah untuk menjaga kehormatan diri, budak yang berusaha memerdekakan diri agar leluasa beribadah dan mujahid di jalan Allah.” (HR. Ahmad, Tirmidzi dan Nasa’i)

“Orang yang menikah dengan dilandasi keyakinan dan pengharapan kepada Allah, pasti ditolong dan diberkahi-Nya” (HR. Thabrani)

“Empat macam diantara sunnah-sunnah para Rasul yaitu : berkasih sayang, memakai wewangian, bersiwak dan menikah” (HR. Tirmidzi).

“Nikahilah olehmu kaum wanita itu, maka sesungguhnya mereka akan mendatangkan harta (rezeki) bagi kamu¡¨ (HR. Hakim dan Abu Dawud)

“Jika seseorang telah menikah, dia telah melengkapi separuh agamanya. Hendaklah dia bertaqwa kepada Allah dalam separuhnya lagi” (HR. Baihaqi dan Hakim)

“Orang yang ingin menjumpai Allah dalam keadaan suci dan tersucikan, hendaklah dia menikah dengan wanita yang terhormat.” (HR. Ibnu Majah)

“Shalat 2 rakaat yang diamalkan orang yang sudah berkeluarga lebih baik, daripada 70 rakaat yang diamalkan oleh jejaka (atau perawan)” (HR. Ibnu Ady)

“Barang siapa menggembirakan hati istri, (maka) seakan-akan menangis takut kepada Allah. Barang siapa menangis takut kepada Allah, maka Allah mengharamkan tubuhnya dari neraka. Sesungguhnya ketika suami istri saling memperhatikan, maka Allah memperhatikan mereka berdua dengan penuh rahmat. Manakala suami merengkuh telapak tangan istri (diremas-remas), maka berguguranlah dosa-dosa suami-istri itu dari sela-sela jarinya.” (Al Hadits)

“Tidak ada yang menghalangimu menikah kecuali kelemahan atau kekejian” (Umar bin Khattab)

“Dalam kondisi apapun, engkau tetap harus menikah. Jika engkau mendapatkan istri yang baik, engkau akan berbahagia. Jika engkau mendapatkan istri yang menjengkelkan, engkau akan menjadi orang yang bijaksana. Singkatnya, keduanya menguntungkanmu.” (Socrates)

Tuh, gimana ga terprovokasi? Yah, akhir-akhir ini aku malah merasa seperti konsultan pernikahan bagi mereka yang ‘ngebet’ nikah. Agak bingung juga karena nampaknya perbincangan tentang hal tersebut tidak berujung dan justru menurunkan militansi. Iya sih, memang harus diakui, jangankan diperbincangkan, dipikirkan saja sering menurunkan produktivitas. Tapi ibarat candu, nampaknya tidak mudah untuk melepaskan kebiasaan untuk membicarakan tentang ‘masa depan’. Ahh… kayak gini nih yang kusebut sebagai ghozwul fikri… Ga berbeda dengan food, film, fashion, song, sport, dsb…

Dan parahnya sebagai dampaknya, dalam beberapa kesempatan bahkan sempat terpikir, ‘bidadari dunia’ seperti apa sih yang kuinginkan?? Untuk detailnya sih memang masih dirahasiakan, namun terinspirasi oleh artikel berjudul ikhwan GANTENG, partner sejati akhwat yang beberapa bulan yang lalu sempat kuterima, akupun tertarik untuk membuat kriteria bidadari JELITA, idaman ikhwan. Bagaimanakah bidadari JELITA itu? Akan bersambung ke tulisan selanjutnya, Insya Allah…

“Kawinkanlah orang-orang yang masih sendirian diantaramu. Sesungguhnya, Allah akan memperbaiki akhlak, meluaskan rezeki, dan menambah keluhuran mereka.” (Al Hadits)